Anda di halaman 1dari 28

3

BAB II
PEMBAHASAN


A. Hibah
1. Pengertian
Suhendi (2008: 209) menjelaskan, secara etimologi hibah berasal dari
kata hubub al-rih, yaitu:

Artinya : Perlewatannya untuk melewatkannya dari tangan kepada yang


lain.
Ada pula yang berpendapat bahwa al-hibah diambil dari haba yang
berarti istaiqazha (bangun), yaitu sesuai dengan kalimat:


Artinya: Terbangun dari tidurnya.
Al-hibah diartikan istaiqazha karena:


Artinya : Perilaku hibah bangkit untuk berbuat kebaikan setelah ia lupa
akan kebaikan.
Hibah secara bahasa berasal dari kata wahaba yang berarti lewat dari
satu tangan ke tangan yang lain atau dengan arti lain kesadaran untuk
melakukan kebaikan atua diambil dari kata hubub ar-rih (angin berhembus)
dikatakan dalam kitab Al-Fath, diartikan dengan makna yang lebih umum
berupa ibra (membebaskan utang orang), yaitu menghibahkan utang orang
lain dan sedekah yaitu menghibahkan sesuatu yang wajib demi mencari
pahala akhirat, dan jaalah yaitu sesuatu yang wajib diberikan kepada orang
lain sebagai upah, dan dikhususkan dengan masih hidup agar bisa
mengeluarkan wasiat, juga terbagi kepada tiga jenis, hibah dipakai untuk
menyebutkan makna yang lebih khusus daripada sesuatu yang mengharap
ganti. (Azzam, 2010:435)
4

Sedangkan secara terminologi hibah adalah pemberian sesuatu barang
dari seseorang kepada orang lain tanpa sesuatu sebab, tanpa adanya ikatan
apa-apa dan tidak mengharap imbalan kecuali mengharapkan keridhaan Allah
swt (Suparta, 2007: 157).
Hibah atau pemberian merupakan perilaku ekonomi yang berkaitan
dengan pemberian sesuatu kepada orang lain saat pemberi itu masih hidup
(Nawawi, 2012: 255).
Adapun menurut (Azzam, 2010:435) yang dimaksud Hibah secara
terminologi adalah pemberian hak secara langsung dan mutlak terhadap satu
benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi.
Atau kita katakan Pemberian hak milik secara sukarela ketika masih hidup
dan yang ini lebih utama dan singkat.

2. Konsep dasar Hibah
Menurut Ali Anshif dalam Nawawi (2012: 255) pengertian hibah
identik dengan hadiah, pemberian, anugerah, sedekah. Tapi, pada sedekah ada
titik tekannya kepada orang fakir dan miskin. Jika kita pahami, istilah hibah,
sedekah, dan hadiah, secara bahasa, nyaris memiliki pengertian yang sama.
Menurut Zuhaily (1989: 5) dalam Nawawi (2012: 255) perbedaan
peristilahan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Jika pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri
kepada Allah swt; dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan
tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut dinamakan sedekah.
b. Jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mengagungkan atau karena
rasa cinta di namakan hadiah.
c. Jika diberikan tanpa maksud yang ada pada sedekah dan hadiah
dinamakan hibah.
d. Jika hibah tersebut diberikan seseorang kepada orang lain saat ia sakit
menjelang kematiannya dinamakan athiyah.

5

3. Rukun Hibah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qabul, sebab
keduanya termasuk akad seperti halnya jual beli. dalam kitab al-Mabsuth,
mereka menambahkan dengan qabdhu (pemegangan/penerimaan), karena
dalam hibah harus ada ketetapan dalam kepemilikan (Nawawi, 2012: 256).
Dalam sumber yang sama, sebagian ulama berpendapat bahwa qabul
dari penerima hibah bukanlah rukun. Dengan demikian, hibah cukup dengan
adanya ijab saja dari pemberi. Hal ini kembali kepada arti hibah itu sendiri
yang tak lebih berarti sekedar pemberian. Disamping itu, qabul hanya
dampak dari adanya hibah, yaitu pemindahan hak milik. Kemudian menurut
jumhur ulama, rukun hibah ada empat.
a. Pemberi (wahib),
b. Penerima (mauhub lah),
c. Barang (mauhub),
d. Shighah (ijab dan qabul).

4. Syarat Hibah
Syarat hibah berkaitan dengan syarat pemberi (wahib) dan penerima
(mauhub lah). Ulama Hanabilah menetapkan syarat yang harus dipenuhi
sebagai berikut (Nawawi, 2012: 257).
a. Hibah dari harta yang boleh di-tasharruf-kan,
b. Terpilih dan sungguh-sungguh,
c. Harta yang diperjual-belikan,
d. Tanpa adanya pengganti,
e. Orang yang sah memilikinya.

5. Syarat Wahib (Pemberi Hibah)
Menurut Nawawi (2012: 257) wahib (pemberi) disyaratkan harus ahli
tabarru (derma), yaitu:
a. Berakal,
b. Baligh,
6

c. Rasyid (pintar)

6. Syarat Mauhub (barang)
Nawawi (2012: 257) juga menyebutkan syarat mauhub (barang),
kriteria barang yang layak untuk dihibakan adalah sebagai berikut:
a. Harus ada waktu hibah,
b. Harus berupa harta yang kuat dan bermanfaat,
c. Milik sendiri. Menurut ulama Hanafiyah, hibah tidak dibolehkan
terhadap barang bercampur milik orang lain, sedangkan menurut
Malikiyah, Hanabilah, dan Syafiyah, hal itu dibolehkan.
d. Mauhub terpisah dari yang lain, barang yang dihibahkan tidak boleh
bersatu dengan barang yang tidak dihibahkan, sebab akan menyulitkan
untuk memanfaatkan mauhub.
e. Mauhub telah diterima atau dipegang oleh penerima,
f. Penerima memegang atas seizin wahib.

