Anda di halaman 1dari 16

GASTRO ESOFAGEAL REFLUKS DISEASE

Penyakit refluks gastroesofageal (Gastrosophageal Reflux Disease/GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandung lambaung kedalam esophagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esophagus, faring, laring dan saluran napas. Telah diketahui bahwa refluks kandung lambung ke esophagus dapat menimbulkan berbagai gejala di esophagus maupun ekstraesofagus, dapat menyebabkan komplikasi yang berat seperti sriktura, Barretts esophagus bahkan adenokarsinoma di kardia dan esophagus, banyak ahli yang menggunakan istilah esofagitis refluks, yang merupakan keadaan terbanayak dari penyakit refluks gastroesofageal. Gastroesophageal reflux (GERD) dan asma bronkial merupakan penyakit yang sering didapatkan bersamaan. Asma bronkial dapat mengenai semua orang; pada dewasa didapatkan frekuensi 3-10%, sedangkan gastroesophageal reflux didapatkan pada 45-89% penderita asma, hal ini mungkin disebabkan antara lain oleh refluks esofageal, refluks esofagopulmoner dan akibat obat relaksan otot polos yaitu golongan beta adrenergik, aminofilin, inhibitor fosfodiesterase akan menyebabkan inkompetensi sekunder lower sphincter (LES) esophagus.

Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterologi Departeman Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia. Tingginya gejala refluks pada populasi di Negara-negara Barat diduga disebabkan karena factor diet dan meningkatnya obesitas. o Etiologi dan Patogenesis Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifactor. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila:

1) Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama anatara bahan refluksat dengan mukosa esophagus. 2) Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esophagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esophagus tidak cukup lama.

Refluks gastroesofageal juga ditemukan pada 45-89 % penderita asma bronkial, mungkin disebabkan oleh stimulasi esofagopulmonaris atau refluks esofageal, refleks vagal-bronkhokonstriksi dan obat-obat asma yaitu obat golongan antikholinergik, beta adrenergik (relaksasi otot polos), aminofilin, phosphodiesterase inhibitor yang meningkatkan siklus AMP/siklus GMP yang dapat menyebabkan inkompetensi otot LES (Lower Esophagus Sphincter).

Esophagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona ketegangan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisahan ini akan dipertahankan kecuali aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograde yang terjadi pada saat sendawa atau muntak. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg).

1) Refluks gastroesophageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme: Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat 2) Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan. 3) Meningkatnya tekanan intraabdomen.

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa pathogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara factor defensive dari esophagus dan factor osensif dari bahan refluksat. Yang termasuk factor defensive esophagus adalah: Pemisahan antirefluks Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Factor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES: 1). Adanya hiatus hernia, 2). Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), 3). Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergic, theofilin, opiate dan lain-lain, 4). Factor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesterone dapat menurunkan tonus LES. Namun dengan berkembanya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES Relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung lambat (delayed gasric emptying) dan dilatasi lambung. Peranan hiatus hernia pada pathogenesis terjadinya GERD masih kontroversiasl. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD

yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES. Bersihan asam dari lumen esophagus. Factor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltic, ekresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang dengan proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan sekresi esophagus. Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal. Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif. Ketahanan epitel esophagus. Berbada dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mucus yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari: Membrane sel Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ kejaringan esophagus. Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrient, oksigen dan bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2. Sel-sel esophagus mempunyai kemempuan untuk mentransport ion H+ dan CL- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler. Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus, sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H+

yang dimaksud dengan factor osensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCL, pepsin, garam empedu, enzim pancreas. Factor osensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada pH kurang dari 2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam. Factor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain: dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying. Peranan infeksi Helycobacter pylori dalam pathogenesis GERD relative kecil dan kurang di dukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barretts esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan

infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang. Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa nonacid reflux turut berperan dalam pathogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan non-acid reflux antara lain berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas visceral. o Manifestasi Klinik Gejala klinis yang khas dari GERD adalah nyeri/ rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heart burn), kadang-kadang bercampur bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkolerasi dengan temuan endoskopi. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan pada serangan angina pectoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena striktura atau keganasan yang berkembang dari Barretts esophagus. Idinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan) bias timbul jika sudah terjadi ulserasi esophagus yang berat. GERD juga dapat menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma. Di pihak lain, beberapa penyakit paru dapat menjadi factor predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high pressures zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (misalnya theofili).

Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan GERD memerlukan penatalaksanaan secara medic.

o Diagnosis Di samping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu: Endoskopi saluran cerna bagian atas. Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat menilai perubahan makroskopik dari mukosa esophagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive reflux disease (NERD). Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsy), dapat mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD. Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barretts esophagus, dysplasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsy pada NERD. Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.

Esofagografi dengan barium

Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan sering kali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada 1). Stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, 2). Hiatus hernia. Pemantauan pH 24 jam. Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkan dengan menetapkan mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH di bawah 4 pada jarak 5 cm diatas LES dianggap diagnostic untuk refluks gastroesofageal.

Tes Bernstein Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCL 0.1 M dalam waktu kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Tes Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.

Manometri esophagus Tes manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan gejala nyeri epigastrium dengan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskpi yang normal.

Tes penghambat pompa proton ( Proton Pump inhibitor/PPI test/(tes supresi asam) Acid Supression Test) Pada dasarnya test ini merupakan terapi emperik untuk menilai gerjala dari GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respons yang terjadi. Tes ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostic seperti endoskopi, pH metri dan lain-lain. Tes ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50%-75% gejala yang terjadi. Dewasa ini terapi

emperik/PPI test merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama untuk pasien-pasien yang tidak disertai dengan gejala alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm adalah; berat badan menurun, anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan kanker esophagus/lambung dan umur > 40 tahun. o Penatalaksanaan Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat kemungkinan timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktura esophagus ataupun esophagus Barrett yang merupakan keadaan premaligna, maka seyogyanya penyakit ini mendapat penatalaksanaan yang adekuat. Pada prinsipnya penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. Target penatalaksanaan GERD adalah: 1). Menyembuhkan lesi esophagus, 2). Menghilangkan gejala atau keluhan, 3). Mencegah kekambuhan, 4). Memperbaiki kualitas hidup, 5). Mencegah timbulnya komplikasi.

Modifikasi gaya hidup Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan. Halhal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut: 1).

Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makanan sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus, 2). Berhentik merokok dan mengkonsumsi alcohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel, 3). Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung, 4). Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen, 5). Menghindari makanan atau minuman seperti

coklat,the,peppermint,kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam, 6). Jika memungkinan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti antikolonergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.

Terapi medika mentosa Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas. Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam nenekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan

mengunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.

Dari berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan pendekatan terapi step up. Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down. Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat

kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjtnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahakan terapi bila perlu (on demand therapy) yaitu pemberian obat-obat selama beberap hari sampai dua minggi jika ada kekambuhan sampai gejal hilang. Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menendakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.

Berikut ini adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD: Antacid Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCL, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus di bawah. Kelemahan golongan obat ini adalah 1). Rasanya kurang menyenangkan, 2). Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antacid yang mengandung alumunium, 3). Penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis: sehari 4 x 1 sendok makan.

Antagonis reseptor H2. Yang termasuk golongan obat ini adalah simetidin, ranitidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis pemberian: Simetidin Ranitidin Famotidin Nizatidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg : 4 x 150 mg : 2 x 20 mg : 2 x 150 mg

Obat-obat prokinetik. Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung kepada penekanan sekresi asam. Metoklopramid: a. Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine b. Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. c. Karena malalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, igitasi, tremor dan diskinesia. d. Dosis: 3 x 10 mg

Domperidon:

Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung. Dosis: 3 x 10-20 mg sehari.

