Anda di halaman 1dari 39

A.

JUDUL PENELITIAN Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3 Singaraja B. IDENTITAS PENELITI Nama NIM Jurusan : : : Gede Warsika 0713011053 Pendidikan Matematika

C. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat dewasa ini tidak lepas dari kemajuan matematika sebagai ilmu dasar. Hal ini karena matematika memiliki konsep pemikiran dan pemahaman yang terintegrasi dalam perkembangan ilmu, teknologi maupun pendidikan. Dengan demikian, lembaga pendidikan dituntut untuk meningkatkan kualitas pendidikan, terutama dalam hal ini adalah peningkatan kualitas pendidikan dibidang matematika. Salah satu indikator kualitas pendidikan dapat dilihat dari hasil belajar siswa di sekolah. Salah satu bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika di Indonesia adalah pemecahan masalah matematika. Seiring dengan perkembangan kurikulum pendidikan nasional, tujuan pembelajaran matematika di sekolah juga mengalami perubahan. Pada awalnya pembelajaran matematika sekolah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berhitung dan sebagai dasar untuk mempelajari ilmu yang lain, namun dewasa ini tujuan pembelajaran matematika sekolah telah bergeser pada empat tujuan utama yaitu: (1) Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, (2) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencobacoba, (3) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, dan (3) Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan. Sesuai dengan tujuan tersebut di atas selanjutnya diberikan lima kemampuan yang perlu diperhatikan dalam penilaian yaitu: pemahaman konsep, pemahaman prosedur, komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, memilih strategi penyelesaian,

menyelesaikan masalah, dan memeriksa kembali. Dalam hal ini pemecahan masalah kembali ditampilkan sebagai bagian yang penting dalam pembelajaran matematika. Meskipun kemampuan pemecahan masalah memiliki kedudukan yang sangat penting seperti paparan di atas, namun apa yang terjadi di sekolah selama ini jauh dari harapan. Pembelajaran matematika sekolah, terutama di SMP saat ini belum mampu mengembangkan keterampilan pemecahan masalah siswa. Kelemahan siswa SMP dalam pemecahan masalah juga ditunjukkan dengan belum mampunya siswa dalam menyelesaikan soal cerita dengan baik. Secara umum, siswa SMP masih menganggap bahwa pemecahan masalah (terutama masalah soal cerita) sulit untuk diselesaikan. Dari observasi awal berupa wawancara yang dilakukan dengan guru matematika di sana, dikatehui bahwa siswa kelas VIII diperoleh informasi bahwa siswa mengalami kesulitan dalam proses pemecahan masalah matematika. Hal ini tercermin dari data nilai ulangan matematika semester ganjil tahun ajaran 2009/2010 sebagai berikut : Kelas Kelas VIIIA Kelas VIIIB Kelas VIIIC Kelas VIIID Kelas VIIIE Kelas VIIIF Rata-rata nilai 55,25 57,9 60,35 59,47 55,4 60,35

(arsip SMP Negeri 3 Singaraja)

Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, hendaknya siswa senantiasa dilatih untuk menyelesaikan masalah-masalah matematika, tidak hanya terkait dengan solusi akhir melainkan juga proses dalam penemuan solusi tersebut. Memang penting dapat menemukan jawaban akhir suatu pemecahan masalah, tetapi yang lebih penting adalah cara (proses) dalam memecahkan masalah untuk memperoleh jawaban tersebut. Siswa sesering mungkin

dihadapkan pada masalah-masalah yang nonrutin sehingga terbiasa menggunakan langkah-langkah pemecahan masalah yang diberikan oleh Polya. Melalui obsevasi awal dan wawancara dengan guru matematika di SMP Negeri 3 Singaraja yang telah dilakukan peneliti diperoleh informasi bahwa pertama, kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja masih tergolong rendah. Dari informasi yang diberikan guru bersangkutan bahwa pembelajaran matematika yang dilaksanakan di kelas memang masih didominasi oleh guru. Kegiatan pembelajaran selalu diawali dengan menjelaskan materi, dilanjutkan dengan memberikan contoh soal, dan diakhiri dengan latihan soal yang biasanya bersesuaian dengan contoh soal sehingga pembelajaran belum mengarah pada proses belajar mengajar studentcenter. Guru sendiri mengakui bahwa dalam proses belajar mengajar sangat sulit melibatkan siswa secara aktif, dalam pembelajaran siswa hanya duduk, mendengarkan penjelasan guru baik itu berupa konsep-konsep maupun pemecahan soal-soal. Hal ini berakibat interaksi antar siswa maupun antara siswa dengan guru belum terjalin dengan maksimal. Jika permasalahan yang diberikan kepada siswa dimodifikasi dari contoh soal sebelumnya maka siswa sulit menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya tersebut. Guru telah berusaha mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Usaha yang dilakukan guru antara lain mendorong siswa untuk mengidentifikasi masalah secara teliti sebelum menjawab soal dan mengarahkan siswa agar menjawab secara bertahap. Usaha tersebut ternyata belum membuahkan hasil yang optimal. Ketika siswa dihadapkan pada sebuah masalah terkadang mereka kesulitan memahami permasalahan tersebut. Hal ini disertai dengan perencanaan penyelesaian masalah yang kurang terstruktur dan kemampuan menerapkan rencana penyelesaian yang kurang memadai. Selain itu tidak ada upaya untuk melihat kembali pekerjaan yang telah dilakukan. Kenyataan ini menyebabkan rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang akhirnya berdampak pada rendahnya prestasi belajar matematika siswa. Pembelajaran yang dilaksanakan memang belum sepenuhnya mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan siswa sehari-hari serta pengetahuan awal siswa. Guru menyadari sesungguhnya siswa telah membawa pemahaman sendiri

sebagai pengetahuan awal yang telah mereka miliki sebelumnya. Namun, kurangnya respon siswa menyebabkan guru kesulitan mengetahui penguasaan siswa terhadap materi prasyarat, apakah konsep yang dimiliki siswa sudah benar atau masih menyimpang, serta seberapa dalam pengetahuan awal yang dimiliki siswa, padahal hal-hal tersebut merupakan pijakan untuk melaksanakan proses pembelajaran selanjutnya. Masalah di atas merupakan masalah nyata sehingga penanganan mendesak, sebab jika kedua masalah tersebut dibiarkan maka akan berdampak pada prestasi belajar siswa secara keseluruhan. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan sebagai upaya perbaikan adalah menerapkan model pembelajaran creative problem solving disertai strategi scaffolding. Creative Problem Solving adalah suatu proses, metode, atau sistem untuk mendekati suatu masalah di dalam suatu jalan imajinatif dan menghasilkan suatu tindakan yang sangat efektif untuk menyelesaikannya. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Creative problem solving menggunakan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Menemukan masalah dari situasi-situasi yang akan menimbulkan masalah yaitu suatu usaha untuk mengidentifikasi suatu situasi yang menghadirkan suatu masalah. Ketika mendapatkan suatu situasi yang akan menghadirkan masalah, siswa menulis dalam ringkasan kecil yang dapat menangkap inti sari dari apa yang terjadi. Gagasan-gagasan siswa dibiarkan mengalir. 2. Menemukan data yaitu siswa mengidentifikasi semua fakta yang berhubungan dengan situasi yang dihadapi, untuk mencari dan mengidentifikasi situasi yang tidak diketahui tetapi penting situasi tersebut untuk diketahui dan dicari. Siswa mendaftar semua fakta yang berhubungan dengan situasi yang dihadapi dan sasaran yang diinginkan. Tujuannya adalah untuk mempunyai semua pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah sehingga siswa dapat mengidentifikasi dan menggambarkan kunci permasalahan. Kemudian, menggunakan divergent thinking untuk mengenal fakta. Kemudian daftar fakta-fakta yang didapat yang akan digunakan pada langkah berikutnya.

