Anda di halaman 1dari 40

BAB I PENDAHULUAN I.

1 Latar Belakang Terapi untuk gangguan mental adalah salah satu bidang yang paling cepat berkembang dalam kedokteran klinis, tiap dokter yang meresepkan obat harus tetap mengetahui literatur terakhir. Terapi obat dan terapi organik lainnya terhadap gangguan mental dapat diidentifikasikan sebagai suatu usaha untuk memodifikasi atau mengkoreksi perilaku, pikiran, atau mood yang patologis dengan zat kimia atau cara fisik lainnya. Hubungan antara keadaan fisik dan otak pada satu sisi dan pada sisi lain, manifestasi fungsionalnya (perilaku, pikiran, dan mood) adalah sangat kompleks, tidak dimengerti seluruhnya dan di perbatasan pengetahuan biologi. Tetapi, berbagai parameter perilaku normal dan abnormal seperti persepsi, afek dan kognisi mungkin dipengaruhi oleh perubahan fisik dalam sistem saraf pusat. Golongan obat psikofarmaka yang banyak dipergunakan adalah obat antipsikosis, obat anti mania dan obat antidepresi. Penggunaan jenis obat ini perlu pengawasan yang ketat karena seringkali menimbulkan efek samping seperti ketergantungan psikologis dan fisik yang dapat mengakibatkan keracunan obat, depresi dan kehilangan sifat menahan diri, gangguan paru-paru, gangguan psikomotoris dan iritatif (mudah marah, gelisah dan ansietas bila obat dihentikan). Oleh sebab itu, banyak variable yang melekat pada praktek psikofarmakologi, termasuk pemilihan obat, peresepan, pemberian, arti psikodinamika bagi pasien dan pengaruh keluarga serta lingkungan. Obat psikofarmaka adalah obat yang mempunyai efek terapeutik langsung pada proses mental pasien karena efeknya pada otak. Akan tetapi kita harus ingat pula bahwa bila gangguan mental itu disebabkan oleh suatu masalah psikologi ataupun sosial, maka tidak ada obat apa pun yang dapat menyelesaikan persoalan itu, kecuali pasien itu sendiri dan dokter serta obat hanya sekedar membantunya ke arah penyelesaian atau ke arah penyesuaian yang lebih baik. Kemanjuran pengobatan psikotropik, seperti juga dalam farmakoterapi pada umumnya, tergantung pada pemberian obat yang dapat mempengaruhi sasaran pengobatan
1

dalam dosis yang sesuai, dalam bentuk preparat yang cocok, melalui jalan pemberian yang efektif dan dalam jangka waktu yang tertentu.

1.2 Tujuan Penulisan Penulisan Meet the Expert (MTE) ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan tentang psikofarmaka meliputi antipsikosis,

antidepresan, antimania, antianxietas, dan antikolinergik.

1.3 Batasan Masalah Pada Meet The Expert (MTE) ini akan dibahas tentang dosis efektif, cara pemberian dan efek samping dari psikofarmaka tersebut.

1.4 Metode Penulisan Penulisan MTE ini menggunakan berbagai sumber kepustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. I. Definisi Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup pasien. Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya:

antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, anti-insomnia, anti-panik, dan anti obsesif-kompulsif,. Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic, antidepressants dan psikomimetika. 2.2. Obat-Obat Psikotropika 2.2.1. Obat Anti-Psikosis Antipsikosis adalah sekelompok obat-obat yang mekanisme kerjanya menghambat reseptor dopamin tipe 2 (D2). Indikasi utamanya adalah untuk terapi skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. Menurut Kaplan dan Sadock, terdapat delapan kelas obat yang biasanya dikelompokkan bersama-sama sebagai antipsikotik antagonis reseptor dopamin. Tujuh dari kelas tersebut terdiri dari obat yang biasanya disebut antipsikosis tipikal : phenotiazine, thioxanthene, dibenzoxazepine,

dihydroindole, butyrophenone, diphenylbutylpiperidine, dan benzamide. Kelas benzamide juga memiliki suatu obat yang dianggap atipikal yaitu remoxipride. Kelas kedelapan termasuk antipsikosis atipikal, yaitu benzisaxazole, sekarang hanya terdiri dari satu obat, yaitu risperidone. Tidak ada definisi yang disetujui secara umum tentang perbedaan antara antipsikosis tipikal dan atipikal. Label atipikal mengesankan bahwa semua atau salah satu karakteristik dibawah ini: disertai dengan resiko efek samping neurologis yang lebih sedikit; kurang poten dalam menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin; tidak adanya antagonisme dopamin sebagai mekanisme kerja yang utamanya;
3

memiliki aktivitas yang bermakna pada reseptor nondopaminergik spesifik (sebagai contohnya, reseptor serotonin dan sigma); memiliki keefektifan yang lebih besar dalam terapi gejala negatif skizofrenia (sebagai contohnya, anhedonia). Suatu alternatif terhadap penentuan subtipe antipsikosis yang samar-samar menjadi obat tipikal dan atipikal adalah menyadari bahwa obat antipsikotik secara struktural dan farmakologis adalah berbeda satu sama lainnya dan tidak menyamaratakan perbedaan tersebut. Obat-obat yang dibicarakan disini juga dinamakan sebagai neuroleptik dan trankuiliser mayor. Istilah neuroleptik menekankan efek neurologis dan motorik dari sebagian besar obat. Perkembangan senyawa baru seperti, risperidone dan

remoxipride, yang disertai dengan efek neurologis yang sedikit menyebabkan pemakaian istilah neuroleptik menjadi tidak akurat sebagai label keseluruhan untuk senyawa. Istilah trankuiliser mayor secara tidak akurat menekankan bahwa efek primer dari obat adalah untuk mensedasi pasien dan dikacaukan dengan obat yang dinamakan trankuiliser minor, seperti benzodiazepin. A. Penggolongan obat antipsikosis No Golongan Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis anjuran

I. ANTIPSIKOSIS TIPIKAL 1. a. Phenothiazin Rantai Aliphatic Chlorpromazine ( largactil) Chlorpromazine (indofarma) Promacil (combhifar) Meprosetil (meprofarm) Tab. 100 mg Amp.50mg/2cc Tab. 100 mg Tab. 25-100 mg - PO: 150 mg/h - IM: 50-100mg setiap jam b. Rantai Piperazine Perfenazine Perfenazine (indofarma) Trifalon (Schering) Tab 2- 4 -8 mg Tab. 4 mg 12 24 4-6 600

mg/hari

Trifluoperazine

Stelazine (GlaxoSmithkline)

Tab. 1 - 5 mg

10 -15 mg/hari

Fluphenazine

Anatensol (B-M Squibb)

Tab. 2,5 - 5 mg

10

15

mg/hari Vial 25 mg/cc 25 mg (IM) setiap 2 - 4 mgg

Fluphenazine deconoate

Modecate (B-M Squibb)

c.

Rantai Piperidine

Thioridazine

Melleril (Novartis)

Tab.50 -100mg

150-300 mg/hari

2.

Buthirophenon

Haloperidol

Haloperidol (indofarma)

Tab. 0,5 - 1,5 - 5mg

- PO: 5-15mg/h - IM:

Dores (pyridam) Serenace (pfizerpharmacia)

Cap. 5 mg Tab. 1,5 mg Tab. 0,5 -1,5 - 5 mg Liq. 2 mg/ml Amp.50 mg/cc

5-10mg setiap 4-6jam - 50mg setiap 2-4 minggu

Haldol (jansen)

Tab. 2 - 5 mg

Govotil (Guarianpharmacia) Lodomer (Mersifarma)

Tab. 2 - 5 mg

Tab. 2 - 5 mg Amp. 5 mg/cc

Haldol decanoas Amp. 50mg/cc (Janssen) 3. Diphenilbuthilpiperidine Pimozide Orap (janssen) forte Tab. 4 mg 2 4 mg/hari

II. 1.

ANTIPSIKOSIS ATIPIKAL Benzamide Supiride Dogmatil Foerte Tab. 200mg (Delagrange) Amp. 100mg/2cc Tab. 25 100 mg 300 - 600mg/h 3 - 6 amp/hari IM

2.

Dibenzodiazapine

Clozapine

Clozaril (Novartis) Sizoril (Meprofarm)

25-100mg/hari

Tab. 25-100mg

Olanzapine Quetiapine

Ziprexa Seroquel (Astra Zeneca)

Tab. 5-10mg Tab. 25 100 - 200mg Tab. 25 - 50mg

10-20mg/hari 50-100mg/hari

Zotepine

Lodopin (Kalbe Farma)

75-100mg/hari

3.

