Fobia bisa dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya. Bagi sebagian orang, perasaan takut seorang pengidap Fobia sulit dimengerti. Itu sebabnya, pengidap tersebut sering dijadikan bulan bulanan oleh teman sekitarnya. Ada perbedaan "bahasa" antara pengamat fobia dengan seorang pengidap fobia. Pengamat fobia menggunakan bahasa logika sementara seorang pengidap fobia biasanya menggunakan bahasa rasa. Bagi pengamat dirasa lucu jika seseorang berbadan besar, takut dengan hewan kecil seperti kecoak atau tikus. Sementara di bayangan mental seorang pengidap fobia subjek tersebut menjadi benda yang sangat besar, berwarna, sangat menjijikkan ataupun menakutkan. Dalam keadaan normal setiap orang memiliki kemampuan mengendalikan rasa takut. Akan tetapi bila seseorang terpapar terus menerus dengan subjek Fobia, hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya fiksasi. Fiksasi adalah suatu keadaan dimana mental seseorang menjadi terkunci, yang disebabkan oleh ketidak-mampuan orang yang bersangkutan dalam mengendalikan perasaan takutnya. Penyebab lain terjadinya fiksasi dapat pula disebabkan oleh suatu keadaan yang sangat ekstrem seperti trauma bom, terjebak lift dan sebagainya. Seseorang yang pertumbuhan mentalnya mengalami fiksasi akan memiliki kesulitan emosi (mental blocks) dikemudian harinya. Hal tersebut dikarenakan orang tersebut tidak memiliki saluran pelepasan emosi (katarsis) yang tepat. Setiap kali orang tersebut berinteraksi dengan sumber Fobia secara otomatis akan merasa cemas dan agar "nyaman" maka cara yang paling mudah dan cepat adalah dengan cara "mundur kembali"/regresi kepada keadaan fiksasi. Kecemasan yang tidak diatasi seawal mungkin berpotensi menimbulkan akumulasi emosi negatif yang secara terus menerus ditekan kembali ke bawah sadar (represi). Pola respon negatif tersebut dapat berkembang terhadap subjek subjek fobia lainnya dan intensitasnya semakin meningkat. Walaupun terlihat sepele, pola respon tersebut akan dipakai terus menerus untuk merespon masalah lainnya. Itu sebabnya seseorang penderita fobia menjadi semakin rentan dan semakin tidak produktif. Fobia merupakan salah satu dari jenis jenis hambatan sukses lainnya. Beberapa istilah sehubungan dengan fobia :
afrophobia ketakutan akan orang Afrika atau budaya Afrika. agoraphobia - takut pada lapangan antlophobia takut akan banjir. bibliophobia - takut pada buku caucasophobia ketakutan akan orang dari ras kaukasus. cenophobia takut akan ruangan yang kosong. claustrophobia - takut akan naik lift. dendrophobia - takut pada pohon ecclesiophobia - takut pada gereja felinophobia - takut akan kucing genuphobia - takut akan lutut hydrophobia ketakutan akan air. hyperphobia - takut akan ketinggian iatrophobia - takut akan dokter japanophobia - ketakutan akan orang jepang
lygopobia - ketakutan akan kegelapan necrophobia - takut akan kematian panophobia - takut akan segalanya photophobia ketakutan akan cahaya. ranidaphobia - takut pada katak schlionophobia - takut pada sekolah uranophobia - ketakutan akan surga xanthophobia - ketakutan pada warna kuning arachnophobia - ketakutan pada laba-laba lachanophobia - ketakutan pada sayur-sayuran
