Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penduduk Indonesia memiliki jumlah penduduk yang terbesar kelima di dunia, yaitu lebih kurang 220 juta jiwa. Dan, lebih kurang 60 persen diantaranya hidup dan bermukim di sekitar wilayah pesisir. Sebagian besar diantaranya menggantungkan hidup kepada keberadaan sumberdaya alam pesisir dan lautan. Sehingga tidaklah mengherankan jika sebagian besar kegiatan dan aktivitas sehari-harinya selalu berkaitan dengan keberadaan sumberdaya di sekitarnya. Tak lain halnya dengan kondisi masyarakat nelayan yang berada di wilayah pesisir. Berdasarkan pada aspek geografisnya, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tumbuh dan berkembang di wilayah pesisir. Kehidupan mereka sangat bergantung pada kondisi alam yang ada di wilayah pesisir yang ada di sekitar mereka. Karena hidup mereka berada di wilayah pesisir, maka tak salah bila roda ekonomi yang berjalan dalam kehidupan mereka sangat bergantung pada bidang perikanan. Masyarakat nelayan merupakan pelaku utama dalam menentukan dinamika ekonomi yang ada di wilayah lokal. Masyarakat nelayan merupakan kelompok masyarakat yang tidak mendapat perhatian serius bagi kalangan masyarakat lainnya. Salah satu faktor yang menyebabkan nelayan kurang mendapatkan perhatian yang serius dari khalayak umum adalah kebijakan pembangunan yang selama ini tidak memprioritaskan persoalan perikanan dan kelautan. Akibat dari masalah itu, pada akhirya masyarakat nelayan kurang mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah maupun publik. Karena adanya sikap dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan perhatian dari masyarakat yang kurang serius dalam menangani masalah-masalah yang ada di dalam komunitas nelayan. Akhirnya masyarakat nelayan berusaha sendiri untuk terus bertahan dalam menghadapi berbagai hantaman dunia modern. Sikap-sikap yang ada demikian merupakan hasil dari buruknya hubungan yang dibangun antara pihak pemerintah dengan masyarakat nelayan.

B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam makalah ini adalah : 1. Bagaimana kehidupan masyarakat maritim di Indonesia ? 2. Bagaimana pengetahuan masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumber daya alam ? 3. Bagaimana sikap masyarakat nelayan dalam menghadapi kehidupan di wilayah maritim ? 4. Bagaimana tindakan masyarakat nelayan dalam pembagian kerja ?

C. Tujuan Adapun tujuan dari isi makalah ini adalah untuk mengetahui kehidupan masyarakat maritim khususnya nelayan dalam menjalani kehidupan di wilayah pesisir.

