Anda di halaman 1dari 15

Bab I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Negara-negara yang beriklim tropis dan negara-negara berkembang masih belum terbebas dari tetanus, salah satunya termasuk Indonesia. Tetanus merupakan suatu toksemia akut yang disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Adapun bakteri ini menghasilkan spora yang dapat tahan terhadap suhu lingkungan, dan dapat menghasilkan tetanospasmin pada bagian yang terinfeksi, sehingga dapat menimbulkan gejala klinis. Adapun gejala khas pada tetanus adalah kejang opistotonus. Kejang ini hanya terdapat pada tetanus. Menyangkut gejala lebih lanjut, pemeriksaan, patogenesis dan sebagainya akan dibahas pada bagian pembahasan.

1.2. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan pada makalah ini, antara lain: Membahas definisi, epidemiologi, dan etiologi tetanus. Membahas patogenesis, klasifikasi, dan manifestasi tetanus. Membahas pemeriksaan dan diagnosis tetanus. Membahas pengobatan, pencegahan, dan prognosis tetanus

Bab II Pembahasan

2.1 Definisi Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.1

2.2 Epidemiologi Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Tetanus walaupun dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih membebani di seluruh dunia, terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara berkembang, seperti Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan negara lain di benua Asia. Penyakit ini umum terjadi di daerah pertanian, daerah pedesaan, pada daerah dengan musim hangat, selama musim panas dan pada penduduk pria. Penyakit ini jarang dijumpai di negara-negara maju. Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survei serologis skala luas terhadap antibodi tetanus dan difteri yang dilakukan antara tahun 1988-1994 terhadap penduduk Amerika Serikat menunjukkan bahwa secara keseluruhan: 72% berusia di atas 6 tahun terlindungi tetanus 91% berusia 6-11 tahun terlindungi tetanus 30% berusia di atas 70 tahun yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat. 1

2.3 Pemeriksaan 2.3.1. Anamnesis


2

Dokter melakukan anamnesis terhadap pasien. Namun pada skenario, dijelaskan adanya alloanamnesis. Hal ini berarti keluarga dari pihak pasien yang memberi keterangan tentang kondisi pasien. Dokter menanyakan keluhan yang dialami pasien, sudah sejak kapan terjadinya gejala tersebut, adakah faktor pencetus. Dari hasil anamnesis, didapatkan bahwa pasien tertusuk paku pada kaki kanannya 12 hari yang lalu, namun tidak diobati. Keluhan yang menyebabkan pasien datang ke dokter adalah sulit makan/menelan, demam dan mengalami kejang opistotonus.

2.3.2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil mulut hanya dapat dibuka maksimal 2 jari,

terdapat kekakuan pada wajah, leher, dan anggota gerak. Perut kaku seperti papan dan telapak tangan kaki kanan bengkak dan kulit tegang kemerahan. Pada telapak kaki kanan juga ditemukan luka tusuk yang dalam dan bernanah. TD 130/80 mmHg, nadi 88 kali/menit frekuensi napas 28 kali/menit, suhu tubuh 38,80C.

2.3.3. Pemeriksaan Penunjang Tetanus Pemeriksaan penunjang penyakit tetanus meliputi : 1.Lab darah : tidak spesifik, mungkin leukositosis ringan, serum CK agak meningkat. 2. Pada pemeriksaaan bakteriologik ditemukan Clostridium tetani

2.4. Diagnosis Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis dan riwayat cedera, meskipun hanya 50% pasien tetanus yang menderita cedera mencari pertolongan medis.2 Meningkatnya tonus pada otot sentral (wajah, leher, dada, punggung dan perut) yang tumpang tindih dengan spasme generalisata dan tidak terlibatnya tangan dan kaki secara kuat menyokong diagnosa tetanus. Kondisi-kondisi lain yang dikacaukan dengan tetanus

meliputi meningitis/ensefalitis, rabies dan proses intraabdominal akut (karena kekakuan abdomen).1 Diagnosis diferensial mencakup kondisi lokal yang menyebabkan trismus, seperti abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat distonik (misalnya terhadap fenotiasin dan metoklorpramid) tetanus hipokalsemik, dan perubahan-perubahan metabolik dan neorologis pada neonatal. 1

