Anda di halaman 1dari 13

PAPER

WAYANG : PERGELARAN RUWATAN UNIVERSITAS INDONESIA (WAYANG GOES TO CAMPUS)

OLEH: WINDIYANI 1206206575 ILMU EKONOMI

Universitas Indonesia 2013/2014

BAB I PENDAHULUAN
A. Kata Pengantar

Budaya nusantara dinilai mesti berkembang dengan kreasi dan inovasi yang mengikuti perkembangan zaman, tapi tidak melupakan akar dan budaya nusantara. Namun banyak budaya nusantara yang kini makin tergerus dengan budaya asing atau budaya barat. Salah satu yang harus dilestarikan dari negeri sendiri yakni wayang. Indonesia sendir merupakan negara yang kaya akan budaya, salah satunya wayang yang meruapakan seni pertunjukkan asli Indonesia yang berkembang pesat Jawa dan Bali. Selain Malaya juga itu beberapa beberapa daerah budaya

di Pulau

seperti Sumatera danSemenanjung

memiliki

wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa dan Hindu. Wayang merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia yang sudash mulai memudar dikalangan pejuang mudah. pada 7 November 2003 UNESCO menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan

mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia karena banyak pula negara lain yang memiliki pertunjukan boneka. Namun pertunjukan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Untuk itulah UNESCO memasukannya ke dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia pada tahun 2003. Maka dari itu kita sebagi penerus bangsa harus bangga dengan kebudayan-kebudayan bangsa sendiri bukan malah mengikuti budaya luar yang belum tentu lebih bagus dengan beragam budaya

yang

kita miliki. Sebagai penerus bukan hanya menyukai namun sebagai

kewajiban kita untuk melestarikan kebudayaan tersebut. Wayang sendiri mengambil tokoh-tokoh dewa maupun ksatria yang ada dalam agama Hindhu dari India. Wayang di Indonesia tersebar dalam beberapa versi sesuai dengan daerah, sebagai contoh Wayang Ringgit, Wayang Uwong dari Jawa, Wayang Golek dari Sunda dan Jawa Barat, Wayang Bali dari Bali, Wayang Palembang dari Sumatra Selatan, Wayang Sasak dari Nusa Tenggara Barat, baik Wayang Cina yang berasal dari Cina yang diadopsi dan berkembang pesat di masyarakat Tiong Hoa di Indonesia. dan juga seperti masuknya agama Islam perbaharuan terjadi karena Islam melarang adanya pertunjukan dengan menampilkan dewa atau Tuhan. Pergelaran wayang kulit biasanya diakhir melaksanakan pergelaran ruwatan. Seperti pergelaran yang dilakukan pada tanggal 5 April 3013 di Balairum Universitas Indonesia, yang diselenggarakan oleh Komunitas Wayang Universitas Indonesia (KUWI). Acara yang ada didalamnya seperti pementasa wayang orang, wayang kulit, wayang golek, wayang potehi, wayang betawi. Dan akan dikolaborasi dengan acar a ruwatan dan sarasehan. Disamping itu juga terdapat pameran wayang dan unsur budaya yang berhubungan dengan wayang seperti batik, wayang, keris, dan lain-lain. selain itu juga terdapat bazar makanan asli jawa, atau makanan khas budaya kita seperti mendoang, coto, sate, dll. B. Tujuan Pertunjukan Wayang dan Pergelaran Ruwatan bertujuan untuk : 1. Melestarikan budaya wayang 2. memprkenalkan budaya wayang di UI 3. Pengenalan unsur wayang dan keris dalam pameran 4. Pengenalan makanan khas budaya jawa dalan bazar

5. Mengingatkan manusia akan adanya berbagai keburukan dan resiko yang mungkin akan ditanggung manusia sebagai akibatnya 6. Menghindari manusia mengalami kesulitan yang berhubungan dengan masalah waktu (umur)

BAB II ISI
A. Pengertian Wayang Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti bayangan. Jika ditinjau dari arti filsafatnya, wayang dapat diartikan sebagai bayangan atau merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dari dalam jiwa manusia. Sifat-sifat yang dimaksud antara lain seperti watak angkara murka, kebajikan, serakah, dan lain sebagainya. Wayang dimainakan oleh seorang dalang yang dibantu oleh beberapa orang penabuh gamelan dan satu atau dua orang waranggana sebagai vokalisnya. Fungsi dalang di sini adalah mengatur jalannya pertunjukan secara keseluruhan. Dalang memimpin semua komponen pertunjukan untuk luluh dalam alur ceritera yang disajikan.

