Anda di halaman 1dari 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1

Sistem Pernafasan Manusia Anatomi dan Fisiologi Sistem pernapasan terdiri dari beberapa struktur yang terlibat dalam proses

respirasi eksternal, yaitu proses pertukaran oksigen antara atmosfer dan darah serta pertukaran karbon dioksida antara darah atmosfer. Struktur yang membentuk sistem pernapasan dapat dibedakan menjadi struktur utama dan struktur pelengkap yaitu struktur utama adalah saluran udara pernapasan dan struktur pelengkap adalah komponen di luar paru.1, 3 Struktur utama sistem pernapasan adalah jalan napas dan saluran napas. Jalan napas terdiri dari hidung bagian luar, hidung bagian dalam, sinus paranasal, faring dan laring. Semuanya termasuk cakupan bidang Telinga Hidung Tenggorokkan dan tidak dibahas dalam pulmonologi. Sedangkan saluran napas terdiri dari trakea dan bronki serta bronkioli dan berhubungan dengan paru.1,3 Saluran udara pernapasan bawah dimulai dari ujung trakea sampai bronkiolus terminalis. Ia adalah saluran udara yang paling sempit dari keseluruhan saluran pernapasan. Saluran udara yang lebih besar menyerupai sebuah pohon terbalik yang menyebabkan bagian ini disebut pohon bronkial. Saluran udara ditahan terbuka oleh jaringan fibrosa fleksibel yang disebut tulang rawan. Pada ujung setiap bronkiolus adalah ribuan kantung udara kecil yang disebut alveoli. Struktur pelengkap sistem pernapasan terdiri dari komponen dinding toraks, diafragma dan pleura.

Gambar 1: Anatomi dari Paru

Fungsi primer dari sistem pernapasan adalah untuk pertukaran oksigen dengan karbon dioksida. Ada tiga tahap dalam proses respirasi, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah dan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenisasi. Udara yang diinhalasi masuk ke paru dan sampai ke alveoli. Sel-sel yang melapisi dinding alveoli dan kapiler yang meliputinya hanya setebal satu sel dan oksigen melalui sawar udara-darah ini dengan cepat dan karbon dioksida keluar dari darah ke udara dengan cara yang sama.3

2.2

Penyakit Sistem Pernapasan Penyakit pada sistem pernapasan dapat terjadi dari berbagai jenis

penyebab dan dapat dikategorikan berdasarkan etiologi maupun bagian sistemnya yang terpengaruh dari penyakit itu. Mengikut etiologi, penyakit sistem pernapasan dapat dibagi pada beberapa kategori: 1. Penyakit Saluran Napas a. Infeksi (Influenza & bronkitis akut) b. Non-infeksi (Asma) 2. Penyakit Parenkim Paru a. Infeksi (Tuberkulosis & Pneumonia) b. Non-infeksi/degeneratif (Tumor Paru & PPOK)1,3 Penyakit infeksi disebabkan oleh mikroorganisme patogen seperti bakteri, virus, parasit atau fungi dan penyakit itu dapat ditularkan, baik secara langsung atau tidak langsung, dari satu orang ke orang yang lain sedangkan penyakit degeneratif adalah penyakit kronik yang terjadi pada periode waktu yang panjang yang ditandai oleh penurunan fungsi organ yang lambat dan progresif. Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995, penyakit infeksi seperti tuberkulosis adalah penyebab kematian nomor tiga di Indonesia sedangkan penyakit paru degeneratif seperti PPOK dan tumor paru adalah penyebab kematian nomor enam. Antara penyakit-penyakit yang paling sering diobati adalah penyakit tuberkulosis bagi penyakit infeksi dan PPOK serta tumor paru bagi penyakit degeneratif. Banyak kasus penyakit infeksi dan penyakit digeneratif yang diobati di bagian rawat inap Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang. Antara penyakit-penyakit yang paling sering diobati adalah penyakit tuberkulosis bagi penyakit infeksi dan PPOK serta tumor paru bagi penyakit degeneratif.