3. Menemukan kunci permasalahan yaitu siswa mengidentifikasi semua statemen-statemen masalah dan kemudian yang terpenting adalah mengisolasinya dan mencari dasar dari masalah tersebut. Kemudian siswa memilih statemen masalah yang paling utama, meninjau ulang semua statemen permasalahan tersebut dan kemudian memilih satu kombinasi atau statemen-statemen yang terbaik untuk menguraikan permasalahan lebih lanjut yaitu yang dapat memberikan manfaat ketika permasalahan itu akan dipecahkan. 4. Pengungkapan gagasan (ide) atau pendapat yaitu pada tahap ini siswa dibebaskan untuk mengungkapkan pendapat tentang berbagai macam strategi penyelesaian masalah. Siswa mengidentifikasi solusi sebanyakbanyaknya dari statemen-statemen masalah yang memungkinkan. 5. Evaluasi dan Pemilihan yaitu pada tahap evaluasi dan pemilihan ini, setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi mana yang cocok untuk menyelesaikan masalah. Menggunakan sebuah daftar untuk memilih solusi yang terbaik untuk ditindaklanjuti. 6. Implementasi yaitu pada tahap ini siswa menentukan strategi mana yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut. Menentukan rencana suatu kegiatan dan menerapkan solusi yang telah ditentukan (Mitchell, 1999). Model pembelajaran creative problem solving dengan disertai strategi scaffolding akan mendorong terciptanya suatu lingkungan belajar yang menyenangkan. Model pembelajaran creative problem solving dirancang untuk melakukan pemusatan pembelajaran keterampilan pemecahan masalah baru secara inovatif, memiliki pola pikir dan prilaku yang divergen, membantu siswa untuk memiliki sifat positif dalam belajar, dan memiliki kemampuan kerja sama baik dengan sesama teman maupun dengan guru selaku fasilitator, motivator dalam belajar. Kemampuan pemecahan masalah dapat dikembangkan dan diasah melalui langkah-langkah creative problem solving. Dengan strategi scaffolding akan menjadikan peran seorang guru sebagai pembimbing di dalam proses penyelesaian soal yang berupa masalah yaitu peran guru hanya sebagai penyedia

bantuan yang berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan dapat lebih dimengerti oleh siswa dan pemberian itu tidak senantiasa dilakukan terus-menerus dalam setiap proses pembelajaran, bantuan itu akan dikurangi dikit demi sedikit dan sampai pada batas siswa diyakini oleh guru mempunyai kemampuan yang cukup untuk lebih mandiri di dalam menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan maka bantuan itu akan ditiadakan. Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian berjudul Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja D. RUMUSAN PENELITIAN Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1. Adakah Pengaruh model pembelajaran creative problem solving dengan strategi scaffolding terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja? 2. Bagaimana tanggapan siswa kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja terhadap penerapan model pembelajaran creative problem solving dengan strategi scaffolding? E. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk: 1. Mengetahui Pengaruh model pembelajaran creative problem solving dengan strategi scaffolding terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja. 2. Mengetahui tanggapan tanggapan siswa kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja terhadap penerapan model pembelajaran creative problem solving dengan strategi scaffolding.

F. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang positif terhadap pengembangan pembelajaran matematika. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Manfaat bagi siswa Penerapan model pembelajaran creative problem solving dengan strategi scaffolding dapat meningkatkan kemampuan pemecahan maslah matematika siswa karena siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan mengajukan masalah-masalah. Siswa juga akan termotivasi untuk mengerjakan tugas-tugas karena setiap individu memiliki tanggung jawab yang sama terhadap kelompoknya. Pembentukan kelompok yang heterogen akan membuat siswa dapat berdiskusi dengan anggota kelompoknya. 2. Manfaat bagi guru Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan alternative pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dalam suatu unit pelajaran. 3. Manfaat bagi sekolah Pembelajaran yang dirancang dapat dijadikan bahan masukan bagi sekolah untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa secara keseluruhan. G. TINJAUAN PUSTAKA G.1 Pembelajaran Matematika Menurut Teori Konstruktivis Terdapat 3 penekanan dalam teori pembelajaran krontruktivis seperti yang dikemukakan Tasker (dalam Hamzah, 2002) sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian pengetahuan secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Menurut pandangan konstruktivis belajar pada hakikatnya merupakan modifikasi gagasan-gagasan yang telah ada pada diri

siswa. Proses belajar siswa melalui konstruksi dan elaborasi skema-skema atas dasar pengalaman dan melibatkan interaksi antara penetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam teori belajar konstruktivis, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Bodner (1986) mengatakan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran pebelajar berdasarkan pengetahuan awalnya. Karena itu pengetahuan awal siswa merupakan hal yang penting dalam suatu pembelajaran. Siswa harus aktif membangun pengetahuannya berdasarkan struktur kognitifnya, sedangkan guru membantu agar proses konstruksi itu berjalan sehingga siswa dapat membentuk pengetahuannya. Peran siswa dalam pembelajaran dengan filosofi konstruktivisme sangat diutamakan. Siswa diberikan kesempatan untuk mengungkapkan pemikirannya/idenya sendiri. Guru membantu agar informasi lebih bermakna dan relevan bagi siswa dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide dan menyadarkan siswa untuk menggunakan strategi-strategi yang dimiliki untuk belajar. Von Glasersfeld (dalam Sadia, 1998) menyatakan bahwa dalam interaksi belajar mengajar di kelas, guru perlu memperhatikan perbedaan pendapat individu antar siswa dan memberikan penghargaan terhadap setiap gagasan siswa. Sebagai implikasi dari konseptualisasi ini, maka pikiran siswa harus dipandang sebagai jaringan ide-ide yang kaya dan bervariasi. Nickson (dalam Ardana, 2000 : 11) menyatakan bahwa pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivisme adalah membantu pebelajar untuk membangun konsep-konsep atau prinsip-prinsip itu terbangun kembali melalui transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep atau prinsip baru. Dalam pembelajaran konstruktivis siswa dituntut aktif dalam pembentukan dengan lancar. Suparno (1997) menyatakan bahwa proses konstruksi pengetahuan bercirikan antara lain sebagai berikut. struktur kognitifnya dengan guru bertindak sebagai pengarah/penuntun agar proses pembentukan struktur kognitifnya itu berjalan

1)

Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang telah mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah siswa miliki.

2)

Konstruksi pengetahuan adalah proses yang terus menerus. Setiap berhadapan dengan fenomena atau persoalan baru, diadakan rekonstruksi baik secara kuat atau lemah.

3) Belajar

Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih dari suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru. bukanlah hasil pengembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (fosnot, 1996), suatu perkembangan yang menurut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.

4)

Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar. Ciri-ciri di atas memberikan acuan bahwa dalam penbelajaran

matematika, setiap siswa harus mengkonstruksi pengetahuanya sendiri dan mempunyai cara sendiri untuk mengerti serta mengetahui kekhasan dalam dirinya termasuk keunggulan dan kelemahannya dalam memahami sesuatu. Ini berarti siswa yang aktif berpikir, merumuskan konsep dan mengambil makna. Peran guru disini adalah membantu supaya proses konstruksi itu berjalan agar siswa membentuk pengetahuannya (Parwati dkk, 2000). Sedangkan agar lebih spesifik, Hudoyo (1998) mengatakan pembelajaran matematika menurut pandangan konstrukstivis antara lain dicirikan sebagai berikut. 1) Siswa terlibat aktif dalam belajarnya. Siswa belajar materi matematika secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Siswa belajar bagaimana belajar itu. 2) Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain sehingga menyatu dengan skemata yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap informasi (materi) komplek terjadi.