7. Macam-macam Hibah
Suhendi (2008: 210-211) menjelaskan beberapa macam sebutan hibah
(pemberian) disebabkan oleh perbedaan niat (motivasi) orang-orang yang
menyerahkan benda. Macam-macam hibah adalah sebagai berikut:
a. Al-Hibah, yakni pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki
zatnya tanpa mengharapkan penggantian (balasan) atau dijelaskan oleh
Iman Taqiy al-Din Abi Bakr Ibnu Muhammad al-Husaini dalam kitab
Kifayat al-Akhyar bahwa al-Hibah ialah :

Artinya: Pemilikan tanpa penggantian.


b. Sedekah, yakni pemberian zat benda dari seseorang kepada yang lain
tanpa mengganti dan hal ini dilakukan karena ingin memperoleh ganjaran
(pahala) dari Allah Yang Maha Kuasa.
c. Washiat, yakni dimaksud dengan washiat menurut Hasbi Ash-Siddiqie
ialah:
7

Suatu akad yang dengan akad itu mengharuskan di masa hidupnya
mendermakan hartanya untuk orang lain yang diberikan sesudah
wafatnya.
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa washiyyat adalah pemberian
seseorang kepada yang lain yang diakadkan ketika hidup dan diberikan
setelah yang mewariskan meninggal dunia.

8. Pemberian Bersyarat
Pada hakekatnya pemberian dilakukan dengan tidak mengharapkan
balasan dari manusia, baik pemberian itu berbentuk hibah, hadiah, maupun
sedekah, tetapi pemberian juga boleh dilakukan dengan persyaratan, seperti
seseorang berkata Aku berikan ini kepadamu dengan syarat kamu supaya
menyerahakan pulpen kamu kepadaku. Dalam pemberian bersyarat, apabila
syarat tidak dipenuhi boleh pemberian diminta kembali (Suhendi, 2008: 214).
Diriwayatkan oleh Iman Ahmad dan Ibnu Hiban dari Ibnu Abbas ra. bahwa:
Seorang laki-laki memberikan kepada Rasulullah saw seekor unta betina,
kemudian pemberian itu dibalas oleh Rasulullah saw. dan bersabda; Telah
relakah engkau?, Laki-laki itu menjawab: belum, Rasulullah saw.
menambahkan balasannya dan bersabda; Telah relakah engkau?, laki-laki
itu menjawab belum, kemudian ditambah kembali balasannya itu, lalu
beliau bersabda; Telah relakah engkau?, laki-laki itu menjawab; Ya,
sudah!.

9. Pemberian dengan Umra dan Ruqbah
Umra artinya umur dan Ruqbah artinya mengintai. Pemberian dengan
umra dan ruqbah adalah perbuatan orang-orang Arab sejak zaman jahiliyah
yang kemudian ditetapkan atau dilestarikan keberlakuannya oleh agama Islam
(Suhendi, 2008: 215).
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari
Jabir ra. berkata:


8

Artinya : Nabi saw. telah menghukum dengan umra, bahwa sesungguhnya
umra adalah milik orang yang diberinya.
Dalam lafazh Muslim disebutkan:

Artinya: Hendaklah kalian menjaga harta kalian dan janganlah


merusaknya. sesungguhnya barangsiapa memberikan umra, maka
ia menjadi milik orang yang beri, baik ketika masih hidup maupun
sesudah meninggal dan juga milik anak keturunannya.

Dalam sumber yang sama, umpamanya seseorang berkata, Aku
berikan benda ini kepadamu selama engkau hidup atau seseorang berkata,
Jika aku mati sebelum engkau, maka benda itu untukmu. Kedua akad itu
menunjukan cara umra. Jika seseorang berkata, Jika engkau mati
sebelumku, pemberian itu tetap kembalikan kepadaku. Syarat ini batal
karena pemberian tetap menjadi milik orang yang diberi. Bila yang diberi
meninggal dunia, maka benda-benda itu menjadi milik para ahli warisnya.
Pemberian semacam ini dinamakan pemberian secara ruqbah karena masing-
masing mengintai kematiannya. Bila seseorang berkata, Ini adalah hak
selama engkau hidup, maka barang itu dinamakan pinjaman selama hidup
sebab bila ia mati, hak itu dikembalikan kepada yang punya, yang demikian
ini tidak dinamakan pemberian.
Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Nasai dari Jabir, Rasulullah
saw. bersabda:


Artinya : Janganlah kamu mnegatakan ruqbah dan jangan pula mengatakan
umra, maka sesuatu yang diruqbahkan atau diumrakan itu untuk
ahli warisnya.