2.3. 2.3.1

Penyakit Infeksi Paru Tuberkulosis Paru

2.3.1.1. Definisi Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mikobakterium Tuberkulosis. Bakteri tersebut berbentuk batang berukuran 0,5 x 3 mikron dan tahan terhadap pewarnaan asam (BTA). Bakteri ini bisa mati dengan sinar matahari langsung tapi dapat bertahan hidup lama di tempat yang gelap. Ia umumnya menyerang paru, tapi dapat juga menyerang organ tubuh lain. Gejala utama bagi pasien yang mengidap penyakit TBC adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih. Gejala tambahan adalah dahak bercampur darah, batuk berdarah, sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah disertai nafsu makan menurun dan berat badan yang menurun.6,8 2.3.1.2 Epidemiologi 7 Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992, World Health Organization (WHO) telah mencadangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah karena kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, kegagalan program TB selama ini, perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan juga dampak pandemi infeksi HIV.

2.3.1.3. Klasifikasi 6, 8, 9 Sampai sekarang belum ada kesepakatan di antara para klinis, ahli radiologis, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi tuberkulosis. Dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti: a) Pembagian secara patologis - Tuberkulosis primer (Childhood tuberculosis) - Tuberkulosis post- primer (Adult tuberculosis) b) Pembagian secara aktivitas radiologis Tuberkulosis paru (Koch Pulmonum) aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh) c) Pembagian secara radiologis ( luas lesi) Tuberkulosis minimal Moderately advanced Tuberculosis Far advanced tuberculosis

d) Klasifikasi berdasarkan American Thoracic Society 1974 Klasifikasi 0 Klasifikasi I Tidak pernah terinfeksi, tidak ada kontak, tidak menderita TBC Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TBC Klasifikasi II Terinfeksi TBC / test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TBC. (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi (-) Klasifikasi III Sedang menderita TBC Klasifikasi IV Klasifikasi V Dicurigai TBC Pernah TBC, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif

e) Klasifikasi di Indonesia berdasarkan kelainan klinis, radiologis dan mikrobiologis. Tuberkulosis paru tersangka, Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Di sini sputum BTA negatif tetapi tanda- tanda lain positif Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Di sini sputum BTA negatif dan tanda- tanda lain juga meragukan. f) Klasifikasi berdasarkan WHO 1991 Kategori I - Kasus baru dengan sputum (+) - Kasus baru dengan bentuk TB berat. Kategori II - Kasus kambuh - Kasus gagal dengan sputum BTA (+) Kategori III - Kasus BTA (-) dengan kelainan paru yang tidak luas. - Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I Kategori IV TB kronik

2.3.1.4. Cara Penularan Penyakit ini adalah penyakit menular yang bisa ditularkan melalui kontak langsung dengan droplet sputum daripada penderita TB aktif. Pada waktu batuk, bersin atau bicara, pengeluaran droplet sputum yang berisi basil terjadi. Apabila droplet ini diinhalasi dan melewati sistem mukosilier saluran napas sehingga bersarang di bronkiolus dan alveolus di mana infeksi akan berlaku. Faktor yang meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh bakteri ini ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.10

2.3.1.5. Faktor Risiko 10,11 Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk Of Tuberculosis Infection (ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti 10 orang di antara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Namun begitu, hanya sebagian dari orang yang terinfeksi, yaitu sekitar 10%, yang akan menjadi penderita TB. Ada beberapa faktor yang meningkatkan kemungkinan penularan TB paru: a) Usia Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun. b) Jenis kelamin Pada tahun 1996, jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat berbanding penderita pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9% pada wanita. c) Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. d) Kebiasaan merokok Kebiasaan merokok meningkatkan risiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Prevalensi merokok terjadi pada lebih dari 50% laki-laki dan kurang dari 5% bagi wanita di negara berkembang. Kebiasaan merokok memudahkan terjadinya infeksi TB paru. e) Kepadatan tempat penghunian Tempat tinggal yang terlalu padat akan menyebabkan kurang konsumsi oksigen bagi penghuninya dan jikalau salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.

f) Pencahayaan yang kurang Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB. g) Ventilasi yang buruk Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB. h) Status gizi yang buruk Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai risiko 3,7 kali untuk menderita TB, karena statu gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon imunologik terhadap penyakit. 2.3.1.6. Patogenesis Penyakit 12, 13 Ketika seorang penderita TB paru batuk, bersin atau bicara maka droplet nukleus jatuh dan menguap. Sesiapa yang terpapar kepada bakteri di lingkungan itu bisa menginhalasi droplet-droplet tersebut. Setelah melewati mukosiliar saluran napas, basil TB akan mencapai bronkiolus distal atau alveoli. Kuman mengalami multiplikasi di paru- paru dikenal sebagai Ghon Focus. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Setelah berada di alveolus basil tuberkel ini akan membangkitkan reaksi peradangan. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan akan mengalami gejala pneumonia akut. Mikobakterium tuberkulosis yang tersedut masuk ke paru-paru akan mengalami fagositosis oleh makrofag alveolar, kemudian makrofag akan melakukan 3 fungsi penting yaitu; a) Menghasilkan enzim proteolitik dan metabolit lain yang

mempunyai efek mikrobakterisidal

b)