3)

Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang ada pada dasarnya adalah pemecahan masalah. Selain penekanan aspek dan dalam tahap-tahap kaitannya tertentu dengan yang perlu

diperhatikan dalam teori belajar konstruktivis, Hanbury (dalam Hamzah : 2002) mengemukakan sejumlah pembelajaran matematika yaitu : (1) Siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) Matematika menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) Strategi siswa lebih bernilai, dan (4) Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya. Berdasarkan beberapa pandangan di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika adalah membangun/pembentukan pengetahuan. Pembentukan pengetahuan inilah ytang harus dibuat sendiri oleh siswa. Siswa diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka berdasarkan pengetahuan awalnya G.2 Model Pembelajaran Creative Problem Solving Model Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan ketrampilan. Creative problem solving dapat dipecah menurut masing-masing pengertian setiap katanya yaitu: Creative adalah suatu gagasan yang mempunyai suatu unsur corak atau ciri baru atau keunikan, siapa yang menciptakan solusi dan juga mempunyai kaitan dan nilai. Problem adalah situasi yang menghadirkan suatu tantangan, suatu kesempatan, atau suatu perhatian atau suatu dituasi yang tak jelas jalan pemecahannya yang mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk menemukan jawabannya. Solving adalah jalan pemikiran untuk menjawabnya, titik temu untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh karena itu, Creative Problem Solving adalah suatu proses, metode, atau system untuk mendekati suatu masalah di dalam suatu jalan imajinatif dan menghasilkan suatu tindakan yang sangat efektif untuk menyelesaikannya. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa

10

dipikir,

keterampilan

memecahkan

masalah

memperluas

prosesberpikir

(Mitchell,1999). Suatu soal yang dianggap sebagai masalah adalah soal yang memerlukan keaslian berpikir tanpa adanya contoh penyelesaian sebelumnya. Masalah berbeda dengan soal latihan. Pada soal latihan, siswa telah mengetahui cara menyelesaikannya, karena telah jelas antara hubungan antara yang diketahui dengan yang ditanyakan, dan biasanya telah ada contoh soal. Pada masalah siswa tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya, tetapi siswa tertarik dan tertantang untuk menyelesaikannya. Siswa menggunakan segenap pemikiran, memilih strategi pemecahannya, dan memproses hingga menemukan penyelesaian dari suatu_masalah_(Suyitno,2000:33). Creative problem solving menggunakan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Menemukan masalah dari situasi-situasi yang akan menimbulkan masalah yaitu suatu usaha untuk mengidentifikasi suatu situasi yang menghadirkan suatu masalah. Ketika mendapatkan suatu situasi yang akan menghadirkan masalah, siswa menulis dalam ringkasan kecil yang dapat menangkap inti sari dari apa yang terjadi. Biarkan gagasan-gagasan dan pendapat siswa mengalir sehingga menemukan inti sari dari masalah itu. 2. Menemukan data yaitu siswa mengidentifikasi semua fakta yang berhubungan dengan situasi yang dihadapi, untuk mencari dan mengidentifikasi situasi yang tidak diketahui tetapi penting situasi tersebut untuk diketahui dan dicari. Siswa mendaftar semua fakta yang berhubungan dengan situasi yang dihadapi dan sasaran yang diinginkan. Tujuannya adalah untuk mempunyai semua pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah sehingga siswa dapat mengidentifikasi dan menggambarkan kunci permasalahan. Kemudian, menggunakan divergent thinking untuk mengenal fakta. Kemudian daftar fakta-fakta yang didapat yang akan digunakan pada langkah berikutnya. 3. Menemukan kunci permasalahan yaitu siswa mengidentifikasi semua statemen-statemen masalah dan kemudian yang terpenting adalah mengisolasinya dan mencari dasar dari masalah tersebut. Kemudian siswa memilih statemen masalah yang paling utama, meninjau ulang semua

11

statemen permasalahan tersebut dan kemudian memilih satu kombinasi atau statemen-statemen yang terbaik untuk menguraikan permasalahan lebih lanjut yaitu yang dapat memberikan manfaat ketika permasalahan itu akan dipecahkan. 4. Pengungkapan gagasan (ide) atau pendapat yaitu pada tahap ini siswa dibebaskan untuk mengungkapkan pendapat tentang berbagai macam strategi penyelesaian masalah. Siswa mengidentifikasi solusi sebanyakbanyaknya dari statemen-statemen masalah yang memungkinkan. Sehingga siswa tidak merasa tertekan saat pembelajaran berlangsung, pendapat siswa dihargai. 5. Evaluasi dan Pemilihan yaitu pada tahap evaluasi dan pemilihan ini, setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi mana yang cocok untuk menyelesaikan masalah. Menggunakan sebuah daftar untuk memilih solusi yang terbaik untuk ditindaklanjuti. 6. Implementasi yaitu pada tahap ini siswa menentukan strategi mana yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut. Menentukan rencana suatu kegiatan dan menerapkan solusi yang telah ditentukan. (Mitchell, 1999). Dengan membiasakan siswa menggunakan langkah-langkah yang kreatif dalam memecahkan masalah, diharapkan dapat membantu siswa untuk mengatasi kesulitan dalam mempelajari matematika. Siswa akan terbiasa jika menghadapi permasalahan-permasalahan matematika dan dengan creative problem solving ini, siswa akan lebih mudah di dalam mengidentifikasikan masalah dan menyelesaikannya. Dengan langkah-langkah creative problem solving (CPS) yang dipaparkan di atas, kebingungan siswa saat menghadapi masalah matematika setidaknya akan dapat dikurangi dan pada akhirnya siswa terbiasa untuk menghadapi masalah matematika kemudian menyelesaikannya dengan suatu urutan penyelesaian yang terstruktur.

12

Bagan dari creative problem solving secara keseluruhan dapatdiperlihatkan sebagai berikut :
Situasi yang Situasi yang menghadirkan masalah menghadirkan masalah

Menemukan data Menemukan data


Divergent Thinking Menemukan kunci Menemukan kunci masalah masalah Menemukan ide (gagasan) Menemukan ide (gagasan)

Evaluasi dan Pemilihan Evaluasi dan Pemilihan solusi solusi Konverge n Thinking

Rencana kegiatan Rencana kegiatan selanjutnya selanjutnya (implementasi) (implementasi)

(William E. Mitchell : 1999) Dari uraian sintaks di atas nampak bahwa siswa akan berposisi sebagai pencari pengetahuan, dalam artian mereka secara aktif dilibatkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Jadi dengan melaksanakan proses pembelajaran berdasarkan sintaks di atas, dapat dilihat bahwa melalui proses pembelajaran tersebut siswa akan terlatih untuk bernalar, memecahkan masalah dengan menggunakan konsep-konsep yang telah dikuasainya untuk memecakan masalah yang diberikan. Proses pembelajaran ini sangat relevan dengan tuntutan KTSP yang menekankan pengembangan, kompetensi dasar dan pemahaman konsep. Disamping sintaks di atas, model creative problem solving juga memiliki

13

komponen yang lain diantaranya sistem sosial, prinsip reaksi, dampak instruksional dan dampak pengiring. Dalam sistem sosial model ini, pola hubungan guru dan siswa tergolong tinggi. Perilaku guru dan siswa adalah guru bertindak sebagai fasilitator, pemberian informasi, teman berpikir dan pembimbing. Minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan. Komponen selanjutnya adalah prinsip reaksi guru terhadap siswa, dimana prilaku guru sebagai berikut : a. Pembuka prilaku belajar pemecahan masalah b. Konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran ini ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah. Selain itu, model creative problem solving ini memiliki dampak instruksional yaitu siswa memiliki pemahaman, keterampilan, berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, keterampilan menggunakan pengetahuan secara bermakna. Dampak pengiringnya adalah hakekat tentatif keilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin. Peraturan-peraturan dasar dari creative problem solving a. Untuk mengefektifkan pengungkapan pendapat: 1. Kwantitas adalah diperlukannya suatu originalitas untuk kelancaran datangnya suatu gagasan 2. Keadaan bebas yang tak terhambat membangkitkan datangnya suatu gagasan 3. Semua gagasan (ide) dapat diterima 4. Kombinasi dan improvement 5. Untuk merangsang datangnya gagasan : penggantian, kombinasi, penyesuaian, modifikasi, memperbesar, memperkecil, letakkan pada penggunaan uang lain, menghapus, membalikkan. b. Untuk mengefektifkan pemikiran yang divergen : 1. Menunda keputusan

