Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah
Al- Quran merupakan wahyu terbesar yang diturunkan Allah SWT
kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi pedoman bagi semua Umat. Sudah
sepatutnya kita ikut andil menjadi bagian dari orang- orang yang mengkaji isi Al-
Quran untuk kemudian menginformasikannya kepada masyarakat awam yang
hanya menjadikan Al- Quran hanya sebagai bacaan. Padahal apabila dikaji lebih
mendalam kandungan imu dalam al- quran itu sangat luar biasa.
Al- Quran bersifat universal mencakup seluruh sendi- sendi kehidupan.
Akan tetapi permasalahannya adalah banyak orang yang salah memahami
beberapa ayat al- quran yang maknanya samar. Oleh karena itu diperlukan ilmu
yang memberikan penjelasan terhadap lafadz- lafadz Al- Quran yang seperti itu.
Dan Tafsir adalah ilmu yang membahas semua itu.
Tafsir mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari dahulu
sampai sekarang. Telah tercatat kemajuan pada beberapa periode zaman. Mulai
dari periode Nabi Muhammad, para sahabat dan masakontemporer sekarang ini.
Tentunya akan menarik apabila perkembangan kemajuan tafsir pada masing-
masing periode itu dibahas. Maka diharapkan dengan adanya sebuah makalah
yang membahas perkembangan tafsir serta hal- hal yang berhubungan dengannya
dapat menambah khazanah pengetahuan kita tentang materi tafsir itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut kami merumuskan beberapa rumusan masalah,
yaitu :
1. Apa pengertian Tafsir dan Takwil serta perbedaan diantara keduanya ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan Tafsir mulai dari periode Nabi
Muhammad SAW hingga periode kontemporer saat ini ?
2

3. Apa yang dimaksud dengan mufassir dan apa syarat pendukung seseorang
untuk menjadi seorang mufassir ?
4. Apa pengertian Tafsir Tekstual dan Tafsir Kontekstual ?

C. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan
menjelaskan :
1. Pengertian Tafsir dan Takwil dan perbedaan diantara keduanya.
2. Perkembangan Tafsir sejak periode Nabi hingga saat ini.
3. Syarat dan ilmu pendukung bagi seorang mufassir
4. Tafsir tekstual dan Tafsir kontekstual ?





















3

BAB II
TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA



3
Dalam menjelaskan Tafsir tentu tidak akan lepas dari menjelaskan Tawil
yang dimana keduanya mempunyai arti hampir sama. Dikatakan hampir sama
karena memang Tafsir dan Tawil merupakan dua istilah yang digunakan untuk
menjelaskan Al-Quran, namun mempunyai perbedaan yang ulama pun banyak
berbeda pendapat. Untuk lebih jelasnya disini kami menyajikan sedikit tukilan
dari beberapa pendapat ulama yang dirasa cukup mewakilkan keseluruhan.
1. Definisi Tafsir
Tafsir secara etimologi (bahasa) berasal dari bahasa Arab fassara yang
berarti keterangan (al-idhah) dan penjelasan (al-bayan). Dalam Al-Quran kalimat
Tafsir dengan arti tersebut ada pada surat Al-Furqan [25] ayat 33 sebagai berikut:
4 El4^O>4C VE) )
ElE4u_ --E^)
4 O ; O = } = > ^ O O O - @ @ ^
Artinya : Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu
yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar
dan yang paling baik penjelasannya. (QS. Al-Furqan[25]:33)

Tafsir ) ( juga mengandung arti: menjelaskan, menyingkap dan
menampak-kan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata berarti
menyingkapkan sesuatu yang tertutup [Al-Qaththan, 1992: 450 - 451].
Sedangkan menurut istilah (terminologi), dari banyaknya pendapat para
ulama pengertian tafsir kami mengambil dari buku Tafsir-Tafsir Al-Quran karya
DR. Mahmud Basuni Faudah (1987:1) yang diuraikan dari pengertian yang
panjang, sederhana dan ringkas.
Definisi yang panjang mengatakan:
4

Tafsir ialah ilmu yang menerangkan tentang nuzul (turunnya) ayat-ayat,
hal ihwalnya, kisah-kisah, sebab-sebab yang terjadi dalam nuzulnya, tertib
Makiyah dan Madaniyahnya, nasikh mansukhnya khas dan ammnya, muthlaq dan
muqayyadnya, perintah dan laranganyya, ungkapan dan tamtsilnya, dan lain-lain
sebagainya.
Definisi yang sedehana mengatakan:
Tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara-cara mengucapkan lafaz-
lafaz Al-Quran, madlulah dan ahkamnya secara sendiri-sendiri dan tersusun dan
maaninya yang mengandung keterangan tentang hal ihwal susunannya.
Definisi yang ringkas mengatakan:
Tafsir ialah ilmu yang membahas tentang hal ihwal Al-Quranul Karim,
dari segi indikasinya akan apa yang dimaksud oleh Allah.
Adapun yang dimaksud dengan hal ihwal Al-Quranul Karim itu ialah
kedudukannya sebagai kitab petunjuk yang benar, kitab yang berbahasa Arab,
agung dan mukjizat bagi Nabi kita saw.

