Anda di halaman 1dari 59

BAB I PENDAHULUAN Ikterus Obstruktif di Indonesia merupakan penyakit yang sering menyerang saluran pencernaan.

Namun penyakit ini sering tidak mendapat perhatian dari penderitanya karena minimnya gejala yang tampak pada penderitanya. Pasien-pasien yang memiliki Ikterus Obstruktif jarang mengalami komplikasi. (1) Munculnya ikterus pada pasien adalah sebuah kejadian yang dramatis secara visual. Ikterus selalu berhubungan dengan penyakit penting, meskipun hasil akhir jangka panjang bergantung pada penyebab yang mendasari Ikterus. Ikterus adalah gambaran fisik sehubungan dengan gangguan metabolisme bilirubin. Kondisi ini biasanya disertai dengan gambaran fisik abnormal lainnya dan biasanya berhubungan dengan gejala-gejala spesifik. Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah dan pencitraan, memberikan perbaikan lebih lanjut pada diagnosa banding. Umumnya, Ikterus non-obstruktif tidak membutuhkan intervensi bedah, sementara jaundice obstruktif biasanya membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk pengobatan. (1) Ikterus merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai Ikterus. Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien. (1,2)

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI 2.1 Anatomi sistem bilier 2.1.1 Duktus Biliaris Duktus biliaris extrahepatik terdiri dari Ductus hepaticus kanan dan kiri, Ductus hepaticus communis, Ductus cysticus dan Ductus choledochus. Ductus choledochus memasuki bagian kedua dari duodenum lewat suatu struktur muskularis yang disebut Sphincter Oddi. (2) Ductus hepaticus kiri lebih panjang dari yang kanan dan memiliki kecenderungan lebih besar untuk berdilatasi sebagai akibat dari obstruksi pada bagian distal. Kedua Ductus tersebut bersatu membentuk Ductus hepaticus communis. Panjang Ductus hepaticus communis umumnya 1-4cm dengan diameter mendekati 4mm. Berada di depan vena porta dan di kanan Arteri hepatica. Ductus hepaticus communis dihubungkan dengan Ductus cysticus membentuk Ductus choledochus.(2) Panjang Ductus cysticus bervariasi. Dapat pendek atau tidak ada karena memiliki penyatuan yang erat dengan Ductus hepaticus. Atau dapat panjang, di belakang, atau spiral sebelum bersatu dengan Ductus hepaticus communis. Variasi pada Ductus cysticus dan titik penyatuannya dengan Ductus hepaticus communis penting secara bedah. Bagian dari Ductus cysticus yang berdekatan dengan bagian leher kandung empedu terdiri dari lipatan-lipatan mukosa yang disebut Valvula Heister.(2)

Gambar 1 Sistem Biliaris (kutipan dari Physiology, Sherwood) Panjang Ductus choledochus kira-kira 7-11 cm dengan diameter 5-10 mm. Bagian supraduodenal melewati bagian bawah dari tepi bebas dari ligamen hepatoduodenal, disebelah kanan Arteri hepatica dan di anterior Vena porta. Bagian retroduodenal berada di belakang bagian pertama duodenum, di lateral Vena porta dan Arteri hepatica. Bagian terbawah dari Ductus choledochus (bagian pankreatika) berada di belakang caput pankreas dalam suatu lekukan atau melewatinya secara transversa kemudian memasuki bagian kedua dari duodenum. Ductus choledochus bergabung dengan Ductus pancreaticus masuk ke dinding duodenum (Ampulla Vateri) kira-kira 10cm distal dari pylorus. Kira-kira 70% dari Ductus ini menyatu di luar dinding duodenum dan memasuki dinding duodenum sebagai single ductus. Sphincter Oddi, yang merupakan lapisan tebal dari otot polos sirkuler, mengelilingi Ductus choledochus pada Ampulla Vateri. Sphincter ini mengontrol aliran empedu, dan pada beberapa kasus mengontrol pancreatic juice ke dalam duodenum. (2)

Empedu berkumpul dalam kanalikuli empedu yang bergabung membentuk saluran empedu. Kemudian empedu menuju duktus hepatikus kiri dan kanan, bergabung menjadi duktus hepatikus komunis. Duktus sistikus dari kandung empedu selanjutnya bergabung dengan duktus hepatikus komunis membentuk duktus koledokus. Empedu dapat langsung masuk ke duodenum melalui duktus koledokus atau disimpan lebih dahulu dalam kandung empedu melalui duktus sistikus. Duktus koledokus dan duktus pankreatikus bersama-sama
3

memasuki duodenum lewat ampula vateri. Duktus koledokus sering bergabung lebih dulu dengan duktus pankreatikus mayor. (3) Warna dari empedu tergantung dari pigmen bilirubin diglucoronide yang merupakan produk metabolik dari pemecahan hemoglobin, dan keberadaan pada empedu 100 kali lebih besar daripada di plasma. Pada usus oleh bakteri diubah menjadi urobilinogen, yang merupakan fraksi kecil dimana akan diserap dan di ekskresikan ke dalam empedu.(3) Suplai arteri untuk Ductus biliaris berasal dari Arteri gastroduodenal dan Arteri hepatika kanan, dengan jalur utama sepanjang dinding lateral dan medial dari Ductus choledochus (kadang-kadang pada posisi jam 3 dan jam 9). Densitas serat saraf dan ganglia meningkat di dekat Sphincter Oddi tetapi persarafan dari Ductus choledochus dan Sphinchter Oddi sama dengan persarafan pada kandung empedu. (2)

2.2 Fisiologi 2.2.1 Pembentukan dan Komposisi Empedu Hepar memproduksi empedu secara terus menerus dan mengekskresikannya pada kanalikuli empedu. Orang dewasa normal memproduksi 500-1000 ml empedu per hari. Stimulasi vagal meningkatkan sekresi empedu, sebaliknya rangsangan saraf splanchnic menyebabkan penurunan aliran empedu. Asam hydrochloric, sebagian protein pencernaaan dan asam lemak pada duodenum menstimulasi pelepasan sekretin dari duodenum yang akan meningkatkan produksi dan aliran empedu. Aliran empedu dari hepar melewati Ductus hepaticus, menuju CBD dan berakhir di duodenum. Sphincter Oddi yang intak menyebabkan empedu secara langsung masuk ke dalam kandung empedu. (3) Empedu terutama terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lemak, dan pigmen empedu. Natrium, kalium, kalsium, dan klorida memiliki konsentrasi yang sama baik di dalam empedu, plasma atau cairan ekstraseluler. pH dari empedu yang di sekresikan dari hepar biasanya netral atau sedikit alkalis, tetapi bervariasi sesuai dengan diet. Peningkatan asupan protein menyebabkan empedu lebih asam. Garam empedu, cholate dan chenodeoxycholate, di sintesis di hepar dari kolesterol. Mereka berkonjugasi dengan taurine dan glycine dan bersifat sebagai anion (asam empedu) yang di seimbangkan dengan natrium.
(3)

Asam empedu dari hati ada dua macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat. Fungsi garam empedu adalah : - Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut. - Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut dalam lemak. Garam empedu di ekskresikan ke dalam empedu oleh hepatosit dan di tambah dari hasil pencernaan dan penyerapan dari lemak pada usus. Pada usus sekitar 80% dari asam empedu di serap pada ileum terminal. Sisanya di dekonjugasi oleh bakteri usus membentuk asam empedu sekunder deoxycholate dan lithocholate. Ini di serap di usus besar di transportasikan ke hepar, di konjugasi dan di sekresikan ke dalam empedu. Sekitar 95% dari pool asam empedu di reabsorpsi dan kembali lewat vena porta ke hepar sehingga disebut sirkulasi enterohepatik. 5% di ekskresikan di feses.Kolesterol dan fosfolipid di sintesis di hepar sebagai lipid utama yang di temukan di empedu. Proses sintesis ini di atur oleh asam empedu. (3)

2.2.2 Pengosongan Kandung Empedu Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak.13 Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
5

- Hormonal : Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu. - Neurogen : - Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu. - Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.

2.3 Anatomi Hepar

Hepar atau hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh. Letaknya sebagian besar di region hipokondriaka destra, epigastrika dan sebagian kecil di hipokiondriaka sinistra. Bentuknya menyerupai pahat yang menghadap kekiri. Beratnya pada pria dewasa antara 1.41.6 kg (1/36 berat badan), pada wanita dewasa antara 1.2-1.4 kg. ukuran normal pada dewasa : panjang kanan kiri : 16 cm, tinggi bagian tekanan (ukuran superior inferior) : 15-17 cm, tebal (ukuran anteroposterior) setinggi ren destra 12 15 cm. warna permukaan : coklat kemerahan, fasies superior, fasies destra, fasies anterior, fasies posterior dan fasies inferior.

Fasies superior, dekstra, anterior dan posterior disebut juga sebagai fasies diagfragmatika. Peralihan antara fasies anterior dan fasies inferior merupakan pinggiran tajam yang disebut margo inferior. Hepar mempunyai lobus desktra dan lobus sinistes, yakni lobus quadratus dan lobus kaudatus pembagian hepar menjadi lobus dekstra dan sinister ternyata tidak mencerminkan pembagian hepar yang sebenarnya yakni yang berdasarkan atas distribusi percabangan pembuluh darah dan saluran empedu. Menurut area distribusi percabangan pembuluh darah dan saluran empedu ini maka pembagian hepar atas wilayah kanan dan kiri terbatas bidang potong tegak lurus permukaan superorterior hepar melalui garis yang menghubungkan titik ujung fundus vesika fellea dengan titik tengah lobus kaudatus. Masing-masing belahan hepar pada pembagian ini diurus oleh secara terpisah oleh cabang ateria hepatica, vena porta dan duktus hepatikus desktra dan sinister.