2.5. Etiologi C. tetani adalah sebuah batang anaerob, motil, gram positif yang berbentuk oval, tak berwarna, spora terminal dan karenanya mengasumsikan sebuah bentuk seperti raket tenis atau pemukul drum. Organisme ini ditemukan diseluruh dunia dalam tanah, benda mati, feses binatang, dan kadang-kadang dalam feses manusia. Spora bisa bertahan selama bertahun-tahun dalam beberapa lingkungan dan resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. Sel-sel vegetatif, mudah diinaktivasikan dan rentan terhadap beberapa antibiotik, termasuk metronidazol dan penisilin. 4 Sel-sel vegetatif Clostridium tetani menghasilkan toksin tetanospasmin (BM 150000) yang dipecah oleh protease bakteri menjadi dua peptide (BM 50000 dan 100000) yang dihubungkan oleh ikatan sulfide. Pada awalnya toksin berikatan dengan reseptor pada membran prasinaptik neuron motorik, kemudian toksin bermigrasi melalui sistem transport aksonal retrograde ke badan sel neuron-neuron ini ke medulla spinalis dan batang otak.1,2 Toksin berdifusi ke bagian terminal sel-sel inhibisi, termasuk interneuron glisinergik dan neuron penyekresi asam aminobutirat dari batang otak. Toksin melakukan degradasi sinaptobrevin, neurotransmitter sebuah protein yang diperlukan untuk menghubungkan vesikel pada membran prasinaptik. Pelepasan glisin inhibisi dan asam -

aminobutirat dihambat, dan neuron motorik tidak dihambat. Sebagai akibatnya terjadi hiperefleksi, spasme otot, dan paralisis spastik. 2

2.6. Patogenesis C. tetani tidak menyebabkan inflamasi dan port dentrae tetap tampak tenang tanpa tanda inflamasi, kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme lain. Pada kondisi anaerobik jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin:

tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup dan mengoptimalkan kondisi untuk multiplikasi bakteri. Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus dan memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel serta berperan untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia akan memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Transport pertama kali terjadi pada saraf motorik, lalu saraf sensorik dan saraf otonom. Toksin masuk ke dalam sel dan berdifusi keluar dan akan masuk mempengaruhi neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik kehilangan fungsi inhibisinya. Aliran eferen yang tidak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki jarang terlibat. Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.1

2.7. Perjalanan Klinis Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. 1

2.8. Manifestasi Klinis Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus dapat pula berkaitan dengan dengan luka bakar, infeksi telinga tengah, pembedahan, aborsi dan persalinan.1 Secara khas, pasien pertama kali merasakan peningkatan tonus otot maseter (trismus, atau lockjaw). Disfagia atau kekakuan atau nyeri pada leher, bahu, dan otot punggung terlihat
6