BAB II PEMBAHASAN

A. Kehidupan Masyarakat Maritim di Indonesia Kehidupan masyarakat maritim di Indonesia sangatlah memprihatinkan.

Kemiskinan seolah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Saat ini sekitar 32 persen populasi masyarakat pesisir yang mencapai 16,42 juta jiwa berada pada level di bawah garis kemiskinan.Sebagai negara maritim kita harusnya melirik masyarakat pesisir untuk diberdayakan dan berusaha mengangkat mereka dari garis kemiskinan karena pengelolaan sumber daya laut kita merupakan sebuah peluang besar jika kekayaan tersebut dikelola oleh sumber daya manusia yang baik. Masyarakat nelayan tidak dapat dikatakan sebagai kumpulan individu yang memiliki etos kerja yang rendah karena aktivitas keseharian mereka adalah bekerja keras dan tidak pula dapat dikatakan bahwa kelas sosial di atasnyalah yang menyebabkan mereka tetap berada pada garis kemiskinan karena berbagai lembaga baik formal nonformal juga swasta maupun pemerintah yang terkait dengan bidang ini tentu saja memberikan dukungan dalam rangka memberdayakan masyarakat pesisir sekaligus dapat menghindarakan masyarakat pesisir dari ketidakaadilan. Lalu apa masalahnya sehingga tetap saja masyarakat miskin di wilayah pesisir sulit untuk berkembang bahkan terus bertambah. Di Dusun Ujung Baru, Kecamatan Polewali, Kabupaten Polewali Mandar yang merupakan salah satu titik masyarakat pesisir di Kabupaten Polewali Mandar dapat dilihat sebuah fenomena kemiskinan masyarakat yang seolah terabaikan dan pada masyarakat pesisir ini pun seolah kemiskinan bukan lagi menjadi sebuah persoalan karena menjadi lumrahnya masalah ini di sekitar mereka. Penduduknya yang berjumlah kurang lebih 300 jiwa ini sekitar 70% di antarannya hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka bekerja sebagai nelayan tradisional yang dalam kesehariannya melakukan aktifitas pengkapan ikan secara sederhana. Untuk Provinsi Sulawesi Barat khusus Kab. Polewali Mandar index manusia yang mengalami kemiskinan adalah 23,50% pada tahun 1999 dan meningkat menjadi 27,10% pada tahun 2002 (www.datastatistik-indonesia.com) Masyarakat pesisir di Dusun Ujung Baru umumnya merupakan kelompok yang sangat sulit untuk diorganisasikan. Nelayan juga umumnya merupakan kelompok masyarakat yang tidak memiliki alur-kas sehingga konsep perencanaan ekonominya sangat tidak pasti. Oleh karena itu, kelompok nelayan lebih banyak
3

bergerak dalam kesatuan-kesatuan informal tanpa memiliki perencanaan ekonomi yang jangka panjang dan juga wilayah tersebut belum banyak tersentuh oleh program kemiskinan yang terkhusus menyentuh masyarakat pesisir miskin. Pemanfaatan sumber daya laut merupakan salah satu penyebab sulitnya masyarakat keluar dari garis kemiskinan dan meningkatkan taraf hidupnya. Seperti misalnya diantara biota laut yang di dapatkan langsung dijual tanpa melalui pengolah bisa jadi ini disebabkan karena kurangnya keterampilan masyarakat sekitar untuk memanfaatkan hasil tangkapan untuk diolah menjadi sebuah produk rumah tangga yang mempunyai nilai ekonomis sehingga dapat pula menopang ekonomi keluarga sementara disisi lain ada beberapa anggota masyarakat yang terkadang sulit menerima suatu tawaran perubahan karena menyangut kehidupan nelayan dan keluarganya. Di Dusun Ujung Baru hal seperti ini terkadang terjadi, sempitnya pola pikir membuat masyarakat kurang berani untuk mengambil resiko untuk merubah pola hidupnya. Selain dari pada itu masyarkat pesisir Mandar memiliki perbedaan yang mendasar dengan masyarkat pesisir dari Suku Makassar, nelayan Suku Bugis maupun nelayan Suku Bajo dalam hal orientasi kelautan yaitu Suku Bajo menjadikan kapal atau perahunya sekaligus rumah sedangkan orang makassar pernah terkenal dengan armada kapal perang yang membuat mereka memiliki pengaruh kuat di Nusantara. Orang Bugis adalah pedagang antar pulau yang disegani. Sedemikian kuat pengaruh dagang mereka sampai-sampai di beberapa tempat ada daerah bernama kampong Bugis misalnya di Singapura,

Alimuddin,(2005:2). Sedangkan orang Mandar lebih berorientasi pamanfaatan sumberdaya laut untuk kebutuhan sehari-hari. Orang bugis sebenarnya bukanlah pelaut ulung, orang bugis sebenarnya adalah pedagang, laut dan kapal hanyalah media dan sarana yang digunakan untuk memperlancar aktivitas perdagangan mereka. Kalau menyebut pelaut ulung yang paling tepat adalah orang mandar Miskin di antara sumberdaya alam laut yang melimpah ruah dan mentalitas yang terbangun dengan budaya kelautan serta dengan totalitas menggantungkan kehidupannya pada laut tentu saja memiliki alasan. Kemiskinan yang di derita oleh suatu masyarakat merupakan sebuah masalah tetapi dengan kriteria seperti ketersediaan sumberdaya alam, mentalitas masyarakat serta totalitas yang cukup besar tentu saja menghasilkan masalah kemiskinan yang berbeda. Untuk membahas masalah kemiskinan perlu diidentifikasi apa sebenarnya yang di maksud
4