Peritoneum hampir menyelubungi seluruh permukaan hepar kecuali suatu daerah telanjang (bare area) pada fasies posterior hepatic dan pada tempat dimana terjadi duplikatur yang menjadi ikat ikat hepar, seperti : Ligamentum falsiforme hepatic yang menggantungkan hepar ke diafragma dan dinding perut depan; Ligamentum koronari hepatis yang menggantungkan hepar ke puncak diafragma; Ligamenrum tringularia hepatis yang menggantungkan hepar ke diagfragma kanan dan kiri dan omentum minus yang
8

menghubungkan porta hepatis, fisura sagitalis sinistra bagian belakang dengan larvatura minor vertrikuli dan pasar superior duodeni.

2.3.1 Sintopi Pada orang yang berbaring telentang (supine), akan dijumpai hubungan hepar dengan alat sekitarnya sebagai berikut :

Fasies superior yang meliputi permukaan atas lobus desktra dan lobus sinister, terletak langsung dibawah kubah diafragma dan berada di bawah pleura diafragma desktra, basis paru kanan, petikardium, ventrikulus kordis dan sedikit ditutup oleh pleura diafragma sinistra. Fasies anterior yang merupakan permukaan anterior lobus desktra dan lobus sinister, bersentuhan dengan diafragma bagian depan, yang pada bagian kanan diafragmatika tersebut memisahkan hepar dari pleura diafragmatika dan iga ke-VI, VII, VIII, IX, dan X. di daerah ini terselip ujung depan basis paru kanan.

Sebagian fasies anterior menonjol dibawah angulus coastae, sampai kira-kira pertengahan garis hubung titik umbilikus (omphalion) processus xifoideus (xiphoidale), sehingga sebagian fasies anterior menempel pada dinding depan abdomen pada region epigastrika. Fasies dekstra, menempel pada diafragma yang menurun dikanan dan dipisahkan oleh diafragma terhadap pleura dan paru kanan, serta iga ke-VII sampai XI. Di garis midaxilaris kanan, ujung bawah paru kanan mencapai iga ke X (irecessus costodiaframtic dextre) Fasies Posterior hepatis, merupakan permukaan belakang lobus desktra dan sinister juga. Permukaan belakang lobus desktra (bare area), vena kava inferior, glandula suprarenalis kanan (bare area) , fasies posterior lobus kaudatus bersentuhan dengan akurat
10

diafragmatika. Permukaan belakang lobus sinister bersentuhan dengan pars abdominalis oesofagi dan fundus ventrikuli. Fasies inferior hepatic, meliputi permukaan bawah lobus desktra, lobus kaudatus, lobus guardratus dan lobus sinister. Pada permukaan bawah ini terlihat vesika fellea terletak antara lobus desktra dan lobus quardratus, vena kava inferior terdapat dinatara lobus dekstra dan lobus kaudatus, ligamentum ters hepatis terletak antara lobus sinister dan lobus quadratus, ligamentua zenosum aranti, terletak antara lobus sinister dan lbous kaudatus. Celah porta hepatic, terletak antara lobus kaudatus dan lobus quadratus, celah porta hepatus itu berisi duktus kholedukthus disebelah kanan, a. hepatica disebelah kiri, dan vena porta di belakang. Ketiga struktur dalam celah porta hepatis itu terbungkus oleh omentum minus. Organ-organ yang berhadapan dengan lobus dekster adalah : fleksura coli dekstra, ren dekstra dan pars desendens duodenis; yang berhadapan dengan lobus sinister hepatic adalah permukaan depan gaster; yang berhadapan dengan lobus kuadratus adalah : pars pilorica ventrikuli dan pars superior duodeni, lobus kaudatus merupakan atap foramen epiploikum Winslowi.

2.3.2. Biokimia Bilirubin

Fase prahepatik 1. Pembentukan bilirubin Bilirubin di dalam tubuh manusia berasal dari 70-80% pemecahan sel darah merah yang matang & 20-30% protein heme lainnya yang ada terutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein heme dipecah menjadi besi dan biliverdin dengan bantuan enzim hemeoksigenase. Biliverdin kemudian diubah menjadi bilirubin dengan bantuan enzim biliverdin reduktase. Tahap ini terutama terjadi dalam seL sistem retikuloendotelial. 2. Transport plasma Karena bilirubin yang terbentuk tidak larut dalam air (bilirubin tidak terkonjugasi), maka di dalam plasma darah, bilirubin harus diangkut dengan bantuan suatu pembawa (albumin serum). Bilirubin dalam bentuk ikatan bilirubin-albumin (yang lemah) akan beredar dalam sirkulasi darah ang kemudian akan masuk ke dalam sel hati. Pada permukaan sinusoid hati, bilirubin tidak terkonjugasi akan melepaskan diri dari

11

ikatannya dengan albumin dan masuk melalui membran sel hati dengan cara difusi (facilitated diffusion).

Fase intrahepatik 3. Liver uptake Di dalam sel hati (hepatosit), bilirubin diikat oleh 2 protein intraseluler utama dalam sitoplasma, protein sitosilik Y (misalnya ligandin atau glutathion S-transferase B) dan protein sitosilik z (disebut juga fatty acid-binding protein). Ikatan bilirubin dengan protein-protein tersebut akan menurunkan kemungkinan kembalinya bilirubin ke dalam plasma, sekaligus meningkatkan ambilan bilirubin. 4. Konjugasi Proses konjugasi ini berlangsung di dalam retikulum endoplasma sel hati. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronat membentuk bilirubin diglukuronida (bilirubin terkonjugasi). Reaksi ini dikatalisis enzim mikrosomal glukoronil-transferase.

Fase pascahepatik 5. Ekskresi bilirubin Biirubin terkonjugasi akan dikeluarkan melalui membran sel hati ke dalam kanalikuli bilier. Bilirubin akan sampai ke kandung empedu untuk disimpan atau langsung dikeluarkan ke dalam usus halus. Bilirubin terkonjugasi yang dikeluarkan ke dalam usus halus akan di metabolisme oleh bakteri usus dan mengalami proses reduksi menjadi sterkobilinogen dan urobilinogen. Sebagian urobilinogen (10-20%) akan diserap dari rongga usus dan masuk ke dalam vena porta untuk menjalani siklus enterohepatik. Sebagian lagi akan diserap untuk dikeluarkan melalui ginjal. Urobilinogen (tidak berwarna) mudah mengalami oksidasi dan berubah menjadi urobilin (coklat) yang memberi warna pada urin. Sedangkan sterkobilinogen akan dikeluarkan usus sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat.

12

Siklus enterohepatik Merupakan suatu siklus yang terjadi antara entero yang berarti usus dan hepatic berarti hati. Dalam siklus ini, terjadi penyerapan kembali atau reabsorpsi kandungan usus terutama garam empedu di ileum terminalis masuk ke vena porta menuju hepar. Di hepar, garam empedu tersebut disekresikan kembali di duodenum yang nantinya akan ke ileum terminalis untuk masuk ke siklus enterohepatik.

Bilirubin indirect Tidak terkonjugasi Bersifat non-polar Tidak larut dalam air (hydrophobic) Larut dalam lemak (lipophilic) Toxic Tipe: hemolitik

Bilirubin direct Terkonjugasi Bersifat polar Larut dalam air (hydrophilic) Tidak Larut dalam lemak (lipophobic) Non toxic Tipe: obstruksi dan regurgitasi

13

Gambar 2 Metabolisme bilirubin (kutipan dari Harper Biochemistry)

14

2.3.3 Kelainan berkaitan bilirubin

a. Prehepatik (contohnya pada anemia hemolitik) Pada anemia hemolitik akan berlaku penghancuran sel darah merah yang berlebihan. Jadi akan terjadi peningkatan B1, urobilinogen feces dan juga urin. Oleh karena B1 tidak larut air, walaupun berlaku peningkatan B1, di dalam urin tidak ditemukan B1.(3)

b. Intrahepatik (contohnya pada hepatitis) Pada keadaan ini akan terjadi peningkatan B1 dan B2 dan penurunan urobilinogen feces dan urin. Hal ini karena pada keadaan ini berlaku gangguan pada fase-fase hepar. Sel-sel hepar yang mengalami inflamasi akan menganggu proses uptake dan konjugasi. Kelainan ini akan menyebabkan B1 meningkat. Sekiranya bilirubin dapat dikonjugasi pula akan berlaku gangguan pada proses sekresi oleh karena terjadinya penyumbatan yang tidak total oleh karena inflamasi pada duktus empedu. Jadi B2 akan meningkat. Oleh karena hanya sedikit B2 yang dapat disekresi, urobilinogen di urin dan feces akan berkurang. B2 yang larut air dapat masuk ke sirkulasi darah dan masuk ke ginjal, maka B2 positif dalam urin. Normalnya tidak didapatkan B2 dalam urin.(3)

c. Posthepatik ( contohnya pada sumbatan papilla vater ) Pada keadaan ini akan berlaku kenaikan B2 dalam darah. Manakala urobilinogen urin dan feces akan negative. Hal ini karena penyumbatan total akan menyebabkan B2 yang tidak dapat disekresi ke empedu masuk ke sirkulasi dan menyebabkan bilirubin positif dalam urin. Tiada B2 disekresi ke usus menyebabkan feces berwarna pucat.(3)