Berdasarkan beberapa hadits yang telah disebutkan, secara harfiah
tampak adanya pertentangan. Hal ini menunjukan bahwa secara istilah umra
9

dan ruqbah itu sama antara zaman Jahiliyah dengan zaman Islam. Secara
operasional atau pelaksanaannya umra dan ruqbah zaman Jahiliyah berbeda
dengan umra dan ruqbah pada penetapan atau yang dibolehkan oleh ajaran
Islam (Suhendi, 2008: 216).
Menurut Mardani (2012:163) ada tiga macam umra, yaitu:
a. Bersifat kekal, seperti perkataannya, Ini milikmu milik anak keturunan
sepeninggalmu.
b. Berlaku untuk selama hidup, seperti perkataannya, Ini menjadi milikmu
selama engkau masih hidup atau selama aku masih hidup. Jumhur
ulama menyatakan keabsahan dua macam ini. Keduanya berlaku untuk
selamanya menurt pendapat sebagian mahzab Hambali.
c. Pemberi hibah mensyaratkan akan menarik kembali hibahnya setelah
salah seorang di antara keduanya meninggal dunia. Apakah syarat ini
dianggap sah atau ia harus disingkirkan dan menjadi hibah yang bersifat
kekal? Segolongan ulama menyatakan keabsahan syarat itu. di antara
mereka Az-Zuhry, Malik, Abu Tsaur, Daud dan merupakan salah satu
riwayat dari Al-Iman Ahmad, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu
Tamiyah serta rekan-rekannya yang lain, yang didasarkan kepada hadits,
Orang-orang Muslim berdasarkan syaratnya. Adapun, syarat itu harus
diabaikan sehingga menjadi hibah dan bersifat kekal. Syarat
pengembalian yang diperselisihkan keabsahannya bukan hibah selama
hidup. Yang demikian ini memiliki hukum pinjaman menurut ijma
ulama.

10. Dalil Hukum
W-O+^4E>4 O>4N )O^-
O4O^+--4 W 4 W-O+^4E>
O>4N ^e"- p4;N^-4
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. (QS. Al-Maidah [2]: 2)
10


W-O>-474 47.=Og)4-
O}jg~= 6-^4g _ p) 4ugC
7 }4N 7/E* +OuLg)` +O^4^
+OU7 6*OgLE- 6*CjOO ^j
Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya. (QS. An-Nisaa [4]: 4)

Dari Abdullah Ibnu Amr dari Rasulullah saw; bersabda:

Perumpamaan seseorang yang mencabut kembali apa yang telah
dihibahkan adalah seperti anjing yang muntah kemudian memakan
kembali muntahannya itu. (HR. Abu Dawud)

Hibah hukumnya sunnah dan lebih utama menghibakan sesuatu kepada
kaum keluarga. Dalam hibah ini diperlukan ijab qabul dan sebaiknya
dilaksanakan dengan dihadiri oleh dua orang saksi dan dibuktikan dengan
bentuk tulisan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi gugatan dari ahli waris.
Meskipun sekarang dalam syara hal semacam itu tidak diperlukan, namun
dalam keadaan sekarang hal itu sangat diperlukan (Suparta, 2007: 157).
Nawawi (2012: 258) menjelaskan, bahwa ulama Hanafiyah berpendapat
sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim. Dengan demikian, dapat
dibatalkan oleh pemberi, sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah
saw; dari Abu Hurairah: Pemberi hibah lebih berhak atas barang yang
dihibahkan selama tidak ada pengganti. (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni).
11

Dalam sumber yang sama, dibolehkan mengembalikan barang yang
telah dihibahkan. Akan tetapi dihukumi makruh, karena perbuatan itu
termasuk menghina si pemberi hibah. Selain itu, yang diberi hiba harus rida.
Ulama Hanafiyah berpendapat ada enam perkara yang melarang
pemberi mengembalikan barang yang telah dihibahkan, yaitu sebagai berikut:
a. Penerima memberikan ganti
1) Pengganti yang disyaratkan dalam akad. Ulama Malikiyah,
Hanabilah, dan Syafiiyah menganggap hibah, karena seperti ini
dianggap jual beli dan bukan hibah.
2) Pengganti yang diakhirkan.
b. Penerima maknawi
1) Pahala dari Allah.
2) Pemberian dalam rangka silaturahmi.
3) Pemberian dalam hubungan suami-isteri.
c. Tambahan pada barang yang diberikan yang berasal dari pekerjaan
mauhub lah (penerima hibah).
d. Barang yang telah keluar dari kekuasaan penerima hibah, seperti dijual
kepada orang lain.
e. Salah seorang yang akad meninggal.
f. Barang yang dihibahkan rusak.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika
sudah dipegang tidak boleh dikembalikan, kecuali pemberian orang tua
kepada anaknya yang masih kecil dan belum bercampur dengan hak orang
lain.
Menurut Mardani (2012: 160) bahwa jumhur ulama mengecualikan
pengharaman menarik kembali hibah bagi hibahnya orang tua terhadap anak,
karena orang tua dapat menarik kembali hibahnya, sebagai pengalaman
riwayat Ahmad dan Ashhabus-Sunan, dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, dari
Rasulullah saw. Beliau bersabda:
Tidak diperkenankan bagi seorang muslim untuk memberikan suatu
pemberian kemudian dia menarik kembali pemberian itu kecuali
12

pemberian orang tua kepada anaknya (At-Tirmidzi dan Al-Hakim
menshahihkan)



11. Hikmah
Saling membantu dengan cara memberi, baik berbentuk hibah, sedekah,
maupun hadiah dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya (Suhendi, 2008: 218).
Hikmah atau manfaat disyariatkannya hibah adalah sebagai berikut:
a. Memberi atau hibah dapat menghilangkan penyakit dengki, yakni
penyakit yang terdapat dalam hati dan dapat merusak nilai-nilai
keimanan. Hibah dilakukan sebagai penawar racun hati, yaitu dengki.
Sebuah hadits meriwayatkan:
Beri-memberilah kamu, karena pemberian itu dapat
menghilangkan sakit hati (dengki).

b. Pemberian atau hibah dapat mendatangkan rasa saling mengasihi,
mencintai, dan menyayangi.
c. Hadiah atau pemberian dapat menghilangkan rasa dendam.
d. Hibah dalam jumlah yang banyak diandalkan dijadikan modal hidup bagi
penerimanya. Misalnya hibah sebidang tanah bisa dijadikan lahan
pertanian, atau dijual untuk kemudian dijadikan modal usaha. Juga hibah
kendaraan bisa dijadikan modal niaga untuk alat transportasi, dan lain-
lain.
e. Hibah orang tua kepada anak (yang sudah dewasa) dapat membuat anak
menjadi lebih mandiri, karena tidak terus menerus mengharapkan harta
warisan dari orang tuanya.

