Anda di halaman 1dari 2

3.

Diagnosis Demam Tifoid Diagnosis demam tifoid ada beberapa metode yaitu diagnosis klinik, diagnosis mikrobiolgik (kultur) dan diagnosis serologik. Yang merupakan pemeriksaan atau diagnosis gold standart demam tifoid dengan diagnosis mikrobiologik yaitu kultur darah, faeses, urin dan sum-sum tulang penderita demam tifoid (Karsinah et al, 1994). Berikut beberapa pemeriksaan laboratorium : a. Pemeriksaan Mikrobiologi (kultur) Metode diagnosis mikrobiologik atau kultur merupakan gold standart untuk diagnosis demam tifoid. Spesifikasinya lebih dari 90% pada penderita yang belum diobati, kultur darahnya positif pada minngu pertama. Jika sudah diobati hasil positif menjadi 40% namun pada kultur sum-sum tulang hasil positif tinggi 90%. Pada minggu selanjutnya kultur tinja dan urin meningkat yaitu 85% dan 25%, berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4. Selama 3 bulan kultur tinja dapat positif kira-kira 3% karena penderita tersebut termasuk carrier kronik. Carrier kronik sering terjadi pada orang dewasa dari pada anak-anak dan lebih sering pada wanita daripada laki-laki (Karsinah et al., 1994).

b. Pemeriksaan Klinik (darah) a. Hitung lekosit total pada demam tifoid menunjukkan lekopenia, kemungkinan 3.000 sampai 8.000 per mm kubik. b. Hitung jenis lekosit : Kemungkinan limfositosis dan monositosis (Julius,1990).

c. Pemeriksaan Serologi 1. Widal test Merupakan uji yang medeteksi anti bodi penderita yang timbul pada minggu pertama. Uji ini mengukur adanya antibodi yang ditimbulkan oleh antigen O dan H pada Salmonella sp. (Julius, 1990). Hasil bermakna jika hasil titer O dan H yaitu 1:160 atau lebih (Jawezt et al, 2008). Sebagian besar rumah sakit di Indonesia menggunakan uji widal untuk mendiagnosis demam tifoid (Muliawan et al, 1999).

2. IDL Tubex test Tubex test pemeriksaan yang sederhana dan cepat. Prinsip pemeriksaannya adalah mendeteksi antibodi pada penderita. Serum yang dicampur 1 menit dengan larutan A. Kemudian 2 tetes larutan B dicampur selama 12 menit. Tabung ditempelkan pada magnet khusus. Kemudian pembacaan hasil didasarkan pada warna akibat ikatan antigen dan antibodi. Yang akan menimbulkan warna dan disamakan dengan warna pada magnet khusus (WHO, 2003). 3. Typhidot test Uji serologi ini untuk mendeteksi adanya IgG dan IgM yang spesifik untuk S. typhi. Uji ini lebih baik dari pada uji Widal dan merupakan uji Enzyme Immuno Assay (EIA) ketegasan (75%), kepekaan (95%). Studi evaluasi juga menunjukkan Typhidot-M lebih baik dari pada metoda kultur. Walaupun kultur merupakan pemeriksaan gold standar. Perbandingan kepekaan Typhidot-M dan metode kultur adalah >93%. Typhidot-M sangat bermanfaat untuk diagnosis cepat di daerah endemis demam tifoid (WHO, 2003). 4. Pemeriksaan Dipstik Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Metode ini mempunyai sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%). Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR antara lain hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam4. Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Uji Enzyme-Linked

Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang.

Anda mungkin juga menyukai