Anda di halaman 1dari 9

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA

A.

Pendahuluan. Sejarah Pendidikan Islam dimulai sejak agama Islam masuk ke Indonesia, yang

oleh sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa awal mula masuknya di pulau Sumatera bagian utara di daerah Aceh. Artinya, sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan karena pemeluk agama baru tersebut sudah tentu ingin mempelajari dan mengetahui lebih dalam tentang ajaranajaran Islam. Ingin pandai sholat, berdoa dan membaca Al-Quran yang menyebabkan timbulnya proses belajar, meskipun dalam pengertian yang amat sederhana. Dari sinilah mulai timbul pendidikan Islam, dimana pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah, langgar atau surau, mesjid kemudian berkembang menjadi pondok pesantren. Setelah itu baru timbul sistem madrasah yang teratur sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Agama Islam masuk ke Sumatera pada abad ke-7 M dan dapat berkembang dengan pesat, terutama sejak kehancuran Kerajaan Sriwijaya karena serangan Raja Rajendracoladewi dari India pada 1030 M. Agama Islam yang secara berangsurangsur berkembang di pesisir utara Pulau Sumatera ini kemudian mendapatkan pijakan yang amat kuat dengan berdirinya Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan Kerajaan Islam pertama di Indonesia yang terletak di Kampung Samudera di tepi Sungai Pasai yang berdiri pada pertengahan abad ke-13 M. Namun, bagaimana pendidikan agama Islam pada masa kerajaan tersebut dan bagaimana pula pendidikan agama Islam di kerajaan-kerajaan Islam lainnya pada saat agama Islam di Sumatera. Oleh karena itu, dalam makalah ini pemakalah akan memaparkan sedikit tentang pendidikan Islam pada masa kerajaan di Sumatera.

B.

Rumusan Masalah. Bagaimana pendidikan Agama Islam pada masa kerajaan-kerajaan Islam di

Sumatera ? C. Tujuan Penulisan. Untuk mengetahui bagaimana sistem pendidikan Islam pada saat agama Islam berkembang di kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera. D. Kerajaan Samudra Pasai. Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-13 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H).1 Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafii, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.2 Pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut; Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syariat adalah Fiqh mazhab Syafii.

Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis talim dan halaqoh.


Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama.

Biaya pendidikan bersumber dari negara.

Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome

1. Mustofa Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung , CV. Pustaka Setia, 1999, halm. 54. 2. Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam , Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2000, halm. 135

Pires, yang menyatakan bahwa di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan.3 Menurut Ibnu Batutah, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jumat tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Talim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru. E. Kerajaan Perlak. Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.4 Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan

3. M.Ibrahim, et.al, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta, CV. Tumaritis, 1991, halm. 61. 4. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia , Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001, halm. 29.

Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitabkitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafii. Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.5 F.
Kerajaan Aceh Darussalam.

Kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jumat di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.6 Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah. Sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu;

Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat


berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
5. Abdullah Mustofa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung , CV. Pustaka Setia, 1999, halm. 32. 6. M. Ibrahim, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, halm. 75.

Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran. Balai Jamaah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya. Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika.7 Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas). Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.8

7. Ibid, halm. 88. 8. Ibid, halm. 89.

G.

Kerajaan Langkat. Pada tahun 1900, kerajaan Langkat belum memiliki lembaga pendidikan formal.