Benzisoxxazole

Risperidone

Risperidone (Dexamedica) Risperdal (Janssen) Risperdal consta Neripros (Pharos) Persidal (Mersifarma) Rizodal (Guardianpharmatama) Zopredal (Kalbefarma)

Tab. 1 - 2 - 3mg

- PO: 2 6 mg/hari

Tab. 1 - 2 - 3mg

- IM :

Vial 25 - 50mg/cc Tab. 1 - 2 - 3mg

Tab. 1 - 2 - 3mg

Tab. 1-2-3mg

Tab. 1-2-3mg Tab. 5 10 15 10- 15 mg/hari mg

Aripiprazole

Abilify (Otsuka)

B. Mekanisme Kerja Sindrom psikosis terjadi berkaitan dengan aktivitas neurotransmitter Dopamine yang mengikat. (Hiperreaktivitas sistem dopaminergik sentral).

Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade Dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (dopamine D2 receptor antagonist). Sedangkan obat anti-psikosis yang baru (atipikal) disamping berafinitas terhadap Dopamine D2 Receptors, juga terhadap Serotonine 5 HT Receptors (Serotonine-dopamine antagonist).

C. Indikasi Indikasi terapetik antipsikosis adalah : Psikosis Idiopatik Psikosis idiopatik adalah termasuk yang tidak memiliki penyebab yang diketahui dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV). Gangguan tersebut adalah skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan skizoafektif, gangguan delusional, gangguan psikotik singkat, episode manik, gangguan depresif berat dengan gejala psikotik. Obat antipsikosis efektif dalam penatalaksaan jangka panjang maupun jangka pendek (menurunkan gejala akut dan mencegah eksaserbasi lebih lanjut) dari gangguan tersebut. Psikosis Sekunder Psikosis sekunder adalah sindroma psikotik yang berhubungan dengan suatu penyebab organik yang dapat diidentifikasi, seperti tumor otak, gangguan demensia (demensia tipe Alzheimer), atau penyalahgunaan zat. Antipsikotik potensi tinggi biasanya lebih aman dibandingkan antipsikotik potensi rendah pada pasien tersebut karena aktivitas kardiotoksik, epileptogenik, dan antikolinergik yang lebih rendah pada obat potensi tinggi. Agitasi Berat dan Perilaku Kekerasan Obat antipsikosis sering digunakan untuk terapi pasien yang teragitasi berat dan melakukan kekerasan, walaupun obat lain, seperti
7

benzodiazepin dan barbiturat biasanya juga efektif dalam pengendalian perilaku segera. Gejala seperti iritabilitas ekstrim, tidak adanya pengendalian impuls, hiperaktivitas jelas, dan agitasi adalah responsif terhadap terapi antipsikosis jangka pendek. Pemakaian obat antipsikosis jangka panjang untuk indikasi tersebut harus dipertimbangkan terhadap efek samping neurologisnya. Gangguan Pergerakan Baik psikosis dan gangguan pergerakan pada penyakit Huntington adalah responsif terhadap terapi dengan antagonis reseptor dopamin. Indikasi Psikiatrik dan Nonpsikiatrik Lain Beberapa klinisi menggunakan dosis kecil antipsikosis (0,5 mg haloperidol atau 25 mg chlorpromazine dua atau tiga kali sehari) untuk mengobati anxietas berat. Antagonis reseptor dopamin kadang-kadang juga digunakan sebagai tambahan terhadap regimen terapi untuk gangguan nyeri kronis. Indikasi lain untuk terapi mual, emesis, cegukan, dan pruritus.

D. Cara Penggunaan Umumnya dikonsumsi secara oral, yang melewati first-pass metabolism di hepar. Beberapa diantaranya dapat diberikan lewat injeksi short-acting Intramuscular (IM) atau Intra Venous (IV), Untuk beberapa obat anti-psikosis (seperti haloperidol dan flupenthixol), bisa diberikan larutan ester bersama vegetable oil dalam bentuk depot IM yang diinjeksikan setiap 1-4 minggu. Obat-obatan depot lebih mudah untuk dimonitor. Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Penggantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalennya. Apabila obat psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis optimal setelah jangka waktu memadai, dapat diganti dengan obat antipsikosis lainnya. Jika obat anti-psikosis tersebut sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya dapat ditolerir dengan baik, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Dalam pemberian dosis, perlu dipertimbangkan: Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
8

Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari) Dosis pagi dan malam berbeda untuk mengurangi dampak efek samping, sehingga tidak menganggu kualitas hidup pasien Mulailah dosis awal dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari hingg dosis efektif (sindroma psikosis reda) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan dosis optimal dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2 minggu dosis maintenance dipertahankan selama 6 bulan 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/minggu tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) stop. Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang multiepisode, terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang cukup lama inidapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5-5 kali. Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Obat anti-psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan sangat kecil. Jika dihentikan mendadak timbul gejala cholinergic rebound, yaitu: gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain dan akan mereda jika diberikan anticholinergic agents (injeksi sulfas atropine 0,25 mg IM dan tablet trihexylfenidil 3x2 mg/hari). Obat anti-psikosis parenteral berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat atau tidak efektif dengan medikasi oral E. Interaksi Obat Antipsikosis diberikan bersama antipsikosis lain memiliki potensiasi efek samping obat dan tidak ada bukti lebih efektif (tidak ada efek sinergis antara 2 obat antipsikosis). Antipsikosis diberikan bersama antidepresan trisiklik akan memberikan peningkatan efek samping antikolinergik. Antipsikosis diberikan bersama antianxietas akan meningkatkan efek sedasi, bermanfaat untuk kasus dengan gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat (acute adjunctive therapy)
9

Antipsikosis

diberikan bersama

Electro

Convulsive Therapy

(ECT),

dianjurkan tidak memberikan obat antipsikosis pada pagi hari sebelum dilakukan ECT karena memiliki angka mortalitas yang tinggi. Antipsikosis diberikan bersama antikonvulsan memiliki ambang konvulsi yang menurun, kemungkinan serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih besar (dose-related). Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah obat antipsikosis haloperidol. Antipsikosis diberikan bersama antasida memberikan efektifitas obat antipsikosis yang menurun disebabkan gangguan absorpsi. F. Kontraindikasi Penyakit hati (hepatotoksik) Penyakit darah (hematotoksik) Epilepsi (menurunkan ambang kejang) Kelainan jantung (menghambat irama jantung) Febris yang tinggal (thermoregulator di SSP) Ketergantungan alkohol (penekanan SSP meningkat) Penyakit SSP (Parkinson, tumor otak, dll) Gangguan kesadaran disebabkan CNS-depressant (kesadaran makin memburuk)

G. Efek Samping Satu penyamarataan tentang efek merugikan dari antipsikosis adalah bahwa obat potensi rendah menyebabkan efek samping yang paling non-neurologis dan obat potensi tinggi menyebabkan efek samping yang paling neurologis. Efek Samping Non-neurologis - Gangguan otonomik (penghambatan adrenergik: hipotensi ortostatik, efek antikolinergik perifer/parasimpatolitik: mulut kering, kesulitan miksi, dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, TIO meningkat, gangguan irama jantung).

10

- Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynecomastia), metabolik (jaundice), hematologik (agranulositosis), biasanya untuk pemakian jangka panjang. Efek Samping Neurologis - Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akatisia, tardive dyskinesia, sindrom parkinson: tremor, bradikinesia, rigiditas). - Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, menurun). - Efek antikolinergik sentral (agitasi berat, disorientasi terhadap waktu, personal, dan tempat, halusinasi, kejang, demam tinggi, dilatasi pupil. Stupor dan koma juga dapat timbul) - Efek epileptogenik (perlambatan dan peningkatan sinkronisasi EEG yang menyebabkan penurunan ambang kejang) kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif

Obat antipsikosis tipikal : 1. Chlorpromazine Turunan dari phenotiazine yang mewakili efek seluruh derivate phenotiazine adalah chlorpromazine, turunan dari rantai aliphatic, salah satu obat antipsikotik yang sering digunakan sebab paling berefek luas sehingga dikatakan largactil (Large action). Dosis dewasa : Oral : 30-2000 mg/hari dibagi dalam 1-4 dosis, mulai dengan dosis rendah, kemudian sesuaikan dengan kebutuhan. Dosis lazim : 400-600 mg/hari, beberapa pasien membutuhkan 1-2 g/hari. im.,iv.: awal: 25 mg, dapt diulang 25-50 mg , dalam 1-4 jam, naikkan bertahap sampai maksimum 400 mg/dosis setiap 4-6 jam sampai pasien terkendali; Dosis lazim : 300-800 mg/hari.