14

2. Mencari banyak ide 3. Menerima semua gagasan (ide) 4. Membuat diri siswa regang dari gagasan-gagasan yang didapat 5. Memberikan beberapa saat agar ide menjadi cemerlang 6. Mencari kombinasinya c. Untuk mengefektifkan pemikiran yang konvergen : 1. Tidak tergesa-gesa 2. Tegas 3. Jangan cepat menyimpulkan jika masih terlalu prematur 4. Mencari yang disukai 5. Kembangkan keputusan yang dipilih 6. Jangan menyimpang dari tujuan (William E. Mitchell : 1999) Jika dilihat dari komponen-komponen model di atas dapat dikatakan setiap komponen sangat mendukung pelaksanaan KTSP, karena dari uraian di atas tampak bahwa siswa yang aktif di dalam proses belajar. Siswa dibuat untuk berperan aktif dan tanpa dipaksakan untuk mengikuti cara yang dimiliki guru sehingga akan tumbuh kemampuan bernalar sesuai dengan potensinya sendiri, serta guru tidak lagi berperan sebagai pemberi informasi atau pengetahuan melainkan lebih cenderung sebagai fasilitator yang berupa mendorong siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan berupa permasalahan matematika sesuai dengan cara atau potensinya sendiri. G.3 Strategi Scaffolding dalam Pembelajaran Matematika Salah satu dari teori Vygotsky adalah Scaffolding. Scaffolding berarti memberikan kepada sekolompok siswa sejumlah bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri (Slavin, 1993). Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky dalam Scaffolding mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai

15

keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding berarti upaya guru untuk membimbing siswa dalam upaya mencapai suatu keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum (Vygotsky,1978 :5). Ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan (Howe & Jones, 1993). Pertama, adalah perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strtategi pemecahan masalah yang efektif. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding, dengan semakin lama siswa semakin bertanggung jawab terhadap pembelajaran sendiri. Ringkasnya, menurut teori Vygotsky, siswa perlu belajar dan bekerja secara berkelompok sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan diperlukan bantuan guru terhadap siswa dalam kegiatan pembelajaran agar segala kesulitankesulitan siswa dapat diatasi (pemberian bantuan ini disesuaikan dengan pengertian dari Scaffolding di atas yaitu guru memberikan bantuan hanya sebatas berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain dan semakin lama guru mengharapkan siswa dapat mengerjakan secara mandiri sehingga pemberian bantuan dapat dikurangi dan terlebih ditiadakan). Dalam memecahkan masalah matematika, posisi guru adalah sebagai penawar bantuan berupa keterampilan jika diperlukan oleh siswa yang bermasalah. Guru memberi bantuan hanya sebatas berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain dan penting sekali memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan masalah yang diberikan secara mandiri sehingga pembelajaran ini dapat membuat siswa aktif. Harus diingat bahwa peran guru di sini juga adalah memelihara kondisi siswa dalam mengerjakan masalah-masalah yang diberikan tanpa tekanan, menghindari rasa frustasi siswa dan menghindari kebosanan siswa. Lange (2002) berpendapat, ada dua langkah utama yang terlibat di dalam strategi scaffolding yaitu : (1) pengembangan rencana instruksional untuk memimpin siswa dari apa yang telah mereka ketahui ke suatu pemahaman lebih dalam terhadap materi baru. (2) pelaksanaan rencana, guru menyediakan

16

pendukung kepada siswa pada setiap langkah untuk memecahkan masalah dalam proses pembelajaran. Dalam proses scaffolding , terdapat lima ciri yang dapat diidentifikasikan secara spesifik yang akan membantu siswa untuk menyerap pengetahuan sampai terjadinya suatu penguasaan (Applebee dan Langer ; 1983). Seperti yang dikutip oleh Zhao dan Orey (1999), identifikasi kelima ciri itu adalah sebagai: 1. Intentionality Suatu tugas mempunyai tujuan yang jelas yang akan mengendalikan segala aktivitas yang terpisah dan keseluruhan. 2. Appropriateness (kepantasan) Suatu tugas yang bersifat masalah yang dapat dipecahkan dengan bantuan guru tetapi siswa tidak dapat menyelesaikannya dengan sukses tanpa bantuan guru. Sampai siswa mempunyai kemampuan yang cukup dan dapat mengerjakannya secara mandiri. 3. Struktur Aktivitas peragaan dan tanya jawab merupakan bagian dari suatu model pendekatan, dimana model yang digunakan disesuaikan dengan tugas yang diberikan dan diharapkan dengan tugas ini dapat mendorong siswa ke arah suatu urutan bahasa dan pemikiran yang alami dan terstruktur. 4. Kerja sama (collaboration) Guru memberikan tanggapan terhadap tugas yang telah dibuat oleh siswa dimana guru tidak bersifat evaluatif namun guru hanya bersifat kolaboratif dengan jalan memperluas kembali pengetahuan siswa berdasarkan tugas yang telah dikerjakannya dan menghargai apa yang siswa sudah kerjakan. 5. Internalization Pada eksternal scaffolding, guru secara perlahan-lahan mengurangi pemberian bantuan kepada siswa sampai siswa mempunyai pola teladan di dalam dirinya sehingga siswa dapat mandiri. berperan untuk pencapaian secara

17

Zhao dan Orey (1999) mengidentidikasi enam unsur-unsur umum proses scaffolding : sharing a specific goal, whole task approach, immediate availability of help, intention-assisting, optimal level of help, conveying an expert model. 1. Sharing A Specific Goal Tanggung jawab seorang guru untuk menetapkan target yang ingin dicapai. Minat siswa harus ditumbuhkan sehingga guru dapat berkomunikasi dengan siswa dan mencapai intersubjektivas (berbagi niat, persepsi, konsepsi dan perasaan) (Zhao dan Orey, 1999). Guru harus melakukan beberapa preassessment menyangkut siswa dan kurikulum. Prestasi hasil sasaran kurikulum yang direncanakan oleh guru dengan mempertimbangkan kebutuhan dari setiap siswa. Guru hendaknya mempertimbangkan siswa yang memiliki keunikan dalam artian siswa yang memiliki kelemahan 2. Who Task Approach Dalam pemberian tugas yang harus diperhatikan adalah focus dari tujuan pemberian tugas yaitu penekanan suatu proses dalam penyelesaian tugas. Pemberian tugas (masalah) akan lebih efektif jika siswa tidak mengalami kesulitan ekstrim dalam mengerjakan tugas tersebut (menekankan keterampilan yang dilakukan di dalam menyelesaikan tugas) sehingga tujuan dari pemberian tugas kepada siswa dapat dicapai secara maksimum. 3. Immediate Availability Of Help Pemberian bantuan kepada siswa sangatlah penting, ini berguna untuk membantu mengendalikan rasa prustasi siswa di dalam mengerjakan tugas yang diberikan. Lebih efektif jika guru memberikan bantuan sesegera mungkin dan tepat waktu sehingga siswa dapat meneruskan tugasnya ke langkah selanjutnya. 3. Intention-Assisting Inti dari proses scaffolding adalah untuk menyediakan bantuan kepada siswa, yaitu membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh siswa dalam mengerjakan tugas yang diberikan. Bagaimanapun sangatlah penting untuk memberikan bantuan secara optimal kepada siswa yang mengalami kesulitan di dalam mengambil strategi yang harus diambil untuk menyelesaikan tugasnya.

18

Tugas guru yang lainnya adalah memelihara minat siswa dalam mengerjakan tugas yang diberikan sehingga dapat mendorong keterampilan siswa ke tingkat pemikiran yang lebih tinggi. 5. Optimal Level Of Help Apa yang dapat dilakukan siswa harus disesuaikan dengan tingkat penyajian bantuan. Siswa diberikan bantuan secara efektif untuk mengatasi permasalahan-permasalahan dalam mengerjakan tugas. Dengan kata lain, bantuan hanya diperlukan dalam mengerjakan tugas yang tidak dapat diselesaikan siswa. Tidak ada intervensi yang mengharuskan siswa untuk menyelesaikan tugas secepatnya jika siswa mengalami kesulitan dalam pengerjaannya. Bagaimanapun, jika siswa kurang memiliki keterampilan atau siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas maka guru perlu mendemonstrasikan materi itu kembali. 6. Conveying An Expert Model Seorang guru dapat memberikan contoh yang tegas/eksplisit pemaparan tugas yang jelas sehingga tidak ada kerancuan dalam instruksi-instruksi yang diberikan oleh guru. Poin-poin yang harus diperhatikan pada saat menerapkan strategi scaffolding, Larking (2002) mengatakan bahwa para guru dapat mengikuti beberapa teknik scaffolding yang sangat efektif yaitu dengan mendorong kepercayaan siswa. Pertama, perkenalkan para siswa dengan masalah yang tidak dapat dikerjakannya dan berikan sedikit bantuan. Hal ini akan meningkatkan rasa percaya diri dari siswa. Berikan bantuan yang cukup untuk memberikan kesempatan kepada para siswa dalam mencapai penguasaan materi. Hal ini akan dapat menghindarkan rasa prustasi siswa, mengukur dan memastikan bahwa siswa mampu mengikuti langkah berikutnya. Scaffolding harus dipindahkan secara berangsur-angsur dan kemudian memindahkan sepenuhnya kepada siswa dalam menyelesaikan suatu masalah ketika siswa dirasa sudah memperlihatkan penguasaan suatu masalah. G.4 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Suatu pertanyaan merupakan suatu masalah jika seseorang tidak mempunyai aturan atau hukum tertentu yang dapat digunakan untuk menemukan

