BAB II
PEMBAHASAN
A. Hibah
1. Pengertian
Suhendi (2008: 209) menjelaskan, secara etimologi hibah berasal dari
kata hubub al-rih, yaitu:
Artinya: Terbangun dari tidurnya.
Al-hibah diartikan istaiqazha karena:
Artinya : Perilaku hibah bangkit untuk berbuat kebaikan setelah ia lupa
akan kebaikan.
Hibah secara bahasa berasal dari kata wahaba yang berarti lewat dari
satu tangan ke tangan yang lain atau dengan arti lain kesadaran untuk
melakukan kebaikan atua diambil dari kata hubub ar-rih (angin berhembus)
dikatakan dalam kitab Al-Fath, diartikan dengan makna yang lebih umum
berupa ibra (membebaskan utang orang), yaitu menghibahkan utang orang
lain dan sedekah yaitu menghibahkan sesuatu yang wajib demi mencari
pahala akhirat, dan jaalah yaitu sesuatu yang wajib diberikan kepada orang
lain sebagai upah, dan dikhususkan dengan masih hidup agar bisa
mengeluarkan wasiat, juga terbagi kepada tiga jenis, hibah dipakai untuk
menyebutkan makna yang lebih khusus daripada sesuatu yang mengharap
ganti. (Azzam, 2010:435)
4
Sedangkan secara terminologi hibah adalah pemberian sesuatu barang
dari seseorang kepada orang lain tanpa sesuatu sebab, tanpa adanya ikatan
apa-apa dan tidak mengharap imbalan kecuali mengharapkan keridhaan Allah
swt (Suparta, 2007: 157).
Hibah atau pemberian merupakan perilaku ekonomi yang berkaitan
dengan pemberian sesuatu kepada orang lain saat pemberi itu masih hidup
(Nawawi, 2012: 255).
Adapun menurut (Azzam, 2010:435) yang dimaksud Hibah secara
terminologi adalah pemberian hak secara langsung dan mutlak terhadap satu
benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi.
Atau kita katakan Pemberian hak milik secara sukarela ketika masih hidup
dan yang ini lebih utama dan singkat.
2. Konsep dasar Hibah
Menurut Ali Anshif dalam Nawawi (2012: 255) pengertian hibah
identik dengan hadiah, pemberian, anugerah, sedekah. Tapi, pada sedekah ada
titik tekannya kepada orang fakir dan miskin. Jika kita pahami, istilah hibah,
sedekah, dan hadiah, secara bahasa, nyaris memiliki pengertian yang sama.
Menurut Zuhaily (1989: 5) dalam Nawawi (2012: 255) perbedaan
peristilahan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Jika pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri
kepada Allah swt; dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan
tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut dinamakan sedekah.
b. Jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mengagungkan atau karena
rasa cinta di namakan hadiah.
c. Jika diberikan tanpa maksud yang ada pada sedekah dan hadiah
dinamakan hibah.
d. Jika hibah tersebut diberikan seseorang kepada orang lain saat ia sakit
menjelang kematiannya dinamakan athiyah.
5
3. Rukun Hibah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qabul, sebab
keduanya termasuk akad seperti halnya jual beli. dalam kitab al-Mabsuth,
mereka menambahkan dengan qabdhu (pemegangan/penerimaan), karena
dalam hibah harus ada ketetapan dalam kepemilikan (Nawawi, 2012: 256).
Dalam sumber yang sama, sebagian ulama berpendapat bahwa qabul
dari penerima hibah bukanlah rukun. Dengan demikian, hibah cukup dengan
adanya ijab saja dari pemberi. Hal ini kembali kepada arti hibah itu sendiri
yang tak lebih berarti sekedar pemberian. Disamping itu, qabul hanya
dampak dari adanya hibah, yaitu pemindahan hak milik. Kemudian menurut
jumhur ulama, rukun hibah ada empat.
a. Pemberi (wahib),
b. Penerima (mauhub lah),
c. Barang (mauhub),
d. Shighah (ijab dan qabul).
4. Syarat Hibah
Syarat hibah berkaitan dengan syarat pemberi (wahib) dan penerima
(mauhub lah). Ulama Hanabilah menetapkan syarat yang harus dipenuhi
sebagai berikut (Nawawi, 2012: 257).
a. Hibah dari harta yang boleh di-tasharruf-kan,
b. Terpilih dan sungguh-sungguh,
c. Harta yang diperjual-belikan,
d. Tanpa adanya pengganti,
e. Orang yang sah memilikinya.