2. Definisi Takwil
Tawil menurut bahasa, terambil dari kata awala yaitu kembali kepada al.
Diantara firman allah yang mengemukakan kata Tawil adalah:

4O- -Og~-.- 44O^ El^OU4N
=U4-^- +OuLg` e4C-47 7eE^4O`
O}- Oq U4-^- NOE=q4
eE_)l4=4N` W E` 4g~-.- O)
)_)OU~ [uuCEe 4pON):441 4`
4O4l4=> +OuLg` 47.4g--
gO4Lu-g^- 47.4g--4
g)-Cj> 4`4 NUu4C N-Cj>
) +.- 4pONCcO-4 O) Ug^-
4pO7O4C EL4`-47 gO) 7 ;}g)`
gLgN 4L)4O 4`4 NO-OO4C )
W-O7q U4:^- ^_

5

Artinya : Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara
(isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al
qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang
yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak
ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal (QS. Ali-Imran[3]:7)

Sedangkan pengertian Tawil, menurut sebagian ulama, sama dengan
Tafsir. Namun ulama yang lain membedakannya, bahwa tawil adalah
mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena
alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173]. Sehubungan
dengan itu, Asy-Syathibi [t.t.: 100] mengharuskan adanya dua syarat untuk
melakukan pentawilan, yaitu: (1) Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat
kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya [tidak bertentangan dengan
syara/akal sehat], (2) Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat
Arab klasik pada saat turunnya Alquran].

3. Perbedaan Antara Tafsir dan Takwil
Para mufassirin telah berselisihan pendapat dalam memberikan makna
Tafsir dan Tawil. Kata Ar Raghib Al Asfahany : Tafsir lebih umum dari ta wil.
Dia lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedang tawil lebih banyak
dipakai mengenai makna dan susunan kalimat..
Kata Abu Thalib Ats Tsalaby : Tafsir ialah, menerangkan makna
lafadh, baik makna hakikatnya maupun makna majaznya, seperti mentafsirkan
makna Ash Shirath dengan jalan dan Ash Shaiyib dengan hujan. Tawil ialah,
mentafsirkan bathin lafadh. Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang
6

dikehendaki, sedang tawil menerangkan hakikat yang dikehendaki. Umpamanya
firman Allah swt:
Ep) El+4O g1=Og^)l
^j
Artinya : Bahwasanya Tuhanmu itu sungguh selalu memperhatikan kamu.
(QS. Al-Fajr [89]:14)
Tafsirannya ialah, bahwasanya Allah senantiasa dalam mengintai-intai
memperhatikan keadaan hamba-Nya. Adapun tawilnya, ialah menakutkan
manusia dari berlalai-lalai, dari lengah mempersiapkan persiapan yang perlu.
Kata segolongan pula : Tafsir berpaut dengan Riwayat. sedang tawil
berpaut dengan Dirayat. Hal ini mengingat, bahwa tafsir dilakukan dengan apa
yang dinukilkan dari Sahabat, sedang tawil difahamkan dari ayat dengan
mempergunakan undang-undang bahasa Arab. Seperti dalam firman Allah:
Ep) -.- -g pUO4^-
O4OEL-4 W @O^C7 OOO4^-
=}g` gejOE^- @O^C`4
gejOE^- =}g` ^]OEC^- _
N7gO +.- W _O^+ 4pO7u>
^_)
Artinya : Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji
buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (yang memiliki sifat-sifat)
demikian ialah Allah, Maka mengapa kamu masih berpaling? (QS.
Al-Anam[6]:95).

Maka jika kita katakan bahwa yang dikehendaki oleh ayat ini,
mengeluarkan burung dari telur, dinamailah ia tafsir. Dan jika dikatakan bahwa
yang dikehendaki, mengeluarkan yang alim dari yang bodoh, atau yang beriman
dari yang kafir, dinamailah tawil.
Perbedaan antara keduanya dapat dipaparkan di bawah ini.
TAFSIR
7

Pemakaiannya banyak dalam lafazh-lafazh dan mufradat.
Jelas diterangkan dalam Al-Quran dan hadits-hadits sahih.
Banyak berhubungan dengan riwayat.
Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas).
Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki.