19

jawaban pertanyaan tersebut (Suherman, dkk, 2003). Suatu pertanyaan merupakan suatu masalah bagi siswa, tetapi belum tentu pertanyaan tersebut merupakan masalah bagi siswa yang lain. Jadi pertanyaan merupakan suatu masalah tergantung kepada individunya. Adanya masalah menuntut seseorang memiliki kemampuan pemecahan masalah. Pemecahan masalah matemtika adalah keterampilan siswa dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah (umumnya berbentuk essay). Kemampuan anak dalam memecahkan masalah sangat terkait dengan tingkat perkembangan mereka sehingga masalah-masalah yang diberikan kepada siswa haruslah dapat diterima oleh siswa tersebut. Jadi pertanyaan itu harus sesuai dengan struktur kognitif siswa. Dipertegas kembali oleh Polya (Suherman,2003) mendefinisikan kemampuan pemecahan masalah matematika sebagai kemampuan memberikan penyelesaian terhadap masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran dengan melalui empat langkah fase penyelesaian, yaitu memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa kembali. Perry dan Controy (dalam Sutawidjaja, 1998:9) mengemukakan beberapa kiat yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah yaitu: a. siswa harus diberanikan untuk menerima ketidaktauan dan merasa senang untuk mencari tahu; b. setiap siswa dalam kelompok harus diberanikan untuk membuat soal atau pertanyaan; c. siswa diperbolehkan memilih masalah-masalah dari sejumlah masalah yang diberikan; dan d. siswa harus diberikan untuk mengambil resiko dan mencari alternative Lebih jauh, Perry dan Controy (dalam Sutawidjaja), 1998 :9) juga mengemukakan beberapa hal yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah yakni : (a) guru harus sadar akan sikap positif dan cara-cara yang mengembangkan hal itu;

20

(b) guru harus berani mencari dan mengembangkan keterampilan siswa dalam memecahkan masalah; (c) guru harus mencari masalah yang menarik yang sering muncul secara spontan; (d) guru perlu memperjelas situasi belajar dengan bertanya untuk menggalakkan jawaban dari penyajian siswa; (e) guru harus mau membiarkan pemecahan suatu masalah menurut persepsi siswa walaupun mempunyai arah yang berbeda dengan yang direncanakan; dan (f) masalah tidak harus selalu diselesaikan oleh siswa. Masalah dapat dilontarkan sebagai awal penyajian materi baru. Pemecahan masalah merupakan kegiatan yang paling penting dalam pengajaran matematika, sebab kemampuan pemecahan masalah yang diperoleh dalam suatu pelajaran matematika pada umumnya dapat di transfer untuk digunakan dalam memecahkan masalah lain (Bell dalam Eka Mahendra 2005). Sukasno (2002 dalam Aryana 2006) menyatakan masalah merupakan suatu tugas bagi siswa untuk memecahkan soal-soal ataupun tugas-tugas yang diberikan kepadanya dengan melibatkan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Pemecahan masalah secara sederhana merupakan proses penerimaan masalah sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kemampuan pemecahan masalah harus dimiliki siswa, kemampuan tersebut akan terwujud jika guru mengajarkan bagaimana memecahkan masalah yang efektif. Di dalam menyelesaikan masalah, siswa diharapkan memahami proses penyelesaian masalah yang diberikan dan menjadi terampil di dalam memilih dan mengidentifikasikan kondisi dan konsep yang relevan, mencari generalisasi, merumuskan rencana penyelesaian dan mengorganisasikan keterampilan yang telah dimilikinya. Menurut Polya (dalam Suherman 2003), dalam memecahkan masalah terdapat empat langkah penting yang harus dilakukan yaitu: 1. Memahami masalah yaitu apa yang dicari, apa yang diketahui, apa syarat-syarat bias dipenuhi dan cukup untuk mencari yang tidak diketahui, membuat gambar atau grafik.

21

2.

Merencanakan pemecahannya yaitu apakah soal tersebut sudah pernah dilihat sebelumnya, apakah masalah yang sama pernah dilihat dalam bentuk yang berbeda, apakah tahu teorema yang mungkin berguna, memperhatikan unsur yang tidak diketahui dan memikirkan soal yang sudah dikenal yang mempunyai unsur yang tidak diketahui yang sama.

3. Menyelesaikan

masalah

sesuai

rencana

langkah

kedua

yaitu

merencanakan penyelesaiannya, mengecek setiap langkah, apakah langkah sudah benar. 4. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh yaitu mengecek hasilnya, dapatkah hasil itu didapat dengan cara yang lain. Keempat tahap pemecahan masalah dari Polya tersebut merupakan kesatuan yang sangat penting untuk dikembangkan Kemampuan pemecahan masalah matematika merupakan utama yang harus dimiliki siswa ketika mereka meninggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan aktivitas di dunia nyata. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa sangat berguna untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. H. Kerangka Berpikir Kemampuan pemecahan masalah menyangkut kemampuan

individu atau kelompok menerapkan langkah-langkah pemecahan masalah dalam upaya menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya untuk memenuhi tuntunan situasi yang tak jelas jalan pemecahannya. Suatu kondisi yang mendukung terlaksananya kegiatan pemecahan masalah adalah keinginan atau ketertarikan siswa terhasap masalah yang dihadapinya. Jacobson, Lester, dan Stengel (dalam Sukasno,2002 :25), mengajukan tiga prinsip dasar agar siswa tertarik untuk menyelesaikan masalah yaitu: 1. 2. Berikan kepada siswa pengalaman langsung, aktif, dan berkesinambungan dalam menyelesaikan soal-soal beragam. Ciptakan hubungan yang positif antara minat siswa dalam menyelesaikan soal dengan keberhasilan mereka; dan

22

3.

Ciptakan hubungan yang akrab antara siswa, permasalahan, perilaku pemecahan masalah, dan suasana kelas Model pembelajaran creative problem solving dengan disertai

strategi scaffolding

telah memuat ketiga prinsip tersebut sehingga akan

mendorong terciptanya suatu lingkungan belajar yang menyenangkan. Model pembelajaran creative problem solving dirancang untuk melakukan pemusatan pembelajaran keterampilan pemecahan masalah baru secara inovatif, memiliki pola pikir dan prilaku yang divergen, membantu siswa untuk memiliki sifat positif dalam belajar, dan memiliki kemampuan kerja sama baik dengan sesama teman maupun dengan guru selaku fasilitator, motivator dalam belajar. Seperti diketahui bersama-sama yaitu dalam proses pembelajaran, terlebih pembelajaran yang memusatkan kepada penguatan keterampilan pemecahan masalah, seorang guru di sini bertindak sebagai fasilitator dan moderator. Dalam pembelajaran ini siswa memiliki lebih banyak kesempatan melatih keterampilannya dalam langkahlangkah pemecahan masalah, siswa dihadapkan pada masalah-masalah yang dekat dengan kehidupannya, siswa diberikan kesempatan mengkomunikasikan dan mendiskusikan hasil pekerjaannya dengan teman, dengan demikian keterampilan pemecahan masalah siswa akan semakin terasah dan pada akhirnya diharapkan mampu mencapai keterampilan pemecahan masalah yang diinginkan. Pembelajaran matematika dengan menerapkan model pembelajaran creative problem solving disertai strategi scaffolding akan menciptakan lingkungan belajar yang bebas dari tekanan dan ancaman. Kemampuan pemecahan masalah dapat dikembangkan dan diasah melalui langkah-langkah creative problem solving. Namun suatu pembelajaran terlebih yang menitik beratkan pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah tidak akan dapat berjalan dengan lancar jika membiarkan siswa hanya bekerja sendirian dalam menyelesaikan soal-soal matematika yang berupa masalah sehingga sangat diperlukan peran seorang guru sebagai pembimbing di dalam proses penyelesaian soal yang berupa masalah namun perlu digaris bawahi yaitu peran guru hanya sebagai penyedia bantuan yang berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan dapat lebih dimengerti oleh siswa dan pemberian itu tidak senantiasa dilakukan terus-menerus