5. Syarat Wahib (Pemberi Hibah)
Menurut Nawawi (2012: 257) wahib (pemberi) disyaratkan harus ahli
tabarru (derma), yaitu:
a. Berakal,
b. Baligh,
6
c. Rasyid (pintar)
6. Syarat Mauhub (barang)
Nawawi (2012: 257) juga menyebutkan syarat mauhub (barang),
kriteria barang yang layak untuk dihibakan adalah sebagai berikut:
a. Harus ada waktu hibah,
b. Harus berupa harta yang kuat dan bermanfaat,
c. Milik sendiri. Menurut ulama Hanafiyah, hibah tidak dibolehkan
terhadap barang bercampur milik orang lain, sedangkan menurut
Malikiyah, Hanabilah, dan Syafiyah, hal itu dibolehkan.
d. Mauhub terpisah dari yang lain, barang yang dihibahkan tidak boleh
bersatu dengan barang yang tidak dihibahkan, sebab akan menyulitkan
untuk memanfaatkan mauhub.
e. Mauhub telah diterima atau dipegang oleh penerima,
f. Penerima memegang atas seizin wahib.
7. Macam-macam Hibah
Suhendi (2008: 210-211) menjelaskan beberapa macam sebutan hibah
(pemberian) disebabkan oleh perbedaan niat (motivasi) orang-orang yang
menyerahkan benda. Macam-macam hibah adalah sebagai berikut:
a. Al-Hibah, yakni pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki
zatnya tanpa mengharapkan penggantian (balasan) atau dijelaskan oleh
Iman Taqiy al-Din Abi Bakr Ibnu Muhammad al-Husaini dalam kitab
Kifayat al-Akhyar bahwa al-Hibah ialah :
8
Artinya : Nabi saw. telah menghukum dengan umra, bahwa sesungguhnya
umra adalah milik orang yang diberinya.
Dalam lafazh Muslim disebutkan:
Artinya : Janganlah kamu mnegatakan ruqbah dan jangan pula mengatakan
umra, maka sesuatu yang diruqbahkan atau diumrakan itu untuk
ahli warisnya.
Berdasarkan beberapa hadits yang telah disebutkan, secara harfiah
tampak adanya pertentangan. Hal ini menunjukan bahwa secara istilah umra
9
dan ruqbah itu sama antara zaman Jahiliyah dengan zaman Islam. Secara
operasional atau pelaksanaannya umra dan ruqbah zaman Jahiliyah berbeda
dengan umra dan ruqbah pada penetapan atau yang dibolehkan oleh ajaran
Islam (Suhendi, 2008: 216).
Menurut Mardani (2012:163) ada tiga macam umra, yaitu:
a. Bersifat kekal, seperti perkataannya, Ini milikmu milik anak keturunan
sepeninggalmu.
b. Berlaku untuk selama hidup, seperti perkataannya, Ini menjadi milikmu
selama engkau masih hidup atau selama aku masih hidup. Jumhur
ulama menyatakan keabsahan dua macam ini. Keduanya berlaku untuk
selamanya menurt pendapat sebagian mahzab Hambali.
c. Pemberi hibah mensyaratkan akan menarik kembali hibahnya setelah
salah seorang di antara keduanya meninggal dunia. Apakah syarat ini
dianggap sah atau ia harus disingkirkan dan menjadi hibah yang bersifat
kekal? Segolongan ulama menyatakan keabsahan syarat itu. di antara
mereka Az-Zuhry, Malik, Abu Tsaur, Daud dan merupakan salah satu
riwayat dari Al-Iman Ahmad, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu
Tamiyah serta rekan-rekannya yang lain, yang didasarkan kepada hadits,
Orang-orang Muslim berdasarkan syaratnya. Adapun, syarat itu harus
diabaikan sehingga menjadi hibah dan bersifat kekal. Syarat
pengembalian yang diperselisihkan keabsahannya bukan hibah selama
hidup. Yang demikian ini memiliki hukum pinjaman menurut ijma
ulama.
