Anda di halaman 1dari 23

1 I.

PENDAHULUAN Mioma uteri dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid ataupun leiomioma merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpanginya.1 Sering ditemukan pada wanita usia reproduksi (20-25%), dimana prevalensi mioma uteri meningkat lebih dari 70 % dengan pemeriksaan patologi anatomi uterus, membuktikan banyak wanita yang menderita mioma uteri asimptomatik. Walaupun jarang terjadi mioma uteri biasa berubah menjadi malignansi (<1%). Gejala mioma uteri secara medis dan sosial cukup meningkatkan morbiditas, disini termasuk menoragia, ketidaknyamanan daerah pelvis, dan disfungsi reproduksi.1,2 Kejadiannya lebih tinggi pada usia di atas 35 tahun, yaitu mendekati angka 40 %. Tingginya kejadian mioma uteri antara usia 35-50 tahun, menunjukkan adanya hubungan mioma uteri dengan estrogen. Mioma uteri dilaporkan belum pernah terjadi sebelum menarke dan menopause. Di Indonesia angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,39%-11,87% dari semua penderita ginekologi yang dirawat. Di USA warna kulit hitam 3-9 kali lebih tinggi menderita mioma uteri.3,4 Menoragia yang disebabkan mioma uteri menimbulkan masalah medis dan sosial pada wanita. Mioma uteri terdapat pada wanita di usia reproduktif, pengobatan yang dapat dilakukan adalah histerektomi, dimana mioma uteri merupakan indikasi yang paling sering untuk dilakukan histerektomi di USA (1/3 dari seluruh angka histerektomi).5 Mioma uteri ini menimbulkan masalah besar dalam kesehatan dan terapi yang paling efektif belum didapatkan, karena sedikit sekali informasi mengenai etiologi mioma uteri itu sendiri. Baru-baru ini penelitian sitogenetik, molekuler dan epidemiologi mendapatkan peranan besar komponen genetik dalam patogenesis dan patobiologi mioma uteri. Tinjauan pustaka ini bertujuan membahas peranan biomolekuler terhadap terjadinya mioma uteri, serta hubungannya dalam penatalaksanaan mioma uteri yang lebih baik.

2 II. PATOLOGI ANATOMI Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uteri (1-3%) dan selebihnya adalah dari korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara lain: 1. Mioma submukosa 2. Mioma intramural 3. Mioma subserosa 4. Mioma intraligamenter

Gambar 1. Gambar Jenis-jenis mioma uterus

Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%), subserosa (48%), submukosa (6,1%) dan jenis intraligamenter (4,4%)3 1. Mioma submukosa Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Jenis ini dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma jenis lain meskipun besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma submukosa, walaupun kecil sering memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai currete bump dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai tumor.

3 Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis mioma submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal dengan nama mioma geburt atau mioma yang dilahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi dan infark. Pada beberapa kasus, penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena proses di atas. 2. Mioma intramural Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk simpai yang mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai banyak mioma, maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol dengan konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih ke atas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi. 3. Mioma subserosa Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di antara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter. 4. Mioma intraligamenter Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke ligamentum atau omentum kemudian membebaskan diri dari uterus sehingga disebut wondering parasitis fibroid. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada servik dapat menonjol ke dalam satu saluran servik sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri dari bekas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti kumparan (whorie like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena pertumbuhan.

Gambar 1. Representasi gambar uterus normal dan struktur vaskulernya A. Pelebaran pembuluh darah pada endometrium dan miometrium pada uterus normal B. Pelebaran pembuluh darah obstruksi fisik pada pembuluh darah uterus miomatosus Dikutip dari Gross Karen L,BA 20

III. PATOGENESIS DAN ASPEK BIOMOLEKULER Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri saat ini belum diketahui. Karena mioma uteri banyak ditemukan pada usia reproduktif dan angka kejadiannya rendah pada usia menopause, belum pernah terjadi sebelum menarche, maka diduga penyebabnya timbulnya mioma uteri paling banyak oleh stimulasi hormon estrogen.3 Pukka menemukan bahwa reseptor estrogen pada mioma uteri lebih banyak didapatkan dibandingkan dengan miometrium normal. Meyer, de Snoo mengemukan patogenesis mioma uteri dengan teori cell nest dan genitoblast.6 Apakah estrogen secara langsung memicu pertumbuhan mioma uteri atau memakai mediator masih menimbulkan silang pendapat. Dimana telah ditemukan banyak sekali mediator di dalam mioma uteri, seperti estrogen growth factor, insulin growth factor-l,(IGF-l), connexsin-43-Gap function protein dan marker proliferasi.4,7 Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan kromosom baik secara parsial maupun secara keseluruhan. Aberasi kromosom ditemukan pada 23-50% dari mioma uteri yang diperiksa dan yang terbanyak (36,6%) ditemukan pada kromosom

5 7(del(7)(q 21)/q 21 q 32). Keberhasilan pengobatan medikamentosa mioma uteri sangat tergantung apakah telah terjadi perubahan pada kromosom atau tidak.2,5