DediNews, Jangan heran jika orang sedang stres bisa nekat bunuh diri dengan cara meloncat dari gedung bertingkat. Bagi penderita akrofobia alias takut ketinggian sekalipun, hormon stres bisa membangkitkan nyali untuk naik ke tempat yang tinggi. Efek ini terbukti dalam penelitian yang dilakukan oleh para ahli dari Basel University di Swiss. Dalam penelitian tersebut, tim ahli yang dipimpin Dr Dominique De Quervain melibatkan 40 orang pasien akrofobia atau penyakit takut ketinggian. Para pasien yang seluruhnya sedang menjalani terapi psikologis ini dibagi menjadi 2 kelompok, masingmasing diberi perlakuan berbeda. Satu kelompok mendapatkan plasebo, kelompok lainnya mendapat tablet kortisol yang dikenal sebagai hormon pemicu stres. Sebulan setelah mengkonsumsi obat tersebut, para pasien dilibatkan dalam simulasi virtual naik ke tempat yang sangat tinggi. Ketakutan yang dirasakan para pasien diukur dengan kuesioner dan sensor keringat dingin yang dipasang di permukaan kulit. Hasilnya, pasien yang mendapatkan hormon kortisol lebih sedikit mengeluarkan keringat dingin dibandingkan pasien yang hanya mendapatkan plasebo. Hal ini membuktikan, kombinasi terapi psikologis lebih ampuh mengatasi takut ketinggian jika dikombinasikan dengan kortisol. "Pemberian kortisol memberikan efek yang cukup signifikan. Selain itu, efeknya bertahan lama karena masih dirasakan hingga 1 bulan berikutnya," ungkap Dr Dominique dalam laporannya di jurnal Proceeding seperti dikutip dari Telegraph, Selasa (29/3/2011). Akrofobia atau takut ketinggian merupakan gangguan psikosomatis yang ditandai dengan gejala panik, pusing dan berkeringat dingin. Bentuk kegelisahan yang paling sering muncul pada pasien saat berada di tempat tinggi antara lain segera jongkok, berlutut atau bahkan merangkak.detikhealth
1.
Orang dengan Altophobia mungkin mendapatkan mulut kering, sulit menela penyempitan dada mereka dan kesulitan dalam menghirup ketika mereka berada ditempat yang tinggi. Selain itu mereka mungkin mendapatkan gejala kardiovaskuler seperti jantung berdebar. Selain bahwa mereka mungkin mendapatkan tremor dasar sakit otot. Kadang kadang orang dengan Altophobia dapat mengembangkan hiperventilasi dan mendapatkan pusing, kesemutan di jari-jari / jari-jari kaki dan sesak napas. Gejala gejala kecemasan mencegah pasien dari pergi ke tempat- tempat tinggi dan mempertahankan fobia. Terapi ditargetkan untuk mengekspos orang tersebut ke dalam situasi kecemasan merangsang (tempat tinggi) dan menurunkan rasa mudah terpengaruh dia. Apa perbedaan antara Altophobia dan Acrophobia? Acrophobia merupakan gangguan kecemasan fobia mirip dengan Altophobia. Orangdengan acrophobia bisa pergi ke gunung atau pergi dalam pesawat aer o, tetapi mereka tidak bisa pergi ke tempat dimana ada kemungkinan jatuh ke bawah. Misalnya berada di sebuah jembatan dan melihat ke bawah. Sebaliknya, orang denganAltophobia biasanya mendapatkan cemas ketika mendaki gunung atau pergi dalam pesawat aero. Bagaimana Altophobia diperlakukan? Altophobia diperlakukan terutama dengan metode psikologis. Selain itu beberapa orang mungkin perlu obat tertentu seperti benzodiazepin. Terapi perilaku kognitif adalah andalan pengobatan. Metode terapi perilaku kognitif yang digunakan dalam Altophobia termasuk desensitisasi sistematis, pelatihan relaksasi dan paparan dinilai.
Relaksasi pelatihan
Setelah daftar dirumuskan, pasien diajarkan bagaimana mengontrol kecemasandengan cara terapi relaksasi. Dalam relaksasinterapi pasien dilatih untuk bersantai,pertama otot-otot individu maka seluruh tubuh. Metode ini harus dilakukan secara teratur selama sesi.
Dinilai paparan
Berikut pasien dimasukkan ke dalam situasi kecemasan paling menjengkelkan. Misalnya Jika situasi kecemasan paling merangsang adalah melihat foto gunung, diamungkin diminta untuk melihat dan membayangkan bahwa dia berada di gunung. Hal ini diulang sampai kecemasan berkurang untuk sesi itu. Ia kemudian dimasukkan kedalam situasi yang memprovokasi kecemasan berikutnya, setelah dia dapat melakukan tugas yang sebelumnya tanpa kecemasan memprovokasi. Akhirnya pasien harus mampu mendaki gunung tanpa rasa takut.