10. Dalil Hukum
W-O+^4E>4 O>4N )O^-
O4O^+--4 W 4 W-O+^4E>
O>4N ^e"- p4;N^-4
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. (QS. Al-Maidah [2]: 2)
10
W-O>-474 47.=Og)4-
O}jg~= 6-^4g _ p) 4ugC
7 }4N 7/E* +OuLg)` +O^4^
+OU7 6*OgLE- 6*CjOO ^j
Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya. (QS. An-Nisaa [4]: 4)
Dari Abdullah Ibnu Amr dari Rasulullah saw; bersabda:
Perumpamaan seseorang yang mencabut kembali apa yang telah
dihibahkan adalah seperti anjing yang muntah kemudian memakan
kembali muntahannya itu. (HR. Abu Dawud)
Hibah hukumnya sunnah dan lebih utama menghibakan sesuatu kepada
kaum keluarga. Dalam hibah ini diperlukan ijab qabul dan sebaiknya
dilaksanakan dengan dihadiri oleh dua orang saksi dan dibuktikan dengan
bentuk tulisan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi gugatan dari ahli waris.
Meskipun sekarang dalam syara hal semacam itu tidak diperlukan, namun
dalam keadaan sekarang hal itu sangat diperlukan (Suparta, 2007: 157).
Nawawi (2012: 258) menjelaskan, bahwa ulama Hanafiyah berpendapat
sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim. Dengan demikian, dapat
dibatalkan oleh pemberi, sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah
saw; dari Abu Hurairah: Pemberi hibah lebih berhak atas barang yang
dihibahkan selama tidak ada pengganti. (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni).
11
Dalam sumber yang sama, dibolehkan mengembalikan barang yang
telah dihibahkan. Akan tetapi dihukumi makruh, karena perbuatan itu
termasuk menghina si pemberi hibah. Selain itu, yang diberi hiba harus rida.
Ulama Hanafiyah berpendapat ada enam perkara yang melarang
pemberi mengembalikan barang yang telah dihibahkan, yaitu sebagai berikut:
a. Penerima memberikan ganti
1) Pengganti yang disyaratkan dalam akad. Ulama Malikiyah,
Hanabilah, dan Syafiiyah menganggap hibah, karena seperti ini
dianggap jual beli dan bukan hibah.
2) Pengganti yang diakhirkan.
b. Penerima maknawi
1) Pahala dari Allah.
2) Pemberian dalam rangka silaturahmi.
3) Pemberian dalam hubungan suami-isteri.
c. Tambahan pada barang yang diberikan yang berasal dari pekerjaan
mauhub lah (penerima hibah).
d. Barang yang telah keluar dari kekuasaan penerima hibah, seperti dijual
kepada orang lain.
e. Salah seorang yang akad meninggal.
f. Barang yang dihibahkan rusak.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika
sudah dipegang tidak boleh dikembalikan, kecuali pemberian orang tua
kepada anaknya yang masih kecil dan belum bercampur dengan hak orang
lain.
Menurut Mardani (2012: 160) bahwa jumhur ulama mengecualikan
pengharaman menarik kembali hibah bagi hibahnya orang tua terhadap anak,
karena orang tua dapat menarik kembali hibahnya, sebagai pengalaman
riwayat Ahmad dan Ashhabus-Sunan, dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, dari
Rasulullah saw. Beliau bersabda:
Tidak diperkenankan bagi seorang muslim untuk memberikan suatu
pemberian kemudian dia menarik kembali pemberian itu kecuali
12
pemberian orang tua kepada anaknya (At-Tirmidzi dan Al-Hakim
menshahihkan)
11. Hikmah
Saling membantu dengan cara memberi, baik berbentuk hibah, sedekah,
maupun hadiah dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya (Suhendi, 2008: 218).
Hikmah atau manfaat disyariatkannya hibah adalah sebagai berikut:
a. Memberi atau hibah dapat menghilangkan penyakit dengki, yakni
penyakit yang terdapat dalam hati dan dapat merusak nilai-nilai
keimanan. Hibah dilakukan sebagai penawar racun hati, yaitu dengki.
Sebuah hadits meriwayatkan:
Beri-memberilah kamu, karena pemberian itu dapat
menghilangkan sakit hati (dengki).
b. Pemberian atau hibah dapat mendatangkan rasa saling mengasihi,
mencintai, dan menyayangi.
c. Hadiah atau pemberian dapat menghilangkan rasa dendam.
d. Hibah dalam jumlah yang banyak diandalkan dijadikan modal hidup bagi
penerimanya. Misalnya hibah sebidang tanah bisa dijadikan lahan
pertanian, atau dijual untuk kemudian dijadikan modal usaha. Juga hibah
kendaraan bisa dijadikan modal niaga untuk alat transportasi, dan lain-
lain.
e. Hibah orang tua kepada anak (yang sudah dewasa) dapat membuat anak
menjadi lebih mandiri, karena tidak terus menerus mengharapkan harta
warisan dari orang tuanya.
13
B. Sedekah
1. Pengertian
Secara etimologi sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar.