23

dalam setiap proses pembelajaran, bantuan itu akan dikurangi dikit demi sedikit dan sampai pada batas siswa diyakini oleh guru mempunyai kemampuan yang cukup untuk lebih mandiri di dalam menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan maka bantuan itu akan ditiadakan. Jadi, model pembelajaran creative problem solving akan dapat berjalan dengan lancar dan mencapai hasil yang optimal jika disertai dengan strategi pembelajaran scaffolding yaitu memberikan kepada sekelompok siswa sejumlah bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran yaitu berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang lebih mudah dipahami oleh siswa dan kemudian mengurangi bantuan tersebut sehingga memberikan kesempatan kepada siswa mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah siswa diyakini mampu mengerjakannya sendiri (Slavin, 1993). Proses itu dapat digambarkan melalui bagan sebagai berikut :
Situasi yang menghadirkan Situasi yang menghadirkan masalah masalah

Menemukan data Menemukan data


Divergent

Thinking
Menemukan kunci Menemukan kunci

masalah masalah

Strategi scaffoding

Menemukan ide Menemukan ide (gagasan) (gagasan)

Evaluasi dan Pemilihan Evaluasi dan Pemilihan solusi solusi

Semakin lama semakin berkurang dan akhinya menghilang

Rencana kegiatan Rencana kegiatan selanjutnya selanjutnya (implementasi) (implementasi)

Konverge n Thinking

24

Dapat dilihat bagan di atas bahwa model creative problem solving disertai strategi scaffolding sangat cocok diterapkan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat betapa pentingnya Implementasi Model Pembelajaran Creative Problem Solving disertai strategi Scaffolding untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja I. Hipotesis Dari kajian teoritis di atas maka dapat dirumuskan suatu hipotesis tindakan sebagai berikut: Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding Berpengaruh positif terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja J. METODE PENELITIAN J.1. Populasi Penelitian "Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian" (Arikunto, 2002: 108). Sehingga yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Singaraja Semester Genap Tahun Ajaran 2009/2010. Banyaknya anggota populasi dalam penelitian ini adalah 240 siswa yang tersebar ke dalam 6 kelas dan sebaran siswa untuk masing-masing kelas adalah seperti tabel berikut. Tabel Sebaran Anggota Populasi Penelitian No 1 2 3 4 5 6 Sumber Populasi Kelas VIIIA Kelas VIIIB Kelas VIIIC Kelas VIIID Kelas VIIIE Kelas VIIIF Jumlah Siswa 38 41 39 39 42 41 (Sumber: TU SMP Negeri 3 Singaraja)

25

J.2. Sampel Penelitian "Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti" (Arikunto, 2002:109). Dalam penelitian ini sampel ditetapkan dari populasi dengan teknik purposive random sampling artinya sampel ditarik secara acak namun sebelumnya melalui pertimbangan tertentu dengan maksud agar bisa melakukan pengecekan terhadap kelas. Pertimbangan yang dimaksud yaitu kelas VIII A yang merupakan kelas unggulan dimana siswanya yang berkemampuan terbaik tidak ikut dirandom dalam penentuan sampel sedangkan siswa lainnya tersebar ke dalam 4 kelas secara merata sehingga keenam kelas lainnya dianggap setara. Bila dikaji secara lebih akurat berdasarkan kemampuan matematika yang ditunjukkan oleh nilai pada raport kelas VIII semester satu ternyata rata-rata kemampuan matematika siswa secara klasikalnya relatif setara. Selanjutnya sampel diambil dua kelas dari banyak kelas yang ada secara random melalui pengundian. Dari kedua kelas yang terpilih akan dirandom lagi dengan pengundian untuk menentukan kelompok eksperimen dan yang lainnya ditetapkan sebagai kelompok kontrol. Untuk memperoleh sampel yang lebih mendekati setara maka dari dua kelompok yang telah diperoleh diadakan proses mathcing atau tandingan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Sutrisno Hadi (dalam Mahendra, 2005) bahwa cara yang terbaik untuk menyeragamkan kedua kelompok adalah dengan memasangmasangkan individu dalam salah satu karakteristik atau kelompok sifat sebagai suatu keseluruhan, kemudian memilih dan menugaskan masing-masing dalam pasangan itu ke kelompok eksperimen dan ke kelompok kontrol. Adapun cara memasangkannya adalah sebagai berikut : 1. Nilai raport matematika siswa pada kelas VIII semester satu tiap siswa pada masing-masing kelompok diurut dari tinggi ke rendah, dengan tujuan mempermudah pemasangan antara dua kelompok dari populasi penelitian. 2. Pasangan individu dari satu kelompok pada kelompok yang lain diambil dengan cara sebagai berikut. Jika pada nilai tertentu pada setiap kelompok diisi oleh hanya seorang siswa, maka siswa tersebut langsung dipasangkan.

26

Jika pada suatu nilai tertentu masing-masing kelompok diisi oleh orang yang sama banyak, maka penentuan pasangan dari satu kelompok langsung dipasangkan dengan kelompok lain. Jika dari nilai tertentu salah satu kelompok mempunyai anggota yang lebih banyak dari kelompok yang lain, maka penentuan dari jumlah pasangan didasarkan pada banyaknya siswa dari kelompok yang lebih sedikit dan pasanganya sesuai dengan butir 2 diatas. 3. Siswa yang tidak memperoleh pasangan datanya tidak diikutkan dalam analisis. J.3. Variabel Penelitian Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2002 :96). Secara garis besar ada dua jenis variabel dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Yang menjadi variabel bebas adalah pembelajaran pembelajaran dengan model creative problem solving dalam pembelajaran matematika, sedangkan variabel terikatnya adalah hasil kemamuan pemecahan masalah matematika siswa. J.4. Rancangan Penelitian J.4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2010/2011 di SMP Negeri 3 Singaraja. Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe CIRC dengan strategi pengajuan masalah terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Dalam penelitian ini unit eksperimennya berupa kelas sehingga digunakan desain eksperimen semu. Dalam desain eksperimen semu penempatan subjek ke dalam kelompok yang dibandingkan tidak dilakukan secara acak. Individu subjek sudah ada dalam kelompok yang dibandingkan sebelum diadakannya penelitian. Desain eksperimen semu yang digunakan dalam penelitian ini adalah disain perbandingan kelompok statis. Desain ini diawali dengan pemilihan kelompok subjek atau kelas yang sudah terbentuk tanpa campur tangan peneliti. Kedua kelompok diberikan pre-test untuk mengetahui tingkat kemampuan dan penguasaan siswa terhadap materi yang akan diajarkan. Langkah selanjutnya