Menghasilkan mediator terlarut (sitokin) sebagai respon terhadap bakteri berupa IL-1, IL-6, TNF (Tumor Necrosis Factor), TGF (Transforming Growth Factor)

c)

Memproses dan mempresentasikan antigen mikobakteri pada limfosit T

Sitokin yang dihasilkan oleh makrofag mempunyai potensi untuk menekan efek imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis seperti demam, hiperglobulinemia, pembentukan granuloma, penurunan berat badan dan nekrosis jaringan yang merupakan ciri khas tuberkulosis.Basil juga mencapai kelenjar limfe hilus melalui aliran limfe sehingga terjadi limfadenopati hilus. Ghon Focus dan limfadenopati hilus akan membentuk kompleks primer yang disebut kompleks Ghon. Kompleks primer berlokasi di lobus bawah karena ventilasi lebih baik di area tersebut. Proses ini berjalan dan memakan waktu 3-8 minggu. Pada tahap ini pada sebagian orang dapat sembuh sendiri tanpa cacat. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga sampai ke usus dan secara limfogen ke organ tubuh lainnya, secara hematogen ke organ tubuh yang lainnya. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan menjadi TB milier karena menjalar keseluruh lapang paru. Basil tuberkel yang di dalam makrofag berhasil mengambil alih makrofag sehingga mengatur makrofag agar dapat menyatu satu sama lainnya menjadi tuberkel yaitu suatu granuloma yang terdiri dari histiosit dan sel datia langerhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Keadaan ini biasanya memakan waktu 3-10 minggu setelah gejala pneumonia yang berupa konsolidasi. Selanjutnya yang paling parah adalah keadaan granuloma yang terus meluas dan menyebar sehingga jumlahnya juga banyak pada lapang paru sehingga bagian yang meluas tadi akan menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk jaringan keju yang disebut perkejuan.

2.3.1.7 Diagnosis 8, 10, 11 Diagnosis bagi penyakit tuberkulosis paru dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Anamnesis akan menentukan gejala klinis, baik gejala lokal maupun gejala sistemik. Gejala lokal terdiri dari gejala respiratorik seperti batuk lebih dari 2 minggu, batuk berdarah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala sistemik terdiri dar demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan bakteriologi dilakukan dengan memeriksa spesimen sputum dalam waktu dua hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu dan diagnosis TB ditegakkan dengan penemuan bakteri TB(BTA).6

Gambar 2: Alur diagnosis TB

2.3.1.8. Penatalaksanaan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Antara obat, sifat dan dosis OAT adalah:11, 14

Prinsip pengobatan adalah seperti berikut;9, 14 a) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinas beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori pengobatan b) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed treatment) oleh seorang pengawas menelan obat (PMO). c) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Tahap intensif i. Pada tahap ini, penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi langsung untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap semua Obat Anti TB (OAT), terutama rifampisin ii. Bila pengobatan tahap ini diberikan dengan tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. iii. Sebagian besar penderita TB BTA (+) menjadi BTA(-) pada akhir pengobatan intensif

Tahap lanjutan i. Pada tahap ini penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. ii. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadi kekambuhan. Paduan OAT 10, 11, 14 a) Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: - Pasien baru TB paru BTA positif. - Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif - Pasien TB ekstra paru b) Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: - Pasien kambuh - Pasien gagal - Pasien dengan pengobatan setelah terputus (default) Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE). OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

2.4 2.4.1

Penyakit Paru Degeneratif Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

2.4.1.1. Definisi Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek ekstrapulmoner signifikan yang bisa memberikan kontribusi pada tingkat keparahan pada individu. Penyakit ini merupakan penyakit paru kronik dengan ciri khas adanya hambatan aliran udaran di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya . Gejala pada pasien PPOK termasuk batuk, produksi sputum dan dyspneu saat beraktivitas.15 2.4.1.2 Epidemiologi Epidemiologi bagi PPOK tersedia di negara berkembang; namun ada variasi yang luas pada data yang mungkin dikarenakan perbedaan regional dan nasional pada faktor sosiodemografik dan faktor lingkungan. Prevalensi PPOK tidak digambarkan dengan tepat karena ia tidak diakui dan didiagnosa sehingga ia mencapai stadium lanjut.15,17 Prevalensi PPOK berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga 1995 adalah 13 per 1000 penduduk dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK umumnya berusia sekitar umur 40 tahun, tetapi ada juga kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun.