Contoh cerita
Hari ini (Jumat 06/05/11) badan masih merasa lelah. Maklum, dua hari sebelumnya kami mengadakan acara perpisahan di sekolah. Acara perpisahan dilaksanakan dengan jalan-jalan ke mifan. Dalam acara itu, aku adalah ketua panitia, dan aku pula yang agak bersikeras dengan usulan bahwa acara perpisahan adalah dengan jalan-jalan ke mifan, tidak ke tempat lain. Akhirnya usulan itu diterima dalam sebuah forum musyawarah, karena baik untuk semua. Kawan, jangan bilang siapa-siapa, sesungguhnya usulanku untuk mengadakan acara jalan-jalan ke Mifan diselubungi kepentingan pribadi agak mirip kebanyakan orang partai di DPR-. Ya, aku sudah lama merencanakan ini, yaitu membunuh altophobia yang menjangkitiku sejak lama, entah sejak kapan. Betul! aku adalah seseorang dengan penyakit takut ketinggian yang agak akut, dan bagiku itu adalah hal yang sangat memalukan. Dulu, menurut perhitungan dokter, seharusnya bayi kami sudah lahir dalam minggu ini, tapi hingga akhir pekan tidak satupun tanda-tanda ke arah sana. Aku cemas. Istriku memang telah rutin melaksanakan jalan kaki, tapi mungkin itu masih belum cukup. Maka sudah seharusnya aktivitas fisik untuk istriku di tingkatkan, agar kandungan mengalami konstraksi yang lebih kuat, dan si bayi segera terdorong keluar. Setelah merenung sesaat, aku menemukan tempat yang ku kira cukup baik untuk memancing konstraksi rahim yaitu jalur evakuasi tsunami di sebuah bukit di kotaku ; gunung pangilun. Sudut daki lebih dari 45 derajat. Ketinggian sekitar tiga ratus meter lebih. Jumlah jenjang ke atas mungkin lebih dari lima ratus anak tangga. Karena takut tinggi, pada saat mendaki ke atas, aku berusaha tak melihat ke bawah, sesekali melihat ke bawah, langsung lunglai lutut ini rasanya. Setelah setengah jam lebih, kami sampai di puncak, aku berdoa agar dengan aktivitas ini, bayi kami lahir segara. Amiin. (ternyata 7 hari kemudian, si bayi baru lahir ke dunia) Bencana memalukan itu terjadi pada saat kami turun ke bawah. Aku adalah lelaki, lelaki yang sehat, lelaki sejati. Seharusnya akulah yang membimbing istriku dalam perjalanan menuruni tangga, tapi altophobia telah menjadikan semuanya berantakan. Istriku yang tengah buncit besar-lah yang akhrinya membimbingku turun ke bawah, ia dengan sabar memandu langkahku satu persatu, menguat-nguatkan diriku agar lututku berhenti bergetar. Aku selamat sampai dibawah, agak pucat. Istriku memandang lucu ke arahku, dan kejadian ini benar-benar bencana besar terhadap sejarah kelaki-lakianku. Pertama flying fox, istri dan si kecil menyemangati dari bawah. Wow! Aku terpekik entah seperti apa ketika tergantung-gantung di ketinggian sambil melaju walau sudah berusaha agar tak terpekik-, ditambah lagi dengan sensasi takut yang sangat ketika melihat kebawah. Sampai di seberang, lututku bergetar hebat, sampai-sampai petugas agak kesal melihatku yang bergerak sangat lambat. Oke! Misi pertama selesai, setidaknya aku sudah berani mencoba, mencoba menghadapi rasa takut, walau keadaannya demikian. Sejatinya aku harus mencoba lagi, tapi urung karena terlalu banyak orang yang juga berniat menaiki flying fox mungkin