27

peneliti memberikan perlakuan eksperimental kepada salah satu kelompok subjek atau kelas (kelas eksperimen) berupa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe CIRC dengan strategi pengajuan masalah kepada kelas kontrol. Kemudian peneliti memberikan post test kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil post test dari kedua kelas kemudian dibandingkan. Dalam penelitian ini desain eksperimen semu yang digunakan adalah kelompok kontrol tidak sepadan (Selvila dkk, 1993:112). Langkah-langkah tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut. E K Keterangan E K X O1 O2 : Kelas eksperimen : Kelas kontrol : Perlakuan berupa penerapan Model pembelajaran kooperatif tipe CIRC : Pre-test : Post-test Dari gambar di atas terlihat semua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang yang diberi post test. Kelompok dipilih sebagaimana telah terbentuk dan tidak dilakukan pengacakan individu. Karena kelompok dipilih sebagaimana adanya, kemungkinan pengaruh-pengaruh dari keadaan subjek mengetahui dirinya dilibatkan dalam eksperimen dapat dikurangi sehingga penelitian ini dapat digambarkan perlakuan yang diberikan secara benar (Sevila dalam Wiguna, 2005) J.5. Prosedur Penelitian Untuk mengungkapkan secara tuntas mengenai permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, maka langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. O1 O1 X O2 O2

dengan strategi pengajuan masalah

28

a. Menentukan sampel penelitian yang berupa kelas dari populasi yang tersedia dengan cara melakukan pengundian. Sampel diambil empat kelas dari enam kelas yang ada. b. Dari empat kelas sampel yang sudah diperoleh akan diundi kembali untuk menentukan kelas yang diberikan perlakuan seting kelas kooperatif dengan strategi pengajuan masalah, kooperatif dengan teknik pertanyaan lisan, konvensional dengan strategi pengajuan masalah, dan konvensional dengan teknik pertanyaan lisan. c. Menyusun instrumen penelitian yang berupa tes essay untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. d. Mengonsultasikan instrumen penelitian dengan beberapa guru matematika dan dosen pendidikan matematika dan selanjutnya dilakukan uji coba tes kemampuan pemecahan masalah matematika. e. Menyiapkan rencana pembelajaran serta lembar kegiatan siswa. f. Memberikan perlakuan berupa penerapan model pembelajaran dan teknik penyampaian pesan pembelajaran pada masing-masing kelas. g. Memberikan posttest kepada kelas-kelas sampel secara bersamaan. h. Menganalisis hasil penelitian untuk menguji hipotesis yang diajukan. J.6. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini terdapat satu jenis data yang diperlukan yaitu data tentang kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Berdasarkan jenis data tersebut, maka instrumen yang dipakai untuk mengumpulkan data tentang kemampuan pemecahan masalah matematika ini disusun sesuai dengan tujuan pembelajaran dan materi yang dituntut dalam kurikulum yang dijabarkan kedalam kisi-kisi dan instrument (butir soal). Tes kemampuan pemecahan masalah yang digunakan adalah bentuk essay (uraian) atau tes tertulis yang berjumlah 10 butir. Tes yang digunakan adalah dalam bentuk essay karena dalam menjawab soal essay siswa dituntut mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Dari tes ini dikumpulkan data tentang kemampuan pemecahan masalah dengan menggunakan teknik penskoran yang dimodifikasi dari Suma (dalam Suarsa, 2005). Teknik pensekoran yang dimaksud disajikan dalam tabel berikut.

29

Tabel Teknik pemberian skor tahap-tahap pemecahan masalah Level Memahami masalah Membuat rencana Melaksanakan rencana Melihat kembali Karakteristik 0-3 02 03 0-2

Dari teknik penskoran di atas, secara rinci dapat dibuat rubric penskoran tes kemampuan pemecahan masalah seperti tertera pada tabel berikut Tahap Memahami masalah 2 Skor 3 Karakteristik Membuat apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dengan benar Membuat apa yang diketahui dengan benar tetapi membuat yang ditanyakan salah/ menyimpang, dan 1 0 Membuat rencana Melaksanakan rencana 2 1 0 2 2 1 0 3 sebaliknya Membuat apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan tetapi salah Tidak membuat apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan Menuliskan rencana penyelesaian dengan benar Menuliskan rencana penyelesaian tetapi menyimpang (salah) Tidak membuat / menuliskan rencana penyelesaian Melaksanakan penyelesaian sesuai dengan rencana dengan benar Melaksanakan penyelesaian sesuai dengan rencana tetapi salah Melaksanakan penyelesaian masalah tetapi tidak sesuai dengan rencana dan salah Tidak melaksanakan rencana Meneliti kembali hasil yang sudah diperoleh dan mengecek hasilnya *), penarikan kesimpulan 1 dengan baik dan benar Meneliti kembali hasil yang sudah diperoleh dan mengecek hasilnya*), penarikan kesimpulan tetapi 0 salah (dan tidak membuat kesimpulan) Tidak melakukan pengecekan kembali (tidak

Melihat Kembali

30

membuat kesimpulan) *) Dilihat dari penulisan langkah-langkah penyelesaian masalah yang sudah benar (perhitungannya) dan menunjukkan hasil yang tepat sesuai dengan keinginan soal. Setelah ditemukan hasil, siswa harus mampu menuliskan suatu kesimpulan dengan baik dan benar. Mengingat suatu instrumen penelitian akan dikatakan baik jika sudah memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliabel (Arikunto, 1998:160). Uji coba instrumen penelitian dilakukan untuk mendapat gambaran secara empirik apakah instrumen hasil belajar layak digunakan sebagai instrumen penelitian. Untuk tujuan data yang diperoleh terlebih dahulu dianalisis dengan menggunakan uji: validitas tes, reabilitas tes, daya beda tes, dan tingkat kesukaran tes. J.6.1 Uji Validitas Tes Validitas adalah ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihansuatu instrumen(Arikunto,2002:144). MenurutErman Suherman(1993), validitas suatu alat evaluasi adalah ketepatan alat evaluasi tersebut mengukur apa yang seharusnya dievaluasi. Suatu alat evaluasi disebut valid jika alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Salah satu cara yang digunakan untuk mencari koefisien validitas alat evaluasi adalah dengan menggunakan rumus korelasi product-momen sebagai berikut. rxy = N XY ( X )( Y )
2

(N X

( X )

)(N Y

( Y )

(Arikunto, 2002) dengan : X = skor butir tes Y = skor total keseluruhan item N= banyak responden Kriterianya adalah dengan membandingkan harga rxy ke tabel harga kritis product momen, dengan taraf signifikansi 5 %. Jika rxy >rtabel , maka butir tes dikatakan valid. J.6.2 Uji Reliabilitas Tes

31

Reliabilitas tes mengacu pada tingkat keterandalan tes tersebut sebagai intrumen penelitian(Arikunto, 2002 : 154). Menurut Erman Suherman (1993), reliabilitas suatu alat evaluasi berkaitan dengan ketepatan hasil evaluasi untuk subjek yang sama. Reliabilitas suatu alat evaluasi dimaksudkan sebagai suatu alat yang memberikan hasil yang relatif sama dengan pengukurannya jika diberikan pada subjek yang sama meskipun dilakukan pada tempat dan waktu yang berbeda. Tes yang reliabilitasnya tinggi disebut tes yang reliabel (Erman Suherman, 1993). Untuk menentukan reliabilitas tes dalam hal ini digunakan rumus alpha, karena tes prestasi belajar ini berbentuk uraian.
2 n i Rumus Alpha : r11 = 1 2 n 1 i

(Arikunto, 2002)

Dengan Varian tiap butir tes :

i =
2

( X )
N

Varian

total

i =
2

(Y )
N N

(dimodifikasi

dari

Arikunto,2002) Keterangan :
r11

= reliabilitas tes = banyaknya butir pertanyaan


2 i

i 2
N Y X

= jumlah varian skor item = varian total = jumlah responden = skor total item = skot tiap item.