TAKWIL
Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
Kebanyakan diistinbath oleh para ulama
Banyak berhubungan dengan dirayat
Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat (tidak jelas)
Menerangkan hakikat yang dikehendaki

A. Sejarah Tafsir Alquran
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul SAW., yang berfungsi sebagai
mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang
arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak
dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya
Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita
ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang
Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-
persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa
melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam
'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah,
khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran
kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti
'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih
lahirnya Israiliyat.
8

Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan
di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat
mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di
kota-kota tersebut, seperti: (a) Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang
ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas; (b) Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin
Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab; dan (c) Al-
Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada
'Abdullah bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw.,
penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu
kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan
periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in,
sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya,
dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat.
Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa
persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi
Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad
masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang
dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan
masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad
dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab
atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang
pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz
dalam Al-Naba'Al-Azhim: "Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan
cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan
tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan
melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis
bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas.
9

Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada
tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk
interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal."
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain:
(a) Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab
yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang
Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk
menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti
kandungan Al-Quran di bidang ini.
(b) Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang
mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut
agama; agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar
masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka.
Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang
tecermin dalam penafsiran mereka.
(c) Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan
perkembangan ilmu.
(d) Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan
terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha
membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-
penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
(e) Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi
dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai
kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
(f) Bermula pada masa Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M),
corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak
tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak
tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran yang
berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha
untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah
mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan
10

petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi
indah didengar. (Shihab, 1996)
Adapun jika kita jabarkan secara ringkas sejarah perkembangan tafsir ini,
dengan dimulai dari periode Rasul saw. sampai masa pembukuan adalah sebagai
berikut:


1. Periode Nabi Muhammad SAW
Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang
Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Quran. Sehingga banyak diantara mereka
yang masuk Islam setelah mendengar bacaan Al-Quran dan mengetahui
kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang
terkandung dalam Al-Quran, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif
dalam memahami isi dan kandungan Al-Quran.
Sebagai orang yang paling mengetahui makna Al-Quran, Rasulullah
selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah :
ge4L)O4l^)
@O+O-4 .4L^4O^4
El^O) 4O-g]~.- 4))-4l+g
+EELUg 4` 4@O+^ jgO)
_^UE4 ]NO-E4-4C ^jj
Artinya : Keterangan-keterangan (mujizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka
memikirkan. (QS. An-Nahl [16]:44).

Penjelasannya ini ada kalanya dengan sunnah Qauliyyah, sunnah
Filiyyah maupun juga Taqririyyah. Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim
dari Uqbah bin Amir berkata : Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas
mimbar membaca firman Allah :

11

kemudian Rasulullah bersabda :

Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah
bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti)
di surga.
2. Periode Zaman Sahabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan Al-Quran adalah;
Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, menafsirkan Al-Quran dengan
sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar
dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus
keislamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Masud, Ubay bin
Kaab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling
banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Masud
dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan doa dari Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama
dengan hadist marfu. Atau paling kurang adalah Mauquf.
3. Periode Para Tabiin
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda
dengan masa sahabat, karena para tabiin mengambil tafsir dari mereka. Dalam
periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir
terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu
Abbas, Towus Al-Yamany dan Atho bin Abi Robah.
Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Kaab, yang menghasilkan
pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul Aliyah dan Muhammad bin
Kaab Al-Qurodli.
Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Masud, diantara murid-muridnya yang
terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin
Diamah As-Sadusy.
12

Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya
bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan
dalil atas pendapat yang lainnya.
4. Periode Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman
Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah
dibukukan sebelumnya.
Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara
terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat
dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu
Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan
mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat
dan para tabiin.
Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan
menukil pendapat para ulama tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan
dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan
para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau
kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat.

ada sepuluh pendapat, padahal para ulama tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat
tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni.
Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku
buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan
akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan
periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang
keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Quran dari segi hukum
seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsalaby
dan Al-Khozin dan seterusnya.
Periode Kelima, tafsir maudhui yaitu membukukan tafsir menurut suatu
pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu
Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Quran, Abu Jafar An-Nukhas
13

dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos
dengan Ahkamul Qurannya.

C. Mufassir dan Perangkat Ilmu Pendukung
C.1 Pengertian Mufassir
Tidaklah mudah apabila seseorang berkeinginan menjadi mufassir.
Banyak sekali kemampuan, ilmu, dan adab bagi seorang mufassir. Jadi tidak boleh
seseorang menafsirkan Al-Quran dengan seenaknya tanpa memiliki klualifikasi
keilmuan pendukung untuk menjadi seorang mufassir.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang mufassir maka akan dijelaskan terlebih dahulu pengertian mufassir.
Husain bin Ali bin Husain Al-Harby (dalam Muhammad Isa Anshory,2007 : 5)
menjelaskan pengertian Mufassir yaitu :










Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang
dengannya ia mengetahui maksud Allah taala dalam Al-Quran sesuai
dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir
dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitbullh. Selain itu,
ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau
menuliskannya.