11

Orang tua : gejala-gejala perilaku yang berkaitan dengan demensia : awal : 10-25 mg sehari 1-2 kali, naikkan pada interval 4-7 hari dengan 10-25 mg/hari, naikkan interval dosis, sehari 2x, sehari 3 kali dst Bila perlu untuk mengontrol respons dan efek samping; dosis maksimum : 800 mg. Indikasi : Mengendalikan mania, terapi shcizofrenia, mengendalikan mual dan muntah, menghilangkan kegelisahan dan ketakutan sebelum operasi, porforia intermiten akut, Terapi tambahan pada tetanus. Cegukan tidak terkontrol, perilaku anak 1-12 tahun yang ekplosif dan mudah tersinggung dan terapi jangka pendek untuk anak hiperaktif. Kontraindikasi : Hipersensitifitas terhadap klorpromazin atau komponen lain formulasi, reaksi hipersensitif silang antar fenotiazin mungkin terjadi, Depresi SSP berat dan koma. Efek samping : Kardiovaskuler : hipotensi postural, takikardia, pusing, perubahan interval QT tidak spesifik. SSP : mengantuk, distonia, akathisia, pseudoparkinsonism, diskinesia tardif, sindroma neurolepsi malignan, kejang. Kulit : fotosensitivitas, dermatitis, pigmentasi (abu-abu-biru). Metabolik & endokrin : laktasi, amenore, ginekomastia, pembesaran payudara, hiperglisemia, hipoglisemia, test kehamilan positif palsu. Saluran cerna : mual, konstipasi xerostomia. Agenitourinari : retensi urin, gangguan ejakulasi, impotensi. Hematologi : agranulositosis, eosinofilia, leukopenia, anemia hemolisis, anemia aplastik, purpura trombositopenia. Hati : jaundice.

12

Mata : penglihatan kabur, perubahan kornea dan lentikuler, keratopati epitel, retinopati pigmen.

Interaksi

Dengan Obat Lain : Efek klorpromazin dapat ditingkatkan oleh delavirdin, fluoksetin, mikonazol, paroksetin, pergolid, kuinidin, kuinin, ritonavir, ropinirol dan inhibitor CYP2D6 lainnya. Klorpromazin memperkuat efek penekan terhadap SSP dari analgesik narkotik, etanol, barbiturat, antidepresan siklik, antihistamin, hipnotiksedatif. Klorpromazin dapat meningkatkan efek amfetamin, betabloker tertentu, dekstrometorfan, fluoksetin, lidokain, paroksetin, risperidon, ritonavir, antidepresan trisiklik dan substrat CYP2D6 lainnya. Klorpromazin dapat meningkatkan trazodon, asam efek /toksiksitas antikolinergik, bersama

antihipertensi,litium,

valproat.

Penggunaan

antidepresan trisklik dapt mengubah respons dan meningkatkan toksisitas. Kombinasi dengan epinefrin akan dapat menimbulkan hipotensi. Kombinasi dengan antiaritmia, cisaprid, pimosid, sparfloksacin dan obat-obat yang memperpanjang interval QT akan dapat meningkatkan resiko aritmia. Kombinasi dengan metoklopramid akan dapt meningkatkan resiko gejala ekstrapiramidal. Klorpromasin mungkin menurunkan efek substrat prodrug CYP2D6 seperti kodein, hirokodon, oksikodon dan tramadol. Klorpromasin mungkin dapat menghambat efek antiparkinson levodopa dan mungkin dapat menghambat efek pressor epinefrin. Mekanisme kerja : Memblok reseptor dopaminergik di postsinaptik mesolimbik otak. Memblok kuat efek alfa adrenergik. Menekan penglepasan hormon hipotalamus dan hipofisa,

13

menekan Reticular Activating System (RAS) sehingga mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh, kesiagaan, tonus vasomotor dan emesis. Bentuk sediaan : Tablet 25 mg, 100 mg, Injeksi 25mg/ml, 2ml Parameter monitoring Gambaran vital seperti profil lipid, glukosa darah puasa/Hgb A1c, indeks berat badan, status mental, ekstrapiramidal. 2. Haloperidol Haloperidol,{4-[4-(p-chlorophenyl)-4-hydroxypiperidino]4 flurobutyrophenone} merupakan obat antipsikotik tipikal golongan butyrophenone. Haloperidol merupakan obat yang efektif untuk penanganan berbagai gangguan psikotik seperti hiperaktivitas, agitation, dan mania. Haloperidole efektig untuk mengobati gejala positif pada skizofrenia walaupun kurang efektif untuk gejala negative skizofrenia. Haloperidol juga dapat digunakan untuk pengobatan gangguan neurologis seperti Gilles de la Tourette syndrome, Huntingtons chorea and acute/chronic brain syndrome Dosis dewasa : Psikosis : Oral : 0,5-5 mg, sehari 2-3 kali, maksimum lazimnya 30 mg/hari. I.m. sebagai laktat : 2-5 mg setiap 4-8 jam sesuai kebutuhan; Sebagai dekanoat : awal 10-20 x dosis harian oral, diberikan dengan interval 4 minggu. Dosis pemeliharaan : 10-15 kali dosis awal oral, digunakan untuk menstabilkan gejala psikiatri. Indikasi : skala normal gerakan yang tidak disadari, gejala

14

Penanganan shcizofrenia, sindroma Tourette pada anak dan dewasa, masalah perilaku yang berat pada anak. Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap haloperidol atau komponen lain formulasi, penyakit Parkinson, depresi berat SSP, supresi sumsum tulang, penyakit jantung atau hati berat, koma. Efek samping : Kardiovaskular : takikardia, hiper/hipotensi, aritmia, gelombang T abnormal dengan perpanjangan repolarisasi ventrikel, torsade de pointes (sekitar 4%). SSP : gelisah, cemas, reaksi ekstrapiramidal, reaksi distonik, tanda pseudoparkinson, diskinesia tardif, sindroma neurolepsi malignan, perubahan pengaturan temperatur tubuh, akathisia, distonia tardif, insomnia, eforia, agitasi, pusing, depresi, lelah,sakit kepala, mengantuk, bingung, vertigo, kejang. Kulit : kontak dermatitis, fotosensitifitas, rash, hiperpigmentasi, alopesia Metabolik & endokrin : amenore, gangguan seksual, nyeri payudara, ginekomastia, laktasi, pembesaran payudara, gangguan keteraturan menstruasi, hiperglisemia, hipoglisemia, hiponatremia; Saluran cerna : berat : mual muntah, anoreksia, konstipasi, diare, hipersalivasi, dispepsia, xerostomia. Saluran genito-urinari : retensi urin, priapisme; Hematologi : cholestatic jaundice, obstructive jaundice; Mata : penglihatan kabur, Pernafasan : spasme laring dan bronkus; Lain-lain : diaforesis dan heat stroke.

Interaksi dengan obat lain :


15

Efek haloperidol meningkat oleh klorokuin, propranolol, sulfadoksinpiridoksin, anti jamur azol, chlorpromazin, siprofloksacin, klaritromisin, delavirdin, diklofenak, doksisiklin, aritromisin, fluoksetin, imatinib, isoniasid, mikonazol, nefazodon, paroksetin, pergolid, propofol, protease inhibitor, kuinidin, kuinin, ritonavir, ropinirole, telitromisin, verapamil, dan inhibitor CYP2D6 atau 3A4.