13

B. Sedekah
1. Pengertian
Secara etimologi sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar.
Orang yang bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya.
Adapun secara terminologi syariat, pengertian sedekah sama dengan
pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya
(Hafidhuddin, 1998: 15).

Sedekah merupakan perilaku ekonomi dalam rangka membantu orang
lain dengan tujuan mencari pahala Allah swt.

2. Hukum Sedekah
Sedekah dibolehkan pada setiap waktu berdasarkan Alquran dan As-
Sunnah, diantaranya:
}E` -O Og~-.- O@O^NC -.- O~
4L=OEO +OEg_N1 N.
+E; LE4OOg1 _ +.-4 +*):^4C
7O:4C4 gO^1)4 ]ONE_O>
^gj)
Artinya : Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman
yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan
meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
yang banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezki) dan kepada-
Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. Al-Baqarah [2]: 245)
W-Og^4 O) O):Ec *.- 4
W-OU> 7CguC) O)
gOUg+- O W-EONLO;O4 O Ep)
-.- OUg47 4-gLO^- ^_)
Artinya : Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
14

berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah [2]: 195)
E^^) e~EO- g7.-4OUg
-=OE^-4 4-)-gE^-4
OgOU4 gOE-E^-4
gOU~ )4 ~@O-
4-g`@O4^-4 )4 O):Ec *.-
^-4 O):OO- W LO_C@O ;g)`
*.- +.-4 v1)U4 _O:EO ^g
Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah
[9]: 60)
Sabda Rasulullah saw.:
Barangsiapa memberi orang lapar, Allah swt. akan memberinya makan dari
buah-buahan surga. Barangsiapa memberi orang dahaga, Allah swt. akan
memberinya minum pada hari kiamat dengan wangi-wangian yang dicap.
Barangsiapa yang memberi pakaian orang yang telanjang, Allah swt. akan
memakaikan pakaian surga yang berwarna hijau. (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi).

Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar, Rasulullah menyatakan
bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta maka membaca tasbih,
membaca takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami isteri, dan melakukan
kegiatan amar maruf nahi munkar adalah sedekah (Hafidhuddin, 1998: 15).
Senyummu di hadapan saudaramu adalah merupakan sedekah bagimu,
perintahmu pada kebaikan dan laranganmu dari kejahatan juga sedekah,
15

petunjukmu pada sedekah bagimu, begitu juga menyingkirkan batu, duri
maupun tulang di jalan menjadi sedekah bagimu. (HR. Tirmidzi)

Rasulullah saw; bersabda:
Bersedekahlah kamu sekalian , karena sesungguhnya akan datang suatu
masa akan ada seseorang yang berjalan membawa sedekahnya, maka tidak
ditemuinya orang yang mau menerima sedekahnya. Berkatalah seseorang:
Kalau engkau membawa sedekah ini kemarin pasti kuterima, adapun hari ini
aku tidak memerlukannya lagi. (HR. Bukhari)
Barangsiapa memberikan sedekah demi melihat wajah Allah di hari kiamat,
lalu ia meninggal dunia dengan amalan itu, pasti ia masuk surga. (HR.
Ahmad)
Sedekah itu sangat dianjurkan oleh agama, karena dampaknya sangat
luas, baik bagi kehidupan individu maupun masyarakat, bahkan bagi
kelangsungan hidup bersama. Sedekah yang sudah ditentukan ukuran, bentuk
dan waktunya, misalnya zakat hukumnya wajib, sedangkan yang tidak
ditentukan jumlah dan waktunya, hukumnya sunnah mukkadah. Kecuali jika
ada orang yang sangat membutuhkan uluran tangan orang yang mampu, maka
hukumnya adalah wajib. Ada pula sedekah yang tidak sah, yaitu memberikan
sesuatu kepada orang yang sudah tidak ada atau mati (Suparta, 2007: 156).

3. Hikmah
a. Kebiasaan bersedekah merupakan sumber kebaikan pada diri seseorang.
b. Mengikat masyarakat dengan ikatan kasih sayang dan persaudaraan yang
erat.
c. Sedekah dapat mencegah bencana, baik bagi orang yang memberikan
maupun bagi yang menerimanya.
d. Sedekah dapat membantu orang yang kurang mampu atau tidak punya,
meskipun mungkin hanya sementara waktu pada saat ia sangat
membutuhkan bantuan orang lain.
16

e. Sedekah dapat memperat tali silaturahmi.
f. Sedekah dapat memadamkan api kemarahan Allah swt; dan dapat
mencegah daripada kematian yang hina-dina.

C. Hadiah
1. Pengertian
Hadiah (hadiyyah) berasal dari kata had wa ahd. Bentuk
pluralnya hady atau hadw menurut bahasa penduduk Madinah. Hadiah
secara bahasa berarti sesuatu yang Anda berikan (m athafa bihi).
(Muhyiddin, 2011).