secara bersamaan atau segera setelahnya. Keterliatan berikutnya pada otot-otot yang lain menghasilkan perut yang kaku dan kekakuan otot ekstremitas proksimal; tangan dan kaki relatif terpisah. Kontraksi yang berlanjut pada otot-otot fasial menyebabkan meringis dan menyeringai (risus sardonicus), dan kontraksi otot punggung menghasilkan punggung seperti busur (opistotonus). Beberapa pasien mengalami spasme otot paroksismal, keras, nyeri, dan generalisata yang bisa menyebabkan sianosis dan ancaman ventilasi. Spasme ini terjadi secara berulang dan bisa secara spontan atau dicetuskan bahkan oleh stimulasi yang sangat ringan. Ancaman konstan selama spasme generalisata adalah penurunan ventilasi atau apnea atau laringospasme. Keparahan penyakit bisa ringan (kekakuan otot dan sedikit atau tidak ada spasme), sedang (trismus, disfagia, rigiditas, dan spasme), atau parah (frequent explosive paroxysms). Pasien bisa saja demam, meskipun pada banyak pasien tidak mengalami demam; secara mental tidak terganggu. Reflex tendon dalam bisa meningkat. Disfagia atau ileus bisa menghalangi pemberian makanan secara oral. Disfungsi otonom sering memberikan komplikasi pada kasus yang parah dan ditandai dengan hipertensi yang labil atau memanjang, takikardia, disritmia, hiperpireksia, berkeringat banyak, vasokonstriksi perifer, dan peningkatan kadar katekolamin plasma dan urin. Periode bradikardia dan hipotensi juga biasa terjadi. Henti jantung mendadak kadang terjadi, tetapi dasarnya tidak diketahui. 4 Rigiditas dan spasme muskuler dari dinding dada, diafragma dan abdomen menyebabkan adanya defek restriktif. Adanya spasme faringeal dan laryngeal merupakan pertanda adanya gagal nafas dan obstruksi jalan nafas yang mengancam jiwa. Ketidakmampuan pasien untuk batuk, akibat rigiditas, spasme dan sedasi mengakibatkan atelektaksis dan resiko tinggi terjadinya pneumonia.1 Atelektaksis adalah penyempitan paru orang dewasa.3 ketidakmampuan untuk menelan yang berlebih, sekresi bronchial yang profus, spasme faringeal, peningkatan tekanan intraabdominal dan stasis gaster, semuanya meningkatkan resiko aspirasi yang umumnya terjadi pada pasien tetanus. Akibatnya hipoksia merupakan keadaan umum yang dijumpai pada tetanus sedang dan berat bahkan pada keadaan dimana gambaran foto thorax bersih. Pada tetanus berat, hipoventilasi akibat spasme berkepanjangan dan apneu terjadi. Sedasi, kelelahan dan perubahan fungsi batang otak mungkin juga berakibat gagal nafas.
1

Pada tetanus ringan,

fungsi ginjal tidak terganggu. Pada tetanus yang berat, sering terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan gangguan fungsi tubulus ginjal. Penyebab tambahan gagal ginjal pada
7

tetanus mencakup dehidrasi, sepsis, rhabdomyolisis dan perubahan dalam aliran darah yang terjadi secara sekunder akibat peningkatan mendadak kadar katekolamin.1 Rhabdomyolisis merupakan putusnya serat otot lurik yang disertai pengeluaran mioglobin dalam urin.3

2.9 Klasifikasi Tetanus Tetanus Generalisata Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot untuk menelan yang menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada.1 Opistotonus adalah bentuk hipersekresi tubuh yang hebat dimana kepala dan tumit melengkung ke belakang dan badan membungkuk ke depan.3

Tetanus neonatorum Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat memotong umbilicus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.

Tetanus Lokal Tetanus local merupakan tetanus yang manifestasi klinisnya terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat bertahan sampai berbulanbulan. 1

Tetanus sefalik Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Ditemukan adanya trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7.

2.10. Derajat Keparahan Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett: Derajat I (ringan) : trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia. Derajat II (sedang) : trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang dengan frekuensi pernapasan lebih dari 30, disfagia ringan. Derajat III (berat) : trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan, frekuensi pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120. Derajat IV (sangat berat): derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan brakikardia, salah satunya dapat menetap. 1

2.11. Penatalaksanaan Penatalaksanaan Umum: Pasien ditempatkan di ruangan yang tenang ICU, dimana observasi dan pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan terus-menerus, dan stimulasi dieliminasi. Perlindungan terhadap jalan napas bersifat vital. Luka dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan debridemen secara menyeluruh. 1 Penatalaksanaan lain: Hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak nampak dan kehilangan cairan yang lain. Kecukupan gizi dengan meningkat dengan pemberian enteral maupun parenteral. Fisioterapi untuk mencegah kontraktur. Pemberian heparin dan antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru. Fungsi ginjal, kandung kemih dan saluran cerna harus dimonitor Perdarahan gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi. 1 Penggunaan Obat-obatan Diazepam Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi semua tingkatan sistem saraf pusat, termasuk pembentukan limbik dan retikular, mungkin dengan meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmitter inhibitori utama. 1 Fenobarbital Fenobarbital merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Fungsinya membatasi penjalaran aktivitas dan menaikkan aktivitas rangsang. Dosisnya relatif rendah. Efek sedative, dianggap sebagai efek samping, dapat diatasi dengan pemberian stimulant sentral tanpa mengurangi efek antikonvulsinya.5 Baklofen
10