Haloperidol dapat meningkakan efek amfetamin, betabloker tertentu, benzodiazepin tertentu, kalsium antagonis, cisaprid, siklosporin,

dekstrometorfan, alkaloid ergot, fluoksetin, inhibitor HMG0CoA reductase tertentu, lidokain, paroksetin, risperidon, ritonavir, sildenafil , takrolimus, antidepresan trisiklik, venlafaksin, dan sunstrat CYP2D6 atau 3A4. Haloperidol dapat meningkatkan efek antihipertensi, SSP depresan, litium, trazodon dan antidepresan trisiklik. Kombinasi haloperidol dengan indometasin dapat menyebabkan mengantuk, lelah dan bingung sedangkan dengan metoklopramid dapat meningkatkan resiko ekstrapiramidal. Haloperidol dapat menghambat kemampuan bromokriptin menurunkan konsentrasi prolaktin. Benztropin dan antikholinergik lainnya dapat menghambat respons terapi haloperidol dan menimbulkan efek antikholinergik. Barbiturat, karbamazepin, merokok, dapat meningkatkan metabolisme haloperidol. Haloperidol dapat menurunkan efek levodopa, hindari kombinasi. Efek haloperidol dapat menurun oleh aminoglutetimid, karbamazepin, nafsilin, nevirapin, fenobarbital, fenitoin, rifamisin dan induser CYP3A4 lainnya. Efek haloperidol dapat menurun oleh aminoglutetimid, karbamazepin, nafsilin, nevirapin, fenobarbital, fenitoin, rifamisin dan induser CYP3A4 lainnya.
16

Mekanisme kerja : Memblok reseptor dopaminergik D1 dan D2 di postsinaptik mesolimbik otak. Menekan penglepasan hormon hipotalamus dan hipofisa, menekan Reticular Activating System (RAS) sehingga mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh, kesiagaan, tonus vasomotor dan emesis. Bentuk sediaan : Injeksi Sebagai Dekanoat, 50 mg/ml, 1 ml; Larutan Injeksi Sebagai Laktat, Tablet 1,5 mg, 2 mg, 5 mg. Parameter monitoring : Gambaran vital seperti profil lipid, glukosa darah puasa/Hgb A1c, indeks berat badan, status mental, skala normal gerakan yang tidak disengaja, gejala ekstrapiramidal. Obat antipsikosis atipikal 3. Risperidon Risperidone termasuk antipsikotik turunan benzisoxazole. Risperidone merupakan antagonis monoaminergik selektif dengan afinitas tinggi terhadap reseptor serotonergik 5-HT2 dan dopaminergik D2. Risperidone berikatan dengan reseptor 1adrenergik. Risperione tidak memiliki afinitas terhadap reseptor kolinergik. Meskipun risperidone merupakan antagonis D2 kuat, dimana dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia, hal tersebut menyebabkan berkurangnya depresi aktivitas motorik dan induksi katalepsi dibanding neuroleptik klasik. Antagonisme serotonin dan dopamin sentral yang seimbang dapat mengurangi kecenderungan timbulnya efek samping ekstrapiramidal, dia memperluas aktivitas terapeutik terhadap gejala negatif dan afektif dari skizofrenia. Farmakokinetik : Risperidone diabsorpsi sempurna setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak dicapai setelah 1-2 jam. Absorpsi risperidone tidak dipengaruhi oleh

17

makanan. Hidroksilasi merupakan jalur metabolisme terpenting yang mengubah risperidone menjadi 9-hidroxyl-risperidone yang aktif. Waktu paruh eliminasi dari fraksi antipsikotik yang aktif adalah 24 jam. Studi risperidone dosis tunggal menunjukkan konsentrasi zat aktif dalam plasma yang lebih tinggi dan eliminasi yang lebih lambat pada lanjut usia dan pada pasien dengan gangguan ginjal. Konsentrasi plasma tetap normal pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Indikasi : Terapi pada skizofrenia akut dan kronik serta pada kondisi psikosis yang lain, dengan gejala-gejala tambahan (seperti; halusinasi, delusi, gangguan pola pikir, kecurigaan dan rasa permusuhan) dan atau dengan gejala-gejala negatif yang terlihat nyata (seperti; blunted affect, menarik diri dari lingkungan sosial dan emosional, sulit berbicara). Juga mengurangi gejala afektif (seperti; depresi, perasaan bersalah dan cemas) yang berhubungan dengan skizofrenia. Kontraindikasi :

Hipersensitif terhadap risperidone.

Dosis : Dosis umum Hari ke-1 : 2 mg/hari, 1-2 x sehari Hari ke-2 : 4 mg/hari, 1-2 x sehari (titrasi lebih rendah dilakukan pada beberapa pasien) Hari ke-3 : 6 mg/hari, 1-2 x sehari Dosis umum 4-8 mg per hari Dosis di atas 10 mg/hari tidak lebih efektif dari dosis yang lebih rendah dan bahkan mungkin dapat meningkatkan gejala ekstrapiramidal. Dosis di atas 10 mg/hari dapat digunakan hanya pada pasien tertentu dimana manfaat yang diperoleh lebih besar dibanding dengan risikonya. Dosis di atas 16 mg/hari belum dievaluasi keamanannya sehingga tidak boleh digunakan.
18

Penggunaan pada penderita geriatrik, juga penderita gangguan fungsi ginjal dan hati: Dosis awal: 0,5 mg, 2 x sehari Dosis dapat disesuaikan secara individual dengan penambahan 0,5 mg, 2 x sehari (hingga mencapai 1-2 mg, 2 x sehari) Penggunaan pada anak: Pengalaman penggunaan pada anak-anak usia di bawah 15 tahun belum cukup. Efek samping :

Yang umum terjadi: insomnia, agitasi, rasa cemas, sakit kepala. Efek samping lain: somnolen, kelelahan, pusing, konsentrasi terganggu, konstipasi, dispepsia, mual/muntah, nyeri abdominal, gangguan penglihatan, priapismus, disfungsi ereksi, disfungsi ejakulasi, disfungsi orgasme, inkontinensia urin, rinitis, ruam dan reaksi alergi lain.

Beberapa kasus gejala ekstrapiramidal mungkin terjadi (namun insiden dan keparahannya jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan haloperidol), seperti: tremor, rigiditas, hipersalivasi, bradikinesia, akathisia, distonia akut. Jika bersifat akut, gejala ini biasanya ringan dan akan hilang dengan pengurangan dosis dan/atau dengan pemberian obat antiparkinson bila diperlukan.

Seperti neuroleptik lainnya, dapat terjadi neuroleptic malignant syndrome (namun jarang), ditandai dengan hipertermia, rigiditas otot, ketidakstabilan otonom, kesadaran berubah dan kenaikan kadar CPK, dilaporkan pernah terjadi. Bila hal ini terjadi, penggunaan obat antipsikotik termasuk risperidone harus dihentikan.

Kadang-kadang terjadi orthostatic dizziness, hipotensi termasuk ortostatik, takikardia termasuk takikardia reflek dan hipertensi.

Risperidone dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi prolaktin plasma yang bersifat dose-dependent, dapat berupa galactorrhoea, gynaecomastia,

gangguan siklus menstruasi dan amenorrhoea.


19

Kenaikan berat badan, edema dan peningkatan kadar enzim hati kadangkadang terjadi.

Sedikit penurunan jumlah neutrofil dan trombosit pernah terjadi. Pernah dilaporkan namun jarang terjadi, pada pasien skizofrenik: intoksikasi air dengan hiponatraemia, disebabkan oleh polidipsia atau sindrom gangguan sekresi hormon antidiuretik (ADH); tardive dyskinesia, tidak teraturnya suhu tubuh dan terjadinya serangan.

Interaksi Obat :

Hati-hati pada penggunaan kombinasi dengan obat-obat yang bekerja pada SSP dan alkohol.

Risperidone mempunyai efek antagonis dengan levodopa atau agonis dopamin lainnya.

Karbamazepin dapat menurunkan kadar plasma risperidone. Clozapine dapat menurunkan bersihan risperidone. Fluoksetin dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari fraksi antipsikotik (risperidone dan 9-hydroxy-risperidone) dengan meningkatkan konsentrasi risperidone.