A. Perubahan Sitogenetik Mioma Uteri Analisis sitogenetik dari hasil pembelahan mioma uteri telah menghasilkan penemuan yang baru. Diperkirakan 40% mioma uteri memiliki abnormalitas kromosom non random. Abnormalitas ini dapat dibagi menjadi 6 subgrup sitogenetik yang utama termasuk translokasi antara kromosom 12 dan 14, trisomi 12, penyusunan kembali lengan pendek kromosom 6 dan lengan panjang kromosom 10 dan delesi kromosom 3 dan 7.8,11 Penting untuk diketahui mayoritas mioma uteri memiliki susunan kromosom yang normal. Muncul pertanyaan dari klasifikasi mioma uteri dengan kariotif abnormal, apakah terdapat hubungan antara genotip tumor dengan fenotip klinis. Beberapa penelitian telah menunjukan adanya rearrangements karyotype berhubungan dengan ukuran tumor yang lebih besar sesuai dengan lokasi anatomis.12,13 Arein, dkk menemukan bahwa tumor dengan delesi kromosom 7 rata-rata lebih kecil dari daripada tumor dengan penyusunan kembali kromosom 12 (5 vs 8,5 cm), tetapi ekivalen dengan ukuran tumor yang memiliki kariotip normal (5,4 cm). Hasil-hasil ini dikonfirmasikan oleh Kernig dkk. Lebih jauh lagi mioma uteri submukosa ditemukan oleh Brosens dkk13 memiliki perubahan yang lebih sedikit (12%) daripada intramural (35%) atau tumor subserosa (29%). Tidak ditemukan hubungan antara abnormalitas sitogenetik dan usia penderita atau paritas. Beraneka ragam perubahan kromosom ditemukan pada mioma uteri, yang paling sering terjadi yaitu: translokasi, trisomi dan delesi, menyebabkan mekanisme pertumbuhan tumor yang multipel, contohnya translokasi dapat juga meningkatkan atau menurunkan ekspresi gen melalui posisi juxta pada seluruh bagian gen disamping elemen regular ektopik. Sebagai pilihan translokasi yang menyetop fungsi seluruh protein atau diterjemahkan ke protein chimeraic novel yang fungsional. Trisomi biasanya meningkatkan ekspresi gen melalui peningkatan dosis gen, dimana paling sering terjadi delesi kromosom pada gen kehilangan fungsinya. Maka itu perbedaan perbedaan tipe abnormalitas kromosom berada pada mioma uteri dapat

6 memprediksikan genetik heterogen apa yang mempercepat perkembangan dan pertumbuhan tumor. Penelitian-penelitian mengindentifikasikan gen yang berperanan dalam perubahan sitogenetik ini. 1. Subgrup t (12,14) Translokasi kromosom yang paling sering pada mioma uteri yaitu, t(12,14)(q14q15;q23-q24) diperkirakan terdapat pada 20% mioma uteri dengan perubahan kariotip.10 Pasangan kromosom 12 lain yang paling sering mengalami translokasi termasuk kromosom 2,4,22 dan x.15 Bagian q14-q15 pada kromosom 12juga ditemukan pada tumor mesenkim lainnya seperti; fibroadenoma mammae, polip endometrium, lipoma dll. Kloning pada posisi 12q14-q15 dimulai dengan perkembangan high density physical map dan dihasilkan dari indentifikasi Yeast Artifician

Chromosome (YAC) yang meningkatkan translokasi 12q15 pada mioma uteri HMGIC, grup protein dengan densitas tinggi yang dipetakan ke kloning YAC ini, menjadi gen yang berpotensial menarik karena penelitian pada tikus mengidentifikasikan bahwa HMGIC adalah DNA binding protein yang terlbat dalam proliferasi seluler dan pada diferensiasi jaringan mesenkim, termasuk jaringan adiposa. Sebagai contoh, ekspresi HMGIC disebut fenotip pygmy bermanifestasi pengurangan berat 40% dan pada hipoplasia adiposit, fibroblast tikus menunjukkan penurunan empat kali lipat aktifitas proliferasi.16 Terlebih lsgi penelitian molekular telah menemukan ekspresi HMGIC pada mioma uteri dibandingkan ekspresi yang tidak dapat dideteksi pada miometrium yang normal. Bagian kromosom 14 terlibat dalam mioma uteri dengan t(12,14) menarik perhatian karena spesifitasnya pada mioma uteri dibandingkan dengan tumor mesenkim lainnya, dimana terjadi perubahan HMGIC. Reseptor gen estrogen (ESR 2), yang berada pada lengan panjang kromosom 14 (14q23-24) sangat berarti karena pertumbuhan mioma uteri responsif terhadap estrogen.

Bagaimanapun lokus ESR 2 dipetakan kira-kira 2 megabas (MB) dari t(12,14) dan analisis ekspresi tidak mengubah perbedaan transkripsi level ESR 2 antara mioma uteri dengan dan tanpa t(12,14). Demikian juga ESR 2 tidak terganggu pada tumor dengan t(12,14) yang dianalisa dengan hibridisasi fluoroscence insitu, dari

7 hasil ini bukan berarti ESR 2 pada mioma uteri disebabkan kesalahan ekspresi lainnya atau sebagai pasangan translokasi posisi HMGIC pada mioma uteri dengan t(12,14), namun demikian perkiraan fisiknya ke t(12,14) belum dapat dibuktikan bermakna sebagai mekanisme yang mendasari patogenesis dan patologi mioma uteri. 2. Subgrup 6p21 Ketika HMGIC ditemukan terlibat dalam kromosom subgrup 12 pada mioma uteri, HMGIY segera dikenali sebagai protein mobilitas tinggi berhubungan dengan HMGIC yang berada di lengan pendek kromosom 6(6p 21) dapat berperanan dalam perubahan 6p21 pada mioma uteri. Hibridisasi Flourescence insitu telah mengkonfirmasi bahwa HMGIY terlibat dalam perubahan ini. Lebih jauh lagi peningkatan ekspresi HMGIY ditemukan pada mioma uteri tanpa perubahan sitogenetik pada kromosom 6 pada tumor dengan perubahan kromosom lainnya dan pada tumor dengan kariotip yang normal. Perubahan 6p21, termasuk translokasi dengan kromosom 1,2,4,10 dan 14 seperti inversi dan translokasi dengan kromosom lainnya, terjadi <10 % mioma uteri dengan kariotip yang abnormal. 3. Grup Protein Mobilitas Tinggi HMGIC dan HMGI(Y) termasuk dalam grup mobilitas tinggi. Protein grup mobilitas tinggi, jumlah banyak, nonhistone, DNA binding protein yang secara tidak langsung mengatur aktifitas beraneka DNA dependent, seperti transkripsi, dengan menyediakan faktor-faktor arsitektur. Protein grup mobilitas tinggi dikelompokkan berdasarkan fungsinya ke dalam 3 kelas, HMGI/2 HMG-14/HMG 17, HMG I. HMG I terdiri dari 3 protein; HMGI-C berperanan dalam proliferasi dan diferensiasi sel. Ikatan protein HMG I dapat menginduksi perubahan DNA, kemudian mempengaruhi akses protein binding DNA lainnya. Lebih jauh lagi domain c terminal berinteraksi dengan protein lainnya, contohnya faktor transkripsi. Dengan cara ini protein HMG I dapat secara tidak langsung transkripsi, contohnya perubahan yang terjadi diinduksi oleh ikatan HMGI(Y) telah diketahui menghubungkan transkripsi interferon . HMGIY telah terlihat mempengaruhi