dengan miskin atau kemiskinan dan bagaimana mengukurnya. Konsep yang berbeda akan melahirkan cara pengukuran yang berbeda pula, setelah itu di cari faktor-faktor dominan baik sifatnya kultural maupun struktural yang menyebabkan kemiskinan terjadi dan yang terakhir adalah mencari solusi yang relevan dari permasalahan itu. Yang menjadi sulit dalam mengentaskan kemiskinan bukan saja sifatnya yang multi dimensional, kompleks, dinamik, sarat dengan sistem institusi, dan perisitiwa yang berbeda di setiap lokasi.

B. Pengetahuan Masyarakat Pesisir dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber daya alam masyarakat pesisir mempunyai potensi yang sangat besar, namun terkadang masyarakat pesisir tidak mampu untuk mengelolanya. Tidak semua masyarakat pesisir tidak mampu mengelola sumber daya alam yang ada disekitarnya. Sebagian masyarakat pesisir yang mampu mengelola sumber daya alamnya terkadang tidak dihargai. Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat pesisir adalah lagu lama yang tak dapat dielakkan disepanjang sejarah berdirinya republik Indonesia hingga bergulirnya era reformasi, rintihan pilu masyarakat pesisir tidak jua kunjung reda. Semestinya bangsa ini berbangga diri memiliki masyarakat yang rela mencurahkan hidup dan matinya untuk mengelola sumber daya kemaritiman. Mengingat pembangunan kemaritiman bagi bangsa ini merupakan modal besar dan peluang lebar untuk menuju persaingan ekonomi global. Dengan memberdayakan masyarakat pesisir dari kemiskinan dan keterbelakangan adalah langkah yang sangat mendasar dalam tahap awal pembangunan kemaritiman. Namun, pada kenyataannya langkah tersebut belum menunjukkan sinyal yang pasti. Kurangnya akses pendidikan dan kesehatan bagi masyarkat pesisir adalah suatu pertanda bahwa nasib mereka masih berada dalam ketidak jelasan, sehingga akibatnya sumber daya masyarakat (SDM) yang mereka miliki sangat minim dalam mengelola kekayaan laut yang melimpah. Bukannya mereka tidak memiliki usaha yang keras dan keinginan yang gigih dalam memajukan sosial-ekonominya. Tapi, karena keterbatasan pendidikan, informasi dan teknologi yang membuat mereka harus menerima apa adanya. Masyarakat pesisir memiliki keinginan besar untuk terus mengembangkan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi wilayahnya, namun untuk mewujudkan keinginan tersebut terdapat berbagai hambatan besar yang diciptakan dari kesalahan sejarah. Masyarakat pesisir saat ini tidak berposisi sebagai penerima warisan, melainkan bagaimana mereka mencipta
5

dan memberikan warisan untuk anak cucu mereka kelak, seperti pembuatan jalan raya, fasilitas ekonomi perikanan, fasilitas umum-sosial, dan seterusnya. Usaha pemberdayaan, menurut Haque, et.al dalam Nikijuluw (2000) adalah pembangunan. Menurut mereka pembangunan adalah collective actionyang berdampak pada individual welfare. Dengan kata lain maka membangun adalah memberdayakan individu dan masyarakat. Memberdayakan berarti bahwa keseluruhan personalitas seseorang ditingkatkan. Jadi pemberdayaan masyarakat berarti membangun collective personality of a society. Kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan paling tidak oleh tiga hal utama, yaitu : 1. kemiskinan struktural, 2. kemiskinan super-struktural,dan 3. kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal di luar individu. Variabel-variabel tersebut adalah struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Artinya semakin tinggi intensitas, volume dan kualitas variabelvariabel ini maka kemiskinan semakin berkurang. Khusus untuk variabel struktur sosial ekonomi, hubungannyadengan kemiskinan lebih sulit ditentukan. Yang jelas bahwa keadaan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi di sekitar atau di lingkup nelayan menentukan kemiskinan dan kesejahteraan mereka. Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena

variabelvariabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabelvariabel superstruktur tersebut diantaranya adanya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan superstruktural ini sangat sulit diatasi bila saja tidak disertai keinginan dan kemauan secara tulus dari pemerintah untuk mengatasinya.Kesulitan tersebut juga disebabkan karena kompetisi antar sektor, antar daerah, serta antar institusi yang membuat sehingga adanya ketimpangan dan kesenjangan pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini hanya bisa diatasi apabila
6

pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah, memiliki komitmen khusus dalam bentuk tindakan-tindakan yang bias bagi kepentingan masyarakat miskin.

C. Sikap Masyarakat Nelayan Dalam Menghadapi Kehidupan Di Wilayah Maritim Bagi masyarakat nelayan, khusunya nelayan kecil atau nelayan tradisisional, kebutuhan akan modal usaha, yang bisa diakses atau yang bisa didayagunakan setiap saat, saat tinggi. Kondisi ini merupakan respon besarnya biaya investasi di sektor perikanan tangkap, sedangkan perolehan pendapatan tidak pasti dan tingkat penghasilan bervariatif. Dengan kebutuhan konsumsi rumah tangga yang harus dipenuhi setiap hari, nelayan tidak memiliki tabungan dana yang mencukupi jika suatu saat harus berhadapan dengan kenyataan bahwa sarana-prasarana penangkapan yang mereka gunakan mengalami kerusakan dan membutuhkan biaya perbaikan yang cukup besar. Keterbatasan pemilikan dana kontan inilah yang kemudian mendorong nelayan terperangkap dalam jaringan utang piutang yang kompleks, khusunya kepada para rentenir atau penyedia kredit informal. Kehidupan nelayan memang sangat rentan dengan ekonomi. Terlebih ketika mereka semata-mata bergantung pada hasil tangkapan ikan di laut. Ketika laut semakin sulit memberikan hasil yang maksimal, maka hal ini merupakan salah satu ancaman bagi keberlangsungan kehidupan ekonomi pada masa-masa selanjutnya. Rentannya kehidupan nelayan ini bukan hanya menyangkut aset kebendaan atau materi saja, akan tetapi ketidakmampuan nelayan untuk mengelola keuangan mereka adalah salah satu pemicu masalah kemiskinan nelayan di sekitar pesisir. Potret rumah tangga nelayan biasanya diwarnai oleh pola gaya hidup yang belum sepenuhnya berorientasi pada masa depan. Berbagai bentuk bantuan yang diberikan pemerintah ternyata belum sepenuhnya mampu memjawab persoalan yang sedang terjadi dalam kehidupan nelayan tradisional ini. Banyak bantuan yang akhirnya memapankan segelintir orang yang pada akhirnya melahirkan toke (tengkulak) baru di tengah-tengah kominutas nelayan. Bantuan tersebut pun banyakan bersifat karitatif, tidak membangun kesadaran nelayan pada komunitas nelayang tersebut. Sehingga yang terjadi adalah bantuan tersebut ibara memberikan ikan, bukan memberikan pancing. Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Sudirman Saad menyatakan bahwa kondisi masyarakan pesisir saat ini sangat memprihatinkan. Realitanya
7