2.2.2 Obat Anti-Depresi Sinonim antidepresan adalah thimoleptika atau psikik energizer. Umumnya yang digunakan sekarang adalah dalam golongan trisiklik (misalnya imipramin, amitriptilin, dothiepin dan lofepramin). A. Penggolongan Antidepresan Trisiklik Antidepresan (TCA) Tetrasiklik MAOI (Mono Amin Oxydase Inhibitor)SSRI (selective serotonin reuptake
20

Atypical Antidepresa nts

Reversibel Maprotiline Amitriptyline Imipramine Clomipramine Tianeptine Opipramol Mianserine Amoxapine Moclobemide

inhibitor) Sertraline Paroxetine Fluvoxamine Duloxetine Citalopram Trazodone Mirtazapine

B. Mekanisme kerja Hipotesis: Sindrom depresi disebabkan oleh defisit relatif salah satu atau beberapa aminergic neurotransmitter (noradrenaline,

serotonin. Dopamine) pada sinaps neuron di SSP (khususnya pada sistem ,limbik). Mekanisme kerja obat Anti-depresi adalah: Menghambat re-uptake aminergic neurotransmitter Menghambat penghancuran oleh enzim Monoamine Oxidase

Sehingga terjadi peningkatan jumlah aminergic neurotransmitter pada sinap neuron di SSP C. Indikasi Digunakan untuk sindrom depresi. Butir-butir diagnostic Sindrom Depresi: Selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari mengalami: 1. Afek depresi 2. Hilang minat dan rasa senang 3. Kurang tenaga hingga mudah lelah dan kendur kegiatan Keadaan diatas disertai gejala-gejala: 1. Penurunan konsentrasi pikiran dan perhatian
21

2. Pengurangan rasa harga diri dan percaya diri 3. Pikiran perihal dosa dan diri tidak berguna lagi 4. Pandangan suram dan pesimis terhadap masa depan 5. Gagasan atau tindakan mencederai diri/bunuh diri 6. Gangguan tidur 7. Pengurangan nafsu makan Kadang berguna juga juga pada penderita ansietas fobia, obsesifkompulsif, dan mencegah kekambuhan depresi. D. Cara penggunaan Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa diberikan sekali sehari dan mengalami proses first-pass metabolism di hepar. Respon antidepresan jarang timbul dalam waktu kurang dari 2-6 minggu. Untuk sindroma depresi ringan dan sedang, pemilihan obat sebaiknya mengikuti urutan: Langkah 1 : Golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) Langkah 2 : Golongan tetrasiklik (TCA) Langkah 3 : Golongan tetrasiklik, atypical, MAOI (Mono Amin Oxydase Inhibitor) reversibel. Pertama-tama menggunakan golongan SSRI yang efek sampingnya sangat minimal (meningkatkan kepatuhan minum obat, bisa digunakan pada beberapa kondisi medik), spektrum efek anti-depresi luas, dan gejala putus obat sangat minimal, serta lethal dose yang tinggi (>6000 mg) sehingga relatif aman. Bila telah diberikan dengan dosis yang adekuat dalam jangka waktu yang cukup (sekitar 3 bulan) tidak efektif, dapat beralih ke pilihan kedua, golongan trisiklik yang spektrum anti-depresinya juga luas tetapi efek sampingnya relatif lebih berat. Bila pilihan kedua belum berhasil, dapat beralih ketiga dengan spektrum anti-depresi yang lebih sempit dan juga efek sampingnya lebih ringan dibandingkan Trisiklik yang teringan adalah golongan MAOI reversibel. Disamping itu juga
22

dipertimbangkan bahwa pergantian SSRI ke MAOI membutuhkan waktu 2-4 minggu istirahat untuk washout period. Pengaturan dosis perlu mempertimbangkan onset efek primer (sekitar 2-4 mingggu), onset efek sekunder (sekitar 12-24 jam), dan waktu paruh (12-48 jam). Obat diberikan dalam 5 tahap, yaitu inisial untuk mencapai dosis efektif (optimal), dosis stabilisasi yang dipertahankan selama 2-3 bulan, dosis pemeliharaan sebesar dosis optimal yang dipertahankan selama 3-6 bulan, dan dosis tapering dimana selama 1 bulan dois diturunkan hingga akhirnya dihentikan.

E. Interaksi Obat Trisiklik + Haloperidol/fenotiazin akan Mengurangi kecepatan

ekspresi dari trisiklik (kadar plasma meningkat). Terjadi potensiasi efek antikolinergik. SSRI/TCA + MAOI dapat menyebabkan Serotonin Malignant Syndrome dengan gejala berupa gastrointestinal distress (mual, muntah, diare), agitasi (mudah marah, ganas), restlessness (gelisah), gerakan kedutan otot, dan lain-lain. MAOI + obat-obatan simpatomimetik (misalnya fenilpropalamin, pseudoefedrin pada obat flu/asma, noradrenalin pada anestesi lokal, derivate amfetamin, i-dopa) dapat menyebabkan efek potensiasi yang dapat menjurus ke krisis hipertensi (acute paroxysmal hypertension), dimana ada resiko terjadinya serangan stroke. MAOI + senyawa yang mengandung tyramine (keju, anggu, dll) dapat menyebabkan krisis hipertensi dengan resiko serangan stroke pada pasien usia lanjut. Obat antidepresi + depresan CNS (misalnya morfin, bezodiazapin, alcohol, dan lain-lain) akan menyebabkan potensiasi efek sedasi dan penekanan terhadap pusat napas risiko timbulnya respiratory failure.

23

F. Kontra Indikasi Penyakit jantung koroner, MCI, khususnya pada usia lanjut Glaukoma, retensi urin, hipertrofi prostat, gangguan fungsi hati, epilepsi Pada penggunaan obat Lithium, kelainan fungsi jantung, ginjal dan kelenjar thyroid Wanita hamil dan menyusui tidak dianjurkan menggunaan TCA, resiko teratogenik besar (khususnya trismester 1) dan TCA dieksresikan melalui ASI

G. Efek samping Efek samping obat antidepresan terbagi atas: (1) efek antikolinergik: mulut kering, mata kabur, konstipasi, TIO meningkat, retensi urin, hipotensi postural, dll; (2) efek susunan saraf pusat: pusing, kelelahan, bingung, tremor, kejang,dll; (3) kardiovaskuler: hipotensi, takikardia sinus, aritmia, konduksi atrioventrikuler terganggu; (4) hematologis: depresi summsum tulang, leukopenia, agranulositosis, anemia hemolitik,

trombositopenia; dan (5) lain-lain: hipo-atau hipertermia, gangguan pernapasan, gangguan linido, keluhan gastrointestinal, gangguan fungsi hepar. Jika pemberian telah mencapai dosis toksik timbul atropine toxic syndrome dengan gejala eksitasi SSP, hiperpireksia, hipertensi, konvulsi, delirium, confusion dan disorientasi. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya: Gastric lavage. Diazepam 10 mg IM untuk mengatasi konvulsi. Postigmin 0,5-1 mg IM untuk mengatasi efek antikolinergik, dapat diulangi setiap 30-40 menit hingga gejala mereda. Monitoring EKG
24

Trisiklik Antidepresan (TCA) Amitriptilin Amitriptilin adalah obat antidepresan trisiklik dengan struktur amin tersier. Secara struktural, amitriptilin mirip dengan antipsikotik seperti thiothixene. Secara klinis, amitriptilin juga digunakan untuk mengatasi depresi, nyeri akibat neuropati, ADHD, enuresis fungsional pada anak, gangguan panik, gangguan fobik, dan untuk mengendalikan beberapa gangguan makan. Amitriptilin diakui oleh FDA pada tahun 1961. Farmakokinetik: Amitriptilin diserap dengan baik di saluran pencernaan, namun respon individual pasien dapat beragam. Puncak konsentrasi plasma diperoleh dalam 2 hingga 12 jam dari oral maupun injeksi IM. Antidepresan trisiklik berikatan dengan protein tinggi (sebagian besar pada alpha1-acid glycoprotein) pada plasma dan jaringan. Karena antidepresan trisiklik merupakan obat long-acting, dosis tunggal sudah cukup untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Amitriptilin dimetabolisme di hati menjadi nortriptilin, yang merupakan zat lipofilik dan dapat melewati blood-brain barrier. Amitriptilin dan nortriptilin didistribusikan ke paru-paru, jantung, otak, dan hati. Nortriptilin diketahui dapat melewati plasenta dan juga didistribusikan ke kelenjar susu. Keduanya juga melewati sirkulasi enterohepatik. Metabolit lipofilik seperti nortriptilin, kebanyakan diabsorbsi dan kemudian dimetabolisme. Antara 25-50% dari dosis tunggal diekskresikan di urin sebagai metabolit aktif dalam 24 jam. Sejumlah kecil ekskresi terdapat pada feses.