2.4.1.3. Klasifikasi Ada dua penyebab dari penyumbatan aliran udara pada penyakit ini, yaitu bronkitis kronik dan emfisema. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun selama sekurang-kurangnya dua tahun berturut turut yang tidak disebabkan oleh penyakit lainnya. Pada saluran udara kecil terjadi pembentukan jaringan parut,

pembengkakan lapisan, penyumbatan parsial oleh lendir dan spasme pada otot polosnya. Bronkitis kronik terdiri dari tiga jenis, bronkitis biasa, bronkitis infeksi dan bronkitis obstruksi. Emfisema adalah kelainan anatomis paru dengan ciri khas pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal yang disertai kerusakan dinding alveoli dan juga ada pelebaran pada ruang alveoli. Apabila peradangan pada alveoli berlangsung lama, bisa terjadi kerusakan yang menetap. Pada alveoli yang meradang, akan terkumpul sel-sel darah putih yang akan menghasilkan enzimenzim seperti neutrofil elastase, yang merusak jaringan penghubung di dalam dinding alveoli. Emfisema terbagi kepada 2 jenis yaitu sentri asinar, pan asinar.18,21 Gambar 3: Gambaran dari bronkitis kronik dan emfisema

2.4.1.4 Faktor Risiko Faktor risiko tersebut meliputi faktor intrinsik, faktor perilaku merokok dan faktor lingkungan. Faktor intrinsik yang bisa menyebabkan PPOK meliputi faktor genetik, hiperesponsifitas jalan napas dan gangguan perkembangan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa-1-antitripsin, suatu serin protease inhibitor yang berfungsi menghambat kerusakan pada dinding alveoli oleh neutrofil elastase. Hiperesponsifitas jalan napas juga bisa terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Gangguan perkembangan paru terkait dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan perkembangan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK. Faktor merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK karena prevalensi tertinggi gangguan saluran napas dan penurunan fungsi paru adalah pada perokok. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK. Faktor lingkungan yang menjadi faktor risiko terjadinya PPOK adalah polusi udara dan juga status sosioekonomi.15 2.4.1.5 Pathogenesis 17, 18 Ada tiga tahap dalam proses respirasi, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah dan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenisasi. Pada penyakit PPOK, terjadi gangguan pada proses ventilasi seperti gangguan restriksi yaitu gangguan perkembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Penurunan pada aliran ekspirasi maksimal merupakan kelainan fisiologis utama pada PPOK. Tingkat keparahan PPOK dinilai dengan kapasitas vital (KV), untuk gangguan restriksi, dan volume ekspirasi paksa detik pertama(VEP1) dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa(VEP1/ KVP).

Faktor risiko utama PPOK adalah merokok. Bahan-bahan asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan menyebabkan terjadinya kelumpuhan pada silia-silia yang melapisi bronkus. Perubahan ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dalam saluran napas. Mukus tersebut menjadi tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi purulen sehingga menyebabkan peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi mengalami obstruksi dan terhambat. Bahan-bahan asap rokok juga menyebabkan peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur penunjang di paru dan menyebabkan kehilangan elastisitas saluran udara serta kolapsnya alveolus. Komposisi seluler pada inflamasi ini dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok memicu perlepasan Neutrophil Chemotatic Factors dan elastase yang menyebabkan kerusakan jaringan tersebut. Selama eksaserbasi akut, perburukan pertukaran gas terjadi dengan ketidakseimbangan ventilasi perfusi yang berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.17, 18 Gambar 4: Patogenesis rokok menyebabkan PPOK