2. Terminologi (pendapat para ulama dan ahli)
Hadiah merupakan perilaku sosial ekonomi bahwa seseorang
memberikan sesuatu pada orang lain dalam rangka menghormati pada orang
yang bersangkutan. (Nawawi, 2012:262).
Secara istilah, dalam al-Qms al-Fiqh dinyatakan, menurut ulama
Syafiiyah, Hanabilah, Hanafiyah dan Malikiyah, hadiah adalah tamlku ayn
bi l iwadh ikrm[an] il al-muhd ilayh (pemindahan pemilikan suatu harta
tanpa kompensasi sebagai penghormatan kepada orang yang diberi hadiah).
(Muhyiddin, 2011)
Hadiah adalah pemberian oleh orang berakal sempurna sebuah barang
yang dimilikinya dengan tidak ada tukarnya serta dibawa ketempat yang
diberi karena hendak memuliakannya. (Al-Ayubi, 2012)
Dalam Mujam Lughah al-Fukah, hadiah adalah al-athiyah bi l
iwadh ikrman (pemberian tanpa kompensasi sebagai suatu penghormatan).
Hadiah juga bermakna ith syay[in] bighayr iwadh shilat[an] wa
taqarrub[an] wa ikrm[an] (pemberian sesuatu tanpa kompensasi karena
adanya hubungan, untuk menjalin kedekatan dan sebagai bentuk
penghormatan). (Muhyiddin, 2011)
Hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan untuk mengagungkan atau
karena rasa cinta. Hadiah memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
17

menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang. Hadiah merupakan bukti cinta
dan kejernihan hati. Di dalam hadiah terdapat nilai penghargaan dan
penghormatan. (Setyani, dkk., 2011)
Adapun menurut (Suparta, 2007:160) Hadiah adalah pemberian sesuatu
barang oleh seseorang kepada orang lain untuk memuliakan atau sebagai
penghormatan/ penghargaan kepada yang diberi.
Penulis dapat menyimpulkan bahwa hadiah merupakan sebuah upaya
pemberian dengan tujuan membuat senang seseorang yang diberi serta
menjadikannya merasa dihargai. Pemberian hadiah dapat menjadikan sang
pemberi dan yang diberi semakin erat hubungannya.

3. Landasan Hukum Hadiah
Pada dasarnya memberikan hadiah hukumnya mubah (boleh) (Suparta,
2007:161). Ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw yang artinya :
Dari Khalid bin Adi Al-Juhaniy, sesungguhnya Nabi saw; bersabda:
Barang siapa diberi oleh saudaranya kebaikan dengan tidak dia minta atau
berlebih-lebihan, hendaklah diterima dan janganlah ditolak. Sesungguhnya
yang demikian itu pemberian yang diberikan Allah kepadanya. (HR.
Ahmad).

Dalam Hadits lain dikatakan :

) (
Artinya : Rasulullah saw; biasa menerima hadiah dan selalu memberi
balasannya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Suhendi (2008:212) menyebutkan bahwa hadiah itu tidak boleh ditolak.
Dalam hadits Nabi SAW, siti Aisyah r.a. bertanya :
Artinya : Wahai Rasulullah saw. sesungguhnya aku mempunyai dua
tetangga, siapa yang paling layak kuberi hadiah di antara
keduanya itu ? Nabi saw. menjawab, Orang yang paling dekat
pintunya denganmu. (HR. Bukhari)
18


Abu Hurairah r.a. telah menceritakan hadits bahwa nabi pernah bersabda :
Artinya : Seandaianya aku diundang untuk memakan kaki kambing atau
kaki sapi, niscaya aku akan memenuhinya, dan seandainya aku
diberi hadiah kaki kambing atau kaki sapi niscaya aku mau
menerimanya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabdanya lagi :
Artinya : Saling berhadiahlah kalian karena sesungguhnya hadiah itu dapat
melenyapkan kedengkian hati, dan jangan sekali- kali seseorang
wanita menganggap remeh terhadapa tetangga, sekalipun
menghadiahkan kepadanya sepotong kaki kambing. (HR. Bukhari
dan Muslim).
(Nawawi, 2012:263)
Hadiah diberikan dalam rangka mempererat tali cinta dan kasih sayang.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah :

Artinya : Saling memberi hadiahlah, karena hadiah dapat menghilangkan


perasaan yang tidak berkenan di hati. (HR. Tirmidzi)
(Suparta, 2007: 160)
Namun, ada juga hadiah yang dilarang oleh agama, yaitu hadiah yang
mengarah kepada risywah atau suap. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan
Aisyah di bawah ini:
Artinya : Barang siapa yang kami pekerjakan pada suatu pekerjaan,
kemudian kami beri gaji, maka apa yang diambil selebih dari itu
berarti suatu penipuan. (HR. Abu Dawud).