Baklofen intratekal, relaksasi otot kerja sentral telah dipergunakan secara eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infus diazepam. Baklofen intrathekal 600 kali lebih poten daripada Baklofen per oral. Injeksi intratekal berulang bermanfaat untuk mengurangu durasi ventilasi buatan dan mencegah intubasi. Berperan dengan menginduksi hiperpolarisasi dari ujung aferen and menghambat refleks monosinaptik dan polisinaptik pada tingkat spinal. Dosis dapat diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme paroksismal kembali terjadi. Pemberian Baklofen secara terus-menerus telah dilaporkan pada sejumlah kecil pasien tetanus. Dantrolen Dantrolen menyebabkan relaksasi otot rangka dengan cara menghambat penglepasan ion Ca dari reticulum sarkoplasmik. Kekuatan kontraksi otot menurun paling banyak 75-80%. Dantrolen digunakan untuk mengurangi spasme otot akibat kerusakan medulla spinalis dan otak.4 Penisilin G Berperan dengan mengganggu pembentukan polipeptida dinding otot selama multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikroorganisme yang rentan. Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Metronidazol Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa.1 Metronidazol memperlihatkan daya amubisid langsung. Sampai saat ini belum ditemukan amuba yang resisten terhadap metronidazol.5 Dapat diabsorpsi ke dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai antibiotika pada terapi tetanus karena penisilin G juga merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat efek toksin. Doksisiklin Menghambat sintesis protein dan pertumbuhan bakteri dengan pengikatan pada sub unit 30s atau 50s ribosomal dari bakteri yang rentan. Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari.
11

Vekuronium Merupakan agen pemblokade neuromuskular prototipik yang menyebabkan terjadinya paralisis muskuler. Untuk mempertahankan paralisis, infus secara terusmenerus dapat diterapkan. Bayi lebih bersifat sensitif terhadap aktivitas blokade neuromuskular, dan walaupun dosis yang sama dipergunakan, pemulihan lebih lama pada 50% kasus. Tidak direkomendasikan pada neonatus. 1

2.12. Pencegahan Imunisasi Aktif Imunisasi dengan tetanus toksoid yang diabsorbsi merupakan tindakan pencegahan yang paling efektif dalam praktek.1 Titer protektif dari antibody tetanus adalah 0,01 U/ml. Walaupun demikian tetanus dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi, diperkirakan mencapai 4 per 100 juta juta individu yang imunokompeten. Imunisasi awal diberikan dalam tiga suntikan, diikuti dosis lain sekitar 1 tahun kemudian. Imunisasi awal harus diberikan pada semua anak selama tahun pertama kehidupannya. Injeksi booster toksoid diberikan saat masuk sekolah dan dapat bertahan selama 10 tahun untuk mempertahankan kadar serum lebih dari 0,01 unit antioksidan per mililiter.2 Serial

vaksinasi untuk dewasa terdiri atas tiga dosis: dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu dan ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama. Dosis ulangan diberikan tiap 10 minggu dan dapat diberikan pada usia decade pertengahan seperti pertengan seperti 35,45 dan seterusnya. Namun demikian pemberian vaksin lebih dari 5 kali tidak diperlukan. Untuk individu di atas 7 tahun toksoid kombinasi tetanus dan difteri (Td) yang diadsorpsi, lebih dipilih. Vaksin yang diadsorpsi lebih disukai karena menghasilkan titer antibodi yang lebih menetap daripada vaksin cair.1 Penatalaksanaan Luka Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya: 1) Imunisasi pasif dengan TIG. Dosis TIG sebagai imunisasi pasif pada individu dengan luka derajat sedang adalah 250 unit intramuskuler yang menghasilkan kadar
12