8 transkripsi gen lainnya termasuk tumor necrosis factor , E Selectin, IL-2 receptor , chemokine, MgSA/GRO, CD44 cell adhesion protein dan sintesis nitric acid yang dapat direduksi. Akhir akhir ini level sintese nitric oxide endotel terlihat dari imunostaining yang secara bermakna lebih tinggi pada sel-sel otot polos daripada sel otot polos yang normal. Nitric Oxide mempengaruhi neovaskularisasi tumor yang estrogen dependent. Dapat ditentukan bila ada korelasi antara ekspresi induksi sintese nitric oxide dan level disregulasi protein HMGI pada mioma uteri dengan perubahan gen HMGI. Kesamaannya, hubungan antara ekspresi HMGI dan perubahan ekspresi gen lainnya yang diatur protein HMGI belum terlihat pada mioma uteri. HMGI(Y) juga dapat menghambat transkripsi dengan menginterupsi resesi transkripsi histone. 4. Subgrup Del(7)(q22q32) Delesi kromosom 7, del(7)(q22q32) terdapat pada 17 % mioma uteri dengan kariotip yang abnormal.

B. Biomolekuler perdarahan pada mioma uteri Pada penelitian klasik ditemukan perubahan fundamental struktur vaskuler uterus miomatosus. Dengan kemajuan era molekuler ditemukan mekanisme angiogenesis pada uterus yang didukung dengan didapatkannya disregulasi Local Vasoactive growth factor atau growth factor receptors pada miometrium mioma uteri. Walaupun ekstasia vena merupakan karakteristik kelainan pembuluh darah pada mioma uteri, kelainan multipel pada arteri, vena dan matriks ekstraseluler (ECM) disekelilingnya kemungkian juga menjadi penyebab kelainan heterogen ini.

Pengertian disregulasi tidak hanya menerangkan patofisiologi masalah klinis, tapi juga mengarah ke penatalaksanaan yang inovatif. Pada siklus menstruasi normal, perubahan siklik estrogen dan progesteron akan mempengaruhi stroma dan glandular endometrium. Perubahan morfologi glandular dan stroma ini diikuti dengan perubahan struktur vaskular, dimana perubahan ini dimulai dari miometrium sampai sampai ke endometrium melepaskan cabang arteri radialis yang menjadi berkelok-kelok dan disebut arteri spiralis yang masuk ke dalam endometrium. Arteri spiralistidak seperti arteri basalis peka terhadap estrogen dan

9 progesteron. Menstruasi merupakan fase iskemik dengan karakteristik vasokonstriksi arteri spiralis ini dan perdarahan terjadi setelah pembuluh darah relaksasi. Komponen darah termasuk faktor pembekuan dan platelet muncul untuk membentuk bekuan yang membatasi kehilangan darah sampai regenerasi selesai. Menurunnya hormon steroid menyebabkan disrupsi sel-sel endometrium dan extracellular matrix (ECM). Kelainan ekspresi molekul desmoplakin I II, E-cadherm,

dan -catenins dan hilangnya F-actin terjadi hanya pada lapisan fungsional pada
peristiwa menstruasi. Apoptosis meningkat perlahan pada fase sekretori di glandular endometrium dan menyiapkan jaringan untuk disrupsi. Sesudah lapisan fungsional lepas, terjadi regenerasi dimulai dari basal endometrium, ketika terjadi kontak langsung dengan miometrium timbul mekanisme dimana growth factor

mempengaruhi regenerasi endometrium pada sistem parakrin. Proses siklis angiogenesis, pembentukan pembuluh darah baru, pada ovarium dan uterus sangat unik dan sulit dimengerti. Angiogenesis pada pembentukan tumor memiliki proses patologi seperti pada penyembuhan luka. Dimana terjadi interaksi antara pembuluh darah dan ECM disekitarnya. Proses yang terjadi dalam angiogenesis adalah penghancuran membran basalis, migrasi sel endotel, proliferasi sel endotel, pembentukan tabung kapiler, diikuti stabilisasi (gambar 2). Degradasi membran basalis melibatkan stromelysin, kolagen dan enzim-enzim lainnya untuk menghancurkan elemen ECM. Sel endotel dapat bermigrasi ke ujung pembuluh darah. Proses migrasi didukung lingkungan yang banyak mengandung kolagen tipe I dan tipe III dan dirangsang oleh basic fibroblast growth factor (bFGF). Protein ECM ini juga muncul dan berperanan penting dalam proses proliferasi. Pembentukan lumen dan stabilisasi juga dipengaruhi komponen ECM.

10

Gambar 2. Komponen ECM, kolagen IV dan V, serta laminin dihubungkan

dengan basal membran dan

masuk kedalam suatu tempat yang banyak mengandung kolagen interstitial I,III, dan fibronektin yang membantu proses migrasi. Proliferasi terjadi 24 jam setelah migrasi. Angiogenik ini

mengadakan vakuolisasi untuk membentuk lumen kapiler. Ketika proses stabilisasi tuba terjadi, membran basalis baru terbentuk disekitar kapiler Dikutip dari Gross Karen L,BA20

Diperkirakan 30% wanita mengalami kelainan menstruasi, menoragia atau menstruasi yang lebih sering. Tidak ditemukan bukti yang menyatakan perdarahan ini berhubungan dengan peningkatan luas permukaan endometrium atau karena

meningkatnya insiden disfungsi ovulasi. Teori yang menjelaskan perdarahan yang disebabkan mioma uteri menyatakan terjadinya perubahan struktur vena pada endometrium dan miometrium yang menyebabkan terjadinya venule ectasia. Miometrium merupakan wadah bagi faktor endokrin dan parakrin dalam mengatur fungsi endometrium. Aposisi kedua jaringan ini dan aliran darah langsung dari miometrium ke endometrium memfasilitasi interaksi ini. Growth factor yang merangsang

11 stimulasi angiogenesis atau relaksasi tonus vaskuler dan yang memiliki reseptor pada mioma uteri dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal dan menjadi target terapi potensial. Sebagai pilihan, berkurangnya angiogenik inhibitory factors atau

vasoconstricting factor dan reseptornya pada mioma uteri dapat juga menyebabkan perdarahan uterus yang abnormal. Telah jelas bahwa ada perbedaan sejumlah gen pada mioma uteri dengan miometrium yang normal. Terdapat peningkatan reseptor estrogen dan progesteron serta enzim aromatase pada mioma uteri dibandingkan dengan miometrium. Mioma uteri juga meningkatkan reseptor insulin like growth factor (IGF-I) dan mRNA IGF-II dan telah meningkatkan TGF-3 enam kali lipat dibandingkan dengan miometrium. Selain itu didapatkan juga peningkatan mRNA dan protein for parathyroid hormon related protein (PTHrP) dan bFGF (Weir dkk,1994;Mangrulkar dkk,1995) Protein yang ada pada mioma uteri mengalami fase siklus menstruasi yang spesifik lebih banyak dibanding miometrium yang normal. Laboratorium telah menunjukkan mRNA kolagen tipe I dan kolagen tipe III meningkat relatif pada mioma uteri hanya terjadi pada fase proliferatif siklus epidermal Growth Factor (EGF) mRNA telah terlihat meningkat relatif pada fase luteal siklus dibandingkan dengan miometrium (Harrison-Woolrych dkk,1994). Penelitian terbaru mengatakan bahwa reseptor EGF dapat diturunkan pada mioma uteri sejak penelitian lain yang berkaitan menyatakan adanya penurunan ikatan tersebut pada mioma uteri dibandingkan miometrium normal. Faktor-faktor pertumbuhanataupun reseptornya yang diregulasi berbeda pada mioma uteri atau endometrium uterus miomatosus, merupakan mediator yang potensial pada mioma uteri yang disertai komplikasi. Faktor-faktor yang diregulasi berbeda, yang telah diketahui berperanan pada jaringan vaskuler dengan cara meningkatkan proliferasi atau perubahan kapiler pembuluh darah, yang berpotensi menyebabkan mioma uteri dengan gejala menoragia. Faktor-faktor yang memenuhi semua kriteria termasuk basic fibroblast growth factor (bFGF), vascular endothelial growth factor (VEGF), heparin binding epidermal growth factor (HBEGF), platelet derived growth factor (PDGF), TGF-, PTHrP dan prolaktin. Keempat faktor ini (bFGF,VEGF,HBEGF,PDGF) milik heparin binding group of growth factors. Sejak faktor-faktor ini berikatan dengan heparin sulfat proteoglycans yang ditemukan di ECM, mioma uteri, dengan muatan ECM yang besar, dapat dijadikan

12 wadah bagi faktor-faktor ini. Kedua faktor bFGF dan VEGF mengatur fungsi sel endotel, maka itu migrasi sel endotel vital ditingkatkan ke proses angiogenik. HBEGF dan PDGF mengatur fibroblast dan fungsi sel otot polos dan dapat mempengaruhi vaskularisasi otot polos mioma uteri, sel miometrium ataupun sel stroma endometrium. PTHrP dapat berfungsi sebagai vasodilator secara tidak langsung dengan aksi pada ECM atau secara langsung pada pembuluh darah. TGF- berfungsi pada banyak tipe sel dan prolaktin, ketika membelah, berfungsi sebagai penghambat angiogenesis. Maka itu faktor ini memiliki aksi yang potensial dalam mengatur fungsi vaskuler di uterus. 1. Basic Fibroblast Growth Factor Merupakan protein 18 kd yang meningkatkan angiogenesis melalui sejumlah mekanisme termasuk induksi proliferasi sel endotel, Chemotaxis dan produksi matrix remodelling enzym seperti kolagenase dan aktivator plasminogen.Terapi estradiol merangsang BFGF like activity, yang hilang ketika sel diterapi dengan progesteron model ini meniru pengaturan pengaruh hormon terhadap angiogenesis invivo. BFGF juga telah menjadi mitogen besar yang menyebabkan proliferasi sel otot polos sesudah perdarahan. 2. Vascular endothelial growth factor VEGF merupakan growth factor angiogenic yang merupakan mitogen poten sel-sel endotelial, ditemukan spesifik muncul pada siklus menstruasi fase proliferatif. VEGF mRNA juga dideteksi pada miometrium dengan hibridisasi intensitas kuat pada batas endometrium dan miometrium. Pada uterus manusia level VEGF ditemukan sama pada miometrium dan mioma uteri dan tidak memiliki variabilitas siklus menstruasi yang bermakna. 3. Heparin-binding epidermal growth factor HBEGF merupakan peptida 22-kd yang berfungsi sebagai mitogen pada fibroblas dan sel otot polos dengan EGF-R pada sel-sel otot polos memilih afinitas yang lebih besar daripad EGF, maka itu mitogennya lebih poten. Ekspresi meningkat pada tempat penyembuhan luka. HBEGF terdapat di endometrium dengan pengaturan yang berbeda pada endometrium dengan peningkatan ekspresi berhubungan dengan proliferasi tipe sel uterus, maka itu HBEGF mungkin merupakan mediator aktifitas hormon steroid pada uterus. Dari hasil analisa ekspresi pada EGF-R pada

