Anda di halaman 1dari 30

REFERAT KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU KESEHATAN ANAK RSUD KOTA BEKASI

SINDROM NEFROTIK

Pembimbing: Dr. Thomas, SpA

Disusun Oleh: Cendri diana (030.05.056)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA, 2013

SINDROM NEFROTIK
SEJARAH
Pada tahun 1905 Friedrich Muller menggunakan istilah nefrosis untuk membedakan degenerasi lemak tubulus dengan glomerulus normal daripada nefritis yang menunjukkan kelainan inflamasi glomerulus. Namun istilah nefrosis sekarang tidak dipakai lagi. Tahun 1913 Munk melaporkan adanya butir-butir lipoid ( Lipoid droplets) dalam sedimen urin pasien dengan nefritis parenkimatosa kronik. Kelainan ini ditemukan terutama atas dasar adanya lues dan diberikan istilah nefrosis lipoid. Istilah sindrom nefrotik (SN) kemudian digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang menunjukkan suatu keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukkan satu penyakit yang mendasari.

DEFINISI
Sindrom nefrotik adalah sindrom klinis dengan gejala : 1. Proteinuria masif (40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2mg/mg atau 2+) 2. Hipoalbuminemia 2.5 g/dl 3. Edema 4. Hiperkolesterolemia (>250 mg/dL) Walaupun jarang, SN sering disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Remisi adalah proteinuria negatif atau trace 3 hari berturut-turut dalam satu minggu. Relaps adalah timbulnya proteinuria kembali (40 mg/m2 LPB/jam atau 2+) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu. Relaps jarang adalah relaps terjadi <2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau < 4 kali dalam satu tahun. Relaps sering adalah relaps terjadi 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau 4 kali dalam satu tahun. Dependen steroid adalah SN yang mengalami relaps ketika dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut

Resisten steroid adalah SN yang tidak mengalami remisi dengan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hr selama 4 minggu

EPIDEMIOLOGI
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila penyakit ini timbul sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik primer ini 2 kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidens di Indonesia diperkirakan 6 kasus per-tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri menunjukkan duapertiga kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun. Pada penelitian di Jakarta di antara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan KM. Kelompok responsif steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)

ETIOLOGI
Sindom nefrotik pada anak sebagian besar disebabkan oleh SN primer (idiopatik): Sindrom Nefrotik Kelainan minimal (SNKM) dan Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS). Penyebab-penyebab lain dari sindrom nefrotik dikategorikan menjadi SN sekunder dan genetic disorders . Genetic disorders Nephrotic-syndrome typical : Finnish-type congenital Nephrotic syndrome FSGS Diffuse mesangeal sclerosis Denys-Drash syndrome Schimke immuno-osseous dysplasia Proteinuria with or without Nephrotic syndrom : Galloway-mowat syndrome Charcot-Marie tooth disease Jeunes syndrome Cockaynes syndrome

Metabolic disorders with or without Nephrotic syndrom : Alagille syndrome -1 antitrypsin defeciency Fabry disease Glutaric acidaemia Gycogen storage disease Hurlers syndrome Lipoprotein disorders Mithocondrial cytopathies Sickle-cell disease SN primer MCNS FSGS Membranous nephropathy SN sekunder Infeksi Hepatitis B,C HIV Malaria Sfilis Toxoplasmosis Obat Penicilamine Gold AINS Pamidronate Interferon Mercury Heroin Lithium

Immunological disorders Castlemans disease Kimuras disease Food allergens

Malignant disease Lymphoma Leukemia

Klasifikasi Histopatologis
Klasifikasi kelainan histopatologis pada SN yang digunakan sesuai dengan rekomendasi Komisi Internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Pada tabel di bawah ini dipakai istilah/terminologi yang sesuai dengan laporan ISKDC (1970) dan Habib dan Kleinknecht (1971).

Tabel Klasifikasi Kelainan Glomerulus Pada SN Primer Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS) Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif Glomerulonefritis kresentik (GNK) Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intramembran GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial Glomerulopati membranosa (GM) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL) Sindrom nefrotik yang terjadi sebelum bayi berumur 3 bulan disebut sindrom nefrotik kongenital (SNK), sedang SN yang menunjukkan gejala dalam tahun pertama kehidupan (3-12 bulan) disebut sindrom nefrotik infantil (SNI). SNK adalah sindrom nefrotik yang terdapat pada bayi pada saat lahir ataupun sebelum lahir. Namun gejala proteinuria berat, edema dan hipoalbuminemia ditemukan beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan kemudian. Klasifikasi SN dengan awitan dini haruslah memenuhi beberapa kriteria, termasuk riwayat keluarga, perjalanan penyakit, pemeriksaan laboratorium dan histopatologi ginjal. Klasifikasi sindrom nefrotik kongenital dan infantil. Tabel Klasifikasi SN Kongenital dan Infantil Idiopatik Sindrom nefrotik kongenital tipe Finlandia Sklerosis mesangial difus Kelainan glomerulus lainnya

Sekunder Sifilis kongenital Infeksi perinatal lainnya Intoksikasi merkuri Sindromatik Sindrom Drash Sindrom malformasi lainnya

PATOFISIOLOGI
Proteinuria Proteinuria umumnya diterima sebagai kelainan utama pada SN, sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan berat untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik. Ekskresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap proteinuria berat. Selektivitas protein Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin dan disebut sebagai proteinuria selektif. Pada SN dengan kelainan glomerulus yang lain, keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein dengan berat molekul besar, dan jenis proteinuria ini disebut proteinuria non selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0,2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap steroid. Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak sulit untuk membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan pemeriksaan ini sehingga pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.