15

Gambaran
Warna kulit

Hemolitik
Kuning pucat

Hepatoselular
Oranye-kuning muda atau tua

Obstruktif
Kuning-hijau muda atau tua

Warna urine

Normal (atau gelap dengan urobilin)

Gelap (bilirubin terkonjugasi)

Gelap (bilirubin terkonjugasi)

Warna feses

Normal atau gelap (lebih banyak sterkobilin) Pucat (lebih sedikit sterkobilin)

Warna dempul (tidak ada sterkobilin)

Tidak ada Pruritus

Tidak menetap

Biasanya menetap

Bilirubin serum indirek atau tak terkonjugasi

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Bilirubin serum direk atau terkonjugasi

Normal

Meningkat

Meningkat

Bilirubin urine Urobilinogen urine

Tidak ada Meningkat

Meningkat Sedikit meningkat

Menurun

2.4 Fisiologi Hepar

Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 25% oksigen darah. Ada beberapa fungsi hati yaitu : 1. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat

Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling berkaitan 1 sama lain.Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu ditimbun di dalam hati kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen mjd glukosa
16

disebut glikogenelisis.Karena proses-proses ini, hati merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati mengubah glukosa melalui heksosa monophosphat shunt dan

terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa mempunyai beberapa tujuan: Menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon (3C) yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus krebs). 2. Fungsi hati sebagai metabolisme lemak

Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan katabolisis asam lemak Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen : 1. Senyawa 4 karbon KETON BODIES 2. Senyawa 2 karbon ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak dan gliserol) 3. Pembentukan cholesterol 4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi kholesterol .Dimana serum Cholesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme lipid 3. Fungsi hati sebagai metabolisme protein

Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan proses deaminasi, hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino.Dengan proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen. Hati merupakan satusatunya organ yg membentuk plasma albumin dan - globulin dan organ utama bagi produksi urea.Urea merupakan end product metabolisme protein. - globulin selain dibentuk di dalam hati, juga dibentuk di limpa dan sumsum tulang globulin hanya dibentuk di dalam hati.albumin mengandung 584 asam amino dengan BM 66.000 4. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah

Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X. Benda asing menusuk kena pembuluh darah yang beraksi adalah faktor ekstrinsi, bila
17

ada hubungan dengan katup jantung yang beraksi adalah faktor intrinsik.Fibrin harus isomer biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan faktor XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi. 5. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin

Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K 6. Fungsi hati sebagai detoksikasi

Hati adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam bahan seperti zat racun, obat over dosis. 7. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas

Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi - globulin sebagai imun livers mechanism. 8. Fungsi hemodinamik

Hati menerima 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal 1500 cc/ menit atau 1000 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica 25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari, shock.Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah.

18

BAB III IKTERUS OBSTRUKTIF

3.1 Ikterus Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera akibat akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar bilirubin harus mencapai 35-40 mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi klinik. Jaundice (berasal dari bahasa Perancis jaune artinya kuning) atau ikterus (bahasa Latin untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran mukosa oleh deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan tersebut.(2) Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari hepar, sistem biliary, atau sistem hematologi. Ikterus dapat terjadi baik karena peningkatan bilirubin indirek ( unconjugated ) dan direk ( conjugated ).(1,2) Pada individu normal, pembentukan dan eksresi bilirubin berlangsung melalui langkah-langkah seperti yang terlihat dalam gambar metabolisme bilirubin. Sekitar 80 85 % bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam system monosit-makrofag. Masa hidup rata-rata eritrosit adalah 120 hari. Setiap hari dihancurakan sekitar 50 ml darah, dan menghasilkan 250 sampai 350 mg bilirubin. Kini diketahui bahwa sekitar 15 20 % pigmen empedu total tidak bergantung pada mekanisme ini, tetapi berasal dari dekstruksi sel eritrosit matur dalam sumsum tulang (hematopoiesis tak efektif) dan dari hemoprotein lain, terutama dari hati. (2,3) 3.2 Ikterus Obstruktif 3.2.1 Definisi

Ikterus obstruktif itu sendiri adalah ikterus yang disebabkan oleh obstruksi sekresi bilirubin yang dalam keadaan normal seharusnya dialirkan ke traktus gastrointestinal. Akibat hambatan tersebut terjadi regurgitasi bilirubin ke dalam aliran darah, sehingga terjadinya ikterus.(4)
19

Ikterus obstruktif adalah kegagalan aliran bilirubin ke duodenum, dimana kondisi ini akan menyebabkan perubahan patologi di hepatosit dan ampula vateri. Dengan demikian, ikterus obstruktif merupakan jaundice atau kekuningan yang disebabkan oleh obstruksi yang menghalangi bilirubin mengalir ke jejunum.(4)

3.2.2 Epidemiologi Hal ini ditentukan oleh epidemiologi dari berbagai penyakit yang menyebabkan sakit kuning. Ini akan berbeda-beda dan seringkali cukup nyata mencerminkan pola epidemiologi yang berbeda dari penyakit. Di negara-negara kurang berkembang hepatitis, misalnya lebih umum. (1) Sementara ini di dapat kesan bahwa meskipun ikterus obstrukrif di Indonesia lebih umum, angka kejadian ikterus obstruktif lebih tinggi di bandingkan dengan angka yang terdapat di negara barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Filipina. (4) 3.2.3 Insiden dan Prevalensi Insiden kejadian ikterus obstruktif di Amerika Syarikat dicatatkan kurang lebih 5 kasus dalam 1000 kasus. Penyebab utama obstruksi adalah batu dan warga Eropah Utara lebih cenderung untuk menghidap kelainan ini berbanding penduduk di Asia dan Afrika. Ini adalah berikutan dengan kadar obesitas yang meningkat dan penurunan gaya hidup yang sihat di kalangan penduduk. (5) Di indonesia, insiden meningkat pada usia 35-70 tahun dan wanita lebih tinggi insiden kejadian obstruksi bilier dari pria. Jumlah wanita yang menderita batu kolesterol dan penyakit kandung empedu adalah empat kali lebih banyak dari pada laki-laki. Biasanya wanita tersebut berusia lebih dari 40 tahun, multpara dan obesitas. Insidens pembentukan batu empedu meningkat pada para pengguna pil kontrasepsi, estrogen dan klofibrat yang diketahui meningkatkan saturasi kolesterol bilier. Insidens pembentukan batu meningkat bersamaan dengan pertambahan umur. Peningkatan insiden ini terjadi akibat bertambahnya sekresi kolesterol oleh hati dan menurunnya sntesis asam empedu. Disamping itu resiko terbentuknya batu empedu juga meningkat akibat malabsorpsi garam-garam empedu pada pasien dengan penyakit gastrointestinal atau fistula T-tube atau pada pasien yang pernah
20

menjalani operasi pintasan atau reseksi ileum. Insidens ini juga meningkat pada para penyandang penyakit diabetes. (1,5) 3.2.4 Etiologi Ikterus obstruktif dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel hati) dan ekstrahepatik ( mengenai saluran empedu di luar hati). Pada kedua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang serupa. a. Ikterus obstruktif intrahepatik Penyebab tersering ikterus obstruktif intrahepatik adalah penyakit hepatoseluler dengan kerusakan sel parenkim hati akibat hepatitis virus atau berbagai jenis sirosis. Pada penyakit ini, pembengkakan dan disorganisasi sel hati dapat menekan dan menghambat kanalikuli atau kolangiola. Penyakit hepatoseluler biasanya mengganggu semua fase metabolisme bilirubin ambilan, konjugasi, dan ekskresi, tetapi ekskresi biasanya paling terganggu, sehingga yang paling menonjol adalah hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab ikterus obstruktif intrahepatik yang lebih jarang adalah pemakaian obat-obat tertentu, dan gangguan herediter Dubin Jhonson serta sindrom Rotor (jarang terjadi). Pada kedaan ini terjadi gangguan transfer bilirubin melalui membran hepatosit yang menyebabkan terjadinya retensi bilirubin dalam sel, obat yang sering mencetuskan gangguan ini adalah halotan (anestetik), kontrasepsi oral, estrogen, steroid anabolik, isoniazid, dan klorpromazin. (4) b. Ikterus obstruktif ekstrahepatik Penyebab tersering ikterus obstruktif ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu, biasanya pada ujung bawah duktus koledokus, karsinoma kaput pankreas menyebabkan tekanan pada duktus koledokus dari luar, demikian juga dengan karsinoma ampula vateri. Penyebab yang lebih jarang adalah ikterus pasca peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe pada porta hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat duktus hepatikus kanan atau kiri.(4)

21

Gambar 3 Etiologi Ikterus (kutipan dari Ceftion, Pustaka Medik Indo) 3.2.5 Patofisiologi Ikterus yang timbul akibat adanya bendungan yang mengganggu aliran empedu. Penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi mekanik ekstrahepatik). Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Hiperbilirubinemia regurgitasi paling sering terjadi karena terdapatnya obstruksi saluran empedu, misalnya karena tumor caput pankreas (ditandai Couvisiers Law), batu, proses peradangan dan sikatrik. Sumbatan pada duktus hepatikus dan duktus koledokus akan menghalangi masuknya bilirubin ke usus dan peninggian konsentrasinya pada hati menyebabkan refluks bilirubin larut ke vena hepatika dan pembuluh limfe. Bentuknya yang larut menyebabkan bilirubin ini dapat terdeteksi dalam urine dan disebut sebagai ikterus choluria. Karena terjadinya akibat sumbatan pada saluran empedu disebut juga sebagai ikterus kolestatik. (5,6)
22

a. Ikterus Obstruktif intrahepatik Pada penderita hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, dan hepatitis D yaitu masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh melalui membran mukosa/merusak kulit untuk mencapai hati. Di hati replikasi 26 minggu/sampai 6 bulan penjamu mengalami gejala. Beberapa infeksi tidak terlihat untuk yang mengalami gejala : tingkat kerusakan hati dan hubungannya dengan demam yang diikuti dengan kekuningan, artritis, nyeri perut dan mual. Pada kasus yang ekstrim dapat terjadi kerusakan pada hati (hepatomegali).(4) b. Ikterus Obstrukif Ekstrahepatik

Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang terpenting bilirubin, garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya untuk masuk usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubiemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus.Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun sebenarnya hubungannya belum jelas sehingga patogenesis gatal masih belum bisa diketahui dengan pasti. Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin K, gangguan ekskresi garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan hipoprotrombinemia. Pada keadaan kolestasis yang berlangsung lama (primary biliary cirrhosis), gangguan penyerapan Ca dan vitamin D dan vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati dan esterifikasi yang berkurang dalam darah turut berperan; Konsentrasi trigliserida tidak terpengaruh. Lemak beredar dalam darah sebagai lipoprotein densitas rendah yang unik dan abnormal yang disebut sebagai lipoprotein X. Efek primer kolestasis terutama menyerang fungsi hati dan usus, sedangkan efek sekundernya dapat mempengaruhi tiap system organ. Efek primer meliputi retensi empedu, regurgitasi empedu ke dalam serum, dan penurunan sekresi bilier ke dalam usus. Efek sekunder menyebabkan pemburukan penyakit hati serta penyakit sistematik

23

Retensi konjugasi dan regurgitasi bilirubin, ke dalam serum Peningkatan kadar serum bilirubin terkonjugasi merupakan tanda primer kolestasis. Hal ini menyebabkan jaundice, yang dapat dideteksi dengan ikterus sclera pada kadar

serendah 2 mg/dL, dan urine yang berwarna keruh. Peningkatan kadar serum bilirubin non-konjugasi Laju konjugasi bilirubin mengalami penurunan oleh hambatan end-product atau

akibat jelas hepatosit. Laju produksi bilirubin dapat pula mengalami peningkatan akibat hemolisis yang dapat menyertai kolestasis.

Hiperkolemia (peningkatan kadar garam empedu serum) Kegagalan transport garam empedu dapat disebabkan pengaruh kolestasis terhadap fungsi hapatosit. Sel hati menahan garam empedu, mengakibatkan down-regulation sistensis empedu baru. Pruritus Pasien memiliki sensitivitas berbeda terhadap peningkatan kadar garam empedu, sehingga mempengaruhi saraf aferen nyeri peripheral untuk menghasilkan sensasi berupa rasa gatal.
24

Hiperlipidemia Pada kolestasis, kolesterol serum mengalami peningkatan karena terjadi gangguan degradasi dan ekskresi metabolik. Dengan terjadinya penurunan pembentukan empedu, kolesterol mengalami retensi sehingga kandungan koleterol pada membrane meningkat, menyebabkan penurunan fluiditas dan fungsi membran. Xanthoma Xanthoma (endapan lemak dikulit) yang terutama terjadi pada kolestasis obstruktif, disebabkan oleh deposisi kolesterol ke dalam dermis. Gangguan Perkembangan Gangguan perkembangan adalah efek klinis terpenting dari kolestasis. Terjadi

malabsorpsi, anoreksi. Penggunaan nuteren yang rendah, gangguan hormone, dan jelas jaringan sekunder. Malabsorbsi terjadi karena kurangnya garam empedu dalam usus, sehingga percernaan dan absorpsi lemak menjadi tidak efisien. Malabsorpsi lemak menyebabkan penurunan sumber kalori yang penting untuk nutrisi pada bayi. Sedangkan pada dewasa, malabsorpsi lemak sering mengalami anorexia. Disamping itu, terjadi penurunan kadar serum protein yang berkaitan penurunan berat badan, terjadi penurunan faktor-faktor pembekuan darah sehingga akan mudah terjadi luka memar. Di usus asam empedu akan berkurang sehingga akan terjadi malaborpsi lemak dan terjadi steatorrhea. 3.3 Diagnosis 3.3.1 Diagnosis Klinis Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan jasmani sangat penting, karena kesalahan diagnosis terutama dikarenakan penilaian klinis yang kurang atau penilaian gangguan laboratorium yang berlebihan. Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier atau kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan pankreas (bagian kepala/kaput) sering timbul kuning yang tidak disertai gejala keluhan sakit perut (painless jaundice). Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai konsentrasi yang lebih tinggi sering warna kuning sklera mata memberi kesan berbeda di

25

mana ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik.

1. Ikterus obstruktif intrahepatik Pada pasien yang datang dengan ikterik dan dicuriga ikteriknya adalah berakibat dari ikterus obstruktif intrahepatik dapat mengalami ikterik yang lebih dari 2 bulan. Selain itu terdapat penurunan berat badan yang drastic yang terjadi dalam waktu 3bulan atau lebih. Penurunan berat badan ini dapat dicurigakan terdapat keganasan atau infeksi kronik pada pasien seperti tumor caput pancreas, tumor klatskin, pancreatitis kronis dan sebagainya. selain itu penegakkan diagnosa didapatkan pada pasien yang keracunan jamur, obat-obatan seperti halothan atau sebatian kimia yang dapat memacu terjadinya hepatitis toksik. Pada pasien yang dicuriga ikterus obstruktif intrahepatik, didapatkan beberapa faktor resiko seperti pernah transfuse darah, sering bertukar-tukar pasangan seksual, penggunaan obat-obat intravena dan kontak dengan penderita penyakit menular seperti hepatitis dan HIV. Selain itu, pasien yang pernah menghidap penyakit hati, penyakit jantung dan penyakit-penyakit kronis lain dapat mencetuskan ikterik ini. Oleh itu, pengalian penyakit yg pernah dideritai pasien sebelumnya harus digali dan didapatkan. Namun, diagnosis dicari lebih dalam untuk mengetahui puncak dari kerusakan yang terjadi di intrahepatik. 2. Ikterus Obstruktif Ekstrahepatik Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua jenis gejala yaitu gejala yang disebabkan oleh kandung empedu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis seperti, gangguan epigastrium seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri yang samar pada kuadran kanan. Gejala ini dapat terjadi setelah individu mengkonsumsi makanan yang berlemak atau digoreng. Selain itu, rasa nyeri dan kolik bilier. Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar
26

ke punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam sesudah makan makanan dalam porsi besar.(4) Ikterus dapat dijumpai di antara penderita penyakit kandung empedu dengan persentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit. (1,4) Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu dan biasanya pekat yang disebut clay-colored(5) Defisiensi Vitamin oleh karena obstruksi aliran empedu juga mengganggu abosorpsi vitamin A,D,E dan K yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamn ini jika obstruksi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin A dapat menggangu pembekuan darah yang normal. (5,6) 3.3.2 Pemeriksaan Fisik a. Ikterus pada sklera, kulit dan mukosa membrane. b. Dicari stigmata sirosis (rontoknya rambut aksila dan pubis, spider naevi, gynkomastia, asites, caput medussae, palmar eritem, liver nail, pitting edema), scratch effect. c. Hepar teraba atau tidak. Hepar membesar pada hepatitis, Ca hepar, obstruksi bilier, bendungan hepar akibat kegagalan jantung. Hepar mengecil pada sirosis. d. Lien teraba membesar atau tidak. Jika teraba pembesaran lien, terdapat penurunan hemoglobin dan trombositopenia. Ini sering pada pasien yang menghidap anemia hemolitik. e. Kandung empedu membesar atau tidak (Courvoisier sign). Positif bila kantung empedu tampak membesar, biasanya pada keganasan karena dilatasi kandng empedu.

27

Negatif bila kantung empedu tidak tampak membesar, biasanya pada obstruksi batu karena adanya proses inflamasi pada dinding kantung empedu. f. Murphys sign. Positif pada kolangitis, kolesistitis, koledokolelitiasis terinfeksi.

3.3.3 Pemeriksaan Penunjang Ikterus Obstruktif Intrahepatik. a. AST (SGOT)/ALT(SGPT) : Awalnya meningkat. Dapat meningkat dalam 1-2 minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun. b. Darah lengkap : I. II. III. Hb yang menurun akibat dari anemia hemolitik. Trombositopenia akibat dari splenomegali Leukositosis menunjukkan terjadi infeksi

c. Alkali fosfatase : Agak meningkat (kecuali ada kolestasis berat). d. Albumin serum : Menurun. e. Anti HAV IgM : Positif pada tipe A. f. HbsAG : Dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A). g. Masa protrombin : Mungkin memanjang (disfungsi hati). h. Bilirubin serum : Diatas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml, prognosis buruk mungkin berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler). i. Urinalisa : Peninggian kadar bilirubin; protein / hematuri dapat terjadi. j. Feces : Warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati). k. Gula darah : Hiperglikemia transien/hipoglikemia (gangguan fungsi hati).
28