13 endometrium manusia menujukkan bahwa sel epitel mengekspresikan reseptor melalui siklus menstruasi, sementara sel stroma menunjukkan ekspresi hanya selama fase sekretori. 4. Platelet-derived growth factor PDGF merupakan faktor pertumbuhan dengan homodimeric (AA dan BB) dan heterodimeric (AB) membentuk rantai dengan ikatan disulfid. Dua reseptor PDGF telah diidentifikasi PDGF yang mengikat ketiga hormon dimeric dan PDGF yang mengikat hanya BB isoform dengan afinitas tinggi. Kedua reseptor merupakan tirosin kinase. PDGF berfungsi sebagai mitogen dan chemoattractant sel otot polos dan fibroblas. Imunochemistry pada rantai PDGF memiliki level sama antara mioma uteri dan sel otot polos intensitas staing sama pada miometrium dan leiomioma.

IV. GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS A. Gejala Klinis Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung dari lokasi, arah pertumbuhan, jenis, besar dan jumlah mioma. Hanya dijumpai pada 20-50% saja mioma uteri menimbulkan keluhan, sedangkan sisanya tidak mengeluh apapun. Hipermenore, menometroragia adalah merupakan gejala klasik dari mioma uteri. Dari penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 penderita ditemukan 44 % gejala perdarahan, yang paling sering adalah jenis mioma submukosa, sekitar 65% wanita dengan mioma mengeluh dismenore, nyeri perut bagian bawah, serta nyeri pinggang. Tergantung dari lokasi dan arah pertumbuhan mioma, maka kandung kemih, ureter dan usus dapat terganggu, dimana peneliti menemukan keluhan disuri (14%), keluhan obstipasi (13%). Mioma uteri sebagai penyebab infertilitas hanya dijumpai pada 2-10% kasus. Infertilitas terjadi sebagai akibat obstruksi mekanis tuba falopi. Abortus spontan dapat terjadi bila mioma menghalangi pembesaran uterus, dimana menyebabkan kontraksi uterus yang abnormal, dan mencegah terlepas atau tertahannya uterus di dalam panggul.14

14 B. DIAGNOSIS 1. Pemeriksaan fisik Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin

uterus.Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih massa yang lebih licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini adalah bagian dari uterus. 2. Temuan laboratorium Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-kadang mioma menghasilkan eritropoeitin yang pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioam terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoetin ginjal. 3. Pemeriksaan penunjang a. Ultrasonografi Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam

menetapkan adanya mioma uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus atau massa yang paling besar baik diobservasi melalui ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri secara khas menghasilkan gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan irregularitas kontur maupun pembesaran uterus. Adanya kalsifikasi ditandai oleh fokusfokus hiperekoik dengan bayangan akustik. Degenerasi kistik ditandai adanya daerah yang hipoekoik.14 b. Hiteroskopi Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya mioma uteri submukosa, jika tumornya kecil serta bertangkai. Tumor tersebut sekaligus dapat diangkat. c. MRI (Magnetic Resonance Imaging) Sangat akurat dalam menggambarkan jumlah, ukuran, dan lokasi mioma tetapi jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap berbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma

15 submukosa. MRI dapat menjadi alternatif ultrasonografi pada kasus-kasus yang tidak dapat disimpulkan.

VI.PENATALAKSANAAN A. Konservatif Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan pengobatan, tetapi harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma lebih besar dari kehamilan 10-12 minggu, tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada tangkai, perlu diambil tindakan operasi.

B. Terapi medikamentosa Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan mioma uteri secara menetap belum tersedia padasaat ini. Terapi medikamentosa masih merupakan terapi tambahan atau terapi pengganti sementara dari operatif. Preparat yang selalu digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analg GnRH, progesteron, danazol, gestrinon, tamoksifen, goserelin, antiprostaglandin, agen-agen lain (gossipol,amantadine). 1. GnRH analog Penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 penderita dengan mioma uteri yang diberikan GnRHa leuprorelin asetat selam 6 bulan, ditemukan pengurangan volume uterus rata-rata 67% pada 90 wanita didapatkan pengecilan volume uterus sebesar 20% dan pada 35 wanita ditemukan pengurangan volume mioma sebanyak 80%.18,19 Efek maksimal dari GnRHa baru terlihat setelah 3 bulan dimana cara kerjanya menekan produksi estrogen dengan sangat kuat, sehingga kadarnya dalam darah menyerupai kadar estrogen wanita usia menopause. Setiap mioama uteri memberikan hasil yang berbeda-beda terhadap pemberian GnRHa.4,15

16 Mioma submukosa dan mioma intramural merupakan mioma uteri yang paling rensponsif terhadap pemberian GnRH ini. Keuntungan pemberian pengobatan medikamentosa dengan GnRHa adalah: 1. Mengurangi volume uterus dan volume mioma uteri. 2. Mengurangi anemia akibat perdarahan. 3. Mengurangi perdarahan pada saat operasi. 4. Tidak diperlukan insisi yang luas pada uterus saat pengangkatan mioma. 5. Mempermudah tindakan histerektomi vaginal. 6. Mempermudah pengangkatan mioma submukosa dengan histeroskopi.