Interaksi obat Amitriptilin dapat dipengaruhi oleh obat yang menggunakan enzim 2D6 sitokrom P450, termasuk antidepresan lain, fenotiazin, carbamazepine, dan antiaritmia kelas 1C; ketika digunakan bersamaan dengan amitriptilin, penurunan dosis dari salah satu atau kedua obat perlu dilakukan. Obat lainnya yang menghambat aktivitas enzim tersebut, yakni cimetidine, quinidine, amiodarone, dan ritonavir, dapat menyebabkan peningkatan efek dari amitriptilin. Penggunaan yang bersamaan dengan antidepresan SSRI dapat menyebabkan peningkatan toksisitas dan seharusnya dihindari (fluoxetine harus dihentikan 5 minggu sebelum memulai pengobatan dengan amitriptilin). Penggunaan yang
25

bersamaan dengan clonidine dapat menyebabkan krisis hipertensi dan seharusnya dihindari juga. Penggunaan bersamaan dengan levodopa dapat menyebabkan penundaan maupun penurunan absorbsi levodopa maupun hipertensi. Kadar di dalam darah dan efeknya juga dapat menurun dengan penggunaan yang bersamaan dengan rifamycins (rifampin, rifapentine, dan rifabutin). Penggunaan yang bersamaan dengan moxifloxacin dapat meningkatkan risiko efek samping terhadap sistem

kardiovaskuler. Dapat juga terjadi peningkatan depresi sistem saraf pusat bila digunakan bersamaan dengan depresan sistem saraf pusat seperti alkohol, antihistamin, clonidine, opioids, dan sedatif/hipnotik. Barbiturat dapat mengubah efek serta kadarnya dalam darah. Efek samping adrenergik dan antikolinergik dapat meningkat bila digunakan bersamaan dengan agen antikolinergik lainnya. Fenotiazin maupun kontrasepsi oral dapat meningkatkan kadar amitriptilin dalam darah dan dapat menyebabkan toksisitas. Nikotin dapat meningkatkan metabolisme dan mengubah efek obat.

Dosis: Per Oral (dewasa): 75 mg/hari dengan dosis terpisah; dapat ditingkatkan hingga 150 mg/hari atau 50100 mg pada malam hari;bisa ditingkata may by 2550 mg up to 150 mg (pasien yang dirawat dapat dimulai dengan dosis 100 mg/hari, hingga 300 mg/hari). Per oral (geriatri dan remaja): 10 mg 3 kali sehari, dan 20 mg pada malam hari atau 25 mg pada dosis inisial, ditingkatkan perlahan hingga 100 mg/hari sebagai dosis tunggal maupun dosis terpisah.

2.2.3 Obat Antimania Obat anti mania mempunyai beberapa sinonim antara lain mood modulators, mood stabilizers dan antimanik. Dalam membicarakan obat antimania yang menjadi acuan adalah litium karbonat. A. Penggolongan Antimania

26

Nama Generik

Nama Dagang

Sediaan

Dosis Anjuran

Lithium Carbonate

Frimania

Tablet 200-300-400-500 mg

250-500 mg/hari

Haloperidol

Haloperidol

Tablet 0,5-1,5-5 mg

4,5-15 mg/hari

Haldol

Tablet 0,5-2-5 mg

Serenace

Tablet 0,5-1,5-5 mg Liq. 2mg/ml Amp 5 mg/cc

5 mg (im) setiap 2 jam, 100mg/hari max

Carbamazepine

Tegretol

Tab 200 mg

400-600 mg/hari

Valproic acid

Depakene

Syrup 250 mg/5ml

3x250 mg/hari

Divalproex

Depakote

Tablet 250 mg

3x250 mg/hari

B. Mekanisme kerja Lithium Carbonate merupakan obat pilihan utama untuk meredakan Sindrom mania akut atau profilaksis terhadap serangan Sindrom mania yang kambuhan pada gangguan afektif bipolar. Hipotesis: Efek anti-mania dari Lithium disebabkan kemampuannya mengurangi dopamine receptor supersensitivity, meningkatnya

27

cholinergic-muscarinic

activity,

dan

menghambat

cyclic

AMP

(adenosine monophosphate) dan phosphoinositides.

C. Indikasi Gejala sasaran: Sindrom mania. Butir-butir diagnostik terdiri dari: Dalam jangka waktu paling sedikit satu minggu hampir setiap hari terdapat keadaan afek (mood, suasana perasaan) yang meningkat, ekspresif dan iritabel. Keadaan tersebut paling sedikit 4 gejala berikut: 1. Peningkatan aktivitas (ditempat kerja, dalam hubungan sosial atau seksual), atau ketidak-tenangan fisik 2. Lebih banyak bicara dari lazimnya ataun adanya dorongan untuk bicara terus menerus 3. Lompat gagasan (flight of ideas) atau penghayatan subjektif bahwa pikirannya sedang berlomba 4. Rasa harga diri yang melambung (grandiositas, yang dapat bertaraf sampai waham/delusi) 5. Berkurangnya kebutuhan tidur 6. Mudah teralih perhatian, yaitu perhatiannya terlalu cepat tertarik kepada stimulus luar yang tidak penting 7. Keterlibatan berlebihan dalam aktivitas-aktivitas yang mengandung kemungkina resiko tinggi dengan akibat yang merugikan apabila tidak diperhitungkan secara bijaksana.

D. Cara Penggunaan Pada mania akut diberikan haloperidol IM dan tablet litium karbonat. Lithium Carbonate mempunyai efek anti mania yang timbul setelah
28

penggunaan 7 10 hari. Pada gangguan afektif bipolar dengan serangan episodik mania depresi diberi litium karbonat sebagai obat profilaks. Dapat mengurangi frekuensi, berat dan lamanya suatu kekambuhan. Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan: (1) onset efek primer (efek klinis): 7-10 hari (1-2 minggu), (2) rentang kadar serum terapeutik: 0,8-1,2 mEq/L (dicapai dengan dosis sekitar 2 atau 3x500 mg per hari), (3) kadar serum toksik: diatas 1,5 mEq/L. Litium diberikan dalam dosis terbagi untuk mencapai kadar yang dianggap aman. Biasanya preparat litium yang digunakan adalah lithium carbonate, mulai dengan dosis 250-500 mg/h, diberikan 1-2 kali sehari dinaikkan 250 mg/h setiap minggu, diukur serum litium setiap minggu sampai diketahui kadar serum litium berefek klinis terapeutik (0,8-1,2 mEq/L). Biasanya dosis efektif dan optimal berkisar 1000-1500 mg/h. dipertahankan sekitar 2-3 bulan, kemungkinan diturunkan menjadi dosis maintenance, konsentrasi litium yang dianjurkan untuk mencegah kekambuhan (profilaksis) berkisar antara 0,5-0,8 mEq/L, ini sama efektifnya bahkan lebih efektif dari kadar 0,8-1,2 mEq/L, dan juga untuk mengurangi insidensi dari efek samping dan resiko intoksikasi. Dosis awal harus lebih rendah pada pasien usia lanjut atau pasien dengan gangguan fisik yang mempengaruhi fungsi ginjal. Lama penggunaan untuk Sindrom mania akut setelah gejala-gejala mereda, Lithium carbonate harus diteruskan sampai lebih dari 6 bulan, dihentikan secara gradual (tapering off) bila memang tidak ada indi,kasi lagi. Pada gannguan afektif bipolar dan unipolar penggunaan harus diteruskan sampai beberapa tahun, sesuai dengan indikasi profilaksis serangan sindrom mania/depresi. Penggunaan jangka panjang ini sebaiknya dalam dosis minimum. E. Interaksi Obat Lithium + diuretik Thiazide dapat meningkatkan konsentrasi serum lithium sebanyak 50% sehingga resiko intoksikasi menjadi besar. Jadi dosis Lithium harus dikurangi 50% agar tidak terjadi intoksikasi.
29

Sedangkan loop diuretik seperti furosemide kurang mempengaruhi konsentrasi lithium. ACE inhibitor + Lithium dapat meningkatkan konsentrasi serum lithium sehingga menimbulkan gejala intoksikasi. Haloperidol + Lithium menyebabkan efek neurotoksis bertambah (diskinesia, ataksia), tetapi efek neurotoksis tidak tampak pada penggunaan kombinasi litium dengan haloperidol dosis rendah (kurang dari 20 mh/h). Keadaan yang sam untuk Lithium + Carbamazepine. NSAID + Lithium dapat meningkatkan konsentrasi serum lithium sehingga resiko intoksikasi menjadi besar.

F. Kontra Indikasi Wanita hamil karena bersifat teratogenik. Lithium dapat melalui plasenta dan masuk peredaran darah janin, khususnya mempengaruhi kelenjar tiroid.