ada empat persoalan pokok, tingginya tingkat kemiskinan, tingginya kerusakan sumber daya persisir, rendahnya kenadirian organisasi sosial desa, dan yang terakhir rendahnya infrastruktur desan dan kesehatan lingkungan pemukiman. Ujar Sudirman. Tercatat pada tahun 2010 angka kemiskinan di 10.639 desa pesisir mencapai 7,8 juta jiwa yang terdapat 10.639 desa pesisir. Atas dasar realita tersebut, Dirjen KP3K menginisiasi suatu program inovatif untuk memberi spirit bagi kenajuan desa pesisir yaitu Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT). Sasaran dari PDPT ini adalah 6.639 desa pesisir, 16 cluster desa dengan kriteria mempunyai potensi lokal unggul, mempunyai kondisi lingkungan pemukiman kumuh, terjadi degradasi lingkungan pemukiman kumuh, rawan bencana dan perubahan iklim." tambah Sudirman. Sebagai pendukung kebijakan industrialisasi kelautan dan perikanan, program PDPT merupakan benteng ekologis dalam mengurangi resiko bencana dan dampak perubahan iklim, penguatan desa-desa pesisir terluar yang menjadi basis geopolitik untuk ketahanan nasional, dan penguatan identitas bahari berdasarkan nilai-nilai budaya lokal. Nelayan lokal umumnya sangat bergantung pada sumber daya laut untuk kelangsungan hidup mereka. Populasi terumbu karang yang rendah disertai adanya indikasi penurunan berdampak terhadap penghasilan masyarakat lokal. Masyarakat pun menyadari bahwa sangat penting untuk menjaga kelangsungan terumbu karang dalam kondisi optimal untuk pemulihan ekosistem sehingga berdampak terhadap penghidupan nelayan lokal. Masyarakat lokal di kawasan Ujung Kulon telah mendirikan sebuah prakarsa kegiatan Perlindungan dan Pengelolaan Sumber daya Pesisir atau Coastal Resource Management and Protection (CRMP). Oleh karena itu mereka membutuhkan dana untuk keberlangsungan aktivitas patroli berkala sebagaimana dapat memberikan penghasilan untuk keluarganya.

D. Tindakan Masyarakat Nelayan dalam Pembagian Kerja Pembagian kerja yang dilakukan nelayan pada komunitas industri penangkapan ikan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Ketika menggunakan teknologi pancing, jala dan bubu pembagian kerja tidak ada. Pembagian kerja hanya terlihat antara pria dan wanita. Menurut Braverman (1974), pembagian kerja pria-wanita merupakan kecenderungan saling melengkapi dalam pembagian kerja rumah tangga sebagai unit produksi.
8

Ketika teknologi bagan dikenal, penangkapan dilakukan berkelompok, pembagian sederhana mulai tercipta. Untuk mengoperasikan bagan, sudah dikenal adanya divisi kerja dan jenjang kerja. Divisi kerja mencakup divisi yang melayarkan dan menjaga posisi perahu saat beroperasi, divisi yang menangani lampu penerang, dan divisi yang mengambil ikan dan jaring. Untuk rompong dekat, pembagian kerja melibatkan divisi mesin, pengoperasian jaring, penangkapan dalam jaring serta pemuatan dalam perahu, dan divisi pemasaran. Bagi hasil disesuaikan dengan posisi dalam pembagian kerja. Pada tahap ini, pemasaran tidak lagi mengandalkan pedagang lokal, sebagian mengupayakan pengadaan mobil truk untuk memasarkan sendiri. Pembagian kerja untuk penangkapan pada rompong jauh terbagi dalam delapan divisi kerja yakni, (1) persiapan pemberangkatan; (2) pengoperasian dan perawatan mesin; (3) pengoperasian dan perawatan jarring gae; (4) pengoperasian gae dan penyelaman; (5) pengesan dan pemuatan ikan dalam bak perahu; (6) konsumsi dan pembantu umum; (7) pengesan dan pengepakan tangkapan di darat; (8) pengangkutan dan pemasaran. Divisi mesin terdiri dari jurumudi dan dua pembantu jurumudi, seorang sawi pada mesin penarik perahu (100-190 PK), seorang sawi pada mesin penarik gae (19 PK) dan seorang sawi pada mesin menyelam (19 PK). Selanjutnya yaitu divisi pengoperasian gae dan penyelaman terdiri dari sawi yang mengintip ikan di atas pelampung rompong (5 orang), sawi yang membuang batu pelampung (1 orang), sawi yang melingkarkan jaring gae (3 orang), dibantu sawi mesin penarik gae. Ketika ikan sudah terjaring, penyelam dengan kompresor turun ke dalam jaring mengambil ikan dan membawanya ke perahu. Setelah ikan yang tersisa memungkinkan ditarik dengan gae, mesin penarik gae diaktifkan sehingga semua ikan terangkut ke atas perahu. Pekerjaan di atas perahu menjadi tugas divisi pemuatan dan pengesan ikan. Mereka menjemput ikan dari penyelam, mengambil ikan dari jaring gae menyiapkan es dalam bak penampungan, serta memuat ikan dalam bak. Setelah ikan termuat, operasi penangkapan dianggap selesai. Divisi pembantu umum adalah juru masak dan satu-dua orang sawi junior yang tugasnya menimba air dari lambung perahu. Juru masak bertanggung jawab atas persediaan bahan makanan. Selanjutnya yaitu divisi penanganan tangkapan di darat bukan lagi bagian dari organisasi pengangkapan. Mereka adalah sawi darat yang menurunkan ikan