Orang yang bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya.
Adapun secara terminologi syariat, pengertian sedekah sama dengan
pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya
(Hafidhuddin, 1998: 15).
Sedekah merupakan perilaku ekonomi dalam rangka membantu orang
lain dengan tujuan mencari pahala Allah swt.
2. Hukum Sedekah
Sedekah dibolehkan pada setiap waktu berdasarkan Alquran dan As-
Sunnah, diantaranya:
}E` -O Og~-.- O@O^NC -.- O~
4L=OEO +OEg_N1 N.
+E; LE4OOg1 _ +.-4 +*):^4C
7O:4C4 gO^1)4 ]ONE_O>
^gj)
Artinya : Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman
yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan
meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
yang banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezki) dan kepada-
Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. Al-Baqarah [2]: 245)
W-Og^4 O) O):Ec *.- 4
W-OU> 7CguC) O)
gOUg+- O W-EONLO;O4 O Ep)
-.- OUg47 4-gLO^- ^_)
Artinya : Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
14
berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah [2]: 195)
E^^) e~EO- g7.-4OUg
-=OE^-4 4-)-gE^-4
OgOU4 gOE-E^-4
gOU~ )4 ~@O-
4-g`@O4^-4 )4 O):Ec *.-
^-4 O):OO- W LO_C@O ;g)`
*.- +.-4 v1)U4 _O:EO ^g
Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah
[9]: 60)
Sabda Rasulullah saw.:
Barangsiapa memberi orang lapar, Allah swt. akan memberinya makan dari
buah-buahan surga. Barangsiapa memberi orang dahaga, Allah swt. akan
memberinya minum pada hari kiamat dengan wangi-wangian yang dicap.
Barangsiapa yang memberi pakaian orang yang telanjang, Allah swt. akan
memakaikan pakaian surga yang berwarna hijau. (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi).
Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar, Rasulullah menyatakan
bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta maka membaca tasbih,
membaca takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami isteri, dan melakukan
kegiatan amar maruf nahi munkar adalah sedekah (Hafidhuddin, 1998: 15).
Senyummu di hadapan saudaramu adalah merupakan sedekah bagimu,
perintahmu pada kebaikan dan laranganmu dari kejahatan juga sedekah,
15
petunjukmu pada sedekah bagimu, begitu juga menyingkirkan batu, duri
maupun tulang di jalan menjadi sedekah bagimu. (HR. Tirmidzi)
Rasulullah saw; bersabda:
Bersedekahlah kamu sekalian , karena sesungguhnya akan datang suatu
masa akan ada seseorang yang berjalan membawa sedekahnya, maka tidak
ditemuinya orang yang mau menerima sedekahnya. Berkatalah seseorang:
Kalau engkau membawa sedekah ini kemarin pasti kuterima, adapun hari ini
aku tidak memerlukannya lagi. (HR. Bukhari)
Barangsiapa memberikan sedekah demi melihat wajah Allah di hari kiamat,
lalu ia meninggal dunia dengan amalan itu, pasti ia masuk surga. (HR.
Ahmad)
Sedekah itu sangat dianjurkan oleh agama, karena dampaknya sangat
luas, baik bagi kehidupan individu maupun masyarakat, bahkan bagi
kelangsungan hidup bersama. Sedekah yang sudah ditentukan ukuran, bentuk
dan waktunya, misalnya zakat hukumnya wajib, sedangkan yang tidak
ditentukan jumlah dan waktunya, hukumnya sunnah mukkadah. Kecuali jika
ada orang yang sangat membutuhkan uluran tangan orang yang mampu, maka
hukumnya adalah wajib. Ada pula sedekah yang tidak sah, yaitu memberikan
sesuatu kepada orang yang sudah tidak ada atau mati (Suparta, 2007: 156).
3. Hikmah
a. Kebiasaan bersedekah merupakan sumber kebaikan pada diri seseorang.
b. Mengikat masyarakat dengan ikatan kasih sayang dan persaudaraan yang
erat.
c. Sedekah dapat mencegah bencana, baik bagi orang yang memberikan
maupun bagi yang menerimanya.
d. Sedekah dapat membantu orang yang kurang mampu atau tidak punya,
meskipun mungkin hanya sementara waktu pada saat ia sangat
membutuhkan bantuan orang lain.
16
e. Sedekah dapat memperat tali silaturahmi.
f. Sedekah dapat memadamkan api kemarahan Allah swt; dan dapat
mencegah daripada kematian yang hina-dina.