mereka juga punya misi sama denganku-, ditambah petugas yang agak lamban. Kedua, seluncuran air yang tinggi dan berbelok-belok, tingginya mungkin lewat 30 meter. Aku harus bertempur dengan bagian diriku yang lain yang selalu mengatakan tidak dan tidak selama aku menaiki jenjang ke atas. kali ini aku berusaha kuat, walau masih butuh panduan, kali ini yang memanduku adalah seorang muridku yang berbadan kecil dan kurus, Bowo namannya. dan akupun mulai meluncur bersama yang lain
Luncuran pertama, seperti berada di dunia lain. Adrenaline ku tak pernah terpicu seperti ini sebelumnya, efeknya jelas ; terpekik sambil mengucap-ngucap. Terlalu lama rasanya sampai ke bawah, dan yang ini lebih gila dari flying fox yang barusan ku coba. Walau aku sempat di tertawakan beberapa orang murid, aku senang, karena ketakutan yang sempat kurasakan tak membuatku tak berani untuk mencoba lagi. Hari itu, aku meluncur sebanyak lima kali, dan aku mulai menikmati sensasinya. Kenapa hanya lima kali? Bukan karena takut dan tak sanggup lagi, bahkan aku merasakan kecanduan, tapi lintasan luncuran yang berbelok-belok ekstrem membuat kepala agak pusing. Barangkali perlawananku terhadap altopobia mulai menunjukkan hasil, aku tak gamang seperti dulu melihat kebawah, aku sudah lebih berani berada pada ketinggian (sekurang-kurangnya setinggi luncuran mifan), dan aku sudah mulai berani untuk merasakan tantangan yang selalu ditawarkan oleh ketinggian, yaitu meluncur cepat kebawah. Esok, entah kapan, aku harus mencoba budge jumping atau melayang bersama wahana paralayang dari Puncak Lawang. Tapi aku mulai khawatir, jikalau aku sudah terjangkiti rasa suka akan olahraga ekstrem, ah tapi itu tak penting. Aku harus menghilangkan altophobia, hingga benar-benar lenyap dan pergi. Ternyata rasa takut bukan untuk dihindari, tapi dihadapi. Jika suatu saat engkau menghadapi rasa takut, engkau akan merasakan perubahan demi perubahan, hayati lah perubahanperubuhan itu, dan menikmati perubahan adalah hal yang seru!
Mengenal Altophobia
November 06, 2010 admin 0 Comments
Altophobia adalah takut ketinggian. Orang yang memiliki rasa takut ini dapat menghindari memanjat tangga, berada di atap bangunan, mengemudi di atas gunung atau jembatan, dan kadang-kadang tangga dan pagar. Asal usul kata alto Yunani (artinya tinggi) dan fobia adalah Yunani (berarti takut). Altophobia dianggap fobia spesifik. Altophobia juga dikenal sebagai Acrophobia dan terkait dengan Aeroacrophobia (takut tempat tinggi terbuka).
Apa penyebabnya?
Hal ini berlaku umum bahwa fobia timbul dari kombinasi kejadian eksternal (yaitu peristiwa traumatik) dan kecenderungan internal (yaitu keturunan atau genetika). Banyak fobia spesifik dapat ditelusuri kembali ke sebuah peristiwa yang memicu tertentu, biasanya pengalaman traumatis pada usia dini. fobia sosial dan agoraphobia memiliki penyebab yang lebih kompleks yang tidak sepenuhnya diketahui pada saat ini. Hal ini diyakini bahwa keturunan, genetika, dan kimia otak menggabungkan dengan kehidupan-pengalaman untuk memainkan peran utama dalam perkembangan fobia. (Wikipedia fobia).
Bagaimana mengatasinya?