2. Progesteron Goldhiezer, melaporkan adanya perubahan degeneratif mioma uteri pada pemberian progesteron dosis besar. Dengan pemberian medrogestone 25 mg perhari selama 21 hari dan tiga pasien lagi diberi tablet 200 mg, dan pengobatan ini tidak mempengaruhi ukuran mioma uteri, hal ini belum terbukti saat ini.

3. Danazol Merupakan progesteron sintetik yang berasal dari testosteron. Dosis substansial didapatkan hanya menyebabkan pengurangan volume uterus sebesar 20-25% dimana diperoleh fakta bahwa danazol memiliki substansi androgenik. Tamaya, dkk melaporkan reseptor androgen pada mioma terjadi peningkatan aktifitas 5-reduktase pada miometrium dibandingkan

endometrium normal. Mioma uteri memiliki aktifitas aromatase yang tinggi dapat membentuk estrogen dari androgen.16,17 4. Gestrinon Merupakan suatu trienik 19-nonsteroid sintetik, juga dikenal dengan R 2323 yang terbukti efektif dalam mengobati endometriosis. Menurut

Coutinho(1986), melaporkan 97 wanita, A(n=34) menerima 5 mg gestrinon peroral 2x seminggu, kelompok B(n=36) menerima 2,5 mg gestrinon peroral 2x seminggu, dan kelompok C(n=27) menerima 2,5 mg gestrinon pervaginam

17 3x seminggu.16 Data masing-masing dievaluasi setelah 4 bulan didapatkan volume uterus berkurang 18% pada kelompok A, 27% pada kelompok B, tetapi pada kelompok C meningkat 5%. Setelah masa pengobatan selama 4 bulan berakhir, 95% pasien amenore, Coutinho menyarankan penggunaan gestrinon sebagai terapi preoperatif untuk mengontrol perdarahan menstruasi yang banyak berhubungan dengan mioma uteri. 5. Tamoksifen Merupakan turunan trifeniletilen yang mempunyai khasiat estrgenik maupun antiestrogenik, dan dikenal sebagai selective estrogen receptor modulator (SERM). Beberapa peneliti melaporkan pada pemberian tamoksifen 20 mg tablet perhari untuk 6 wanita premenopause dengan mioma uteri selama 3 bulan dimana volume mioma tidak berubah, dimana kerjanya konsentrasi reseptor estradiol total secara signifikan lebih rendah. Hal ini terjadi karena peningkatan kadar progesteron bila diberikan berkelanjutan.16 6. Goserelin Merupakan suatu GnRH agonis, dimana ikatan reseptornya terhadap jaringan sangat kuat, sehingga kadarnya dalam darah berada cukup lama. Pada pemberian goserelin dapat mengurangi setengah ukuran mioma uteri dan dapat menghilangkan gejala menoragia dan nyeri pelvis. Pada wanita premenopause dengan mioma uteri, pengobatan jangka panjang dapat menjadi alternatif tindakan histerektomi terutama menjelang menopause. Pemberian goserelin 400 mikrogram 3 kali sehari semprot hidung sama efektifnya dengan pemberian 500 mikrogram sehari sekali dengan cara pemberian injeksi subkutan. Untuk pengobatan mioma uteri, dimana kadar estradiol kurang signifikan disupresi selama pemberian goserelin dan pasien sedikit mengeluh efek samping berupa keringat dingin. Pemberian dosis yang sesuai, agar dapat menstimulasi estrogen tanpa tumbuh mioma kembali atau berulangnya peredaran abnormal sulit diterima. Peneliti mengevaluasi efek pengobatan dengan formulasi depot bulanan goserelin dikombinasi dengan HRT (estrogen konjugasi 0,3 mg) dan medroksiprogesteron asetat 5 mg pada pasien mioma

18 uteri, parameter yang diteliti adalah volume mioma uteri, keluhan pasien, corak perdarahan kandungan mineral, dan fraksi kolesterol. Kadar HDL kolesterol meningkat selama pengobatan, sedangkan plasma trigliserid meningkat selama pemberian terapi.11,18 7. Antiprostaglandin Dapat mengurangi perdarahan yang berlebihan pada wanita dengan menoragia, dan hal ini beralasan untuk diterima atau mungkin efektif untuk menoragia yang diinduksi oleh mioma uteri. Ylikorhala dan rekan-rekan, melaporkan pemberian Naproxen 500-1000 mg setiap hari untuk terapi selama 5 hari tidak memiliki efek pada menoragia yang diinduksi mioma, meskipun hal ini mengurangi perdarahan menstruasi 35,7% wanita dengan menoragia idiopatik.

C. Embolisasi Arteri Uterina Suatu tindakan yang menghambat aliran darah ke uterus dengan cara memasukkan agen emboli ke arteri uterina. Dewasa ini embolisasi arteri uterina pada pasien yang menjalani pembedahan mioma. Arteri uterina yang mensuplai aliran darah ke mioma dihambat secara permanen dengan agen emboli (partikel polivynil alkohol). Keamanan dan kemudahan embolisasi arteri uterina tidak dapat dipungkiri, karena tindakan ini efektif. Proses embolisasi menggunakan angiografi digital substraksi dan dibantu fluoroskopi. Hal ini dibutuhkan untuk memetakan pengisian pembuluh darah atau memperlihatkan ekstrvasasi darah secara tepat.23 Agen emboli yang digunakan adalah polivinyl alkohol adalah partikel plastik dengan ukuran yang bervariasi. Katz dkk memakai gel form sebagai agen emboli untuk embolisasi arteri uterina. Tingkat keberhasilan penatalaksanaan mioma uteri dengan embolisasi adalah 85-90%.