C. Hadiah
1. Pengertian
Hadiah (hadiyyah) berasal dari kata had wa ahd. Bentuk
pluralnya hady atau hadw menurut bahasa penduduk Madinah. Hadiah
secara bahasa berarti sesuatu yang Anda berikan (m athafa bihi).
(Muhyiddin, 2011).
2. Terminologi (pendapat para ulama dan ahli)
Hadiah merupakan perilaku sosial ekonomi bahwa seseorang
memberikan sesuatu pada orang lain dalam rangka menghormati pada orang
yang bersangkutan. (Nawawi, 2012:262).
Secara istilah, dalam al-Qms al-Fiqh dinyatakan, menurut ulama
Syafiiyah, Hanabilah, Hanafiyah dan Malikiyah, hadiah adalah tamlku ayn
bi l iwadh ikrm[an] il al-muhd ilayh (pemindahan pemilikan suatu harta
tanpa kompensasi sebagai penghormatan kepada orang yang diberi hadiah).
(Muhyiddin, 2011)
Hadiah adalah pemberian oleh orang berakal sempurna sebuah barang
yang dimilikinya dengan tidak ada tukarnya serta dibawa ketempat yang
diberi karena hendak memuliakannya. (Al-Ayubi, 2012)
Dalam Mujam Lughah al-Fukah, hadiah adalah al-athiyah bi l
iwadh ikrman (pemberian tanpa kompensasi sebagai suatu penghormatan).
Hadiah juga bermakna ith syay[in] bighayr iwadh shilat[an] wa
taqarrub[an] wa ikrm[an] (pemberian sesuatu tanpa kompensasi karena
adanya hubungan, untuk menjalin kedekatan dan sebagai bentuk
penghormatan). (Muhyiddin, 2011)
Hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan untuk mengagungkan atau
karena rasa cinta. Hadiah memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
17
menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang. Hadiah merupakan bukti cinta
dan kejernihan hati. Di dalam hadiah terdapat nilai penghargaan dan
penghormatan. (Setyani, dkk., 2011)
Adapun menurut (Suparta, 2007:160) Hadiah adalah pemberian sesuatu
barang oleh seseorang kepada orang lain untuk memuliakan atau sebagai
penghormatan/ penghargaan kepada yang diberi.
Penulis dapat menyimpulkan bahwa hadiah merupakan sebuah upaya
pemberian dengan tujuan membuat senang seseorang yang diberi serta
menjadikannya merasa dihargai. Pemberian hadiah dapat menjadikan sang
pemberi dan yang diberi semakin erat hubungannya.
3. Landasan Hukum Hadiah
Pada dasarnya memberikan hadiah hukumnya mubah (boleh) (Suparta,
2007:161). Ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw yang artinya :
Dari Khalid bin Adi Al-Juhaniy, sesungguhnya Nabi saw; bersabda:
Barang siapa diberi oleh saudaranya kebaikan dengan tidak dia minta atau
berlebih-lebihan, hendaklah diterima dan janganlah ditolak. Sesungguhnya
yang demikian itu pemberian yang diberikan Allah kepadanya. (HR.
Ahmad).
Dalam Hadits lain dikatakan :
) (
Artinya : Rasulullah saw; biasa menerima hadiah dan selalu memberi
balasannya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Suhendi (2008:212) menyebutkan bahwa hadiah itu tidak boleh ditolak.
Dalam hadits Nabi SAW, siti Aisyah r.a. bertanya :
Artinya : Wahai Rasulullah saw. sesungguhnya aku mempunyai dua
tetangga, siapa yang paling layak kuberi hadiah di antara
keduanya itu ? Nabi saw. menjawab, Orang yang paling dekat
pintunya denganmu. (HR. Bukhari)
18
Abu Hurairah r.a. telah menceritakan hadits bahwa nabi pernah bersabda :
Artinya : Seandaianya aku diundang untuk memakan kaki kambing atau
kaki sapi, niscaya aku akan memenuhinya, dan seandainya aku
diberi hadiah kaki kambing atau kaki sapi niscaya aku mau
menerimanya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabdanya lagi :
Artinya : Saling berhadiahlah kalian karena sesungguhnya hadiah itu dapat
melenyapkan kedengkian hati, dan jangan sekali- kali seseorang
wanita menganggap remeh terhadapa tetangga, sekalipun
menghadiahkan kepadanya sepotong kaki kambing. (HR. Bukhari
dan Muslim).
(Nawawi, 2012:263)
Hadiah diberikan dalam rangka mempererat tali cinta dan kasih sayang.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah :