Anda di halaman 1dari 12

Mekanisme dan Manifestasi Klinis Anemia Terkait Dengan Klasifikasinya

4 September 2009 Agatha Tinggalkan komentar BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anemia adalah berkurangnya hingga dibawah nilai normal eritrosit, kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cell (hematokrit) per 100 ml darah. Jadi, anemia bukan suatu penyakit tertentu, tetapi cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium (Baldy, 2006). Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, disamping berbagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang, yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik (Bakta, 2006). Masyarakat Indonesia masih belum sepenuhnya menyadari pentingnya zat gizi, karena itu prevalensi anemia di Indonesia sekarang ini masih cukup tinggi, terutama anemia defisiensi nutrisi seperti besi, asam folat, atau vitamin B12. Setelah menentukan diagnosis terjadinya anemia, maka selanjutnya perlu disimpulkan tipe anemia itu sendiri. Penatalaksanaan anemia yang tepat sesuai dengan etiologi dan klasifikasinya dapat mempercepat pemulihan kondisi pasien. Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1: An. Samson, seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa ke dokter dengan keluhan pucat. Menurut anamnesis dari ibu, anaknya terlihat pucat sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan lain yang menyertai adalah demam yang tidak terlalu tinggi, perut mual, dan susah makan. Sejak kecil Samson memang tidak suka makan daging. Kata guru TK-nya, saat mengikuti pelajaran Samson sering tertidur di kelas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva pucat, bising jantung, tidak didapatkan hepatomegali ataupun splenomegali. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8,0 g/dL. Dokter memberikan tablet tambah darah untuk Samson. B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah fisiologi eritrosit? 2. Bagaimanakah kaitan besi, vitamin B12, dan asam folat dengan fisiologi eritrosit? 3. Bagaimanakah etiologi dan klasifikasi anemia? 4. Bagaimanakah dasar diagnosis tipe anemia yang paling tepat? 5. Bagaimanakah patogenesis dan patofisiologi anemia? 6. Bagaimanakah penatalaksanaan pasien anemia dalam kasus?

C. TUJUAN PENULISAN 1. Mengetahui fisiologi eritrosit.


2. Mengetahui kaitan besi, vitamin B12, dan asam folat dengan fisiologi eritrosit. 3. Mengetahui etiologi dan klasifikasi anemia. 4. Mengetahui dasar diagnosis tipe anemia yang paling tepat.

5. Mengetahui patogenesis dan patofisiologi anemia. 6. Mengetahui penatalaksanaan pasien anemia dalam kasus.

D. MANFAAT PENULISAN Mahasiswa mengetahui dasar teori hematologi dan aplikasinya dalam pemecahan kasus dalam skenario.

F. HIPOTESIS Pasien dalam kasus menderita anemia akibat defisiensi besi, padahal tingkat kebutuhan besi (Fe) meningkat dalam masa pertumbuhan. Akibat kurangnya asupan zat gizi berupa besi yang penting dalam proses hemopoiesis ini menimbulkan konsekuensi berbagai gejala klinis yang dialami oleh pasien tersebut. Dalam laporan ini, penulis membahas perbandingan berbagai jenis anemia, namun lebih fokus difokuskan kepada anemia defisiensi besi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Fisiologi Eritrosit Eritrosit dibentuk dari stem cell pluripoten di sumsum tulang (PHSC) yang kemudian berdiferensiasi menjadi CFU-S (unit pembentuk koloni limpa), CFU-B (unit pembentuk koloni blas), kemudian baru membentuk CFU-E (unit pembentuk koloni eritrosit). Eritrosit mengandung hemoglobin (Hb) yang mengangkut O2 dari paru-paru ke jaringan. Jumlah total eritrosit dalam sirkulasi diatur sedemikian rupa agar cukup untuk menyulai O2 ke seluruh jaringan, namun tidak terlalu banyak, agar tidak menghambat aliran darah. Produksi eritrosit terutama diatur oleh oksigenasi jaringan. Menurunnya oksigenasi jaringan menstimulasi hormon eritropoietin, terutama dari ginjal, yang kemudian akan merangsang produksi proeritroblas dari sel stem hematopoietik di sumsum tulang. Kemudian, eritropoietin juga akan mempercepat proses diferensiasi pada berbagai tahap eritroblastik dibandingkan dengan normal. Proses pematangan eritrosit dipengaruhi oleh vitamin B12 dan asam folat, karena keduanya berperan penting dalam sintesis DNApematangan inti dan pembelahan sel. Sedangkan besi (Fe+ + ) penting dalam pembentukan heme. Heme kemudian bergabung dengan rantai polipeptida panjang globin membentuk hemoglobin. Proses pembentukan hemoglobin adalah sebagai berikut: 1. asam 2 -ketoglutarat + glisin pirol 2. 4 pirol protoporfirin III 3. protoporfirin III + Fe hem 4. 4 hem + globin hemoglobin (Guyton and Hall, 2007). B. Metabolisme Besi Selain pembentukan heme, besi juga berperan dalam pembentukan elemen penting lain seperti mioglobin, sitokrom, sitokrom oksidase, peroksidase, dan katalase. Setelah diabsorpsi, besi bergabung dengan beta globulin membentuk transferin, sedangkan dalam sitoplasma membentuk feritin. Besi cadangan disimpan dalam bentuk feritin di hepatosit dan sedikit di retikuloendotelial sumsum tulang (Guyton and Hall, 2007).

C. Besi, Vitamin B12, dan Asam Folat Besi terdapat dalam kadar tinggi (>5 mg/100g) dalam hati, jantung, kuning telur, ragi, kerang, kacang-kacangan, dan buah-buahan kering tertentu. Kadar sedang (1-5 mg/100g) dalam daging, unggas, sayuran hijau dan biji-bijian. Sedangkan dalam kadar rendah terdapat dalam susu atau produknya dan sayuran yang kurang hijau. Vitamin B12 sebenarnya terdapat dalam satu-satunya sumber asli, yaitu mikroorganisme. Makanan yang kaya akan B12 adalah hati, ginjal, jantung, dan kerang. Sedangkan B12 dalam jumlah sedang terdapat dalam kuning telur, susu kering bebas lemak, dan makanan laut (Dewoto dan Wardhini BP, 2007). Asam folat disintesis pada berbagai macam tanaman dan bakteri. Buah-buahan dan sayur merupakan sumber diet utama dari vitamin. Keperluan minimal asam folat setiap hari secara normal kurang lebih 50 g, tetapi dapat meningkat pada keadaan tertentu seperti kehamilan (Soenarto, 2006). D. Etiologi dan Klasifikasi Anemia Pada dasarnya anemia disebabkan karena 1) gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2) kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); dan 3) proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi, yang dibagi menjadi 3: 1) anemia hipokromik mikrositer, 2) anemia normokromik normositer, dan 3) anemia makrositer. Berdasarkan beratnya anemia, anemia berat biasanya disebabkan oleh anemia 1) defisiensi besi, 2) aplastik, 3) pada leukimia akut, 4) hemolitik didapat atau kongenital misalnya pada thalassemia mayor, 5) pasca perdarahan akut, dan 6) pada GGK stadium terminal. Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai sedang adalah anemia 1) akibat penyakit kronik, 2) pada penyakit sistemik, dan 3) thalasemia trait (Bakta, 2006). E. Pemeriksaan dan Dasar Diagnosis Anemia Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia terdiri dari 1) pemeriksaan penyaring (terdiri dari pengukuran kadar Hb, indeks eritrosit, dan apusan darah tepi), 2) pemeriksaan darah seri anemia (meliputi hitung leukosit, trombosit, retikulosit, dan laju endap darah), 3) pemeriksaan sumsum tulang, dan 4) pemeriksaan khusus sesuai jenis anemia. Selain itu, diperlukan pulaa pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti pemeriksaan faal hati, faal ginjal, atau faal tiroid. Tahap diagnosis anemia terdiri dari 1) menentukan adanya anemia, 2) menentukan jenis anemia, 3) menentukan etiologi anemia, dan 4) menentukan ada tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil pengobatan (Bakta, 2006). Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya perti anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, dan anemia sideroblastik. Perbedaan yang ditemukan diantaranya seperti derajat anemia, MCV, MCH, besi serum, TIBC, dan lainnnya (Bakta et.al, 2006) (tabel dilampirkan) F. Patogenesis dan Patofisiologi Anemia Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropiesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Kekurangan besi pada epitel serta beberapa enzim kemudian menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya. Di samping pada hemoglobin, besi juga menjadi komponen penting dari mioglobin dan berbagai enzim yang dibutuhkan dalam penyediaan energi dan transport elektron. Oleh karena itu, defisiensi besi di samping menimbulkan anemia, juga akan menimbulkan berbagai dampak

negatif, misalnya pada 1) sistem neuromuskular yang mengakibatkan gangguan kapasitas kerja, 2) gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan, 3) gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi, dan 4) gangguan terhadap ibu hamil dan janin. Gangguan ini dapat timbul pada anemia ringan atau bahkan sebelum anemia manifes (Bakta et.al, 2006). G. Penatalaksanaan Anemia Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah: 1. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron

replacement therapy): 1) Terapi besi oral. Merupakan pilihan utama karena efektif, murah, dan aman. Preparat yang utama adalah ferrous sulphat. Diberikan 3 sampai 6 bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan adalah 100-200 mg. Jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, maka anemia sering kambuh kembali. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung hati dan daging. 2) Terapi besi parenteral Sangat efektif tetapi lebih berisiko dan mahal. Karena itu terapi besi parenteral hanya diberikan untuk indikasi tertentu seperti 1) intoleransi terhadap besi oral, 2) kepatuhan pada obat rendah, 3) gangguan pencernaan, 4) penyerapan besi terganggu, 5) kehilangan darah yang banyak, 6) kebutuhan besi besar dalam waktu pendek, dan 7) defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoietin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik. 1. Pengobatan Lain 1) 2) Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama protein hewani. Vitamin C: diberikan 31000 mg/hari untuk meningkatkan absorpsi besi.

3) Transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi transfusi pada anemia defisiensi besi adalah 1) adanya penyakit jantung simptomatik, 2) anemia yang sangat simptomatik, dan 3) pasien yang memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi (Bakta et.al., 2006). BAB III PEMBAHASAN Pada kasus diatas, pasien mengalami anemia, namun hasil pemeriksaan lebih lanjut belum didapatkan, sehingga tipe anemia yang lebih spesifik belum diketahui. Namun berdasarkan pemeriksaan hemoglobin, Hb 8 gr/dL menunjukkan bahwa pasien memang mengalami anemia, karena pada anak-anak, Hb dibawah 11 g/dL dikategorikan sebagai anemia. Untuk menentukan jenis anemia yang spesifik agar penatalaksanaannya berjalan efektif perlu dilakukan serangkaian tes lain, seperti tes laboratorium. Hemoglobinisasi yang tidak adekuat menyebabkan central pallor di tengah eritrosit berwarna pucat berlebihan yang lebih dari sepertiga diameternya, sehingga menimbulkan keadaan pucat pada pasien. Sementara itu, besi dibutuhkan oleh enzim untuk sintesis DNA dan enzim mieloperoksidase netrofil sehingga menurunkan imunitas seluler. Akan tetapi, defisiensi besi juga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi pada bakteri sehingga menghambat

pertumbuhan bakteri yang berakibat pada ketahanan terhadap infeksi. Maka dari itu, timbul demam yang tidak terlalu tinggi. Defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan enzim aldehid oksidase sehingga terjadi penumpukan serotonin yang merupakan pengontrol nafsu makan. Hal ini mengakibatkan reseptor 5 HT meningkat, di usus halus menyebabkan mual dan muntah. Selain itu, defisiensi besi juga dapat menyebabkan gangguan enzim monoamino oksidase sehingga terjadi penumpukan katekolamin dalam otak. Hal inilah yang menjadi sebab terjadinya keadaan mual dan sulit makan. Selanjutnya, pasien sering tidur di kelas karena oksigen yang tersedia dalam darah tidak cukup untuk menyuplai kebutuhan sel-sel otak, sehingga pasien mengantuk dan sering tertidur. Sedangkan bising jantung disebabkan akibat kerja jantung yang lebih kuat karena adanya gangguan oksigenasi jaringan. Mekanisme peningkatkan kecepatan aliran darah inilah yang menimbulkan bising jantung. Hepatomegali terjadi pada anemia hemolitik, akibat dari kerja hati yang lebih keras dalam merombak eritrosit karena hemolisis yang tidak wajar. Sedangkan splenomegali juga terjadi pada anemia hemolitik, dimana eritrosit yang rapuh melewati kapiler yang sempit dalam limpa, sehingga pecah dan menyumbat kapiler limpa sehingga terjadi pembesaran limpa. Tidak adanya hepatomegali dan splenomegali menunjukkan bahwa pasien dalam kasus tidak mengalami anemia jenis hemolitik. Seperti yang telah dikemukakan dalam kasus, pasien tidak suka makan daging. Padahal, daging merupakan sumber zat besi sebagai pembentuk heme yang absorpsinya tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi. Selain besi, daging juga mengandung zat gizi lain, misalnya asam folat. Protein daging lebih mudah diserap karena heme dalam hemoglobin dan mioglobin tidak berubah sebagai hemin (bentuk feri dari heme). Kompleksnya nutrisi yang terkandung dalam daging inilah yang menyebabkan pasien mengalami anemia, walaupun yang paling dominan adalah akibat dari defisiensi besi. Tablet tambah darah yang diberikan berisi besi dan asam folat, jadi sesuai terapi anemia defisiensi besi yang dianjurkan. Selain itu, apabila pasien karena hal-hal tertentu tidak dapat menggunakan terapi besi oral, maka terapi dapat diganti dengan terapi besi parenteral. Terapi penunjang seperti diet juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan terapi. BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Pasien dalam kasus mengalami anemia defisiensi besi, karena kurangnya asupan besi dari nutrisi. Hal ini selanjutnya dapat dipastikan dengan mengetahui hasil pemeriksaan laboratorium. B. SARAN

Sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap untuk memastikan diagnosis anemia defisiensi besi. Pasien ini harus dikonsulkan kebagian gizi untuk mendapat petunjuk diet yang benar agar lekas sembuh DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I Made. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia dalam Sudoyo, Aru W, et.al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Bakta, I Made, dkk. Anemia Defisiensi Besi dalam Sudoyo, Aru W, et.al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Baldy, Catherine M. Gangguan Sel Darah Merah dalam Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC. Dewoto, Hedi R. Wardhini BP, S. Antianemia Defisiensi dan Eritropoeitin dalam Gunawan, Sulistia Gan, et.al. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI. Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC. Soenarto. Anemia Megaloblastik dalam Sudoyo, Aru W, et.al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Lampiran: Diagnosis Diferensial Anemia Defisiensi Besi Anemia Defisiensi Besi Derajat anemia MCV MCH Besi serum TIBC Saturasi Transferin Besi sumsum tulang Protoporfirin eritrosit Feritin serum Elektrofoesis Hb Anemia Akibat Penyakit Kronik Thalassemia Ringan Menurun Menurun Meningkat/N Menurun/N Meningkat > 20% Positif kuat N Anemia sideroblastik Ringan- berat Menurun/ N Menurun/ N Meningkat/N Menurun/N Meningkat > 20% Positif dengan ring sideroblast N

Ringan sampai beratRingan Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N Menurun < 30 Menurun < 50 Meningkat > 360 Menurun < 300 Menurun < 15% Menurun / N Negatif Meningkat Positif Meningkat

Menurun<20g/dl N 20-200 g/dl N N

Meningkat>50 Meningkat>50 g/dl g/dl Hb A2 meningkat N

Anemia Defisiensi Besi

PENDAHULUAN DEFINISI MASALAH


Skenario I Sakit Ketedun Kok Pucat? Seorang anak laki-laki 2 tahun 6 bulan, BB 11 kg dikonsulkan bagian bedah ke bagian anak dengan Hernia inguinalis lateralis sinistra reponibilis yang pada pemeriksaan pre-operasi didapatkan bising sistolik pada semua ostia. Pada anamnesis didapatkan berat badan yang tidak naik-naik, pucat, tidak mengeluh sesak nafas sebelumnya. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan rata-rata denyut jantung 120/menit, laju respirasi 28/menit, afebril, telapak tangan dan kaki pucat dan terdapat konjungtiva anemis. Hasil pemeriksaan laboratorium dan gambaran darah tepi menunjukkan anemia mikrositik hipokromik disertai hasil ekokardiografi VSD sedang. Setelah dilakukan transfusi, menunjukkan peningkatan jumlah Hb, AL, AT dan Hct dengan penurunan kadar AE dalam darah.