G. Efek samping Efek samping Lithium berhubungan erat dengan dosis dan kondisi fisik pasien. Gejala efek samping pada pengobatan jangka lama: mulut kering, haus, gastrointestinal distress (mual, muntah, diare, feses lunak), kelemahan otot, poliuria, tremor halus (fine tremor, lebih nyata pada pasien usia lanjut dan penggunaan bersamaan dengan neuroleptika dan

antidepresan) Tidak ada efek sedasi dan gangguan akstrapiramidal. Efek samping lain : hipotiroidisme, peningkatan berat badan, perubahan fungsi tiroid, edema pada tungkai metalic taste, leukositosis, gangguan daya ingat dan kosentrasi pikiran Gejala intoksikasi

30

- Gejala dini : muntah, diare, tremor kasar, mengantuk, kosentrasi pikiran menurun, bicara sulit, pengucapan kata tidak jelas, berjalan tidak stabil. - Dengan semakin beratnya intoksikasi terdapat gejala: kesadaran menurun, oliguria, kejang-kejang - Penting sekali pengawasan kadar lithium dalam darah Faktor predisposisi terjadinya intoksikasi lithium : - Demam (berkeringat berlebihan) - Diet rendah garam - Diare dan muntah-muntah - Diet untuk menurunkan berat badan - Pemakaian bersama diuretik, antireumatik, obat anti inflamasi nonsteroid Tindakan mengatasi intoksikasi lithium : - Mengurangi faktor predisposisi - Diuresis paksa dengan garam fisiologis NaCl diberikan secara IV sebanyak 10 ml Tindakan pencegahan intoksikasi lithium dengan edukasi tentang faktor predisposisi, minum secukupnya, bila berkeringat dan diuresis banyak harus diimbangi dengan minum lebih banyak, mengenali gejala dan intoksikasi dan kontrol rutin. 2.2.4 Obat Anti Anxietas Obat anti-ansietas mempunyai beberapa sinonim, antara lain

psikoleptik, transquilizer minor dan anksioliktik. Obat anti-cemas, juga dikenal sebagai obat penenang, ada obat yang meredakan kecemasan dengan memperlambat sistem saraf pusat. obat anti-kecemasan yang paling banyak jenis obat resep untuk kecemasan. Mereka juga ditetapkan sebagai pil tidur
31

dan relaksan otot. Benzodiazepines adalah kelas yang paling umum dari obat anti-kecemasan. Mereka termasuk: Xanax (alprazolam), Klonopin

(clonazepam), Valium (diazepam) , Ativan (lorazepam). A. Penggolongan obat anti-anxietas Nama Generik Benzodiazepin Nama Dagang Diazepam Sediaan Tablet 2-5 mg Dosis Anjuran Peroral mg/hari, 10-30 2-3x/hari

parental IV/IM 2-10 mg/kali, setiap 3-4 jam Klordiazepoksoid Tablet 5 mg Kapsul 5 mg Lorazepam Clobazam Tablet 0,5-2 mg Tablet 10 mg 15-30 mg/hari 2-3 x/hari 2-3x 1 mg/hari 2-3x 10 mg/hari

Brumazepin

Tablet 1,5-3-6 mg

3x1,5 mg/hari

Oksazolom

Tablet 10 mg

2-3x 10 mg/hari

Klorazepat

Capsul 5-10 mg

2-3x 5 mg/hari

Alprazolam

Tablet0,25-0,5-1 mg

3x 0,25-0,5 mg/hari

Prazepam

Tablet 5 mg

2-3x 5 mg/hari

32

Non Benzodiazepin

Sulprid

Capsul 50 mg

100-200 mg/hari

Buspiron

Tablet 10 mg

15-30 mg/hari

B. Mekanisme kerja Sindrom ansietas disebabkan hiperaktivitasndari sistem limbik yang terdiri dari dopaminergic, nonadrenergic, seretonnergic neuron yang dikendalikan oleh GABA-ergic yang merupakan suatu inhibitory neurotransmitter. Obat antiansietas benzodiazepine yang bereaksi dengan reseptornya yang akan meng-inforce the inhibitory action of GABA neuron, sehingga hiperaktivitas tersebut mereda.

C. Indikasi Gejala sasaran: Sindom Anxietas. Butir diagnostik terdiri dari: adanya perasaan cemas atau khawatir yang tidak realistik terhadap 2 atau lebih hal yang dipersepsi sebagai ancaman, perasaan ini menyebabkan individu tidak mampu istirahat dengan tenang. Sindrom anxietas dapat terjadi pada: Psikis: Gangguan anxietas umum, gangguan panik, gangguan fobik, gangguan obsesif kompulsif Organik: Hipertiroid, pheochromocytosis Situasional: Gangguan penyesuaian + anxietas, gangguan cemas perpisahan Penyerta: Gangguan jiwa +ansietas (skizofrenia, gg.paranoid, dll), Penyakit fisik + ansietas (stroke,MCI, kanker, dll)

33

D. Cara Penggunaan Benzodiazepine memiliki rasio terapetik yang tinggi sebagai anti ansietas dan kurang menimbulkan adiksi dengan toksisitas yang rendah dibandingkan dengan meprobamate atau fenobarbital. Benzodiazepine sebagai drug of choice karena memiliki spesifisitas, potensi dan kemanannya. Spectrum klinis benzodiazepine memliputi efek anti ansietas (lorazepam, clobazam, bromazepam), antikonvulsan, anti insomnia (nitrazepam/flurazepam), (midazolam). Efek klinis terlihat bila kadar obat dalam darah telah mencapai steady state dimana dapat dicapai 5-7 hari dengan dosis 2-3 kali sehari. Onset of action cepat dan langsung memberikan efek. Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran) kemudian dinaikkan dosis setiap 3-5 hari sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan 2-3 minggu. Kemudian diturunkan 1/8 x dosis awal setiap 2-4 minggu sehingga tercapai dosis pemeliharan. Bila kambuh dinaikkan lagi dan tetap efektif pertahankan 4-8 minggu. Pemberian obat tidak boleh lebih dari 1-3 bulan dan penghentian selalu secara bertahap. E. Interaksi Obat Benzodiazepine + CNS depressants (fenobarbital, alkohol, obat anti psikosis, anti depresi, opiate) memiliki potensiasi efek sedasi dan penekanan pusat nafas, resiko timbulnya respiratory failure. Benzodiazepine + CNS stimultan (amfetamin, kafein, appetite suppressants) akan memiliki antagonism efek anti ansietas, sehingga efek benzodiazepine menurun Benzodiazepine + neuroleptika memiliki manfaat efek klinis dari benzodiazepine mengurangi kebutuhan dosis neuroleptika, sehingga risiko efek samping neuroleptik berkurang. dan premedikasi tingkat operatif

34

F. Kontra Indikasi Pasien dengan hipersensitif terhadap benzodiazepin, glaukoma, miastenia gravis, insufisiensi paru kronik, penyakit ginjal dan penyakit hati kronik. Pada pasien usia lanjut dan anak dapat terjadi reaksi yang berlawanan (paradoxal reaction) berupa kegelisahan, iritabilitas, disinhibisi, spasitas otot meningkat dan gangguan tidur. Efek teratogenik (khususnya pada trismester I) berkaitan dengan obat golongan benzodiazepine yang dapat melewati plasenta dan mempengaruhi janin. G. Efek samping Efek samping untuk golongan anxietas, khususnya benzodiazepine, adalah: (1) reaksi yang lazim: kelelahan, mengantuk, ataksia;(2) reaksi yang jarang terjadi: konstipasi, inkontinensia, retensia urin, mata kabur, disartria, nausea, mulut kering, tremor, ruam kulit;(3) efek paradoksikal: kebingungan, depresi, nyeri kepala, perubahan libido, vertitgo gangguan memori, dll. Potensi menimbulkan ketergantungan obat disebabkan oleh efek obat yang masih dapat dipertahankan setelah dosis terakhir, berlangsung sangat singkat. Penghentian obat secara mendadak akan menimbulkan gejala putus obat (rebound phenomena) dimana pasien menjadi iritabel, bingung, gelisah, insomnia, tremor, palpitasi, keringat dingin, konvulsi dan lain-lain. Untuk mengurangi resiko ketergantungan obat, maksimum lama pemberian selama 3 bulan (100 hari) dalam rentang dosis terapeutik. Obat anti-anxietas Alprazolam Sediaan: Tablet 0.25 mg, 0.5 mg, 1 mg Cara Kerja Obat: Alprazolam merupakan obat yang termasuk ke dalam golongan benzodiazepine (minor tranquilezer) yang bekerja dengan cepat setelah dikonsumsi. Indikasi alprazolam adalah untuk mengatasi anxiety (kecemasan), panick attack, serta depresi ringan. Xanax bekerja pada Gamma-Amino Butyric Acid (GABA) receptor,
35

neurotransmitter yang penting di otak manusia. Cara kerja alprazolam yang cepat diserap sistem pencernaan, merupakan keunggulan obat ini dalam mengatasi panic attack. Puncak konsentrasi alprazolam dalam plasma manusia diperoleh hanya dalam waktu 1 sampai 2 jam setelah dikonsumsi. Obat ini hanya boleh diresepkan oleh dokter spesialis kesehatan jiwa (psikiater). Indikasi: - Antiansietas termasuk neurosis ansietas, gejala-gejala ansietas - Antidepresi termasuk ansietas yang berkaitan dengan depresi Antipanik termasuk penyakit-penyakit atau gangguan panik dengan atau tanpa agoraphobia