C.2 Ilmu Pendukung dan Syarat Menjadi Mufassir

,

, ,
.

,

14

Menjadi seorang mufassir tentu tidaklah mudah. Seseorang harus
memiliki wawasan luas tentang Islam dan disamping itu harus juga memiliki
etika- etika atau adab khusus yang biasanya tidak dimiliki oleh orang- orang
kebanyakan. Al-Suyuti (dalam Andri Azhari dan Raudatun Nisa, 2012 :4-5)
menyebutkan lima belas ilmu yang mesti dikuasai seorang mufassir yang nantinya
akan menuntunnya dalam penafsiran:
1. Ilmu Bahasa karena dengannya seorang mufassir mengetahui
penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan
objek.
2. Ilmu Nahwu. Dengan ilmu ini dapat diketahui perubahan-
perubahan makna sesuai dengan perbedaan irab.
3. Tashrf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui struktur dan
bentuk suatu kata.
4. Ilmu tentang Isytiqq karena suatu nama apabila isytiqq-nya
berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti
berbeda.
5. Al-Mani yang dengannya dapat diketahui ciri-ciri khas susunan
suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6. Al-Bayn untuk mengetahui ciri-cirinya dari sisi perbedaan-
perbedaannya ditinjau dari sisi kekuatan dan kesamaran
petunjuknya.
7. Al-Bad untuk memperindah suatu pembicaraan. (Ketiga ilmu di
atas, nomor lima, enam, dan tujuh, disebut ilmu Balaghah)
8. Ilmu qirah dengan ilmu ini dapat diketahui cara membaca al-
Quran dan makna yang paling kuat yang mungkin dikandung oleh
suatu ayat.
9. Ilmu tentang Ushluddn.
10. Ushul Fiqih karena dengannya dapat diketahui metode
pengambilan dalil dan ijtihad terhadap suatu hukum.
11. Ilmu tentang Asbbun Nuzl dan kisah-kisah, agar diketahui
maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
15

12. Ilmu tentang An-Nsikh wa al-Manskh, untuk mengetahui ayat
yang muhkam (yang tidak dinasakh) dan yang lainnya.
13. IlmuFiqih.
14. Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global)
dan mubham (tidak diketahui).
15. Ilmu mauhibah (bakat), yaitu ilmu yang Allah taala anugerahkan
kepada orang yang mengamalkan apa yang dia ketahui.
Selain itu ada tiga tambahan ilmu untuk mufassir kontemporer
selain lima belas ilmu inti untuk menjadi seorang mufassir menurut
Ahmad Bazawy Adh-Dhawy ( dalam Muhammad Isa Al- Anshory : 8 ),
ketiga ilmu itu adalah :
1. Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu
memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun
peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam.
2. Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang
mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat
yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-
Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan
demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap
hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.
3. Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini
sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam
terhadap problem tersebut.
Setelah kita melihat ilmu- ilmu yang harus dikuasai oleh
seseorang untuk menjadi mufassir, maka dapat disimpulkan bahwasannya
tidak mudah menjadi seorang mufassir, juga seseorang jangan dengan
mudahnya mentafsirkan sebagian ayat Al- Quran dengan tanpa memiliki
ilmu yang cukup, karena dikhawatirkan akan menyimpang dengan makna
ayat yang sesungguhnya.
Selain harus memiliki beberapa ilmu pokok yang yang harus
dikuasai, seorang mufassir juga harus memiliki adab- adab tertentu .
16

Seperti dikemukakan oleh Imam Abu Wail Ath- Thabary ( dalam Dr
Ahmad Syurbasyi, 1999 : 38 ) tentang adab tersebut, yaitu :
1. Hendaklah Mufassir mempunyai aqidah yang sah ( murni );
2. Hendaklah Mufassir itu kuat serta teguh pendiriannya pada
sunnah nabi Muhammad SAW, ajaran Islam.
Jadi sangat jelas bahwa menjadi seorang mufassir merupakan sebuah
pekerjaan mulia, namun sangat berat dan tidak sembarang orang bisa
melakukannya. Seorang muffasir sudah jelas harus memiliki aqidah yang benar
karena dengan aqidah tersebut yang merupakan landasan pokok yang nantinya
akan berkorelasi dengan Amal ibadah dan Aklaqnya. Apabila aqidahnya lemah
maka bagaimana mungkin dia akan mampu mengemban sebuah tugas mulia untuk
mentafsirkan Al- Quran. Seorang mufassir juga tidak boleh terlalu cinta kepaa
dunia, karena dikhawatirkan ini akan menjadi sumber kelalaian padanya.
Bagi seorang Mufassir mutlak harus senantiasa mengerjakan sunah-
sunah rasul serta harus menjaga keistiqomahan dalam menjalankannya, karena ini
merupakan penguat keimanan dan akan memperkokoh ruhiyah sang mufassir.
Dalam menafsirkan seorang mufassir tidak boleh menggunakan hawa nafsunya
untuk menafsirkan sesuai dengan keinginannya, namun harus berdasarkan pada
Sunah- sunah rasul yang memiliki fungsi sebagai perinci ayat- ayat Al- Quran
yang masih bermakna umum.
Selain harus memiliki kompetensi dalam berbagai bidang ilmu tersebut,
seorang mufassir harus juga memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy (dalam Muhammad Isa Al- Anshory : 17-
19 ) meringkaskan sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir,
yaitu:
1. Akidah yang lurus
2. Terbebas dari hawa nafsu
3. Niat yang baik
4. Akhlak yang baik
5. Tawadhu dan lemah lembut
6. Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata
karena Allah taala
17

7. Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syari serta
sikap menghindar dari perkara-perkara yang dilarang
8. Tidak bersandar pada ahli bidah dan kesesatan dalam menafsirkan
9. Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan
Kitbullh sebagai pemimpin yang diikuti.
Selain sembilan point di atas, Syaikh Manna Al-Qaththan (2007)
menambahkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
1. Mengamalkan ilmunya dan bisa dijadikan teladan
2. Jujur dan teliti dalam penukilan
3. Berjiwa mulia
4. Berani dalam menyampaikan kebenaran
5. Berpenampilan simpatik
6. Berbicara tenang dan mantap
7. Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya
8. Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran
Syaikh Thahir Mahmud Muhammad Yakub (dalam Muhammad Isa Al-
Anshory, 2007: 18 ) juga mengemukakan syarat yang berkaitan dengan sifat-sifat
mufassir. Syarat-syarat terpenting tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :
- Akidah yang shahih dan pemikiran yang bersih
- Maksud yang benar dan niat yang ikhlas
- Mentadabburi dan mengamalkan Al-Quran secara mendalam
- Mengetahui pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan Al-Quran Al-
Karim dan tafsirnya, seperti ilmu qiraah, asbb an-nuzl, nsikh dan
manskh
- Bersandar pada naql (penukilan) yang benar
- Mengetahui bahasa Arab dan uslubnya
- Tidak segera menafsirkan berdasarkan bahasa sebelum menafsirkan
berdasarkan atsar
- Ketika terdapat beragam makna irab, wajib memilih makna yang sesuai
dengan atsar yang shahih sehingga irab mengikuti atsar
- Mengetahui kaidah-kaidah yang dikemukakan salafush shalih untuk
memahami dan menafsirkan Al-Quran
18

- Mengetahui kaidah-kaidah tarjh menurut para mufassir
- Tidak membicarakan secara panjang lebar perkara-perkara yang hanya
diketahui oleh Allah, misalnya asma dan sifat-Nya, serta tidak terburu-
buru dalam menetapkan sifat Allah taala dari Al-Quran Al-Karim.
- Berlepas diri dari hawa nafsu dan taashub madzhabi
- Tidak mengambil tafsir dari ahli bidah, seperti Mutazilah, Khawarij, para
pentakwil sifat Allah, dan sebagainya
- Menghindari israiliyat
- Menjauhi masalah-masalah kalamiah dan pemikiran-pemikiran filsafat
yang jauh dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta berkontradiksi dengan
keduanya
- Tidak membebani diri dalam tafsir ilmiah
- Jujur ketika menukil
- Mendahulukan orang yang lebih utama darinya dalam mengambil dan
menukil tafsir serta mengembalikan kepada orang yang ia mengambil
darinya

D. Tafsir Tekstual dan Tafsir Kontekstual
Menurut Amir Nuruddin ( dalam Dr. H.U. Syafrudin, 2009 :36) Embrio
munculnya tafsir yang berorientasi tekstual dan konteksual, sebenarnya, telah ada
sejak masa Nabi Muhammad SAW. Kasus- kasus tijtihad yang dilakukan oleh
para sahabat Nabi Muhammad SAW, misalnya Umar bin Khathab, dapat
dijumpai, dan terutama ia menimbulkan kesan perdebatan.
Pada waktu terjadi perdebatan antara kelompok yang menggunakan
makna harfiah teks sebagai orientasinya dengan kelompok yang berpatokan pada
makna kontekstual. Menurut Dr. H.U. Syafrudin ( 2009 :36 ) Seiring dengan
perkembangannya dan perluasan wilayah Islam serta bertambahnya komunitas
umat islam, diferensi kedua pola atau model penafsiran ini semakin tampak,
terutama karena adanya dukungan dan legitimasi teologis- sosilogis dari
kelompoknya masing- masing. Maka muncullah istilah ahli adits dan ahli rayi
D.1 Tafsir Tekstual
19