(Suparta, 2007:161)

19

4. Syarat-syarat dan Rukun Hadiah
a. Orang yang memberikan hadiah itu sehat akalnya dan tidak dibawah
perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang yang
kurang sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan
hadiahnya.
b. Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena
keadaannya yang terlantar.
c. Penerima shadaqah atau hadiah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi
shadaqah atau hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak
sah.
d. Barang yang dishadaqahkan atau dihadiahkan harus bermanfaat bagi
penerimanya. (Muhyiddin, 2011)

5. Hikmah
Memberikan hadiah dapat mendatangkan hikmah baik kepada pemberi
maupun penerima. Adapun hikmah pemberian hadiah menurut para ahli
antara lain sebagai berikut :
a. Pemberian hadiah dapat memberikan motivasi kepada orang yang
diberinya untuk lebih berprestasi, apabila hadiah itu diberikan sebagai
penghargaan.
b. Pemberian dapat memacu akal untuk berlomba-lomba dalam kebajikan,
sebatas hadiah itu masih dalam ukuran yang wajar.
(Suparta, 2007:162-163)
Adapun menurut pendapat Nawawi (2012:263) hikmah memberikan
hadiah antara lain :
a. Untuk menghilangkan penyakit dengki, yang merupakan penyakit hati
yang merusak nilai- nilai keimanan. Hal ini sesuai dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Tirmidzi dan Abu Hurairah yang
artinya : Beri memberilah kamu, karena pemberian itu dapat
menghilangkan sakit hati (dengki).
20

b. Memberi hadiah dapat saling mengasihi, mencintai dan menyayangi,
mencintai dan menyayangi. Abu Yala telah meriwayatkan sebuah hadits
dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. pernah bersabda : Saling
memberi hadiahlah kamu, niscaya kamu akan saling mencintai.
c. Hadiah dapat menghilangkan rasa dendam, dalam sebuah hadits dari
Anas bahwa Rasulullah saw. bersabda : Saling memberi hadiahlah
kamu, karena sesungguhnya hadiah itu dapat mencabut rasa dendam.

D. Undian Berhadiah
1. Pengertian
Secara etimologi undian berhadiah mempunyai arti lotere (Suhendi,
2008:317). Sedangkan dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa lotere
itu berasal dari bahasa Belanda loterij yang artinya undian berhadiah, nasib,
peruntungan. Dalam Bahasa Inggris juga terdapat lottery yang berarti
undian (Shidiq dalam Cholio, 2008: 22)
Sementara itu, dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan bahwa
undian (qurah) merupakan upaya memilih sebagain pilihan (alternatif) dari
keseluruhan pilihan yang tersedia dengan cara sedemikian rupa sehingga
setiap pilihan yang tersedia itu memiliki kemungkinan (probabilitas) yang
sama besarnya untuk terpilih. Undian merupakan upaya paling mampu
menjauhkan unsure keberpihakan dalam memilih dan dapat dilakukan untuk
maksud- maksud yang jauh sama sekali dari perjudian. (Dahlan dalam
Cholio, 2008: 22)
Ibrahim Husen (dalam Suhendi, 2008:317), menjelaskan bahwa lotere
di sini adalah salah satu cara untuk menghimpun dana yang dipergunakan
untuk proyek kemanusiaan dan kegiatan sosial.

2. Terminologi (pendapat para ulama dan ahli)
Undian berhadiah sering kali dilakukan di berbagai acara atau
momentum tertentu dengan mengeluarkan kupon berhadiah agar merangsang
atau menggairahkan penyumbang atau pembeli (Nawawi, 2012:268). Penulis
21

sependapat dengan pendapat tersebut karena itu dilakukan untuk
menimbulkan daya tarik kepada calon pembeli agar tergerak untuk membeli
sebuah produk. Mungkin juga hal tersebut sebagai ajang promosi dan
merupakan salah satu strategi marketing sebuah produk.
Kupon berhadiah menurut M. Ali Hasan (dalam Musrifah, dkk., 2011)
adalah, memberikan barang dengan mengundi surat kecil atau karcis (kupon)
dan tidak ada tukarannya atas dasar syarat-syarat tertentu yang diterapkan
sebelumnya, menang atau kalah sangat bergantung kepada nasib,
penyelenggaranya bisa oleh perorangan, lembaga atau badan baik resmi
maupun swasta menurut peraturan pemerintah, yang bertujuan untuk
mengumpulkan dana atau propaganda peningkatan pemasaran barang
dagangan.
3. Pendapat para ulama tentang undian berhadiah
a. Menurut A. Hasan Bangil
Hasan menjelaskan bahwa kebanyakan para ulama mengharapkan
lotere sekalipun hasil lotere tersebut digunakan untuk derma
(membangun, sekolah, pesantren, madrasah diniyah, rumah jompo,
asrama yatim piatu dalam lain sebagainya). Pasalnya, menurut
kebanyakan ulama, derma yang diberikan ini tidak atas dasar keikhlasan,
sedangkan dalam konteks islam, ikhlas merupakan salah satu masalah
yang dianggap pokok. (Suhendi, 2008:321)
Hasan mengatakan bahwa mengadakan lotere dan membeli lotere
adalah terlarang, sedangkan menerima atau meminta bagian dari hasil
lotre adalah perlu atau mesti sebab kalau tidak diambil (diperkirakan)
akan digunakan oleh umat lain untuk merusak islam atau paling tidak
memundurkannya. (Nawawi, 2012:270).
Menurut Nawawi (2012:270), Hasan menjelaskan bahwa beliau
bersedia ruju apabila terbuti pendapatnya keliaru dan kurang baik.