B. Macam-Macam Wayang Wayang Kulit Sesuai dengan namanya, wayang kulit terbuat dari kulit binatang (seperti : kerbau, lembu, atau kambing). Wayang Kulit dipakai untuk memperagakan lakon-lakon atau kisah dari Babad Purwa, yaitu Mahabharata dan Ramayana. Oleh karena itu wayang kulit disebut juga dengan nama Wayang Purwa. Sampai sekarang pertunjukan wayang kulit, disamping sebagai sarana hiburan, juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat, seperti : bersih desa, ruwatan dan lain-lain.

Wayang Klithik

Wayang Klithik terbuat dari bahan kayu dengan dua dimensi (pipih) yang hampir mendekati bentuk wayang kulit. Terdapat persamaan antara wayang klithik dengan wayang kulit, yaitu pada gamelan, vokalis, bahasa yang digunakan dalam dialog, desain lantai, alat penerangan yang dipakai dalam pertujukan dan lain-lain. Meskipun demikian, banyak juga kita jumpai perbedaan-perbedaannya. Pertunjukan wayang klithik umumnya hanya berfungsi sebagai tontonan biasa yang kadang-kadang di dalamnya diselipkan penerangan-penerangan dari pemerintah (untuk penyuluhan pembangunan). Untuk itu, wayang klithik kadang disebut juga dengan nama wayang suluh. Setting panggung sedikit agak berbeda dengan wayang kulit. Wayang Klithik ini meskipun desain lantainya berupa garis lurus, tapi tidak menggunakan layar. Untuk menancapkan wayang, digunakan bambu yang sudah dilubangi.

Wayang Golek Seperti halnya dengan wayang klithik, wayang golek juga terbuat dari bahan kayu. Tetapi wayang golek memiliki tiga dimensi (seperti boneka). Wayang Golek ini lebih realis dibanding dengan wayang kulit dan wayang klithik. Sebab, selain bentuknya menyerupai bentuk badan manusia, wayang golek juga dilengkapi dengan kostum yang terbuat dari kain. Pertunjukan wayang golek selain untuk tontonan biasa, juga masih sering dipentaskan sebagai upacara bersih desa. Lakon yang diperagakan berasal dari babad Menak, yaitu sejarah tanah Arab menjelang kelahiran Nabi Muhammad S.A.W.

Wayang Beber Wayang Beber adalah seni wayang yang muncul dan berkembang di Jawa. Dinamakan wayang Beber karena berupa lembaran-lembaran (beberan) yang dibentuk menjadi tokoh-tokoh dalam cerita wayang, baik Mahabarata maupun Ramayana.

Konon oleh para Wali Songo (penyebar agama Islam di tanah Jawa), diantaranya adalah Sunan Kalijaga, wayang Beber ini dimodifikasi bentuk menjadi wayang kulit dengan bentuk-bentuk yang bersifat Ornamentik yang dikenal sekarang. Karena ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia, hewan) maupun patung serta diberi tokoh-tokoh tambahan yang tidak ada pada wayang Babon (wayang dengan tokoh asli India), diantaranya adalah Semar dan anak-anaknya (Punakawan) serta Pusaka Hyang Kalimasada.

C. Penegrtian Ruwatan

Ruwatan berasal dari kata ruwat dan mendapatkan sufikan. Kata ruwat mengalami gejala bahasa metatesis dari kata luwar, yang berarti terbebas atau terlepas. Maksud diselenggarakan upacara ruwatan ini adalah agar seseorang yang diruwat dapat terbebas atau terlepas dari ancaman mara bahaya (mala petaka) yang melingkupinya. Seseorang yang oleh karena sesuatu sebab ia dianggap terkena sukerta/ aib (klesa = Jawa Kuna), maka ia harus diruwat. Tradisi kepercayaan yang dimiliki masyarakat Jawa, bahwa seseorang yang oleh karena suatu peristiwa terkena sukerta, ia akan menjadi mangsa Batara Kala. Untuk dapat melepaskan/ membebaskan seseorang dari ancaman Batara Kala, maka masyarakat Jawa yang meyakini menyelenggarakan upacara ruwatan, yang telah tertata dan diatur secara tertib. Usaha yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa dengan mengadakan upacara ruwatan tersebut tak lain adalah untuk melindungi manusia dari segala ancaman bahaya. Koentjaraningrat memasukkan upacara ngruwat sebagai ilmu gaib protektif, yaitu upacara yang dilakukan dengan maksud untuk menghalau penyakit dan wabah, membasmi hama tanaman dan sebagainya, yang seringkali menggunakan mantra-mantra untuk menjauhkan penyakit dari bencana