Penamaan istilah tafsir tekstual sebenarnya tidak diketahui atau tidak
dikenal dalam istilah tafsir. Akan tetapi secara esensial Menurut Dr. H.U.
Syafrudin ( 2009 :38 ) bahwasannya tafsir tekstual sudah diperkenalkan sejak
awal munculnya tafsir, baik itu tafsir tahlili, mujmal, maupun muqarin, dan
mungkin saja juga dalam tafsir tematik ( maudui ). Itu tergantung pada orientasi
makna teks al- Quran, apakah untuk menemukan makna tekstualnya atau makna
kontekstualnya.
Pada makalah yang berjudul Pola interkasi dengan Quran dan sunnah
karya dari TOT PSQ dan STAIN Surakarta yang dikutip oleh Dr. H.U.Syafrudin (
2009 :38 ) dalam bukunya yang berjudul Paradigma Tafsir Tekstual dan
Kontekstual : Usaha memahami kembali pesan Al- Quran dijelaskan bahwa
Tafsir tekstual berarti memaknai Al- Quran secara lahiriah yang dalam sejarah
fiqh dipelopori oleh aliran zahiriyah. Dalam memahami al- Quran, aliran
Zahiriyah berpegang pada tiga prinsip dasar : pertama, keharusan berpegang
teguh pada lahiriah teks, dan tidak melampauinya kecualo dengan zahir lainnya
atau dengan konsesus ijma yang pasti. Kedua, maksud teks yang sebenarnya
terletak pada yang zahir, bukan dibalik teks yang perlu dicari dengan penalaran
mendalam. demikian pula maslahat yang dikehendaki syara. Ketiga, mencari
sebab dibalik penetapan syariat adalah sebuah kekeliruan.
Selain itu Dr. H.U.Syafrudin ( 2009 :38 ) memberikan informasi bahwa
untuk penganut tafsir tekstual, Al- Quran diyakini sebagai firman Tuhan yang
kebenarannya bersifat mutlak. Karna itu, al- Quran diyakini ebagai sumber
kebenaran yang tunggal dan mutlak pula. Kemutlakannya tidak dalam konteks
situasai dan kondisi tertentu, melainkan untuk seluruh situasi dan kondisi. Al-
Qurn sebagai kitab suci selalu salih likuli zaman wa makan (selalu up to date
sepanjang masa ).
Jadi dapat disimpulkan bahwasannya al- Quran menurut pandangan
tafsir kontekstual dianggap sebagai sumber hukum yang memuat aturan
keagamaan dan bersifat tetap, namun sesuai dengan zaman yang berubah ia juga
menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Yang berubah sesuai zaman itu
bukanlah makna dibalik lahiriahnya, melainkan pada makna lahiriahnya.
D.2 Tafsir Konstekstual
20

Tafsir kontekstual dapat dikatakan sebagai tafsir yang berorientasi pada
konteks ayat. Sebelum kita mengulas pembahasan mengenai Tafsir konstekstual
alangkah baiknya dikemukakan terlebih dahulu makna dari kontekstual itu sendiri
baik secara etimologi maupun secara terminologi.
Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, secara etimologi, kata
kontekstual berasal dari kata benda bahasa Inggris yaitu context yang
diindonesiakan dengan kata konteks yang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata ini setidaknya memiliki dua arti, 1) Bagian suatu uraian atau
kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, 2) Situasi yang
ada hubungannya dengan suatu kejadian. Oleh karena itu maka dapat disimpulkan
bahwasannya kontekstual merupakan proses menarik suatu bagian yang memiliki
hubungan dengan kata atau kalimat yang mengakibatkan makna kata atau kalimat
tersebut menjadi kuat.
Adapun secara terminologi, Noeng Muhadjir menegaskan bahwa kata
kontekstual setidaknya memiliki tiga pengertian : 1) Upaya pemaknaan dalam
rangka mengantisipasi persoalan dewasa ini yang umumnya mendesak, sehingga
arti kontekstual identik dengan situasional, 2) Pemaknaan yang melihat
keterkaitan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang atau memaknai kata dari
segi historis, fungsional, serta prediksinya yang dianggap relevan, 3)
mendudukkan keterkaitan antara teks al Quran dan terapan
1
.\
Menurut Anonim dalam makalahnya yang berjudul pendekatan tafsir
kontekstual (2011:3) yang dikutip dari blog
(http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/07/metodologi-tafsir-kontektual.html )
menyebutkan bahwa cikal-bakal tafsir kontekstual adalah ayat-ayat Al-Qur`an
yang memiliki asbb al-nuzl, terutama yang berkaitan dengan fenomena sosial
pada saat itu. Sebab, sebagaimana biasanya, pemahaman ayat yang paling
sempurna adalah dengan memperhatikan setting sosial yang melingkupi turunnya
ayat. Ada kalanya setting sosial tersebut hanya berlaku pada masa tertentu,
individu tertentu, dan di tempat tertentu, tetapi ada kalanya berlaku sepanjang
masa, pada siapa saja, dan di mana saja. Sementara itu, ayat-ayat akidah tidak

