Anda di halaman 1dari 2

20

1994). Pada saat sudah menjadi gula yang sederhana, mikroba akan lebih mudah menggunakan senyawa organik tersebut dan memproduksi metabolit yang menyebabkan penurunan pH. Penurunan pH ini akan menambah beban pekerja untuk menetralkan kembali pH air limbah sebelum memasuki kolam aerasi. Untuk mencegah adanya penyimpanan limbah yang terlalu lama, sebaiknya kedalaman dari bak pengendap dikurangi agar air dapat segera dipompakan ke kolam selanjutnya. Untuk kolam equalisasi, memiliki volume yang cukup dan tidak bermasalah dalam kedalaman sehingga air yang berada di kolam equalisasi dapat dengan cepat mengalir ke kolam selanjutnya ( aerasi I atau kolam cadangan). Sedangkan kolam cadangan dimaksudkan untuk tempat penampungan limbah ketika jumlah limbah terlalu banyak. Akan tetapi pada kenyataannya kolam cadangan tidak terpakai karena jumlah limbah yang tidak terlalu banyak. Selain itu, volume kolam cadangan yang terlalu besar mengakibatkan air yang berada pada kolam tersebut menjadi lebih lama tersimpan sebelum dapat mengalir ke kolam selanjutnya (aerasi I) sehingga pH air tersebut dapat menurun kembali. Hal ini ditakutkan akan mengganggu kinerja dari mikroba yang berada pada kolam aerasi I. Sehingga sampai saat ini, keberadaan kolam cadangan tidak terlalu dibutuhkan dan sebaiknya dikosongkan untuk mengurangi bau karena adanya penggunaan senyawa organik pada limbah oleh mikroba yang tidak diinginkan. Pada gambar 3.7 di bawah ini dapat dilihat kondisi kolam cadangan yang berisi air limbah yang sudah tersimpan lama sehingga memiliki warna yang gelap dan bau yang menyengat.

Gambar 3.7 Foto kondisi kolam cadangan yang berisi air limbah

21

Kolam aerasi I memiliki kedalaman dan volume yang cukup sehingga tidak terlalu bermasalah walaupun jumlah limbah tidak terlalu banyak yang menyebabkan waktu diam air lebih lama. Hal ini dikarenakan pada kolam aerasi I ini sudah terdapat mikroba yang digunakan untuk mengolah limbah serta terdapat aerator dalam jumlah yang mencukupi (3 buah) sehingga air limbah memperoleh tambahan oksigen dan tidak diam (seperti pada kolam cadangan). Berbeda dengan kolam aerasi I, kolam aerasi II walaupun diameternya lebih kecil, akan tetapi memiliki kedalaman yang lebih dalam dibandingkan dengan kolam aerasi I, yaitu 3,6 m. Kedalaman ini menjadi permasalahan karena aerator yang digunakan merupakan aerator yang hanya dapat menjangkau daerah permukaan sehingga daerah yang berada di lapisan bawah tidak terjangkau oleh aerator. Hal ini menyebabkan pemberian oksigen tidak merata ke seluruh bagian dan memungkinkan adanya zona anaerob. Zona anaerob ini dapat menghambat kinerja mikroba bahkan mungkin mengakibatkan kematian. Kematian ini ditandai dengan tidak terbentuknya lumpur, seperti yang terjadi pada kolam Aerasi II dan III sejak tanggal 22 Juni 2010 di mana air limbah menjadi berwarna kehitaman dan tidak adanya lumpur yang dihasilkan. Gambar 3.8 di bawah ini akan memperlihatkan kondisi di mana pada kolam aerasi II terjadi perubahan warna air limbah dari kecoklatan menjadi hitam yang kemungkinan diakibatkan oleh kurang meratanya transfer oksigen dan kondisi ini diperparah dengan meledaknya jumlah buih (Gambat 3.8 b) yang menghalangan masuknya cahaya matahari ke dalam air.

(a)

(b)

Gambar 3.8 Foto kondisi air limbah pada kolam aerasi II (a). air limbah berwarna hitam (b). ledakan buih pada kolam aerasi II

Anda mungkin juga menyukai