(Koentjaraningrat, 1984). Dengan demikian masyarakat yang melaksanakan upacara ruwatan percaya bahwa mereka akan terlindungi dari ancaman mara

bahaya. Thomas Wiyasa Bratawijaya pernah menyebutkan seseorang yang seharusnya diruwat, seperti: kedana-kedini, ontang-anting, julung wangi, julung pujud, margana, gondang kasih, dampit, unting-unting, lumunting, pendawa, pendawi, uger-uger lawang, kembang sepasang, orang yang menjatuhkan dandang, mematahkan batu gilasan, menaruh beras di dalam lesung, mempunyai kebiasaan membakar rambut dan tulang, dan membuat pagar sebelum rumahnya jadi (Bratawijaya, 1988). Pergelaran ini biasanya diselenggarakan secara besar-besaran dengan mengadakan pagelaran wayang kulit, yang ceritanya telah diatur secara khusus bagi pelaksanaan ruwat, seperti Baratayuda, Sudamala, dan Kunjarakarma. Orang yang meruwat pun harus seorangdalang khusus yang mempunyai kemampuan dalam bidang peruwatan. Sang anak dengan sebutan anak sukerta yang akan menjalani proses ruwat, setelah selesai pewayangan akan dilakukan siraman dengan air yang sudah dicampur dengan bunga tujuh rupa dan diiringi dengan pemotongan rambut untuk dihanyutkan di sungai. Kemudian dalang tersebut memberinya semacam rajah yang disebut rajah kalacakra. Rajah ini ditulis dalam huruf jaewa melalui tirakatan khusus. Bagi orang tua yang kurang mampu, biasanya hanya mengundang dalangnya saja untuk meruwat anaknya tanpa mengadakan acara pewayangan. Si dalang hanya perlu bercerita tentang riwayat Dewa Kala sehingga prosesi peruwatan seperti ini disebut Dalang Kanda (dalang bercerita) D. Tujuan dan Manfaat Ruwatan Untuk diri sendiri membersihkan diri dari hal-hal yang bersifat gaib negatif (buruk) mendapatkan kebersihan diri Untuk lingkugan

Memberikan daya magis yang bersifat menahan, menolak, atau memindahkan daya (energi) negatif yang berada dalam rumah atau hendak masuk kedalam rumah Memberikan pagar agar tidak dimasuki oleh orang yang hendak berniat jahat. Memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir atau

mengurung makhluk halus yang berbeda dalam lingkup pagar gaib. Ruwatan Untuk Desa atau Wilayah Yang Luas Proses ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditujukan untuk seseorang yang akan diruwat, namun pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkang untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.

BAB III PENUTUP

Adat istiadat Jawa yang kini masih hidup lestari,diyakini, dan dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya, Demikian dominan aspek wayang purwa sebagai sarana upacara ruwatan, maka peranan dalang adalah sangat penting untuk menggelar lakon ruwatan, antara lain Murwakala, juga dalam usahanya untuk menghubungkan dunia nyata dengan dunia gaib, dalam hal ini melepaskan sukerta (aib) yang melingkupi seseorang. Seprti pertunjukan wayang yang diselenggarakan pada kamis-jumat kemarin merupakansalah satu bentuk kepedulian kita terhadap budaya bangsa seperti kata Ketua Komunitas Wayang Universitas Indonesia (KUWI) Sarlito Wirawan Sarwono mengatakan hal itu. Sebagai terobosan, UI bakal menggelar kegiatan Wayang Goes To Campus selama dua hari yakni 4-5 April 2013. "Kegiatan ini sebagai sarana komunikasi dan informasi bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum, menambah dan memelihara kesadaran berbudaya dan menumbuhkembangkan persatuan-kesatuan, kebersamaan, dan kesetiakawanan sosial. selain itu beliau juga berkat "Di UI juga ada mata kuliah yang fokus soal wayang, dan kegiatan ini patut terus dilaksanakan untuk melestarikan budaya kita, agar tak hilang warisan budaya kita satu persatu, jangan orangnya yang mementaskan sudah meninggal, maka 30 tahun kemudian hilang,"

Dalam pergelaran budaya wayang ini juga memperkenalkan berbagai macam keris dan makanan khas busaya jawa dan biasanya di santap saat penentasan wayang atau identik dengan makanan dahulu. Kegiatan ini memperkenalkan kita lebih banyak lagi mengenai wayang dan semacamnya apalagi tentang keris, saya dan teman-teman mendapatkan sangat banyak pengalaman tentang keris mulai dari pemanfaatannya, pembersihannya, asal usul, dll.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1969. Pengantar Antropologi. Jakarta: P.D. Aksara ---------------------. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. --------------------. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka. Wibisono, Singgih. 1983. Wayang Sebagai Sarana Komunikasi dalam Seni dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. C.C. Berg. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Terjemahan S.Gunawan. Jakarta: Bhratara.

LAMPIRAN

Pertunjukan wayang sebelum dilaksanakan ruwatan oleh kumunitas wayang UI LAMPIRAN 2

Anda mungkin juga menyukai