Pendidikan yang dilaksanakan masih dengan pendidikan non formal, yaitu dengan belajar kepada guru-guru agama ataupun ahli-ahli dalam bidang tertentu. Bagi keluarga kerajaan juga diberikan pendidikan yang seperti ini. Para guru-guru itu diundang ke istana untuk memberikan ceramah dan pengajaran kepada raja beserta keluarganya. Ketika itu dinamika intelektual khususnya dalam bidang pendidikan belum menjadi fokus perhatian para sultan. Nampaknya mereka masih sibuk dengan masalah politik yang terjadi, yaitu berkaitan dengan perluasan wilayah kekuasaan dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadikan dinamika intelektual di Langkat tidak berkembang dengan baik dan kurang mendapat perhatian. Baru, setelah sultan Abdul Aziz menjadi sultan Langkat, lembaga pendidikan formal yang dinamakan maktab (madrasah) dapat berdiri dan menjadi pusat pendidikan agama Langkat. Dengan berdirinya madrasah Al-masrullah tahun 1912, madrasah Aziziah pada tahun 1914 dan madrasah Mahmudiyah tahun 1921, maka Langkat menjadi salah satu dari tempat yang dituju oleh pencari-pencari ilmu dari berbagai daerah. Disebutkan bahwa selain dari masyarakat Langkat yang belajar pada kedua maktab tersebut, maka banyak pelajar-pelajar yang datang dari dalam dan luar pulau Sumatera, seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, Malaysia, Brunei dan lain sebagainya. Pada awalnya madrasah (maktab) ini hanya disediakan untuk anak-anak keturunan raja dan bangsawan saja, namun pada perkembangannya maktab ini memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk dapat belajar dan menuntut ilmu. Beberapa tokoh nasional yang pernah belajar di maktab ini antara lain adalah Tengku Amir Hamzah dan Adam Malik. Ketiga lembaga pendidikan tersebut didirikan oleh sultan Abdul Aziz yang kemudian diberi nama dengan perguruan Jamaiyah Mahmudiyah. Pada tahun 1923 perguruan Jamaiyah Mahmudiyah telah memiliki 22 ruang belajar, 12 ruang asrama, bagi masyarakat

disamping berbagai fasilitas lainnya seperti 2 buah Aula, sebuah rumah panti asuhan untuk yatim piatu, kolam renang, lapangan bola dan sebagainya. Untuk meningkatkan mutu pendidikan pada perguruan Jamaiyah Mahmudiyah, maka tenaga pengajarnya sebagian besar merupakan guru-guru yang pernah belajar ke Timur tengah seperti Mekkah, Medinah dan Mesir. Mereka semua dikirim atas biaya Sultan setelah sebelumnya diseleksi terlebih dahulu, hingga sekitar tahun 1930 siswa-siswa yang belajar di perguruan ini sekitar 2000 orang yang berasal dari berbagai macam daerah. Selanjutnya sultan Abdul Azis kemudian mendirikan lembaga pendidikan umum bagi masyarakat Langkat yaitu sekolah HIS dan Sekolah Melayu, yang banyak memberikan materi-materi pelajaran umum. Mengenai gaji-gaji guru dan biaya perawatan bangunan semuanya ditanggung oleh pihak kesultanan Langkat, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa segala biaya yang berkaitan dengan fasilitas-fasilitas pendidikan di Langkat ditanggung sepenuhnya oleh pemerintahan kerajaan. Memang pada awal tahun 1900-an Pemerintahan Belanda telah mendirikan sekolah Langkatsche School (Sekolah Belanda) 9. Namun penerimaan siswanya masih sangat terbatas, di masa itu yang diterima hanya anak-anak bangsawan dan dan anak pegawai Ambtenaar Belanda serta orang-orang kaya yang berharta, dalam bahasa pengantarnya lembaga pendidikan ini menggunakan bahasa Belanda. Selain itu didirikan juga ELS (Europese Logare School) dan untuk anak-anak keturunan Cina didirikan Holland Chinese School atau HCS.

9. T.M. Lah Husni, Biografi-Sejarah Pujangga Nasional Tengku Amir Hamza, Medan: Husni, 1971, halm. 5.

H.

Kesimpulan. Pendidikan Islam di Indonesia telah bermula sejak kedatangannya ke Indonesia,

bahkan salah satu sarana yang menjadi penyebaran Islam itu sendiri adalah aspek pendidikan. Sejarah pendidikan Islam di Nusantara pada masa awal Islam dapat ditelusuri kepada sejarah kerajaan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara. Lembaga pendidikan tradisional telah dikenal dalam pendidikan Islam di Nusantara pada masa awal Islam, berupa mesjid, surau, dayah, meunasah, pesantren dan madrasah. Masa transisi pendidikan antara masa kerajaan Islam di Nusantara dan kolonialisme Belanda dapat ditelusuri pada masa kerajaan Langkat. Pada masa kerajaan Langkat, Madrasah telah benar-benar melembaga.

Daftar Pustaka

Mustofa Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung , CV. Pustaka Setia, 1999. Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam , Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2000. M.Ibrahim, et.al, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta, CV. Tumaritis, 1991. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia , Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Abdullah Mustofa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung , CV. Pustaka Setia, 1999. T.M. Lah Husni, Biografi-Sejarah Pujangga Nasional Tengku Amir Hamza, Medan: Husni, 1971.

Anda mungkin juga menyukai