1
http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/07/metodologi-tafsir-kontektual.html
21

mengenal batas-batas tersebut. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila usia tafsir
kontekstual setua ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki asbb al-nuzl.
Setidaknya ada delapan prinsip tafsir kontekstual seperti yang
disimpulkan oleh Taufik Adnan dan Syamsu Rizal yang dikutip oleh Dr.
H.U.Syafrudin ( 2009 :50 ), yaitu : 1) menetapkan bahwa Al-Quran adalah kitab
petunjuk (hudan ) bagi manusia; 2) pesan- pesan Al-Quran bersifat universal; 3)
al- Quran diwahyukan dalam situasai kesejarahan yang konkret, respons Tuhan
terhadap situasi arab etika ia diturunkan; 4) dalam kaitannya dengan ayat- ayat
mukam, mutsyabih, nasikh-manskh, perlu pemahaman terhadap konteks sastra
al- Quran, yaitu yang berkaitan dengan tema atau istilah tertentu yang digunakan
di dalam al- Quran; 5) pemahaman terhadap konteks kesejarahan dan konteks
sastra sangat penting dalam rangka menafsirkan Al-Quran selaras dengan
pandangan dunianya sendiri; 6) perlu memahami tujuan Al-Quran melalui kajian
terhadap konteks kesejarahan dan konteks sastra di atas hendaknya diproyeksikan
untuk memenuhi kebutuhan manusia kontemporer; dan 8) tujuan- tujuan moral al-
Quran hendaknya dijadikan pedoman dalam menyelesaikan problem sosial yang
muncul di masyarakat.
D.2.1 Tokoh Tafsir Kontekstual dan Metodologi Tafsirnya
Menurut Abdul Mustakim dan Sahiron Syamsyuddin (2002:44)
menuturkan bahwa perintis pertama tafsir kontekstual ini adalah Fazlur Rahman
lahir di Hazarakini menjadi bagian dari Pakistan---pada 21 September 1919.
Rahman dibesarkan di lingkungan keluarga yang berlatar belakang mazhab
Hanafi, sebuah mazhab Sunni yang relatif lebih rasional ketimbang mazhab sunni
lainnya (SyafiI, Maliki, dan Hambali ). Ayahnya adalah seorang ulama
tradisional, yang menanamkan kepadanya pendidikan dasar keagamaan. Meski
dibesarkan dalam kultur tradisional, sejak umur belasan tahun ia melepaskan diri
dari lingkup pemikiran yang sempit dalam batas-batas tradisi bermazhab.
Selanjutnya mengembangkan pemikirannya secara sendiri.
D.2.2 Contoh Tafsir Kontekstual
Berikut ini contoh tafsir kontekstual menurut Anonim dalam makalahnya
yang berjudul pendekatan tafsir kontekstual (2011:12) :
1. Poligami
22

Dalam Al-Quran surat An-Nisayang kerap dikutip sebagai dalil untuk
mengabsahkan praktik poligami adalah :

( )

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil
2
,
Maka (kawinilah) seorang saja
3
, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
( Q.S. An-Nisa [4]:3)

Yang diinginkan Al-Quran sesungguhnya bukan praktek beristri banyak.
Praktek ini tidak sesuai dengan harkat yang telah diberikan Al-Quran kepada
wanita. Status wanita yang selama ini cenderung dinomor duakan akan menjadi
semakin kuat jika praktek poligami tetap diberlakukan. Al-Quran menyatakan
bahwa laki-laki dan perempuan punya kedudukan dan hak yang sama. Maka
pernyataan Al-Quran bahwa laki-laki boleh punya istri sampai empat orang
hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif. Ada syarat yang
diajukan oleh Al-quran, yaitu menyangkut keadilan dalam rumah tangga.
Untuk memahami pesan Al-Quran, penelusuran sosio-historis
hendaknya dilakukan. Masalah ini muncul berkenaan dengan para gadis yatim
yang dalam ayat sebelumnya disebutkan


2
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
3
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w.
ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
23

( )

Artinya : Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang
besar. ( Q.S. An-Nisa [4]:2)