Cisapride: Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik disbanding domperidon. Dosis 3 x 10 mg

Sukralfat (alumunium hidroksida + sukrosa oktsulfat) Berbeda dengan antacid dan penekan sekreswi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa, sebagai buffer terhadap HCL di esophagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukupm aman diberikan karena bekerja secara topical (sitoproteksi) Dosis 4 x 1 garam

Penghambat Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor/PPI). Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD.

Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan memepengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2. Dosis yang diberikan untuk GERD adalash dosis penuh, yaitu: Omeprazole : 2 x 20 mg

Lansoprazole : 2 x 30 mg Pantoprazole : 2 x 40 mg Rabeprazole : 2 x 10 mg

Esomeprazole : 2 x 40 mg

Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya. Efektivitas golongan obat ini semakin bertambah jika dikombinasi dengan golongan prokinetik. Untuk pengobatan NERD diberikan dosis standar, yaitu: Omeprazole Lansoprazole Pantoprazole Rabeprazole Esomeprazole : 1 x 20 mg : 1 x 30 mg : 1 x 40 mg : 1 x 10 mg : 1 x 40 mg

Untuk pengobatan diberikan selama minimal 4 minggu, dilanjutkan dengan on demand therpy. Terdapat beberapa algoritme dalam penatalaksanaan GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama, salah satu diantaranya adalah yang

direkomendasikan dalam Konsensus Nasional untuk Penatalaksanaan GERD di Indonesia. Terapi terhadap Komplikasi Komplikasi yang paling sering terjadi adalah striktura dan perdarahan. Sebagai dampak adanya rangsangan kronik asam lambung terhadap mukosa esophagus, dapat terjadi perubahan mukosa esophagus dari skuamosa menjadi epitel kolumnar yang metaplastik. Keadaan ini disebut sebagai esophagus Barrett (Barretts esophagus) dan merupakan suatu keadaan premaligna. Resiko terjadinya karsinoma pada Barrett esophagus adalah sampai 30-40 kali dibandingkan populasi normal. Sriktur esophagus Jika pasien mengeluh disfagia dengan diameter striktura kurang dari 13 mm, dapat dilakukan dilatasi busi (Hurst bougie, Maloney bougie, Savarry bougie, pneumatic bougie). Jika dilatasi busi gagal, dapat dilakukan operasi. Esophagus Barrett Esophagus Barrett dapat diobati secara medikamentosa. Berikut ini adalah algoritme penetalaksanaan Barrett esophagus pada pasien GERD: Terapi bedah Beberapa keadaan dapat menyebabkan gagalnay terapi medikamentosa, yaitu: 1) Diagnosis tidak benar. 2) Pasien GERd sering disertai gejala-gejala lain seperti rasa kembung, cepat kenyang dan mual-mual yang sering tidak meberikan respon dengan pengobatan PPI serta menutupi perbaikan gejala refluksnya. 3) Pada beberapa pasien, diperlukan waktu yang lebih lama untuk

menyembuhkan esofagitisnya. 4) Kadang-kadang beberapa kasus Barrett esophagus tidak meberikan respons tehadap terapi PPI. Begitu pula halnya dengan adenokarsinoma.

5) Terjadi striktura. 6) Terdapat statis lambung dan difungsi LES. Terapi bedah merupakan alternative yang penting jika terapi

medikamentosa gagal, atau pada pasien GERD dengan striktura berulang. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi. Terapi endoskopi Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam konteks penelitian, akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu: Pengunaan energy radiofrekuensi Plikasi gastric endoluminal Implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikan zat implant di bawah mukosa esophagus bagian distal, sehingga lumen esophagus bagian distal menjadi lebih kecil. Prognosis Biasanya prognosis GERD adalah baik (ad bonam) namun pada kasus kronik, GERD dapat menyebabkan keganasan pada sel-sel mukosa oesofagus.

Anda mungkin juga menyukai