Kontraindikasi : Penderita yang hipersensitif terhadap benzodiazepin, penderita glaukoma sudut sempit akut, penderita insufisiensi pulmonari akut Dosis: - Ansietas : 0,25 0,5 mg 3 kali sehari. Max 4 mg sehari dalam dosis terbagi. Gangguan panik : 0,5 1,0 mg diberikan pada malam hari atau 0,5 mg 3 kali sehari. Untuk pasien usia lanjut, debil dan gangguan fungsi hati berat : 0,25 mg 2-3 kali sehari. Jika perlu, dosis dapat ditingkatkan secara bertahap.

Peringatan dan Perhatian : - Dapat menyebabkan ketergantungan; - Jangan digunakan sebagai pengobatan tunggal pada pasien depresi atau kecemasan dengan depresi; Selama menggunakan obat ini dilarang mengendarai atau mengoprasikan mesin; Hati-hati bila diberikan pada anak <10 tahun, wanita hamil dan menyusui, penderita penyakit hati dan ginjal kronis, penyakit respirasi, kelemahan otot dan riwayat penyalah gunaan obat atau alcohol; Hindari pemakaian jangka panjang; Hati-hati pemakaian pada penderita "pulmonary insufficiency" kronik.

Efek Samping : - Yang sering terjadi: drowsiness, kekeringan, sakit kepala ringan - Yang jarang terjadi: perubahan berat badan, nervousness, gangguan
36

memori/amnesia, gangguan koordinasi, gangguan gastrointestinal dan manifestasi autonomik, pandangan kabur, sakit kepala, depresi, insomnia tremor - Seperti benzodiazepin yang lain, dapat terjadi: stimulasi, agitasi, kesulitan berkonsentrasi, konfusi, halusinasi, peningkatan tekanan intraokular - Pernah dilaporkan pada penggunaan benzodiazepin ansiolotik, seperti : distonia, iritabilitas, anoreksia, fatique, gangguan bicarajaund/'ce lemah otot, gangguan libido, irregularitas menstruasi, inkontinensia, retensi urin dan abnormal fungsi hati.

2.2.5 Antikolinergik Dalam praktek psikiatri klinis, obat kolinergik dan amantadine (Symmeterl), seperti antihistamin, terutama digunakan sebagai terapi gangguan pergerakkan akibat medikasi, khususnya parkinsonisme akibat neuroleptik, distonia akut akibat neuroleptik, dan tremor postural akibat medikasi. Obat antikolinergik dan amantadine mungkin juga digunakan secraa terbatas dalam terapi akathisia akut akibat neuroleptik. Indikasi Terapetik Parkinsonisme akibat neuroleptik Semua antikolinergik yang tersedia dan amantadine adalah sama efektif dalam terapi gejala parkinsonisme, walaupun keefektifitasan amantadine mungkin hilang pada beberapa padien dalam bulan oertama terpi, Amantadine mungkin lebih efektif dibandingkan antikolinergik dalam terapi rigiditas dan tremor. Amantadine juga merupakan obat terpilih jika klinisi tidak menginginkan untuk menambahkan obat antikolinergik tambahan dalam regimen terapi pasien, khususnya jika pasien menggunakan antipsikotik atau antidepresan dengan aktivitas antikolinergik, sebagai contohnya Chlorpromazine atau Amitrptilin atau pasien dengan lanjut usia dan dengan demikian berada dalam resiko mengalami efek merugikan antikolinergik.

37

Dosis dan pemberian Parkinsonisme akibat Neuroleptik DIsamping penggunaan obat antiparkinsonisme, terapi antiparkinsonisme dapat merupakan penurunan dosis antipsikotik atu mengganti anti psikotik yang kurang poten. Untuk parkinsonisme akibat neuroleptik, ekuivalen 1 sampai 4 mg benztropine harus diberikan satu sampai empat kali sehari, Pasien biasanya berespon terhadap dosis benztropine tersebut dalam satu sampai dua hari. Obat ini harus diberikan selama empat sampai delapan minggu, selanjutnay dihentikan unutk menilaia apakah pasien masih memerlukan obat. Terapi antikolinergik atau amantadine sebagai profilaksis, karena gejala parkinsonisme akibat neuroleptik biasanya cukup ringan dan cukup bertahap sehingga memungkinkan klinisi memulai terapi hanya setelah jelas diindikasikan. Distonia akut akibat neuroleptik Distonia akut akibat neuroleptik paling sering terjadi pada laki-laki muda, Sindroma ini sering terjadi pada awal perjalanan terapi dan sering berhubungan dengan antipsikotik potensi tinggi seperti haloperidol. Dsitonia paling sering mempengaruhi otot leher,lidah, wajah, dan punggung, Opistotonus (melibatkan keseluruhan otot tubuh ) dan krisis okulogirik (melibatkan otot mata ) adalah contoh ditonis spesifik. Untuk terapi distonia akut akibat neuroleptik, 1 sampai 2 mg benzotropine atau obat lain dalam dosis ekuivalennya harus diberikan IM. Jika dosis tersebut itdak efektif dalam 20-30 menit, obat harus diberikan lagi. Jika pasien masih tidak membaik dalam 20-30 menit lagi, suatu benzodiazepine (sebagai contohnya lorazepam 1 mg IM atau IV) harus diberikan. Distonia laring adalah kegawatdaruratan medis dan harus diobati dengan benztropine sampai 4 mg dalam periode 10 menit diikuti dengan 1 sampai 2 mg lorazepam diberikan perlahan-lahan melalui jalur IV. Profilaksisi terhadap distonia adalah diindikasikan pada pasien yang pernah memiliki satu episode atau pada pasien yang berada dalam resiko tinggi (lelaki muda yang menggunakam antipsikotik potensi tinggi ). Klinisi harus meneruskan terapi profilaktik selama empat sampai delapan minggu dan selanjutnya menurunkan obat sampai perlahan-lahan selama periode satu-dua minggu untuk memungkinkan pemeriksaan tentang kebutuhan melanjutkan terapi profilaksis.
38

Akathisia Akut akibat Neuroleptik Akathisia ditandai oleh rasa kegelisahan, kecemasan dan agitasi objektif dan subjektif. Walaupun uji coba dengan antikolinergik atau amantadine untuk terapi akathisia akut akibat neuroleptik beralsan, obat tersebut biasanya tidak dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk sindroma tersebut. Antagonis reseptor adrenergic beta dan kemungkinan benzodiazepine dan clonidine (catapres) adalah lebih disukai sebagai obat untuk dicoba pertama kali.

39

BAB III PENUTUP Golongan obat psikofarmaka yang banyak dipergunakan adalah obat antipsikosis, obat anti mania dan obat antidepresi. Penggunaan jenis obat ini perlu pengawasan yang ketat karena seringkali menimbulkan efek samping seperti ketergantungan psikologis dan fisik yang dapat mengakibatkan keracunan obat, depresi dan kehilangan sifat menahan diri, gangguan paru-paru, gangguan psikomotoris dan iritatif (mudah marah, gelisah dan ansietas bila obat dihentikan). Oleh sebab itu, banyak variable yang melekat pada praktek psikofarmakologi, termasuk pemilihan obat, peresepan, pemberian, arti psikodinamika bagi pasien dan pengaruh keluarga serta lingkungan.

40

Anda mungkin juga menyukai