22

b. Menurut Fuad. Mohd. Fachruddin
Fuad Mohd. Fachruddin (dalam Nawawi, 2012:269) berpendapat
bahwa lotere tidak termasuk perjudian (maisir) yang diharamkan karena
undian berhadiah illah-nya tidak termasuk maitsir.
Kemudian dikatakan bahwa pembeli atau pemasang lotere apabila
bermaksud dan bertujuan hanya menolong dan mengharapkan hadiah,
maka tidaklah terdapat dalam perbuatan itu satu perjudian. Apabila
seseorang bertujuan semata- mata ingin memperoleh hadiah, menurut
Muhammad Fachruddin perbuatan itu tidak termasuk perjudian sebab
pada perjudian kedua belah pihak berhadap hadapan dan masing- masing
menghadapi kemenangan atau kekalahan (Suhendi, 2008:322)
Fachruddin sebagaimana yang dikutip oleh Suhendi (2008:323)
juga menjelaskan kebolehan hal- hal berikut :
1) Mengeluarkan lotere oleh suatu perkumpulan Islam yang berbakti
adalah dibolehkan.
2) Menjual lotere yang dilakukan oleh perkumpulan Islam yang
berbakti dibolehkan.
3) Membeli lotere disamping mendapatkan hadiah yang dibagi-
bagikan oleh perkumpulan itu dibolehkan.

c. Syaikh Muhammad Abduh
Syeikh Abduh sebagaimana dikutip oleh Hosen (dalam Nawawi,
2012:269) mengatakan bahwa umat Islam diharamkan menerima uang
hasil undian (lotere), baik secara individual maupun secara kolektif,
dengan alasan karena hal itu termasuk memakan harta orang lain dengan
cara yang batil.
Maksud harta yang batil menurut Abduh adalah harta yang
tidaka ada imbangannya/ imbalannya dengan sesuatu yang nyata. Kata
batil berasal dari kata batlan dan butlanan yang artinya sia- sia dan rugi.
Agam telah mengharamkan mengambil harta tanpa ada imbalannya yang
nyata yang dapat dinilai dan tanpa adanya keridhaan pemiliknya, dimana
23

harta itu diambil, demikian pula haram mendermakannya pada jalan yang
tidak ada manfaatnya (Almanar Juz II dalam Suhendi, 2008:323)
Kemudian Nawawi (2012:269) memperjelas pendapat tersebut
diatas bahwasannya maksud dari memakan harta dengan jalan yang batil
adalah :
1) Mencari atau mengambil barang orang lain tanpa ada imbalan
yang nyata dan yang dapat dinilai.
2) Menerima atau mengambil barang orang lain dengan tanpa
ridanya.

Pada bagian lain dijelaskan oleh Syaikh Muhamad Abduh dalam
Hosen sebagaimana yang dikutip oleh Nawawi (2012: 269) mengenai
pendapat ahli fiqih yang menyatakan bahwa orang yang tidak
mempunyai pakaian sama sekali untuk menutup auratnya, ia tidak wajib
meminjam pakaian kepada yang lain, karena bila melakukannya, ia harus
salat dengan telanjang, dan pada saat yang sama, orang lain pun tidak
boleh menerima pemberian pakaian dari orang tersebut.
Nawawi (2012:269) menyimpulkan bahwa haram menerima
hadiah orang yang menang dalam lotere (undian) dan juga haram
memanfaatkan hasil lotere tersebut.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa hal- hal yang
berkaitan degan undian berhadiah mulai dari penyelenggaraan sampai
pemanfaatan masih terdapat perselisihan antar para ulama

d. Ash-Shiddieqy
Ash-Shiddieqy sebagaimana yang dikutip oleh (Cholio, 2008:28)
mengatakan bahwa meskipun lotre masuk dalam kategori haram, namun
keharamannya tidaklah sama dengan keharaman qimar atau maitsir
karena pada qimar dan maitsir langsung menimbulkan permusuhan,
pertengkaran, bahkan terkadang sampai tikam menikam antara yang
menang dan yang kalah. Dalam lotre ini tidak terdapat yang demikian.
24

Namun di dalamnya terdapat pula padanya hal- hal yang menyamakan
dengan qimar atau maitsir.

4. Aktivitas Undian Berhadiah
Menurut Hosen dalam (Nawawi, 2012:268) pelaksanaan undian
berhadiah atau lotere biasanya melibatkan hal- hal berikut :
a. Penyelenggara biasanya lembaga pemerintah atau swasta yang legal
mendapatkan izin dari pemerintah.
b. Para penyumbang adalah para pembeli kupon yang mengharapkan
hadiah.
Sementara itu, mengenai kegiatan penyelenggaraan kupon biasanya
adalah sebagai berikut :
a. Mengedarkan kupon atau menjual kupon yang salah satu fungsi
pengedarannya adalah dapat dihitung dana yang diperoleh dari para
penyumbang.
b. Membagi- bagi hadiah sesuai dengan ketentuan yang sebenarnya
diambil dari sebagian dana yang diperoleh.
c. Menyalurkan dana yang telah terkumpul sesuai dengan rencana yang
telah ditentukan setelah diambil untuk hadiah dan dana
operasionalnya. (Nawawi, 2012:268)