LATAR BELAKANG MASALAH Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai di Indonesia, baik di klinik maupun di lapangan. Masih banyak penderita yang tidak menunjukkan gejala-gejala atau pertanda dan ini tentunya menganggu produktivitas dan kualitas hidup seseorang dalam jangka waktu yang cukup panjang. Selain itu, tidak sedikit pula para penderita yang mengira dirinya mengidap anemia akan tetapi tidak mengerti jelas apa yang menyebabkan anemia tersebut dan seberapa besar dampaknya pada kualitas hidupnya sehingga pengobatan dan penatalaksanaan yang diberikan tidak efektif diakibatkan kurangnya kesadaran untuk menanggulangi penyakit anemia ini. Oleh karena itu, pentinglah kita untuk mengetahui secara rinci dan mendalam mengenai anemia baik penyebab dan penyembuhannya agar dapat memberikan gambaran agar dapat menangani anemia berdasarkan pada penyebabnya. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah hasil lab dan hubungannya dengan ciri-ciri anemia defisiensi besi? 2. Bagaimanakah patofisiologi anemia? 3. Apakah anemia defisiensi besi dan bagaimanakah patogenesis, epidemiologi, etiologi dan gejalanya? 4. Bagaimanakah penatalaksanaan terhadap anemia defisiensi besi? TUJUAN I.3.1. Umum 1. Mahasiswa mampu menjelaskan hematopoiesis. 2. Mahasiswa memahami petogenesis anemia. 3. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan dengan kelainan hematologi. 4. Mahasiswa mampu menjelaskan berbagai pernyakit hematologi.
I.3.2. Khusus 1. Mahasiswa mampu menjelaskan sintesis hemoglobin normal. 2. Mahasiswa mampu menjelaskan Anemia Defisiensi Besi. 3. Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan antara Anemia Defisiensi Besi dan

anemia karena penyakit kronik.

MANFAAT 1.Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi, gejala-gejala dan tanda Anemia Defisiensi Besi. 2.Mahasiswa mampu menjelaskan langkah-langkah dalam menegakkan diagnosis dan diagnosis banding Anemia Defisiensi Besi. 3.Mahasiswa mampu menjelaskan prognosis dan pencegahan Anemia Defisiensi Besi. HIPOTESIS
Dari hasil pemeriksaan fisik, gambaran darah tepi dan perubahan kondisi penderita setelah dilakukan penatalaksanaan, khususnya setelah post-transfusi, hipotesis dari kasus skenario I ini menuju pada penyakit anemia mikrositik hipokromik yaitu anemia defisiensi besi.

STUDI PUSTAKA ERITROSIT Eritrosit hidup dan beredar dalam darah tepi rata-rata selama 120 hari. Setelah 120 hari eritrosit mengalami penuaan kemudian dikeluarkan dari sirkulasi oleh sistem RES. Eritrosit matang merupakan suatu cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7 mikron. Eritrosit merupakan sel dengan struktur yang tidak lengkap. Sel ini hanya terdiri atas membran dan sitoplasma tanpa inti sel. Komponen eritrosit terdiri dari:
1. Membran eritrosit 2. Sistem enzim 3. Hemoglobin, berfungsi sebagai alat angkut oksigen. Komponennya terdiri atas heme, yang merupakan gabungan protoforfirin dengan besi. Serta globin, bagian protein yang terdiri atas 2 ratai alfa dan 2 rantai beta.