Dalam menentukan derajat reliabilitas alat evaluasi dapat digunakan kriteria sebagai berikut : 0,80 < r11 1,00 0,60 < r11 0,80 Reliabilitas sangat tinggi(sangat baik) Reliabilitas tinggi(baik)

32

0,40 < r11 0,60 0,20 < r11 0,40 r11 0,20 (Erman Suherman, 1993)

Reliabilitas sedang(cukup) Reliabilitas rendah(kurang) Reliabilitas sangat rendah

Soal yang digunakan jika minimal reliabilitasnya sedang atau r11 pada interval 0,40 < r11 0,60 J.6.3 Daya Beda Tes Daya beda tes adalah kemampuan suatu tes tersebut dalam memisahkan antara subyek yang pandai dengan subyek yang kurang pandai dalam suatu kelompok (Arikunto, 2003: 231). Sebelum menentukan daya beda tes, terlebih dahulu ditentukan kelompok atas dan kelompok bawah. Penentuan masing-masing kelompok dilakukan dengan mengurut skor siswa dari skor tertinggi sampai skor terendah, kemudian diambil 27% skor tertinggi dan 27% skor terendah. Disini, 27% skor tertinggi ini disebut dengan kelompok atas dan 27% skor terendah disebut kelompok bawah. Untuk mengetahui daya pembeda item tes hasil belajar, maka digunakan formulasi berikut (Nurkancana dan Sunartana, 1990: 159). WL WH n

DB = Keterangan: DB WL WH n = daya beda tes

= jumlah kelompok bawah yang menjawab salah = jumlah kelompok atas yang menjawab salah = jumlah kelompok atas atau bawah

Kriteria pengujian suatu tes dapat digunakan jika DP 0,20. Klasifikasi daya pembeda yang digunakan (Subana dan Sudrajat, 2001) adalah DP = 0 berarti sangat jelek; 0,00 < DP 0,20 berarti jelek; 0,20 < DP 0,40 berarti cukup; 0,40 < DP 0,70 berarti baik; 0,70 < DP 1,00 berarti sangat baik.

33

J.6.4 Tingkat kesukaran tes Derajat kesukaran adalah kemampuan tes tersebut dalam menjaring banyaknya subyek peserta tes yang dapat menjawab dengan betul (Arikunto, 2002: 230). Untuk mengukur tingkat kesukaran tes hasil belajar digunakan rumus (Nurkancana, 1990: 157) berikut.
DK = W L + WH x100% nL + nH

Keterangan: DK nH nL WH WL = derajat kesukaran = jumlah kelompok atas (27% dari atas) = jumlah kelompok bawah (27% dari bawah) = jumlah kelompok atas yang menjawab salah = jumlah kelompok bawah yang menjawab salah

Kriteria pengujian: suatu tes berkategori baik dan dapat digunakan jika derajat kesukaran bergerak antara 25% sampai dengan 75% (25% DK 75%). Klasifikasi derajat kesukaran yang umum dipakai (Subana dan Sudrajat, 2001) adalah: DK = 0,00 berarti terlalu sukar; 0,00 < DK 0,30; berarti sukar; 0,30 < DK 0,70 berarti sedang; 0,70 < DK 1,00 berarti mudah, DK = 1 berarti terlalu mudah. J.7. Teknik Analisis data J.7.1.Uji Prasayarat Hipotesis Sebelum melakukan uji hipotesis maka harus dilakukan beberapa uji prasyarat diantaranya :. (1) Uji Normalitas Uji normalitas untuk skor penalaran dan komunikasi digunakan analisis Chi-Square dengan rumus :
X
2

O E 2 k i i hit = i =1 E i

(Sudjana, 1996)

34

keterangan : Oi Ei k = frekuensi observasi = frekuensi harapan = banyak kelas

Kriteria pengujian tolak H0 jika X 2 hit < X 2 (1 )( k 3) , dengan taraf signifikasi 5% dan dk = (k - 3). (2) Uji Homogenitas Untuk menguji homogenitas varians kedua kelompok digunakan uji Bartlett dengan menggunakan statistik Chi-Square dimana dirumuskan sebagai berikut: 2 = (ln 10) {B- ( n i 1) log Si2} Dengan S =
2

( n 1)S ( n 1)
i i

2 i

B = (log S2)

(n

1)

S2 adalah varians gabungan Untuk memudahkan perhitungan, satuan-satuan yang diperlukan untuk uji Bartlett disusun dalam sebuah tabel. Tabel data-data yang diperlukan dalam perhitungan uji homogenitas Sumber Variasi Kelas Eksperimen (1) Kelas Kontrol (2) J.7.2 Uji Hipotesis Sesuai dengan hipotesis penelitian (Ha) yang telah diajukan pada kajian teori maka dapat dirumuskan hipotesis nol (H0) yang berbunyi kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mendapat Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding lebih jelek atau sama dengan siswa yang tidak model pembelajaran kooperatif tipe CIRC dengan Db n-1 n-1 Si2 S1
2

Log Si2 log S12 log S22

db log Si2 db log S12 db log S22

db Si2 db S12 db S22

S22

35

strategi pemecahan masalah. Secara statistik hipotesis tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
H0 : 1 2 melawan H a : 1 > 2

1 : rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding 2 : rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang tidak memperoleh Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding. Untuk menguji hipoitesis digunakan Manova (Multivariate Analysis of Variance) melalui statistic F varians. Kriteria pengujian adalah: tolak H0 jika angka signifikansi lebih kecil dari 0,05. Sebagai tindak lanjut dari Manova, adalah uji signifikansi perbedaan nilai rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang memperoleh Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding dengan yang tidak memperoleh Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding. Uji perbedaan nilai rata-rata antar kelas menggunakan Least Significant Difference (LSD) (Montgomery dalam Wartawan, 2005). Oleh karena jumlah sample pada masing-masing kelas sama, maka digunakan formula Montgomery (Wartawan, 2005) LSD = t , N - a
2

2MS n

Dengan : taraf signifikansi N : Jumlah sample total n : Jumlah sample dalam kelas a : Jumlah kelompok/ kelas MS : Mean Square Error Kriteria yang digunakan adalah tolak H0 artinya nilai rata rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mendapat Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding lebih jelek atau sama dengan siswa yang tidak Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding, jika > LSD dan 1 > 2 1 2

36

DAFTAR PUSTAKA Adi Putra, I Komang. 2005. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Heuristk V Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Selat Karangasem.(Skripsi). Tidak diterbitkan. IKIP Negeri Singaraja

37

Applebee, A.N., & Langer, J. (1983). Instructional scaffolding: Reading and writing as natural language activities. Language Arts (http://www.google.com) Arikunto Suharsimi.2002.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Bandung : Bumi Aksara Hamalik, Oemar. 1975. Metode Belajar Dan Kesulitan-Kesulitan Belajar . Bandung : Tarsito Herman Hudoyo.1988. Mengajar Belajar Matematika.Jakarta :Depdikbud. Ichrom, Moch. Sholeh Y.A. 1988. Perpektif Pendidikan Anak Gifted. Jakarta : Depdikbud. Kendali, Ni M K. Artawan. 1999. Penggunaan metode pemberian tugas sengan pendekatan CBSM dalam pembelajaran biologi sebagai upaya untuk meningakatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas III SLTP 1 Sukasada tahun ajaran 1999/2000. Laporan penelitian. IKIP Negeri Singaraja. Lie, A. 2002. Cooperative learning. Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia. Lipscomb, Lindsay dkk. (2003). Instructional scaffolding (E-BOOK): Emerging perspectives on learning, teaching, and technology. Language Arts, 60, 2, 168-175 (www.google.com) Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : Remaja Rosdakarya. Munandar, Utami. 2002. Kreativitas dan Keberbakatan. Jakarta : Gramedia Mitchell, William E. 1999. Creative Problem Solving .New York: Genigraphics Inc. (www.google.com) Munandar, Utami. 2004. Pengembangan Kreativitas anak Berbakat. Jakarta : Rineka Cipta Munandar, S.C. Utami. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta : Grasindo.

38

Pusat Kurikulum.2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta. Depdiknas. Pusat Kurikulum.2003. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: . Depdiknas. Ruseffendi, ET.1988.Pengajaran Matematika Modern Untuk Orang Tua Murid dan Guru.Bandung.Penerbit Tarsito. Suherman, Erman.2003. Strategi Pembelajran Matematika Kontemporer. Bandung : JICA-IMSTEP Slameto.2003. Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta : Rineka Cipta Semiawan, C.1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta : Grasindo. Sudjana. 1992. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Sudjana. 1992. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. SMP Negeri 6 Singaraja. 2007. Dokumen rekapitulasi nilai SMP Saraswati Singaraja: SMP Saraswati Singaraja Udani, Sri Naya. 2006. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered-Head-together (NHT) untuk meningkatkan kretivitas dan pemahaman konsep matematika siswa kelas VIIC SMP Negeri 2 Singaraja. Laporan penelitian. IKIP Negeri Singaraja

39

Anda mungkin juga menyukai