l. Biopsi hati akan menjelaskan diagnosis pada kolestasis intrahepatik. Umumnya, biopsi aman pada kasus dengan kolestasis, namun berbahaya pada keadaan obstruksi ekstrahepatik yang berkepanjangan, karenanya harus disingkirkan dahulu dengan pemeriksaan pencitraan sebelum biopsi dilakukan. Ikterus Obstruktif Estrahepatik I. Foto polos abdomen. Pada pemeriksaan ini diharapkan dapat melihat batu dikandung empedu atau di duktus koledokus. Kadang-kadang pemeriksaan ini dipakai untuk skrening, melihat keadaan secara keseluruhan dalam rongga abdomen. (7) II. Ultrasonografi (USG). Ultrasonografi sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang menyebabkan kholestasis. Pemeriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus biliaris intra/ekstra hepatal sehingga dengan mudah dapat mendiagnosis apakah ada ikterus obstruksi atau ikterus non obstruksi. Apabila terjadi sumbatan daerah duktus biliaris yang paling sering adalah bagian distal maka akan terlihat duktus biliaris komunis melebar dengan cepat yang kemudian diikuti pelebaran bagian proximal.(7) III. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP). ERCP merupakan tindakan yang langsung dan invasif untuk mempelajari traktus biliaris dan sistem duktus pankreatikus. Ditangan yang berpengalaman ERCP mempunyai keberhasilan yang cukup tinggi dan tingkat keakuratan atau ketepatan kurang lebih 90%.(7) IV. Magnetic Resonance Cholangiopancreaotography (MRCP) MRCP adalah pemeriksaan duktus biliaris dan duktus pankreatikus dengan memakai pesawat MRI. Dengan memakai heavily T2W acquisition untuk memaksimalkan signal dari cairan yang menetap pada duktus biliaris dan duktus pankreatikus.(7) V. Percutaneus Transhepatik Cholangiography (PTC) PTC merupakan sarana diagnosis invasif untuk membedakan ikterus obstruktif ekstra dan intra hepatik serta menentukan lokasi sumbatan dan juga pada kebanyakan kasus etiologi dari pada obstruksi lainnya. Gambaran saluran empedu yang diperoleh PTC
29

tidak hanya memberikan informasi mengenai saluran empedu tetapi juga mempermudah menduga penyebabnya, sehingga dapat menjadi pedoman bagi ahli bedah dalam perencanaan operasinya.(7) VI. Percutaneus Transhepatic Billiary Drainage (PTBD). Teknik sama dengan PTC hanya di sini kateter masuk sampai melampaui obstruksi dan bisa sampai duodenum. Lebih ke arah terapi, karena flow dan cairan empedu masuk ke dalam side hole dari kateter.(7,8) VII. CT-Scan. Pemeriksaan CT Scan mengenai tractus biliaris banyak

dilakukan untuk melengkapi data suatu pemeriksaan sonografi yang telah dilakukan sebelumnya. Secara khusus CT Scan dilakukan guna menegaskan tingkat atau penyebab yang tepat adanya obstruksi/kelainan pada saluran empedu. Dalam hal ini CT Scan dinilai untuk membedakan antara ikterus obstruktif, apakah intra atau ekstra hepatik dengan memperhatikan adanya dilatasi dari duktus biliaris.(8)

3.4 Penatalaksanaan a. Ikterus Obstruktif Intrahepatik Tidak terdapat terapi spesifik untuk hepatitis virus akut. Tirah baring selama fase akut penting dilakukan, dan diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat umumnya merupakan makanan yang paling dapat dimakan oleh penderita. Pemberian makanan secara intravena mungkin perlu diberikan selama fase akut bila pasien terus menerus muntah. Aktifitas fisik biasanya perlu dibatasi hingga gejala mereda dan tes fungsi hati kembali normal. (8) b. Ikterus Obstruktif Ekstrahepatik Operasi pengangkatan kandung empedu melalui pembedahan tradisional dianggap sebagai cara pendekatan yang baku dalam penatalaksanaan penyakit ini. Namun demikian, perubahan dramatis telah terjadi dalam penatalaksanaan bedah dan nonbedah terhadap penatalaksanaan kandung empedu.(8) Penatalaksanaan Nonbedah
30

Penatalaksanaan Pendukung dan Diet. Diet yang diterapkan segera setelah suatu serangan yang akut biasanya dibatasi pada makanan cair rendah lemak. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim. Makanan berikut ini ditambahkan jika pasien dapat menerimanya: buah yang dimasak, nasi atau ketela, daging tanpa lemak, kentang yang dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi atau teh. Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang hanya mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluhkan gejala gastrointestinal ringan.(8) Farmakoterapi Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk) telah digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan asam kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dengan dosis yang lebih kecil untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu.(7). selain itu, dapat dibagi kolestiramin untuk menurnkan kadar kolesterol dan fitonadion sebagai vitamin K . Pelarutan Batu Empedu Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu bahan pelarut (Monooktanion atau Metal Tertier Butil Eter (MTBE) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini : melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu; melaui selang atau drain yang dimasukan melalui saluran T-tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui endoskop ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography); atau kateter bilier transnalas.(7) Pengangkatan Nonbedah Beberapa metode nonbedah digunakan untuk mengeluarkan batu yang belum terangkat pada saat cholesistektomy atau yang terjepit dalam duktus koledokus. Sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran T-tube atau lewat fistule yang terbentuk pada saat insersi T-tube, jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus koledokus.(9)
31

Extracorporeal Shock-Wafe Lithotripsy (ESWL) Prosedur litotripsi atau ESWL ini telah berhasil memecah batu empedu tanpa

pembedahan. Prosedur noninvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) kepada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus.(10) Intracorporeal Lithotripsy Pada lithotripsy intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoskop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi.(7) Penatalaksanaan Bedah Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan untuk mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama, untuk menghilangkan penyebab kolik bilier dan untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif kalau gejala yang dirasakan klien sudah mereda atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bilamana kondisi pasien mengharuskannya.(7,8) Kolesistektomi Kolesistektomi merupakan salah satu prosedur yang paling sering dilakukan, di Amerika lebih dari 600.000 orang menjalani pembedahan ini setiap tahunnya. Dalam prosedur ini, kandung empedu diangkat setelah arteri dan duktus sistikus diligasi.(10)

Minikolesistektomi Minikolesistektomi merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu

lewat insisi selebar 4 cm.(10) Kolesistektomi Laparoskopik (atau endoskopik) Prosedur ini dilakukan lewat luka insisi yang kecil atau luka tusukan melalui dinding abdomen pada umbilikus. Pada prosedur kolesistektomi endoskopik, rongga abdomen ditiup
32

dengan gas karbon dioksida (pneumoperitoneum) untuk membantu pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah melihat struktur abdomen.(11) Koledokostomi Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu.(11,12) Bedah Kolesistostomi Kolesistostomi dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang lebih luas atau bila reaksi infalamasi yang akut membuat system bilier tidak jelas.(12)

33

BAB IV

CASE PASIEN BAGIAN PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

Nama Mahasiswa NIM

: Maya Dwi Utami : 030.06.159

TandaTangan:

Dokter Pembimbing : dr. Asep Saiful Karim SpPD

I. IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap Jenis kelamin Umur Suku bangsa Status perkawinan Agama Pekerjaan

: Tuan. A : Laki-laki : 38 Tahun : Ambon : Menikah : Kristiani : Swasta

Pendidikan Terakhir : SMA Alamat Tanggal masuk RS : Jl. Mampang Perempatan RT 05/RW 02 No. 32 : 5 Desember 2011

II. ANAMNESIS Diambil dari autoanamnesis, tanggal 06 Desember , Jam 13.00 WIB
34

Keluhan Utama: Kedua mata kuning 3 minggu SMRS Keluhan Tambahan: Gatal-gatal, mual, nafsu makan berkurang, tidur terganggu, buang air kecil berwarna kuning gelap, buang air besar berwarna pucat seperti dempul Riwayat Penyakit Sekarang: Sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit, os merasakan kedua matanya berwarna kuning. Terkadang os merasa mual tetapi tidak ada muntah. Os juga mengaku nafsu makan mulai berkurang. Tidak ada demam. Terdapat gangguan pada buang air kecil dan buang air besar. Buang air kecil 3 kali sehari, sebanyak kurang lebih setengah aqua gelas berwarna agak kuning, tidak ada darah dan tidak ada rasa nyeri saat buang air kecil. Buang air besar 2 kali sehari dengan konsistensi padat berwarna agak pucat , tidak ada lendir dan tidak ada darah. Os merasakan mulai timbul rasa gatal pada kulit diseluruh tubuh. Sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, OS merasakan matanya semakin kuning, mual-mual tidak berkurang. Nafsu makan menurun . Tidak ada demam. Buang air kecil 3 kali sehari, sebanyak kurang lebih setengah aqua gelas berwarna kuning, lebih kuning dari biasanya, tidak ada darah dan tidak ada rasa nyeri saat buang air kecil. Buang air besar 2 kali sehari dengan konsistensi padat berwarna agak pucat , tidak ada lendir dan tidak ada darah. Rasa gatal pada kulit diseluruh tubuh tetap ada. Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, OS merasakan matanya bertambah kuning, kuning terbatas hanya pada kedua mata saja, kedua matanya tidak sakit, tidak gatal, dan tidak mengalami gangguan penglihatan. Mual-mual tidak berkurang. Nafsu makan os semakin menurun. Tidak ada demam. Buang air kecil 3 kali sehari, sebanyak kurang lebih setengah aqua gelas berwarna kuning gelap seperti air teh, tidak ada darah dan tidak ada rasa nyeri saat buang air kecil. Buang air besar 2 kali sehari dengan konsistensi padat berwarna semakin pucat , tidak ada lendir dan tidak ada darah. Rasa gatal dikulit dirasakan os semakin bertambah sehingga menyebabkan tidur os terganggu. Sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, OS merasakan kuning pada kedua matanya semakin berat, kedua matanya tidak sakit, tidak gatal, dan tidak mengalami gangguan
35