ERITROPOIESIS Faktor utama yang dapat merangsang produksi sel darah merah adalah hormon dalam sirkulasi yang disebut eritropoietin. Pengaruh utamanya adalah merangsang produksi proeritoblas dari sel-sel stem hemopoietik dalam sumsum tulang, dengan meningkatkan jumlah sel progenitor yang terikat untuk eritropoiesis. Stimulus untuk pembentukan eritropoietin adalah tekanan O2 dalam jaringan ginjal. Eritropoiesis berjalan dari sel induk melalui sel progenitor CFUGEMM, BFUE & CFUE menjadi prekursor eritrosit yang dapat dikenali pertama kali di sumsum tulang, yaitu pronormoblas. Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian normoblas melalui sejumlah pembelahan sel menjadi normoblas awal lalu menjadi normoblas intermedia (polikromatik) dilanjutkan dengan pembelahan menjadi normoblas lanjut (piknotik) lalu retikulosit sampai menjadi eritrosit matur berwarna merah muda seluruhnya. Satu pronormoblas biasanya menghasilkan 16 eritrosit matur. SINTESIS HEMOGLOBIN Sintesis heme terutama terjadi di mitokondria. Bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil koenzim A oleh kerja enzim kunci asam -aminolevulinat (ALA) dengan koenzim yaitu piridoksial fosfat (vit. B6) yang dirangsang oleh eritropoetin. Kemudian membentuk

porfobilinogen, prekursor segera porfirin, cincin priol dengan rantai samping asetil, propionil dan aminometil. Dilanjutkan dengan bergabungnya 4 molekul porfobilinogen untuk membentuk 1 molekul uroporfirinogen III dan kemudian dikonversikan menjadi koproforbirinogen III untuk membentuk protoporifin. Protoporfirin ini bergabung dengan besi dalam bentuk Ferro (Fe2+) untuk membentuk heme. Masing-masing molekul heme bergabung dengan 1 rantai globin yang dibuat pada poliribosom, membentuk suatu subunit Hb yang disebut rantai hemoglobin. Empat dari rantai-rantai hemoglobin ini selanjutnya akan berikatan satu sama lain secara longgar untuk membentuk molekul hemoglobin yang lebih lengkap. METABOLISME BESI Besi penting bagi pembentukan hemoglobin, mioglobin & substansi lainnya, seperti sitokrom oksidase, peroksidase & katalase. Absorbsi besi paling banyak terjadi pada duodenum dan jejenum proksimal disebabkan oleh struktur epitel usus yang memungkinkan untuk itu. Fase luminal, besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap di duodenum. Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu besi heme dan besi nonheme. Karena pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain, kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri ke fero. Fase mukosal, penyerapan yang terjadi secara aktif melalui proses kompleks pada mukosa usus. Terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejenum proksimal. Fase korporeal, meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang

Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin mejadi transferin. Transferin adalah kombinasi dari: apotransferin, suatu beta globulin disekresikan oleh hati yang mengalir melalui duktus empedu ke dalam duodenum, berikatan dengan besi bebas dan dengan beberapa senyawa besi seperti hemoglobin dan mioglobin dari makanan. Kemudian, dengan cara pinositosis, dilepaskan pada sisi darah dari sel epitel dalam bentuk transferin plasma. Yang selanjutnya diangkut dalam plasma menuju bagian tubuh yang memerlukan. Kelebihan besi dalam darah di simpan dalam seluruh