2. Perbudakan
Sama dengan kasus poligami di atas, Al-quran pun mengakui secara
hukum praktek perbudakan. Ini semata-mata dimaksudkan bersifat sementara dan
ideal moralnya adalah pemerdekaan budak. Surat al-Balad ayat 12-13:
.4`4 El.4Ou1 4`
O4lE^- ^g Ol O4:~4O
^@
Artinya : Tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu)
melepaskan budak dari perbudakan, ( QS. Al Balad [90]:12-13)
Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa bila seorang budak ingin
menebus kemerdekaannya dengan membayar sejumlah uang cicilan yang
ditentukan menurut kondisi sang budak, maka tuannya harus menyetujui
perjanjian penebusan itu. Tuannya tidak boleh menolaknya, seperti yang
ditegaskan al-Quran Surat An-Nur ayat 33:
4g~-.-4 4pO74-:4C
=U4-^- Og` ;eU4`
7NLEuC -O+lg>~ up)
+-;)U4 jgOg -LOOE= W
-O>-474 }g)` E` *.-
-Og~-.- 7>-47 _ 4
24

W-O-@O'> 7g-414- O>4N
g7.4)l^- up) 4pu14O
44OO4` W-O74-4-g 44O4N
jE_O41O4^- 4Ou^O- _ }4`4
O}O_-@O'NC Ep) -.- }g`
gu4 O})_g-4O^) EOOEN
_OgOO ^@@
Artinya : Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian,
hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu
mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada
mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk
melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian,
karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa
yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka
dipaksa itu (Qs. An-Nur [24]:33)
Ayat di atas menurut Rahman yang dikutip oleh Anonim dalam
makalahnya yang berjudul pendekatan tafsir kontekstual (2011:16), Al-Quran
tidak diterapkan oleh umat Islam dalam sejarah. Kalimat Alquran Jika kamu
mengetahui ada kebaikan pada mereka, bila dipahami dengan tepat akan berarti
bahwa seorang budak yang dianggap belum mampu memperoleh penghasilan
sendiri tidak bisa diharapkan dapat mandiri atau berdikari, dan karenanya
mungkin lebih baik bila ia tetap berada dalam lindungan tuannya. Tapi
sebaliknya, seorang budak yang sudah mampu berdikari, dan meminta
kemerdekaannya dengan menebus segala syarat, maka tuannya harus
memerdekakannya. Inilah ideal moral yang dituju Al-Quran.





25

















BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Tafsir dan takwil sebenarnya memiliki beberapa perbedaan diantarnya
pada penggunaanya dalam menafsirkan jenis ayat, tafsir digunakan pada ayat yang
muhkamat ( jelas ) sedangkan takwil digunakan pada ayat mutasyabihat ( tidak
jelas ). Tafsir mengalami perubahan yang signifikan sejak zaman Nabi
Muhammad SAW hingga periode kontemporer sekarang ini. Itu tidak terlepas dari
kemajuan ilmu pengetahuan islam yang dikembangkan oleh cendekiawan muslim
terutama ulama bidang tafsir.
Seseorang dikatakan menjadi seorang mufassir apabila memiliki wawasan
keislaman yang banyak dan menguasai lima belas ilmu pendukung diantaranya
ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, bahasa, nahwu dll. Serta memiliki adab- adab
tertentu. Jadi tidak boleh seorang mengklaim dirinya sebagai seorang mufassir
26

apabila tidak terpenuhi syarat- syarat tersebut. Tafsir tekstual menekankan
penafsiran ayat Al-Quran berdasarkan teksnya, sedangkan tafsir kontekstual lebih
berorientasi pada konteks ayatnya.

B. Saran
Dengan adanya pembahasan mengenai Tafsir dan perkembangannya
diharapkan agar bisa menambah wawasan keilmuan kita tentang Tafsir Al-
Quran. Dan perlunya ada pembahasan lebih mendalam berkaitan dengan materi
ini.








DAFTAR PUSTAKA


Anonim.2011.makalah : Pendekatan tafsir kontekstual.
Al-Qaththan, Manna. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.
Anshory , M.I. 2007.Makalah : Studi tentang Syarat-Syarat Mufassir Al-Quran.
Dr. Ahmad Syurbasyi,1999, Study tentang sejarah perkembangan tafsir Al-
Quran Al- Karim. Jakarta : Kalam Mulia.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia.(Jakarta: Balai Pusstaka 1989). hal.485
http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/07/metodologi-tafsir-kontektual.html
Abdul Mustakim dan Sahiron Syamsuddin, Studi Al-Quran Kontemporer,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002)
Faudah, M. B. (1987). Tafsir-Tafsir Al-Quran: Perkenalan dengan Metodologi
Tafsir. Bandung: Penerbit Pustaka
27

Shihab, M. Q. (1998). Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Kholil, M. Q. (2007). Studi Ilmu-ilmu Qur-an. Pustaka Litera Antarnusa
http://wildaznov11.blogspot.com/2009/01/pengertian-tafsir-tawil-dan-
terjemah.html

Anda mungkin juga menyukai