penglihatan. Mual-mual masih tetap dirasakan. Nafsu makan os belum membaik. Tidak ada demam. Buang air kecil 3 kali sehari, sebanyak kurang lebih setengah aqua gelas berwarna semakin kuning kecoklatan seperti air teh, tidak ada darah dan tidak ada rasa nyeri saat buang air kecil. Buang air besar 2 kali sehari dengan konsistensi padat berwarna semakin pucat seperti dempul, tidak ada lendir dan tidak ada darah. Rasa gatal dikulit dirasakan os semakin gatal sehingga os tidak bisa tidur semalaman. Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, OS merasakan kuning pada kedua matanya semakin berat, kedua matanya tidak sakit, tidak gatal, dan tidak mengalami gangguan penglihatan. Mual-mual masih tetap dirasakan. Os tetap mengeluh tidak nafsu makan . Tidak ada demam. Buang air kecil 3 kali sehari, sebanyak kurang lebih setengah aqua gelas berwarna semakin kuning kecoklatan seperti air teh, tidak ada darah dan tidak ada rasa nyeri saat buang air kecil. Buang air besar 2 kali sehari dengan konsistensi padat berwarna semakin pucat seperti dempul, tidak ada lendir dan tidak ada darah. Rasa gatal dikulit dirasakan os semakin bertambah gatal dan tidur os tetap terganggu karena os tidak bisa tidur semalaman. Tiga jam sebelum dirawat di bangsal lantai 5 RSUD Budi Asih, OS dibawa ke IGD RSUD Budi Asih karena khawatir akan kedua matanya yang semakin hari semakin kuning. Selain itu, keluhan mual tetap dirasakan. Os tidak bisa tidur semalaman akibat rasa gatal dikulit yang dirasa pasien sangat menganggu. Warna buang air kecil yang semakin hari semakin berwarna kuning coklat seperti air teh dan warna buang air besar yang semakin hari semakin pucat. Riwayat Penyakit Dahulu OS mengaku tidak pernah mengalami sakit kuning sebelumnya, tidak ada riwayat transfusi sebelumnya. Tidak ada riwayat tekanan darah tinggi dan kencing manis, riwayat sakit paru ataupun jantung. OS mengaku tidak pernah di rawat di rumah sakit sebelumnya dan tidak pernah mempunyai riwayat operasi.. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada yang menderita sakit kencing manis atau darah tinggi di keluarganya. OS dan keluarganya tidak ada yang mempunyai riwayat alergi

36

Riwayat Kebiasaan OS mengaku tidak pernah merokok, tidak pernah mengkonsumsi alkohol ataupun menggunakan obat-obatan dalam jangka waktu yang lama, tidak pernah mengkonsumsi narkotika, tidak ada riwayat pemasangan tato dan tidak pernah menjalani akupuntur. Os juga mengaku tidak pernah meminum jamu-jamuan. Riwayat Lingkungan Di lingkungan sekitar OS tidak ada yang menderita sakit kuning. III. ANAMNESIS MENURUT SISTEM Catatan keluhan tambahan positif disamping judul-judul yang bersangkutan Kulit ( - ) Bisul ( + ) Kering ( + ) Gatal-gatal Kepala ( - ) Trauma ( - ) Sinkop Mata ( - ) Nyeri ( - ) Sekret ( + ) Kuning / Ikterik Telinga ( - ) Nyeri ( - ) Sekret ( - ) Tinitus ( - ) Gangguan pendengaran ( - ) Kehilangan pendengaran ( - ) Radang ( - ) Gangguan penglihatan ( - ) Ketajaman penglihatan ( - ) Sakit kepala ( - ) Nyeri pada sinus ( - ) Rambut ( - ) Kuning / Ikterus ( - ) Petechiae ( - ) Keringat malam ( - ) Sianosis ( - ) kuku

37

Hidung ( - ) Trauma ( - ) Nyeri ( - ) Sekret ( - ) Epistaksis Mulut ( - ) Bibir kering ( - ) Gusi sariawan ( - ) Selaput Tenggorokan ( - ) Nyeri tenggorokan Leher ( - ) Benjolan Dada (Jantung/Paru) ( - ) Nyeri dada ( - ) Berdebar ( - ) Ortopnoe Abdomen (Lambung/Usus) ( - ) Rasa kembung ( + ) Mual ( - ) Muntah ( - ) Muntah darah ( - ) Sukar menelan ( + ) Nyeri perut (ulu hati) ( - ) Wasir ( - ) Mencret ( - ) Tinja darah ( + ) Tinja berwarna pucat ( seperti dempul) ( - ) Tinja berwarna hitam ( - ) Benjolan
38

( - ) Gejala penyumbatan ( - ) Gangguan penciuman ( - ) Pilek

( - ) Lidah kotor ( - ) Gangguan pengecap ( - ) Stomatitis

( - ) Perubahan suara

( - ) Nyeri leher

( - ) Sesak nafas ( - ) Batuk darah ( - ) Batuk

( - ) Perut membesar Saluran Kemih / Alat kelamin

( - ) Konstipasi

( + ) Warna kencing kuning kecoklatan seperti air teh ( - ) Disuria ( - ) Stranguria ( - ) Poliuria ( - ) Polakisuria ( - ) Hematuria ( - ) Kencing batu ( - ) Ngompol (tidak disadari) Saraf dan Otot ( - ) Anestesi ( - ) Parestesi ( - ) Otot lemah ( - ) Kejang ( - ) Afasia ( - ) Amnesia ( - ) Lain-lain Ekstremitas ( - ) Bengkak ( - ) Deformitas ( - ) Nyeri sendi ( - ) Sianosis ( - ) Sukar mengingat ( - ) Ataksia ( - ) Hipo / hiperesthesi ( - ) Pingsan ( - ) Kedutan (Tick) ( - ) Pusing (vertigo) ( - ) Gangguan bicara (Disartri) ( - ) Kencing nanah ( - ) Kolik ( - ) Oliguria ( - ) Anuria ( - ) Retensi urin ( - ) Kencing menetes ( - ) Penyakit Prostat

39

IV. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan Umum Tinggi Badan Berat Badan Tekanan Darah Nadi Suhu Pernafasaan Keadaan gizi IMT Kesadaran Sianosis Udema umum Habitus Mobilitas ( aktif / pasif ) Umur menurut taksiran pemeriksa : 160 cm : 52 kg : 120/80 mmHg : 72 kali/menit : 36,5 oC : 20 kali/menit : gizi baik : 20,31 kg/m2 : compos mentis : tidak ditemukan : tidak ditemukan : atletikus : aktif : sesuai dengan taksiran pemeriksa

Aspek Kejiwaan Tingkah Laku Alam Perasaan Proses Pikir : wajar : wajar : wajar

40

Kulit Warna Effloresensi Jaringan Parut Pertumbuhan rambut Suhu Raba Keringat Ikterus Lapisan Lemak Kelenjar Getah Bening Submandibula Supraklavikula Lipat paha Leher Ketiak Kepala Ekspresi wajah Simetri muka Rambut : baik : simetris : hitam, merata : teraba pulsasi : tidak teraba membesar : tidak teraba membesar : tidak diperiksa : tidak teraba membesar : tidak diperiksa : Sawo matang : tidak ada : tidak ada : merata : hangat : umum : Ada : distribusi merata Pigmentasi Lembab/Kering Pembuluh darah Turgor Oedem Lain-lain : merata : kering : normal : baik : tidak ada : tidak ada

Pembuluh darah temporal

41

Mata Exophthalamus Kelopak Konjungtiva Sklera Gerakan Mata Lapangan penglihatan Nistagmus Telinga Tuli Liang Telinga Serumen Cairan Mulut Bibir Langit-langit Gigi geligi Faring Lidah : normal : normal : normal : normal : normal Tonsil Bau pernapasan Trismus Selaput lendir : T1 T1 tenang : tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada : lapang : tidak ada : tidak ada Selaput pendengaran : utuh Penyumbatan Pendarahan : tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak oedem : tidak anemis Enopthalamus Lensa Visus : tidak ada : jernih : tidak dinilai

: kuning kehijauan (greenish jaundice) : normal : normal : tidak ada Tekanan bola mata : normal

42

Leher Tekanan Vena Jugularis (JVP) Kelenjar Tiroid Kelenjar Limfe kanan Dada Bentuk Pembuluh darah Buah dada Paru Paru Depan Inspeksi Kiri Kanan Palpasi Kiri Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis - Tidak ada benjolan - Fremitus taktil simetris Kanan - Tidak ada benjolan - Fremitus taktil simetris Perkusi Kiri Kanan Auskultasi Kiri Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru - Suara nafas vesikuler - Wheezing (-), Ronki (-) Kanan - Suara nafas vesikuler - Wheezing (-), Ronki (-) Belakang Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis - Tidak ada benjolan - Fremitus taktil simetris - Tidak ada benjolan - Fremitus taktil simetris Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru - Suara nafas vesikuler - Wheezing (-), Ronki (-) - Suara nafas vesikuler - Wheezing (-),Ronki (-)
43

: 5 - 2 cm H2O. : tidak tampak membesar : tidak tempak membesar

: datar, tidak cekung : normal : normal, simetris

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi : Tampak pulsasi iktus cordis 1 jari medial midklavikula kiri. : Teraba pulsasi iktus cordis 1 jari medial midklavikula kiri. : Batas kanan Batas kiri Batas atas : sela iga V linea parasternalis kanan. : sela iga V, 1cm sebelah medial linea midklavikula kiri. : sela iga II linea parasternal kiri.

Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler, Gallop tidak ada ,Murmur tidak ada. Abdomen -Inspeksi : tidak ada lesi, tidak ada bekas operasi, datar, simetris, smiling umbilicus tidak ada, dilatasi vena tidak ada -Auskultasi -Perkusi -Palpasi : bising usus + normal : timpani, shiffting dullness negatif : dinding perut datar, warna kulit sawo matang, kelainan kulit tidak ada nyeri tekan tidak ada

Hati

: tidak teraba Murphy sign negatif

Limpa

: Tidak teraba

Ginjal

: Balotement -/-, nyeri tekan negatif, nyeri lepas negatif, nyeri ketok CVA -/-

44

Anggota Gerak LENGAN Tonus Massa Otot Sendi Gerakan Kekuatan Oedem Petechie Lain-lain Kanan Normotonus Normal Normal Baik Kuat Tidak ada Tidak ada Tidak ada Kiri Normotonus Normal Normal Baik Kuat Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki TUNGKAI dan KAKI Luka Varises Tonus Massa Otot Sendi Gerakan Kekuatan Kanan Tidak ada Tidak ada Normotonus Normal Normal Aktif Kuat Kiri Tidak ada Tidak ada Normotonus Normal Normal Aktif Kuat

45

Oedem Petechie Lain-lain

Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada

V.Hasil pemeriksaan penunjang Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal: 5 desember 2011 pukul: 22:25 JENIS PEMERIKSAAN HEMATOLOGI LENGKAP Jumlah Leukosit Jumlah Eritrosit Hemoglobin Jumlah Hematokrit Jumlah Trombosit Laju Endap Darah HITUNG JENIS Basofil Eosinofil Batang Segment Limfosit * * * 0 1 1 72 8 % % % % % 01 13 26 50 70 20 40 * * 12.3 4.6 13 35 313 50 ribu/p juta/ p % ribu/ p mm/jam 5 10 4.6 6.2 13 - 16 40 48 150 400 <10 NILAI NORMAL

HASIL

SATUAN

CATATAN

46

Monosit KIMIA DARAH GLUKOSA Glukosa Sewaktu FUNGSI HATI BILIRIBUN Total Direk Indirek * * *

28

80

mg/dl

< 180

19.3 14.1 5.2

mg/dl mg/dl mg/dl

<1 < 0.6 < 0.4

SGOT SGPT SGOT SGPT FUNGSI GINJAL Ureum Creatinine EKTROLIT Natrium Kalium Clorida 144 3.7 109 mEg/I mEg/I mEg/I 135 153 3.5 5.3 98 - 109 25 0.6 U/I U/I 10 40 0.5 1.5 * * 82 103 U/I U/I < 32 < 24

47

Hasil Pemeriksaan USG Abdomen, Tanggal: 6 desember 2011 Hepar : Besar bentuk normal, permukaan regular. Echostruktur parenchim homogency menurun. Pembuluh darah normal, saluran bilier ectasis intra dan extra hepatic. Ductus choleductus melebar sampai ke ujung distal. Tak tampak SOL / kalsifikasi. Kantong Empedu : Besar dan bentuk normal, dinding tipis regular. Tidak tampak batu maupun sludge. Lien : Besar dan bentuk normal, echostruktur homogen. Tak tanpak lesi fokal / SOL. Vena lienalis tidak melebar. Pangkreas : Besar dan bentuk normal, echostruktur parenhim homogen. Ductus pancreatikus tidak melebar, tak tampak lesi fokal/SOL. Aorta : Bentuk dan kaliber normal, tidak tampak pembesaran pada KGB para aorta. Ginjal Kanan : Besar dan normal, permukaan regular. Batas cortex dan medulia jelas. Sistim pelviocalises normal. Tak tampak batu / SOL. Buli-buli : Besar dan bentuk normal, dinding tpis regular, tak tampak bayangan hyperechoik atau posterior acoustic shadow. Prostat : besar bentuk normal permukaan regular. Echostruktrur parenhim normat tak tampak lesi maupun kalsifikasi.

KESAN : Observasi ectasis intra dan extra hepar curiga sumbatan pada papilla vateri DD/ : 1. Stricture. 2. Massa. SARAN : MRCP

VI. RINGKASAN Seorang pria berusia 38 tahun merasakan keluhan kedua mata kuning sejak 3 minggu SMRS, os juga merasakan mual dan nafsu makan yang mulai berkurang, warna buang air kecil kekuningan, warna tinja agak pucat , os merasa muak dan nafsu makan menurun. Mulai timbul rasa gatal dikulit pada seluruh tubuh. OS merasakan kedua matanya semakin hari
48

semakin kuning. Os merasa mual nad nafu makan menurun. warna buang air kecil berubah mulai dari lebih kuning hingga kuning kecoklatan seperti air teh. Warna tinja pada buang air besar berubah mulai dari berwarna agak pucat hingga pucat seperti dempul. Os juga merasakan rasa gatal yang semakin hari semakin bertambah sehingga menganggu tidur, akibatnya os tidak bisa tidur semalaman. Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan kedua sklera pada mata berwarna kuning. Pada hasil pemeriksaan laboratorium di dapatkan kadar bilirubin total meningkat, kadar bilirubin indirek meningkat, kadar bilirubin direk meningkat , kadar SGOT meningkat, dan kadar SGPT meningkat. Kesan hasil USG Observasi ectasis intra dan extra hepar curiga sumbatan pada papilla vateri. VII. DAFTAR MASALAH 1. Ikterus Obstruktif 2. Gatal-gatal di seluruh tubuh 3. Mual 4. Anoreksia VIII. Analisis Masalah 1. Ikterus Obstruktif, DD/ Hepatitis B Pada anamnesis didapatkan keluhan kedua mata kuning sejak 3 minggu SMRS. Pada pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik +/+. Pada pemeriksaan laboratorium kadar bilirubin total 19.3 mg/dl , kadar bilirubin direk 14.1 mg/dl , kadar bilirubin indirek 5.2 mg/dl. Kadar SGOT 82 U/I, kadar SGPT 103 U/I. Pada pemeriksaan USG didapatkan Hepar : Besar bentuk normal, permukaan regular. Echostruktur parenchim homogency menurun. Pembuluh darah normal, saluran bilier ectasis intra dan extra hepatic. Ductus choleductus melebar sampai ke ujung distal. Tak tampak SOL / kalsifikasi. KESAN : Observasi ectasis intra dan extra hepar curiga sumbatan pada papilla vateri . DD : Stricture , Massa. Rencana pemeriksaan : Pemeriksaan urin lengkap Bilirubin total, direk, dan indirek SGOT, SGPT ulang HbsAg

49

Rencana terapi: Aminofusin hepar / 8 jam Komposisi : Kadar tinggi dari rantai cabang amino acids (isoleucine, leucine, valine) dan kadar rendah dari methionine, phenylalanine dan tryptophan. Asam amino lain, sorbitol, xylitol dan eletrolit.

Inikasi : nutrisi parenteral esensial untuk pasien dengan insufisiensi hati kronik yang berat.

Hepa Q 2 x 1 Komposisi : ekstrak Silybum Marianum 87,5 mg. Ekstrak Curcuma Xanthorrhizae 21 mg. Oleum Xanthorrizae 10 mg. Ekstrak Fructus Schisandrae 7.5 mg. Indikasi : suplemen untuk menyokonh fungsi hati

Urdodeoxycholic acid 2 x 1

Indikasi : hepatitis kolestasis, hepatitis aktif kronik (sirosis bilier primer/PBC, kolangitis sklerosing primer)

Hp pro , merupakan hepatoprotektor

Metil Predinisolon 3 x II tab (5 hari)

2. Gatal gatal diseluruh tubuh, DD/ Hepatitis B

Pada anamnesis didapatkan keluhan rasa gatal-gatal diseluruh tubuh sejak 1 minggu SMRS. Pada pemeriksaan fisik terdapat kulit kering. Pada pemeriksaan laboratorium kadar
50

bilirubin total 19.3 mg/dl , kadar bilirubin direk 14.1 mg/dl , kadar bilirubin indirek 5.2 mg/dl.

Rencana terapi : Bedak salicyl

3. Mual, DD/ Hepatitis B

Pada anamnesis didapatkan keluhan mual sejak 3 minggu SMRS. Pada pemeriksaan tidak terdapat nyeri tekan pada abdomen.

Rencana terapi : Ondancentron HCL 2 x 1

Indikasi : mual dan muntah karena kemoterapi, radioterapi atau pasca operasi 4. Anoreksia

Pada anamnesis didapatkan keluhan nafsu makan yang mulai berkurang sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit.

Rencana terapi : curcuma 3 x 1

komposisi : bubuk dari akar curcuma

indikasi : anoreksia , ikterus karena obstruksi.

IX. PROGNOSIS 1. Ad vitam 2. Ad Functionam 3. Ad Sanationam : ad bonam : dubia ad bonam : ad bonam

51

X. Follow up

Tanggal 6 Desember 2011

A Compos Ikterus Obstruktif

P Infus aminofusin hepar : asering /8 Jam

Kedua mata kuning KU: (+) Badan gatal-gatal (+) Mual (+) Mentis

TD : 120/80 Suhu : 36,5o C

BAK kuning seperti HR : 72 x/menit air teh (+) BAB pucat RR : 20 x/menit, seperti teratur

Ondancentron HCL 2 x 1 ampul

dempul (+) Tidak nafsu makan PF : SI +/+

Ceftriaxone 2 x1 gr

LAB : Bilirubin 19.3 mg/dl Bilirubin 14.1 md/dl Bilirubin indirek 5,2 mg/dl SGOT : 82 U/I SGPT : 102 U/I Urdodeoxycholic acid 2 x 1 Hp pro 3 x 1 direk total Metil Prednisolon 3 x II tab (5 hari) Hepa Q 2 x 1

Curcuma 3 x 1

Bedak salicyl

Cek

ulang

SGOT/SGPT, bilirubin total,

direk, indirek
52

USG Abdomen

7 Desember 2011

Kedua mata kuning KU: (+) Badan gatal-gatal (+) Mual (-) Mentis

Compos Ikterus Obstruktif e.c

Infus aminofusin hepar : asering /8 Jam

TD : 110/70

sumbatan pada papilla Ceftriaxone 2x1 vateri. DD/ gr , Metil Prednisolon 3 x

BAK kuning seperti Suhu : 36,5o C air teh (+) BAB pucat HR : 72 x/menit

seperti RR : 24 x/menit, striktur teratur massa.

dempul (+) Semalaman tidak bisa tidur karena gatal (+) Nafsu makan belum membaik

PF : SI +/+

II tab (5 hari)

USG : observasi ectasis intra dan ekstra curiga pada vateri. hepatik, sumbatan papilla DD :

Hepa Q 2 x 1

Hp pro 3 x 1

Urdodeoxycholic acid 2 x 1

striktur, massa Curcuma 3 x 1

Bedak salicyl

Cek

ulang

SGOT/SGPT, bilirubin total,

direk, indirek

53

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal: 8 desember 2011 pukul: 22:25 JENIS PEMERIKSAAN KIMIA DARAH FUNGSI HATI BILIRIBUN Total Direk Indirek SGOT SGPT SGOT SGPT * * 130 106 U/I U/I < 32 < 24 * * * 17.8 14.2 3.6 mg/dl mg/dl mg/dl <1 < 0.6 < 0.4 NILAI NORMAL

HASIL

SATUAN

CATATAN

Follow Up Lanjutan 8 Desember 2011 Kedua mata kuning KU: (+) Badan gatal-gatal (+) Mual (-) Mentis TD : 110/70 Suhu : 36,5o C Compos Ikterus obstruktif e.c sumbatan pada papilla Ceftriaxone 2 x1 Infus aminofusin hepar : asering /8 Jam

BAK kuning seperti HR : 72 x/menit air teh (+) BAB pucat

RR : 24 x/menit, vateri. DD/ gr seperti teratur striktur massa , Metil Prednisolon 3 x II tab (5 hari)

dempul (+) Semalaman tidak bisa PF : SI +/+ tidur karena gatal (+) Nafsu makan mulai LAB :

54

membaik

Bilirubin Total 17.8 mg/dl Bilirubin Direk 14.2 mg/dl Bilirubin Indirek 3.6 mg/dl

Hepa Q 2 x 1

Hp pro 3 x 1

Urdafalk 2 x 1

Curcuma 3 x 1

Bedak salicyl SGOT: 130 SGPT : 106

XI. DISKUSI KASUS Dalam teori pada ikterus obstruktif gejala awal yang terjadi ialah terjadi perubahan warna urin yang menjadi lebih kuning, gelap, tinja pucat, dan gatal (pruritus) yang menyeluruh adalah tanda klinis adanya kolestasis. Kolestasis kronik bisa menimbulkan pigmentasi kulit kehitaman, ekskoriasi karena pruritus, perdarahan diatesis, sakit tulang, dan endapan lemak kulit (xantelasma atau xantoma). Gambaran seperti di atas tidak tergantung penyebabnya. Keluhan sakit perut, gejala sistemik (seperti, anoreksia, muntah, demam atau tambahan tanda gejala mencerminkan penyebab penyakit dasarnya daripada kolestasisnya dan karenanya dapat memberi petunjuk etiologinya. Bilirubin yang telah mencapai konsentrasi yang lebih tinggi sering warna kuning sklera mata memberi kesan berbeda di mana ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik. Malabsorpsi lemak yang merupakan akibat dari kolestasis sering menyebabkan anorexia. Pada kasus ini gejala yang ada ialah kedua mata yang kuning (ikterus lebih memberi kesan kehijauan greenish jaundice pada kolestasis ekstrahepatik), mual, nafsu makan menurun, kemudian diikuti dengan warna urin yang lebih kuning seperti air teh, warna tinja pucat seperti dempul, dan gatal-gatal di badan yang menyeluruh. Penatalaksanaan pada kasus ini diberikan aminofusin hepar sebagai nutrisi parenteral esensial untuk pasien dengan insufisiensi hati
55

kronik yang berat. Diberikan injeksi ondancentron HCL untuk menghilangkan mual, injeksi ceftriaxone untuk mengatasi leukositosis. Metil Prednisolon diberikan untuk mengurangi inflamasi akibat obstruksi yang disebabkan ectasis atau striktur. Obat oral Hp Pro dan Hepa Q diberikan sebagai hepatoprotektor dan untuk menyokong fungsi hati. Bedak salicyl diberikan sebagai obat luar untuk terapi simtomatik gatal-gatal.

Tanggal 8 Desember 2011 pukul 12.15 pasien dirujuk ke RSCM ke bagian hepatologi untuk tindakan lebih lanjut.

56

BAB V KESIMPULAN Ikterus obstruktif bukan suatu kelainan baru dalam dunia kedokteran lagi. Di Indonesia, ikterus menjadi suatu fenomena yang sering menyerang sistem pencernaan dan merupakan penyakit yang sering terlewatkan kerana gejala-gejala klinis yang sangat minim pada penderitanya. Gejala-gejalanya hanya sebatas menunjukkan adanya kelainan pada metabolisme bilirubin namun lokasi dan keterlibatan organ-organ lain tidak dapat dipastikan tanpa melakukan pemeriksaan penunjang. Jika dibandingkan dengan teknologi lalu, untuk mendiagnosa pasien dengan penyakit ini adalah sangat sulit, lebih-lebih lagi untuk menentukan lokasi kelainan atau obstruksi yang terjadi. Dengan kemajuan teknologi hari ini seperti USG, MRI, CT Scan dan sebagainya menjadi suatu tunjangan untuk menegakkan diagnosa pada pasien yang menderita ikterus obstruktif ini. Malah, kewujudan prasarana ini sangat membantu mengelakkan terjadinya malpraktek dan misdiagnosis pada kasus-kasus seperti ini. Selain itu, dapat disimpulkan sekaligus menghubungkaitkan ikterus obstruktif dengan gaya hidup seseorang. Pengamalan gaya hidup yang tidak sehat secara tidak langsung meningkatkan angka kejadian kasus seperti ini. Dari penelitian juga telah membuktikan penderita dengan penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, sindroma metabolic dan sebagainya lebih cenderung untuk menghidap penyakit ini. Namun, dengan penanganan yang tepat, pengobatan serta tatalaksana yang jelas pada kasus ini memberikan prognosis dan hasil yang baik. Namun, kekambuhan juga bisa terjadi. Segalanya tergantung kepada keberhasilan pengobatan, kejelasan edukasi pada penderita, keteraturan pasien dalam pengobatan dan kerutinan pasien untuk rutin kontrol.

57

DAFTAR PUSTAKA

1. Sulaiman, Ali. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam : Aru W Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pnerbitan IPD FKUI, 2007. h. 420-423 2. Crawford JM.. Liver and Biliary Tract. Dalam : Kumar, Vinay et al. Robbins and Cotran: Pathologic Basis of Disease, 7th ed. Saunders Elsevier, USA. 2005. H. 206 3. Guyton, Arthur C dan John E hall. Fisiologi Gastrointestinal. Dalam : Irawati Setiawan (Editor Bahasa Indonesia) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC, 1997. h. 1108-1109 4. Chawla A, Maheshwari M,dan Parmar H. Obstructive Jaundice In A Case Of Portal Hypertension. The British Journal of Radiology. 2003;76:667669 5. Center SA. Diseases of the gallbladder and biliary tree. Vet Clin North Am Small Anim Pract. May 2009;39(3):543-98 6. Kimmings AN et al. Endotoxin, cytokines, and endotoxin binding proteins in obstructive jaundice and after preoperative biliary drainage. Gut. 2000;46:725-731 7. William C. Meyers. Neoplasms. Dalam : Courtney M. Townsend. Sabiston Textbook Of Surgery 16th Ed. Philadelphia: W B Saunders, 2001. h. 380 8. American Society of Gastrointestinal Endoscopy. Technology status evaluation: magnetic resonance pancreatography. In: American Society of Gastrointestinal Endoscopy Clinical Guidelines 9. Date RS dan Ajith KS. Laparoscopic Biliary Bypass and Current Management Algorithms for the Palliation of Malignant Obstructive Jaundice. Annals of Surgical Oncology. 2004;11(9):815817 10. Bertrand Suc et al. Surgery vs Endoscopy as Primary Treatment in Symptomatic Patients With Suspected Common Bile Duct Stones. ARCH SURG. 1998;133:702-708 11. Doherty, GM dan Lawrence W. Way. Liver & Portal Venous System. Dalam : Gerard MM dan Lawrence WW. Current Surgical Diagnosis and Treatment, 11 Ed. Europe: McGraw-Hill Education, 2003. h. 288 12. Marrelli D, Caruso S, Pedrazzani C, et al. CA19-9 serum levels in obstructive jaundice: clinical value in benign and malignant conditions. Am J Surg. Apr 16 2009

58

13. Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, hal 71 77, Bina Rupa Aksara, Jakarta. 14. Mansjoer A. etal, 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512. Penerbit Media Aesculapius, FKUI, Jakarta.

59

Anda mungkin juga menyukai