sel tubuh, tapi terutama di hepatosit hati dan sedikit di sel retikuloendotelial sumsum tulang. Bila sel darah merah telah melampaui masa hidupnya dan hancur, maka hemoglobin yang dilepaskan dari sel akan dicerna oleh sel-sel dari sistem makrofag-monosit. Terjadi pelepasan besi bebas, kemudian disimpan terutama di tempat penyimpanan feritin dan digunakan lagi untuk membentuk hemoglobin baru. Bagian porifrin dari molekul hemoglobn diubah oleh sel-sel makrofag melalui serangkaian tahap menjadi pigmen empedu bilirubin, yang dilepaskan ke dalam darah dan akhirnya disekresikan oleh hati masuk ke dalam empedu. ANEMIA Anemia ialah keadaan dimana massa eritrosit dan atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit (packed red cell). Berdasarkan morfologi erotrosit pada pemeriksaan apusan darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit, anemia diklasifikasikan sebagai berikut: Anemia hipokromik mikrositer, terbagi menjadi Anemia defisiensi besi; Thalassemia; Anemia akibat penyakit kronik; dan Anemia sideroblastik Anemia normokromik normositer yang dibagi menjadi Anemia pascaperdarahan akut; Anemia aplastik hipoplastik; Anemia hemolitik terutama bentuk yang didapat; Anemia akibat penyakit kronik; Anemia mieloplastik; Anemia pada gagal ginjal kronik; Anemia pada mielofibrosis; Anemia pada sinsindrom mielodisplastik; dan Anemia pada leukimia akut Anemia makrositer, dibagi menjadi dua yaitu Megaloblastik (Anemia defisiensi asam folat dan Anemia defisiensi vitamin B12); serta Nonmegaloblastik (Anemia pada penyakit hati kronik; Anemia pada hipotiroid; dan Anemia pada sindroma mielodisplastik). ANEMIA DEFISIENSI BESI Anemia defisiensi besi adalah salah satu dari anemia hipokromik mikrositik yang timbul akibat berkurangnya besi untuk erotropoesis, karena cadangan besi kosong ( depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh kehilangan Fe, akibat perdarahan menahun yang dapat berasal dari saluran cerna, cacing tambang, saluran genitalia wanita (akibat menorrhagia) saluran kemih atau saluran napas. Disamping itu, anemia defisiensi besi juga dapat disebabkan oleh malnutrisi, kebutuhan Fe meningkat dan karena adanya gangguan absorbsi besi (malabsorbsi). Gejala khas dari anemia defisiensi besi adalah adanya koilon chia, artrofi papil lidah, stomatitis angularis, disfagia, artrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia dan pica. Untuk penyakit anemia defisiensi besi akibat infeksi parasit khususnya cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Sedangkan pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut. Diagnosis banding untuk anemia defisensi besi adalah anemia akibat penyakit kronik, thalassemia dan anemia sideroblastik. Pemeriksaan laboratorium pada apusan darah tepi akan memberikan suatu acuan mengenai diagnosis yang tepat dari diagnosis banding tersebut. Terapi terhadap anemia defisiensi besi dapat berupa terapi kausal dan terapi preparat besi. Terapi kausal dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Terapi kausal harus dilakukan, sebab jika tidak dilakukan maka anemia akan kambuh kembali. Sedangkan terapi dengan pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh dibagi menjadi dua yaitu besi per oral dan besi parenteral. Terapi besi per oral merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah dan aman. Pemberian besi per oral saat lambung kosong memberikan hasil lebih baik, akan tetapi efek samping berupa mual, muntah serta konstipasi pun juga lebih banyak. Sedangkan besi parenteral diberikan secara intramuskular dalam atau intravena pelan namun efek sampingnya lebih berbahaya seperti intoleransi oral berat, kolitis ulserativa, dll. Selain terapi kausal dan pemberian preparat besi,