dari perahu, membersihkan dan mengelmpokkan berdasarkan jenis dan ukuran, member es, dan menyusun bak dalam kemasan di atas truk. Divisi pengangkutan dan pemasaran terdiri dari sopir, tenaga administrasi, dan dua kenek. Divisi ini beroperasi ke ibu kota kabupaten, Makassar, Pinrangm Polmas, Mamuju, hingga ke Balikpapan dan Samarinda. Mereka memutuskan di mana ikan dipasarkan. Anggota divisi ini ada yang digaji per hari ditambah bonus, ada juga digaji per bulan. Porsi bagi-hasil disesuaikan dalam pembagian kerja.

10

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN Kehidupan nelayan memang sangat rentan dengan ekonomi. Terlebih ketika mereka semata-mata bergantung pada hasil tangkapan ikan di laut. Ketika laut semakin sulit memberikan hasil yang maksimal, maka hal ini merupakan salah satu ancaman bagi keberlangsungan kehidupan ekonomi pada masa-masa selanjutnya. Pemanfaatan sumber daya laut merupakan salah satu penyebab sulitnya masyarakat keluar dari garis kemiskinan dan meningkatkan taraf hidupnya. Seperti misalnya diantara biota laut yang di dapatkan langsung dijual tanpa melalui pengolah bisa jadi ini disebabkan karena kurangnya keterampilan masyarakat sekitar untuk memanfaatkan hasil tangkapan untuk diolah menjadi sebuah produk rumah tangga yang mempunyai nilai ekonomis sehingga dapat pula menopang ekonomi keluarga sementara disisi lain ada beberapa anggota masyarakat yang terkadang sulit menerima suatu tawaran perubahan karena menyangut kehidupan nelayan dan keluarganya.

B. SARAN Saran terhadap kehidupan masyarakat maritim di Indonesia. Pemerintah harus lebih memperhatikan masyarakat pesisir yang tersebar di seluruh Indonesia. Kekayaan laut yang melimpah sebenarnya bisa membuat kehidupan mereka lebih terjamin. Tapi dikarenakan kurangnya perhatian dari pemerintah dalam pembinaan sumber daya alam yang dimiliki, membuat sumber daya tersebut tidak digunakan dengan baik. Sehingga kemiskinan pun tak terhindarkan dari kehidupan masyarakat maritim.

11

DAFTAR PUSTAKA Edhi, Erwin.32 Persen Masyarakat Pesisir Di Bawah Garis Kemiskinan, Kompas, 18 Maret 2008. hal. 9

Pelras, Christian.2006.Manusia Bugis.Jakarta:Nalar Nikijuluw, Victor.P.H. 1998. Management of Coastal Areas by Villagers of Jemluk, Bali Island. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Vol.1, No.1, Tahun 1998

Salman, Darmawan.2006.Jagad Maritim.Sulawesi Selatan:Inninawa

http://trimahendrasosiologi.wordpress.com/2012/09/01/pemberdayaan-masyarakat-maritim-diindonesia/

http://aimanmuhsintahir.wordpress.com/2010/02/25/kemiskinan-sebagai-masalah-sosial/

http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/wilayah_kerja_kami/ujungkulon/buildreef/pemberdayaanma syarakatpesisir/

12

Anda mungkin juga menyukai