5. Jenis- jenis Undian berhadiah
Undian dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :
a. Undian yang mengandung unsur mudarat atau kerusakan. Undian jenis
ini terbagi menjadi dua, yaitu :
1) Undian yang menimbulkan kerugian financial pihak- pihak yang
diundi. Dengan kata- lain antara pihak- pihak yang diundi terdapat
unsur- unsur untung rugi, yakni jika di satu pihak ada yang mendapat
keuntungan, maka di pihak lain ada yang merugi dan bahkan
menderita kerusakan mental. Biasanya, keuntungan yang diraihnya
jauh lebih kecil daripada kerugian yang ditimbulkan. Undian yang
25

terdapat unsur- unsur ini dalam Al-Quran disebut al-Maitsir (Q.S.
Al- Baqarah :219) (Dahlan dalam Cholio, 2008:24)
2) Undian yang hanya menimbulkan kerugian atau kerusakan bagi
dirinya sendiri, yaitu berupa kerusakan mental. Manusia
menggantungkan nasib, rencana, pilihan dan aktivitasnya kepada para
pengundi nasib atau peramal, sehingga akal pikirannya menjadi
labil, kurang percaya diri dan berpikir tidak realistic. Undian semcam
ini dalam Al-Quran disebut dengan al-azlam (QS. Al-Maaidah:90)

b. Undian yang tidak mengandung Mudarat
Undian jenis ini tidak mengakibatkan kerugian, baik bagi pihak- pihak
yang diunsi maupun pihak pengundi sendiri para pelakunya hanya
mendapatkan keuntungan di satu pihak dan pihak lain tidak mendapat
apa- apa, akan tetapi tidak menderita kerugian. Yang termasuk dalam
kategori ini adalah segala macam undian berhadiah dari perusahaan-
perusahaan dengan motif promosi atas barang produksinya, undian untuk
mendapatkan peluang tertentu (karena terbatasnya peluang tersebut)
seperti undian untuk berangkat ibadah haji dengan Cuma- Cuma dan
undian untuk menentukan giliran tertentu, seperti dalam arisan.
Termasuk juga dalam kategori ini bentuk undian dalam katefori prioritas
urutan dalam perlombaan, baik olahrga maupun kesenian. (Dahlan dan
Cholio, 2008, 24-25)









26













BAB III
PENUTUP

27

A. Kesimpulan
B. Saran





























28

Daftar Pustaka


Al-Ayubi, Ockym. (2012). Makalah Fiqih Bab Hadiah. [online].
Tersedia : http://ockym.blogspot.com/2012/12/makalah-fiqih-bab-
hadiah.html [27 April 2013].
Anonim. 2011. Undian Berhadiah. [Online].
Tersedia : http://riariok.blogspot.com/2011/10/undian-berhadiah.html [27
April 2013].
Azzam, A. A. (2010). Fiqih Muamalat : Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam .
Jakarta: Amzah.
Cholio, Abdul. (2008). Analisis Pendapat Yusuf Qardhawi tentang Undian
Berhadiah. Skripsi pada Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang :
tidak diterbitkan.
Hafidhuddin, D. (1998). Tentang Zakat Infak Sedekah. Jakarta: Gema Insani
Press.
Mardani. (2012). Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syariah. Jakarta: PT
RAJAGRAFINDO PERSADA.
Muhyiddin, A.L. (2011). Makalah Fiqih Muamalah Hibah dan Hadiah. [online].
Tersedia : http://alwafaalmuttaqiin.blogspot.com/2011/12/makalah-fiqh
muamalah-hibah-hadiah-dan.html [27 April 2013].
Musrifah, Etik, dkk. (2011). Kupon Berhadiah, Hadiah Perlombaan dan Ibadah
Haji Hadiah. Makalah pada Sekolah TInggi Agama Islam Ngawi : tidak
diterbitkan.
Nawawi, I. (2012). Fiqih Muamalah Klasik dan kontemporer. Bogor: Ghaila
Indonesia.
Setyani, Iin, dkk. (2011). Hibah, Sedekah dan Hadiah. Makalah pada Fakultas
Tarbiyah IAIN Semarang: tidak diterbitkan.
Suhendi, H. (2008). FIQH MUAMALAH. Bandung: PT Raja Grafindo Persada.
Suparta, M. (2007). Fiqih. Semarang: PT Karya Toha Putra.

29

Table of Contents
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3
A. Hibah .............................................................................................................. 3
1. Pengertian .................................................................................................... 3
2. Konsep dasar Hibah .................................................................................... 4
3. Rukun Hibah ............................................................................................... 5
4. Syarat Hibah ................................................................................................ 5
5. Syarat Wahib (Pemberi Hibah) ................................................................... 5
6. Syarat Mauhub (barang) .............................................................................. 6
7. Macam-macam Hibah ................................................................................. 6
8. Pemberian Bersyarat ................................................................................... 7
9. Pemberian dengan Umra dan Ruqbah ........................................................ 7
10. Dalil Hukum ................................................................................................ 9
11. Hikmah ..................................................................................................... 12
B. Sedekah ...................................................................................................... 13
1. Pengertian .................................................................................................. 13
2. Hukum Sedekah ........................................................................................ 13
3. Hikmah ..................................................................................................... 15
C. Hadiah 16
1. Pengertian .................................................................................................. 16
2. Terminologi (pendapat para ulama dan ahli) ............................................ 16
3. Landasan Hukum Hadiah .......................................................................... 17
4. Syarat-syarat dan Rukun Hadiah ............................................................... 19
5. Hikmah 19
D. Undian Berhadiah ....................................................................................... 20
30

1. Pengertian .................................................................................................. 20
2. Terminologi (pendapat para ulama dan ahli) ............................................ 20
3. Pendapat para ulama tentang undian berhadiah ........................................ 21
a. Menurut A. Hasan Bangil ................................................................ 21
b. Menurut Fuad. Mohd. Fachruddin .................................................... 22
c. Syaikh Muhammad Abduh .............................................................. 22
4. Aktivitas Undian Berhadiah ...................................................................... 24
5. Jenis- jenis Undian berhadiah ................................................................... 24
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 26
A. Kesimpulan ................................................................................................. 27
B. Saran 27
Daftar Pustaka ................................................................................................... 28

Anda mungkin juga menyukai