2.4.1.6 Diagnosis Diagnosis PPOK dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti foto toraks dan juga spirometri. Dalam anamnesis ditanyakan mengenai faktor risiko dan gejala klinis. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari ciri ciri khas bagi penyakit PPOK yang terdapat pada pasien. Pada anamnesis ditanyakan adanya faktor risiko yang penting seperti usia dan adanya riwayat pajanan terhadap asap rokok, polusi udara dan juga gejala klinis. Riwayat merokok harus juga diperhatikan jika pasian merupakan perokok aktif, perokok pasif atau bekas perokok dan penentuan derajat berat merokok dilakukan dengan Indeks Brinkman. Indeks ini ditentukan dengan perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap dalam sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat (>600).18 Gejala klinis yang sering ditemukan pada pasien PPOK adalah keluhan berkaitan dengan respirasi, seperti batuk kronik yang hilang timbul selama 3 bulan, sesak napas waktu beraktifitas dan produksi sputum yang berlebihan. Penilaian skala sesak dapat dilakukan dengan skala dari British Medical Research Council (MRC). Penilaian gejala klinis dapat juga dilakukan dengan BODE indeks yang sejurus menilai tahap penyakit berdasarkan badan, obstruksi, dyspneu dan kapasitas bersenam.15, 16, 17

Tabel 1. Skala dispneu Modified Medical Research (MRC) Skala Dispneu 1 2 Keluhan Sesak Berkaitan Aktifitas Tiada sesak kecuali dengan aktifitas berat Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga satu tingkat 3 4 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit 5 Sesak bila mandi atau berpakaian

Tabel 2. Skor Indeks BODE: 0 VEP1 % pred 6MWD (M) MMRC BMI (kg/m2) 65 350 0-1 >21 1 50-64 250-349 2 21 2 36-49 150-249 3 3 35 149 4

Jumlah skor Indeks BODE= 0 -10 unit. (VEP1 % pred = volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (prediksi); 6MWD = jarak yang ditempuh dalam waktu enam menit; MMRC= Modified Medical Research Council skala dispneu; BMI = body mass indeks

Dari pemeriksaan fisik, ditemukan ciri ciri seperti dada berbentuk tong (barrel chest) dan cara bernafas pursed lip breathing yaitu pernafasan dengan mulut seperti meniup lilin. Terlihat pengunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, retraksi pada dinding dada dan jika penyakitnya juga mengalami komplikasi seperti gagal jantung, terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai. Perkusi biasanya ditemukan hipersonor pada bagian dada dan auskultasi dapat ditentukan fremitus melemah, suara vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronkhi dan mengi. Pemeriksaan penunjang bagi PPOK adalah spirometri, di mana obstruksi dinilai berdasarkan nilai VEP1% dan VEP1/KVP %. Selain itu, foto toraks dapat menunjukkan hiperinflasi atau hiperlusen pada paru, diafragma mendatar, jantung pendulum dan ruang retrosternal yang melebar. Pemeriksaan darah rutin, analisa gas darah dan mikrobiologi sputum jugan harus dilakukan.

Tabel 3: Klasifikasi PPOK Klasifikasi penyakit Ringan Klinis Dengan atau tanpa batuk dan produksi sputum dan sesak nafas derajat 1 hingga 2 Sedang Dengan atau tanpa batuk dan produksi sputum dan sesak nafas derajat 3 Berat Sesak napas derajat 4 hingga 5 dan sering terjadi eksaserbasi Sangat Berat Sesak napas derajat 4 hingga 5 dan gagal napas kronik dan disertai kor pulmonale atau gagal jantung VEP1/KVP <70% VEP1 < 30% atau VEP1 < 50% dengan gagal napas kronik VEP1/KVP < 70% 30% VEP1 < 50% VEP1/KVP < 70% 50% VEP1 < 80% Spirometri VEP1 80% (nilai normal spirometri) VEP1/KVP < 70%

2.4.1.7. Penatalaksanaan Tujuan dari penatalaksanaan PPOK adalah untuk meredakan gejala, mencegah perkembangan penyakit, meningkatkan toleransi untuk melakukan aktifitas, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan mengobati komplikasi dan eksaserbasi, mengurangi morbiditas dan untuk mencegah atau meminimalkan efek samping dari pengobatan. Tujuan ini bisa tercapai dengan melaksanakan program penatalaksanaan PPOK yang memiliki empat komponen, yaitu mengevaluasi dan memantau penyakit, mengurangi faktor risiko, menangani PPOK stabil dan menangani eksaserbasi. 19

Bagi mengurangi faktor risiko, pemberhentian merokok adalah langkah yang paling efektif untuk mengurangi risiko mengidap penyakit PPOK dan juga bagi menghambat progresi penyakitnya. Untuk menangani pasien PPOK agar stabil, pemberian pengobatan tertentu dapat melaksanakan tugas tersebut. Penanganan tersebut dapat dilakukan di rumah bagi eksaserbasi yang ringan atau di rumah sakit bagi eksaserbasi yang sedang dan berat. Antara pengobatan yang lebih dipilih pada terapi PPOK adalah shortacting inhaled 2-agonists seperti salbutamol. Obat ini meningkatkan jumlah cyclic adenosine monophosphate (AMP) di dalam sel dan menyebabkan relaksasi otot polos di dalam saluran napas. Jika tidak ada respon segera dari obat ini, direkomendasikan menambahkan obat antikolinergik yang bertindak dalam waktu singkat, seperti iprotropium, yang berfungsi untuk menghambat reseptor muskarinik yang berperanan penting dalam patofisiologi PPOK. Pemberian anti kolinergik yang long-acting, seperti tiotropium, adalah sangat efektif dalam menginduksi bronkodilasi yang lebih lama dan pengurangan volume paru pada pasien dengan PPOK. 19, 20 Tambahan terapi yang direkomendasikan pada kasus eksaserbasi PPOK adalah kotikosteroid. Glukokortikoid bertindak pada beberapa bagian dalam kaskade inflamasi. Pengobatan reguler dengan kortikosteroid tidak memodifikasi penurunan jangka panjang pada VEP1 tapi dapat menurunkan frekuensi eksaserbasi dan sejurus meningkatkan status kesehatan bagi pasien dengan gejala VEP1 < 50%. Namun, pengobatan dengan kortikosteroid meningkatkan kemungkinan terjadinya pneumonia pada pasien tersebut.17, 18 Pada eksaserbasi akut, terapi oksigen adalah hal yang pertama dan utama untuk mencegah hipoksemia. Tingkat oksigenasasi yang adekuat adalah PaO2 > 8.0 kPa, 60 mgHg atau SaO2 > 90%. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai tahap oksigenisasi yang memuaskan, ventilasi mekanik harus digunakan. Tujuan utama ventilasi mekanik adalah untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala dan terdiri dari ventilasi non invasif atau yang invasif (orotracheal tube atau trakeostomi).

Pada pasien dengan penyakit PPOK berat dan sangat berat dengan riwayat eksaserbasi yang sering, pemberian phosphodiesteraste-4 inhibitor mengurangkan eksaserbasi yang diobati dengan kortikosteroid oral. Pemberian antibiotik tidak disarankan kecuali untuk pengobatan eksaserbasi yang menular dan infeksi bakteri yang lain. Pemberian mukolitik hanya bersifat simptomatik dan keuntungan secara keseluruhannya bagi PPOK adalah sangat minimal.15 Gambar 5: Penatalaksanaan
Semua Pasien (Spirometri)

Pola hidup sehat Immunisasi

Berhenti merokok

VEP1/KVP <0,7 VEP1 prediksi >80% VEP1 prediksi <80%

Berisiko Edukasi pasien Follow up

Indeks BODE (BMI, VEP1%, MMRC, 6MWD)

BODE = 0 - 2

BODE = 3 - 4

BODE = 5 - 6

BODE = 7 - 10

Ringan Obati obstruksi Edukasi pasien Pantau respons

Sedang Obati obstruksi Edukasi pasien Pantau respons

Berat Obati obstruksi Edukasi pasien Pantau respons Menilai kadar petukaran gas

Sangat Berat Obati obstruksi Edukasi pasien Pantau respons Menilai dan mengobati hipoksemia

Pertimbangkan rehabilitasi

Rehabilitasi

Menilai untuk reduksi volume paru Atau Transplan paru

2.4.2.

Tumor Paru

2.4.2.1. Definisi Tumor paru, atau kanker paru, adalah penyakit keganasan paru yang terjadi akibat mutasi sel normal menjadi sel ganas.16 Pada tubuh terdapat sistem pengaturan yang menghasilkan sel baru apabila diperlukan. Gangguan pada sistem ini menyebabkan divisi yang tidak terkendali dan proliferasi sel tersebut akhirnya membentuk tumor.21, 24 Antara gejala- gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini adalah batuk, hemoptisis, nyeri dada, sesak nafas, mengi, efusi pleura, penurunan berat badan, anoreksia dan demam.

2.4.2.2. Epidemiologi Tumor paru tidak begitu sering ditemukan sebelum 1920 tetapi stastistik pada tahun 1990an menunjukkan bahwa tumor paru merupakan penyebab kematian nomor satu di kalangan penyakit kanker lain, diikuti tumor gaster, tumor colorectal dan tumor hati. Insidens puncak kanker paru adalah antara usia 55 dan 65 dan perbandingan laki-laki terhadap wanita adalah 2:1. 2.4.2.3. Klasifikasi 25, 27 A) Histologi Klasifikasi histologi terbagi kepada: a) Karsinoma paru sel kecil SCLC Karsinoma ini merupakan tumor agresif yan menginvasi saluran limfe dan pembuluh darah. Tipe karsinoma ini lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita dan sangat sensitif terhadap kemoterapi dan radioterapi. Prevalensi karsinoma tipe ini hanya 10.6% di Qatar berdasarkan penelitian oleh Ibrahim et al pada tahun 2010.23

b) Karsinoma bukan sel kecil a. Adenokarsinoma Karsinoma tipe ini sering terjadi pada wanita, bukan perokok dan pasien berusia hurang dari 45 tahun. Tipe ini sering terletak pada bagian perifer paru dan tumbuh lambat serta membentuk massa yang lebih kecil dari tipe yang lain, tetapi tumor ini cenderung bermetastasis luas pada stadium awal.24, 25 Menurut.penelitian Ibrahim et al di Qatar in 1998 to 2005, tipe karsinoma ini adalah yang paling sering dijumpai yaitu dengan nilai 43,9%. b. Karsinoma sel skuamous Karsinoma ini lebih sering dijumpai pada laki-laki berbanding wanita dan paling sering terjadi pada perokok. Menurut.penelitian Ibrahim et al di Qatar in 1998 to 2005, 25,8% dari kasus karsinoma adalah tipe karsinoma ini.23 c. Karsinoma sel besar Karsinoma ini umumnya terletak di daerah perifer, berbatasan dengan pleura. Menurut.penelitian Ibrahim et al di Qatar in 1998 to 2005, 7,6% dari kasus karsinoma adalah tipe karsinoma ini.23 B) Letak Klasifikasi berdasarkan letak: a) Karsinoma sentral yang timbul dalam bronkus susunan pertama kedua atau ketiga dekat hilus paru. b) Karsinoma perifer timbul berhubungan bronkus kecil, bronkiolus atau alveolus. C) Stadium Pembagian stadium klinis kanker paru berdasarkan sistem TNM menurut International Union Against (IUAC)/The American Joint Comittee on Cancer (AJCC) 1997 adalah sebagai berikut:25,27

Stadium Karsinoma Tersembunyi Stadium 0 Stadium IA Stadium IB Stadium IIA Stadium IIB

TNM Tx, N0, M0 Tis. N0, M0 T1, N0, M0 T2, N0, M0 T1, N1, M0 T2, N1, M0 T3, N0, M0

Stadium IIIA

T3, N1, M0 T1,2,3 N2, M0

Stadium IIIB

T1,2,3,4 N3, M0 T4, N1,2,3 M0

Stadium IV

T1,2,3,4 N1,2,3 M1

Keterangan : Status Tumor Primer (T) T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer. Tx : Kanker yang tersembunyi terlihat pada sitologi bilasan bronkus, mmllltetapi tidak terlihat pada radiogram atau bronkoskopi. Tis : Karsinoma in situ. T1 : Tumor berdiameter 3 cm dikelilingi paru atau pleura viseralis yang normal. T2 : Tumor berdiameter > 3 cm atau ukuran berapa pun yang sudah menyerang llllllllpleura viseralis atau mengakibatkan ateletaksis yang meluas ke hilus; harus llllllllberjarak > 2 cm distal dari karina. T3 : Tumor ukuran berapa saja yang langsung meluas ke dinding dada, diafragma, mmlpleura mediastinalis, dan perikardium parietal atau tumor di bronkus utama mmlyang terletak 2 cm dari distal karina, tetapi tidak melibatkan karina, tanpa mmlmengenai jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, atau korpus mmlvertebra. aa

T4 : Tumor ukuran berapa saja dan meluas ke mediastinum, jantung, mmmpembuluh darah besar, trakea, esofagus, korpus vertebra, rongga mmmpleura/perikardium yang disertai efusi pleura/perikardium, satelit

mmmnodul ipsilateral pada lobus yang sama pada tumor primer.

Keterlibatan Kelenjar Getah Bening Regional (N) N0 : Tidak dapat terlihat metastasis pada kelenjar getah bening regional. N1 : Metastasis pada peribronkial dan/atau kelenjar hilus ipsilateral. N2: Metastasis pada mediastinal ipsilateral atau kelenjar getah bening mmmsubkarina. N3: Metastasis pada mediastinal atau kelenjar getah bening hilus

mmmlkontralateral; kelenjar getah bening skalenus atau supraklavikular mmmlipsilateral atau kontralateral. Metastasis Jauh (M) M0 : Tidak diketahui adanya metastasis jauh. M1 : Metastasis jauh terdapat pada tempat tertentu misalnya otak 2.4.2.4 Faktor Risiko 24, 27 Terdapat beberapa faktor yang boleh meningkatkan kemungkinan terjadi penyakit tumor paru ini: a) Jenis kelamin Penyakit ini lebih cenderung ditemukan pada laki-laki dibanding wanita seperti yang ditemukan oleh Ibrahim et al pada tahun 2010 di Qatar in 19982005, 88,6% penderita tumor paru adalah laki-laki dan sebanyak 11,4% adalah perempuan. b) Usia Penelitian juga menunjukkan bahwa 93,5% pasien tumor paru berusia di atas 40 tahun.23

c) Merokok Risiko terjadinya tumor paru dihubungkan dengan faktor-faktor seperti jumlah batang rokok yang dihisap, usia seseorang saat mulai menghisap rokok dan lama seseorang merokok selama hidupnya. Berdasarkan penelitian, pasien tumor paru yang memiliki riwayat merokok adalah di atas 80%. d) Pengaruh pajanan industri Terdapat juga bahan-bahan industri yang dapat menyebabkan terjadinya tumor, yang paling sering dihubungkan adalah asbestos. Selain asbestos, paparan yang sering dengan klorometil eter, bisklorometil eter, biji kromit dan juga arsenik dikaitkan dengan peningkatan insidens tumor paru. e) Polusi udara Paparan yang sering kepada udara yang terpolusi meningkatkan risiko kejadian tumor paru sebanyak 47%.21 f) Pengaruh genetik Onkogen yang berperanan dalam proses karsinogenik paru adalah seperti gen myc, gen k-ras dan kelainan pada gen tumor suppresor p53 dan gen rb. Pada tahap kromosom, perubahan sering ditemukan pada lokasi 1p, 3p dan 9p.24. 26 g) Pengaruh penyakit lain. Penyakit penyakit seperti penyakit tuberkulosis paru, sarkoidosis, fibrosis pulmo dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) diduga dapat menyebabkan terjadinya tumor paru. 2.4.2.5 Diagnosis 26, 27 Diagnosis tumor paru ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan foto toraks, pemeriksaan sitologi dan pemeriksaan histopatologi. Daripada anamnesis, gejala klinis seperti batuk, demam, hemoptisis (batuk berdarah), sesak napas, nyeri dada, penurunan berat badan, disfagia, dan kakeksia bisa ditemukan, serta riwayat keluarga untuk penyakit kanker.

Pemeriksaan foto standard posterior-anterior (PA) dan lateral dilakukan. Namun tumor paru dapat dilewatkan jika tumornya kecil atau tersembunyi di balik rusuk, tulang leher atau dada. Foto toraks sangat berguna bagi mendeteksi kelainan selain tumor yang berkaitan dengan tumor paru seperti efusi pleura. Pemeriksaan CT lebih efektif dalam mengidentifikasi lokasi, saiz, dan bentuk tumor paru yang kecil.27 Pemeriksaan sitologi sputum dikerjakan apabila pasien mengeluh batuk namun tidak sering memberikan hasil positif. Pemeriksaan histopatologi merupakan gold standard bagi diagnosis tumor paru melalui biopsi dengan bronkoskopi, trans torakal needla aspiration, torakoskopi, mediastinoskopi, torakotomi. 2.4.2.6 Penatalaksanaan Penatalaksaan penyakit tumor paru adalah melalui combined modality therapy seperti dengan pembedahan, radioterapi dan kemoterapi. Indikasi pembedahan pada tumor paru dilakukan pada kanker paru yang tumbuh terbatas pada paru yaitu stadium I (T1 N0 M0 atau T2 N0 M0), kecuali pada kanker paru jenis SCLC. Bagi SCLC, pembedahan dilakukan pada stadium terbatas yang pasca kemoterapi. Radioterapi dilakukan dengan menggunakan sinar X untuk membunuh sel kanker. Kemoterapi merupakan terapi yang paling umum diberikan pada stadium lanjut dan SCLC karena kemoterapi menggangu pola pertumbuhan tumor.

Anda mungkin juga menyukai