pengobatan lain seperti pengaturan diet makanan bergizi tinggi protein, vitamin C maupun transfusi darah juga merupakan terapi bagi penderita anemia defisiensi besi. PEMBAHASAN/ DISKUSI Besi mempengaruhi sintesis hemoglobin yang merupakan bagian dari eritrosit. Berkurangnya besi dalam tubuh akan mempengaruhi sintesis hemoglobin sehingga produksinya akan menurun dan akan menghambat eritropoesis. Jika cadangan besi kosong dan kekurangan besi dalam tubuh ini berlanjut terus maka penyediaan besi untuk erotropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Jika kekurangan ini berlanjut terus akan timbul anemia hipokromik mikrositer sehingga menimbulkan gejala-gejala pada kuku, epitel mulut dan berbagai gejala lainnya seperti yang telah disebutkan pada tinjauan pustaka di atas. Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah karena malnutrisi, malabsorbsi, infeksi parasit, perdarahan dan lain sebagainya. Untuk mengatasi anemia harus diketahui terlebih dahulu faktor kausalnya sehingga anemia ini tidak akan kambuh lagi. Jika, kausal tidak dapat diatasi maka anemia defisiensi besi ini akan terus berlanjut dan kambuh kembali. Anemia akibat perdarahan biasanya disebabkan karena menorrhagia pada wanita pada masa produktif. Selain karena perdarahan dan infeksi parasit, anemia defisiensi besi juga dapat diakibatkan karena adanya infeksi pada saluran pencernaan yang menyebabkan terjadinya malabsorbsi sehingga dapat menimbulkan malnutrisi. Malabsorbsi mengakibatkan kadar besi yang diserap tubuh akan berkurang sehingga pasokan untuk tubuh akan berkuran. Akibat kurangnya diet makanan bergizi dan mengadung besi maka kadar besi dalam tubuh akan berkurang sehingga dapat menyebabkan defisiansi nutrisi, khususnya besi. Terapi yang dilakukan pada penderita anemia defisiensi besi adalah dengan memberikan transfusi darah berupa PRC (Packed Red Cell) untuk menghindari overload yang didampingi dengan pemberian besi per oral maupun parenteral. Penindaklanjutan pada kausal dari anemia defisiensi besi merupakan satu langkah besar dan penting untuk menyembuhkan anemia defisiensi besi ini.. Perbedaan antara anemia defisiensi besi dengan anemia akibat penyakit kronik tidak terlalu terlihat pada manifestasi klinis secara visual, karena semua jenis anemia biasanya memiliki gejala klinis yang serupa tergantung pada tingkat keparahannya. Yang dapat membedakannya adalah dari hasil pemeriksaan apusan darah tepi. Pada anemia defisensi besi, TIBC akan meningkat sedangkan pada anemia penyakit kronik, TIBC akan menurun. Selain itu, pada anemia defisiensi besi feritinnya akan menurun, sedangkan pada anemia penyakit kronik normal. Pada pemeriksaan besi sumsum tulang, pada anemia defisiensi besi hasilnya akan negatif sedangkan pada anemia penyakit kronik akan menjadi positif karena pada anemia defisensi besi, cadangan besi kosong, sedangkan pada anemia penyakit kronik cadangn besi masih ada namun kekurangan besi. Hasil pemeriksaan MCV dan MCH serta besi serum pada keduanya akan menunjukkan hasil yang menurun dari keadaan normal. Anemia defisiensi besi ditandai dengan menurunnya MCV dan MCH, serum besi dan feritim serum yang disertai dengan naiknya TIBC dan reseptor transferin. Jadi, anemia defisiensi besi ini memiliki bentuk eritrosit yang mikrositik dan konsentrasi hemoglobin yang hipokromik. Pada anemia defisiensi besi, pemberian besi per oral akan memberikan respon yang baik, sedangkan pada anemia penyakit kronik tidak akan memberikan respon maupun perubahan. Anemia akibat penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyait kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme Fe, yaitu adanya hipoforemia sehingga menyebabkan berkurangnya penyediaan Fe yang dibutuhkan untuk sintesis Fe tetapi cadangan besi sumsum tulang masih cukup. Anemia ini hanya terkoreksi dengan keberhasilan pengobatan penyakit yang mendasari dan tidak berespons terhadap terapi besi walaupun kadar Fe serum rendah. KESIMPULAN DAN SARAN Anemia defisensi besi berbeda dengan anemia akibat penyakit kronik. Anemia defisiensi besi adalah keadaan dimana tubuh kekurangan cadangan besi untuk eritropoesis yang kemudian menhambat pembentukan hemoglobin. Sedangkan anemia akibat penyakit kronik adalah

anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme Fe sehingga berkurangnya penyediaan Fe yang dibutuhkan untuk sintesis besi tetapi cadangan sumsum tulang masih cukup. Kasus Anemia Defisiensi besi pada anak tersebut dapat disebabkan olah karena dua hal yaitu malnutrisi maupun malabsorbsi. Diet rendah Fe dan kebutuhan akan Fe yang meningkat pada masa pertumbuhannya menyebabkan terjadinya malnutrisi besi dalam tubuh sehingga menyebabkan anemia defisiensi besi. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan anemia defisiensi besi ini disebabkan oleh malabsorbsi akibat adanya gangguan pada saluran pencernaan khususnya duodenum dan proximal jejenum. Untuk menentukan dan memastikan kausal dari anemia defisiensi ini diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang laboratorium lainnya. DAFTAR PUSTAKA Bakta, I made.(2006).Hematologi Klinik Ringkas.Jakarta: EGC. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.(2006).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Dorland, W.A. Newman.(2006).Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29.Jakarta: EGC Guyton, Arthur C.(1997).Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Jakarta: EGC Hoffbrand, A.V.dkk.(2005).Kapita Selekta Hematologi Edisi 4.Jakarta: EGC Mansjoer Arif, et al.(2005).Kapita Selekta Kedokteran Ed.3 Jilid 2, cet.7, Jakarta: Media Aesculapius.

Anda mungkin juga menyukai