Mengatasi althopobia bisa dengan berbagai cara salah satunya dengan tidak bepergian ke tempat daratan tinggi seperti gunung atau tempat yang tinggi seperti gedung bertingkat dengan tidak melihat ke arah bawah ketika naik lift yang transparan, seperti lift yang hanya bertembokan kaca atau dengan menggunakan cara yang lebih efisian misalkan dengan cara minum obat yang dapat diresepkan, namun harap diperhatikan bahwa obat-obat ini dapat memiliki efek samping dan / atau sistem penarikan yang bisa parah. Hal ini juga penting untuk dicatat bahwa obat-obatan tidak menyembuhkan fobia, paling mereka hanya sementara menekan sistem. Namun, ada pengobatan untuk fobia, yang meliputi konseling, hipnoterapi, psikoterapi, dan program NeuroLinguistic. Bagaimanapun juga takut akan ketinggian hanya bisa di hilangkan jika orang tersebut berani melakukan apa yang tidak dia berani lakukan agar phobia tersebut hilang dan dapat teratasi. Kesimpulannya bahwa setiap jenis phobia merupakan bentuk dari trauma seseorang yang mau tidak mau harus bisa di atasi agar orang yang mengalami phobia tersebut bisa mengalami hidup normal seperti orang pada umumnya, akan tetapi sebuah kewajaran jika seseorang memiliki rasa
takut terhadap sesuatu tapi tidak terlalu berlebihan rasa takut akan hal tersebut sehingga membuat kita menjadi phobia terhadap sesuatu itu. sumber: dari berbagai referensi di google.com
ASKEP
Dan ketika orang lain menyarankan Anda untuk membumikan mimpi anda, langitkanlah langkah Anda! Mimpi Anda terlalu berharga untuk dikecilkan. Ketika mimpi dapat hadir di pikiran Anda, ia selalu memiliki ruang untuk diwujudkan dalam kehidupan. Terkadang kita terlalu mengabaikan potensi diri kita sampai melupakan proses alami yang kita telah lewati; padahal ada nilai mendalam yang dapat kita pelajari di dalamnya. Bagi kebanyakan orang yang dilahirkan sempurna, berjalan sudah menjadi hal biasa bagi kita dalam menggunakan kedua kaki. Namun tidakkah Anda sadari kemampuan Anda berjalan, berlari, melompat, dan aktivitas-aktivitas dengan kaki lainya, tidak diperoleh dengan proses yang instan? Sadar atau tidak Anda sadari, kemampuan Anda meggunakan kaki Anda seperti saat ini diperoleh dengan proses yang panjang dan tidak mudah. Anda tidak langsung dapat menggunakan kaki Anda begitu saja, bahkan Anda harus belajar duduk dan merangkak dulu sebelum Anda berjalan. Ketika tulang kaki Anda sudah mulai kokoh, Anda pun harus belajar berjalan perlahan selangkah demi selangkah, baru lama-kelamaan dapat berjalan dengan lancar, berlari, bahkan melompat. Setelah lancar dengan kedua kaki pun terkadang bahkan Anda masih dapat terjatuh. Kita sebenarnya hanya dituntut untuk belajar bagaimana menggunakan organ-organ yang telah Tuhan berikan kepada kita. Namun ketika kita beranjak dewasa dan berusaha menggapai impian kita, banyak dari kita yang menyerah di awal perjuangan. Mengapa bisa terjadi demikian?Karena waktu kecil, kita terlalu banyak melihat orang yang sudah bisa berjalan. Kita menjadi tidak memikirkan proses yang harus kita jalani. Sedangkan sewaktu dewasa, kita terlalu banyak melihat orang yang hidupnya tidak seperti tujuan hidup anda tersebut, banyak dari mereka juga malah menasihati anda untuk mengecilkan mimpi Anda. Jangan bermimpi ketinggian, nanti kalau jatuh sakit! Saya yakin kalimat tersebut sudah sering Anda dengar. Lama-kelamaan kita pun merasa memang kita terlalu biasa untuk menjadi luar biasa. Pada akhirnya banyak dari kita memilih tidak terjatuh sama sekali, daripada terjatuh, bangkit, dan belajar dari kejatuhan tersebut. Pembaca yang budiman, Seperti belajar berjalan, kita membutuhkan waktu agar tulang kaki kita menjadi kuat, mulai berani berjalan selangkah demi selangkah, mengalami berbagai kejatuhan, sampai akhirnya bisa berjalan dan belajar untuk berhati-hati agar tidak lengah dan terjatuh lagi. Seperti itu jugalah kita dalam mencapai kesuksesan kita. Dibutuhkan kesabaran untuk menunggu saat yang tepat untuk memulai langkah kita. Keberanian untuk memulai langkah kita. Kearifan untuk belajar dari kejatuhan. Ketika kita telah mencapai kesuksesan, dibutuhkan karakter, untuk tetap waspada dan tidak terjatuh karena terbuai dengan kesuksesan yang kita raih dengan susah payah. Dan ketika orang lain menyarankan Anda untuk membumikan mimpi Anda, langitkanlah langkah Anda! Mimpi Anda terlalu berharga untuk dikecilkan. Ketika mimpi dapat hadir di pikiran, ia selalu memiliki ruang untuk diwujudkan dalam kehidupan Anda.