19 D. Terapi inovatif berdasarkan aktivitas mekanisme molekular. Setelah didapatkan mekanisme molekulaer mioma uteri, terapi yang lebih baik dapat secara khusus memecahkan masalah ini. Seperti penyakit lainnya, bila didapatkan kelainan gen yang spesifik akan membuka kemungkinan terapi gen di masa yang akan datang. Sebelum terapi gen digunakan lebih luas, kemungkinan kita harus melewati terapi yang ditujukan sebagai anti spesific growth factor angiogenesis yang terdapat di dalam endometrium dan miometrium. Sejumlah molekul telah diidentifikasi dalam menghambat proses proliferasi sel endotel dan menghambat angiogenesis. TGF- dan sekresi reseptor bFGF berada di uterus dan menghambat proses ini. Selain itu fragmen 16-kd prolaktin, angiostatin, thrombospondin-I, platelet faktor 4, tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMPs 1,2 dan 3), interferon dan placentalproliferin-related protein secara negatif mengatur angiogenesis dan dapat dieksploitasi terapi. Agen farmakologi yang berlawanan dengan faktor angiogenik ataupun obat-obatan yang dapat memblok produksi faktor ini, berikatan atau menurunkan bentuk aktifnya, atau berikatan dengan reseptornya, juga bermanfaat. Stimulasi angiogenesis yang merupakan target antagonis potensial, termasuk TGF-, bFGF, VEGF dan PDGF. Terapi gen didefinisikan sebagai transfer rentetan DNA esensial atau terapetik ke dalam sel pasien untuk mendapatkan keuntungan klinis. Perubahan ini dapat menghasilkan meningkatkan produksi produk sel yang penting, penghambatan ekspresi gen yang bersangkutan, dan induksi respon imun serta penghancuran sel-sel yang rusak dengan kematian sel yang terprogram. Bentuk gen terapi yang paling sering adalah pembentuk, penggunaan transfer gen untuk menggantikan produk gen yang abnormal atau hilang. Walaupun transfer gen dapat dilakukan dilakukan dengan efikasi yang sama pada sel somatik dan sel germ, terapi ditargetkan semata-mata pada sel somatik dan tidak melibatkan pemusnahan secara langsung, atau perbaikan sel-sel yang mengalami kelainan.

20 Tekhnologi DNA recombinant menyediakan alat-alat untuk

memungkinkan terapi gen. Ketika lokasi gen yang sama dikenali, terdapat empat langkah dasar dimana segmen DNA dikloning, digestion, ligation, transformation, dan selection. Pada langkah pertama digestion, DNA dipotong untuk mengeluarkan fragmen atau gen yang diinginkan, dibantu dengan penggunaan sebuah kelas enzim yang disebut restriction endonucleases, yang memecah rentetan DNA dengan tepat. Setelah segmen DNA yang diinginkan didapatkan, segmen digabungkan atau diligasi untuk membantu vector recombinant, yang mana di sini berperanan enzim kelas dua yang disebut DNA ligases. Pada akhir langkah kedua ini, gene yang diminati bergabung ke dalam vektor yang dapat bereplikasi sendiri. Ada dua tipe vektor yang sering digunakan dalam gen terapi, vektor plasmid dan vektor viral. Plasmid DNA mudah tumbuh pada bakteri termasuk seluruh elemen yang penting sebagai ekspresi mamalia, termasuk promoter, enhancer sequences dan transcipt processing signals. Vektor viral termasuk sinyal yang menjamin recombinant viral genome bergabung dalam progeny viral particles. Langkah ketiga, transformasi terjadi dimana vektor dipindahkan dari test tube ke dalam sel host yang dapat bereplikasi. Akhirnya metode selection atau indentification dilakukan untuk menentukan sel host mana berisi recombinant DNA Human Vektor Recombinant dapat digunakan untuk mentransfer sel-sel DNA manusia untuk terapi gen. Fungsi normal gen dan protein encoded nya harus diketahui sebelum gen dianggap sebagai target dari terapi gen. Terapi gen sitotoksik telah menunjukkan keberhasilan dalam menghambat pertumbuhan tumor, serta proliferasi sel benigna. Baru-baru ini FDA menyetujui terapi gen sitotoksik pada tumor otak dan tumor ovarium. Tidak seperti tumor ganas, mioma uteri menimbulkan gangguan bila ukurannya besar sehingga menimbulkan penekanan pelvis, obstruksi saluran kencing, atau frekuensi buang air kecil yang menjadi lebih sering, dan buang air besar menjadi sulit, bila tumbuh di sepanjang endometrium menyebabkan perdarahan uterus yang abnormal. Terapi gen sitotoksik dapat mengecilkan

21 massa mioma uteri tanpa harus melakukan intervensi bedah mayor. Penelitian terbaru menunjukkan efektifitas terapi gen sitotoksik pada sel-sel mioma yang berasal dari tikus Eker (sel ELT-3). Sel-sel ditranfer dengan encoding DNA plasmid -galactosidase, SV-tk transgene, atau plasmid kontrol. Ekspresi gen reporter diperiksa dengan memonitor aktifitas enzim -galactosidase untuk menentukan presentasi sel-sel transfected yang diharapkan mengekspresikan timidine kinase. Efisiensi transfeksi ini 16,7% pada leiomyocyte manusia dan 39,8% pada sel-sel ELT-3.