antibodi serum protektif paling sedikit 4-6 minggu; dosis yang tepat untuk TAT suatu produk yang berasal dari kuda adalah 3000-6000 unit. 2) Imunisasi aktif dengan vaksin, terutama Td untuk individu usia di atas 7 tahun. 1 Tetanus Neonatorum Penatalaksanaan yang dimaksudkan untuk mencegah tetanus neonatorum mencakup vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan; upaya untuk meningkatkan proporsi kelahiran yang dilakukan di rumah sakit dan pelatihan kelahiran nonmedis.

2.13. Prognosis Penerapan metode untuk monitoring dan oksigenasi suportif secara nyata memperbaiki prognosis tetanus. Angka fatalitas kasus dan penyebab kematian bervariasi tergantung fasilitas yang tersedia. Penurunan mortalitas dari 44% ke 15% setelah adanya penatalaksanaan ICU. Di Negara-negara berkembang, kurangnya fasilitas untuk perawatan intensif jangka panjang dan bantuan ventilasi, kematian akibat tetanus berat mencapai >50% dengan obstruksi jalan napas, gagal napas, dan gagal ginjal merupakan penyebab utama. Prognosis buruk pada orang tua, neonatus dan pasien dengan periode inkubasi yang pendek, interval yang pendek dari onset gejala sampai tiba di RS. Mortalitas dan prognosis tergantung pada status vaksinasi sebelumnya. Tetanus yang berat umumnya membutuhkan perawatan ICU 3-5minggu, pasien mungkin membutuhkan ventilasi jangka panjang. Tonus yang meningkat dan spasme minor dapat terjadi sampai berbulan-bulan, namun diharapkan kembali normal pada keadaan semula. Pada beberapa penelitian pengamatan pada pasien yang selamat dari tetanus, sering dijumpai menetapnya problem fisik dan psikologis. 1

13

Bab III Penutup 3.1. Kesimpulan Tetanus disebabkan karena adanya Clostridium tetani. Adapun basil tetanus menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Kedua toksin ini memiliki fungsi yang berlainan. Diagnosis dapat diketahui dari gejala klinis yang tampak, misalnya kejang opistotonus, trismus, disfagia, dan risus sardonicus, serta adanya luka, yang kadangkala diabaikan. Selain gejala klinis yang tampak, terdapat pula perubahan pada fisiologi kardiovaskular, pernapasan, dan traktus urinarius. Ada empat klasifikasi tetanus, yakni tetanus generalisata, tetanus neonates, tetanus local, dan tetanus sefalik. Penatalaksanaan tetanus dapat berupa penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan lain, serta penggunaan obat-obatan. Tetanus ini dapat dicegah, dengan imunisasi aktif, pengobatan luka, serta meningkatkan hygeni. Prognosis tetanus baik, jika pasien dirawat dengan baik, serta adanya fasilitas yang menunjang, sedangkan prognosis buruk dijumpai pada orang tua, neonatus dan pasien dengan periode inkubasi yang pendek.

3.2. Saran Tetanus dapat dicegah, untuk itu perlu adanya kerjasama yang baik antara seluruh elemen masyarakat dan petugas kesehatan. Pencegahan ada baiknya dilakukan untuk mengurangi penderita tetanus di Indonesia.

14

Daftar Pustaka

1. Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus A., Marcellus S.K., Siti S. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid III, edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010. 2. Geo F. Brooks, Janet S. Butel, Stephen A.Morse. Mikrobiologi kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg, Ed 23. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008. 3. Kamus saku kedokteran Dorland, edisi 25. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 4. Anthony S. Fauci, Eugene Braunwald, Dennis L. Kasper, Stephen L. Hauser, Dan L. Longo, J. Larry Jameson, and et al. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition. New York: McGraw Hill; 2008. 5. Farmakologi dan terapi, edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, 2007.

15

Anda mungkin juga menyukai