VII. KESIMPULAN 1. Awal pembentukkan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari sel-sel miometrium, mencakup rentetan perubahan kromosom secara parsial maupun keseluruhan. Aberasi kromosom 23-50% dari mioma uteri yang diperiksa yang terbanyak ditemukan pada kromosom 7(del(7)(q21)/q21q32). 2. Keberhasilan pengobatan medikamentosa mioma uteri tergantung telah terjadi perubahan kromosom atau tidak. 3. Ditemukan 4 faktor yang berperanan dalam mengatur fungsi vaskuler dan berperanan dalam proses angiogenesis dalam endometrium dan miometrium di uterus, yaitu: BFGF,VEGF,HBEGF, dan PDGF. 4. Sebelum terapi gen digunakan secara luas, kita harus melewati terap yang ditujukan sebagai anti growth factor spesifik yang terdapat dalam proses angiogenesis dalam endometrium dan miometrium. Di atas telah diidentifikasi molekul yang menghambat angiogenesis, di dalam uterus dan menghambat proses ini. 5. Terapi gen sitotoksik merupakan cara yang efektif dalam mengurangi ukuran mioma uteri, walaupun pemeriksaan lebih jauh dibutuhkan, terapi gen dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif atau dapat menjadi program pencegahan dalam pengobatan mioma uteri.

22 XIII. RUJUKAN
1. ButtramVC, Reiter ARAC. Uterine leiomyomata: Etiologi, symptomatology, and management Fertil Steril 1981;36 :433-445 2. Coronado GD, Marshall LM, Schwartz SM. Complications in pregnancy, labor, and delivery with uterine leiomyomas: a population based study. Obstet Gynecol. 2000;95;764-769 3. Thomas EJ. The aetiology and pathogenesis of fibroid. In: Shaw RW.eds. Advances in reproductive endocrinology uterine fibroids. England-New Jersey. The Phartenon Publishing Group. 1992; 1-8 4. Baziad A. Pengobatan medikamentosa mioma uteri dengan analog GnRH. Dalam: Endokrinologi ginekologi edisi kedua. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2003; 151-156 5. Lepine L, Hillis S, Marchbanks P, et al. Hysterectomy surveilances United States 1980-1993. MMWR Mortal Morbid Wkly Rep. CDC Surveill Summ. 1997; 46: 1-15 6. Joedosaputro MS. Tumor jinak alat genital. Dalam Sarwonoprawiraharjo, edisi kedua ilmu kandungan Yayasan Bina Pustaka. Jakarta: 1994; 338-345 7. Friedman AJ, Rein MS, Murugan R, Pandian, Barbieri RL. Fasting serum growth hormone and Insulin like growth factor-I and II concentration in women with leiomyomata uteri treated with leuprolide acetate or plaacebo. Fertility and sterility, 1990; 53:250-253 8. 9. nillbert M, Heim S uterine leiomyoma cytogenetics. Genes Chromosomes Cancer, 1990;2:3-13 Rein MS, Friedman AJ Barbieri RL, et al. Cytogenetics Abnormalities in Uterine Leiomyomata. Obstet Gynecol, 1992; 80: 209-217 10. Meloni AM, Surti U, Contento AM, et al. Uterine leiomyoma: cytogenetic abnormalities in uterine myomas are associated with myoma size. MolHum Reprod, 1998; 4:83-86 11. Pandis N, Heim S, Bardi G, et al. Chromosome analysis of 96 uterine leiomyomas. Cancer Genet Cytogene, 1991; 55: 11-18 12. Rein MS, Friedman AJ, Barbieri RL, et al. Cytogenetic and histologic profile. Obstet Gynecol, 1991; 55: 11-18 13. Brosens I, Deprest J, Dal Cin P, et al. Clinical significance of cytogenetic abnormalities in uterine myomas. Fertil Steril, 1998; 69: 232-235 14. Crow J. Uterine Fibroid: Histological features. In : Shaw RW, eds. Advances in reproductive endocrinology uterine fibroid. England- New Jersey: The Parthenon Publishing Group, 1992: 2133 15. Schweppe KW. GnRH analogues in treatment uterine fibroid: results of clinical studies. In: Shaw RW, eds. Advances in reproductive endocrinology uterine fibroids. England-New Jersey: The Parthenon Publishing Group, 1992:103-105 16. Sivecney G. Mc, Shaw RW. Attempts at medical treatment of uterine fibroid. In: Shaw RW, eds. Advances in reproductive endocrinology uterine fibroids. England-New Jersey: The Parthenon Publishing Group, 1992: 95-101

23
17. Friedman AJ, Harrison D, Atlas CNM, Barbieri RL, Benacerraf B, Gleason R, Schiff I. A randomized, placebo controlled, double blind study evaluating the efficacy of leuprolide acetate depot in the treatment of uterine leiomyomata. Fertility and Sterility, 1989; 51:251-256 18. Lumsden MA. The role of Oestrogen and growth factors in the control of the growth of uterine leiomyomata. In: Shaw RW, eds. Advances in reproductive endocrinology uterine fibroids. England-New Jersey: The Parthenon Publishing Group, 1992: 9-20 19. Rein MS, Friedman, Stuart JM, David T, Laughlon M. Fibroid and myometrial steroid receptors in Women treated with gonadotropin-releasing hormone agonist leuprolide acetate. Fertility and Sterility, 1990; 53: 1018-1021 20. Gross K, Morton C, Genetic and development of fibroid. Clin Obstet and Gynecology 2001; 44: 335-349

Anda mungkin juga menyukai