Perubahan pada filter kapiler glomerulus Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal tergantung pada tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein netral dengan semua berat molekul, namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa kelainan utama pada SNKM ini ialah hilangnya sawar muatan negatif selektif. Namun pada SN dengan glomerulonefritis proliferatif klirens molekul kecil menurun dan yang bermolekul besar meningkat. Keadaaan ini menunjukkan bahwa di samping hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau kelainan pada kedua-duanya. Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul muatan negatif, seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan heparitinase mengakibatkan timbulnya albuminuria. Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu suatu polianion yang terdapat pada tonjolan kaki (foot procesus) sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolantonjolan kaki sel epitel. Suatu protein dengan berat molekul 140.000 dalton, yang disebut podocalyxin rupanya mengandung asam sialat ditemukan terbanyak pada daerah ini. Sialoprotein menurun ditemukan pada berbagai kelainan glomerulus termasuk kelainan pada model eksperimental nefrosis aminonukleosid. Pada SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang menyebabkan hilangnya proteinuria. Hipoalbuminemia Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi renal dan gastrointestinal. Dalam keadaan seimbang, laju sintesis albumin, degradasi dan hilangnya dari badan adalah seimbang. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak merupakan korelasi yang ketat, terutama pada anak dengan proteinuria yang menetap lama dan tidak responsif

steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampir normal dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi protein. Laju sintesis albumin pada SN dalam keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau normal. Satu penelitian pada anak ditemukan kenaikan laju sintesis dua kali pada SN (dan pada anak dengan hipoalbuminemia dengan penyebab non hepatik lainnya) menunjukkan bahwa kapasitas meningkatkan sintesis hati terhadap albumin tidak cukup untuk mengkompensasi laju kehilangan albumin yang abnormal. Jumlah albumin absolut yang didegradasi masih normal atau di bawah normal, walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara relatif, maka katabolisme pool fraksional yang menurun ini sebetulnya meningkat. Meningkatnya katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yang normal atau menurun. Jadi pada keadaan hipoalbuminemia yang menetap, konsentrasi albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya ekskresi albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya globulin, -1 globulin (normal atau rendah), dan -2 globulin, globulin dan fibrinogen meningkat secara relatif atau absolut. Meningkatnya -2 globulin disebabkan oleh retensi selektif protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG menurun. Kelainan metabolisme lipid Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia dan kenaikan ini tampak lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi terbalik antara konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien dengan analbuminemia kongenital dapat juga timbul hiperlipidemia yang menunjukkan bahwa kelainan lipid ini tidak hanya disebabkan oleh penyakit ginjalnya sendiri. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan

lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya degradasi ini rupanya berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas lipase lipoprotein. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin serumnya, karena efek yang sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus polivinilpirolidon tanpa mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Pada beberapa pasien, HDL tetap meningkat walaupun terjadi remisi pada SN-nya pada pasien lain VLDL dan LDL tetap meningkat pada SN relaps frekuen yang menetap bahkan selama remisi. Lipid dapat juga ditemukan di dalam urin dalam bentuk titik lemak oval dan maltese cross. Titik lemak itu merupakan tetesan lipid di dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross tersebut adalah ester kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di tengah apabila dilihat dengan cahaya polarisasi. Edema Keterangan klinik pembentukan edema pada sindrom nefrotik sudah dianggap jelas dan secara fisiologik memuaskan, namun beberapa data menunjukkan bahwa mekanisme hipotesis ini tidak dapat memberikan penjelasan yang lengkap. Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes ke ruang interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia (lihat gambar 16-1). Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan

meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema. Kelainan glomerulus Albuminuria Hipoalbuminemia Tekanan onkotik koloid plasma Volume plasma Retensi Na renal sekunder Edema Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstitial. Keadaan ini jelas memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil. Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN. Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori overfilled. Menurut teori ini retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraselular. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam ruang interstitial.

Teori overfilled ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron menurun sekunder terhadap hipovolemia. Kelainan glomerulus Retensi Na renal primer Albuminuria Volume plasma Edema Meltzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisiologi SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe nefritik. Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG) masih baik dengan kadar albumin yang rendah dan biasanya terdapat pada SNKM. Karakteristik patofisiologis kelompok ini sesuai dengan teori tradisional underfilled yaitu retensi natrium dan air merupakan fenomena sekunder. Di pihak lain, kelompok kedua atau tipe nefritik, ditandai dengan volume plasma tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma dan aldosteron rendah yang meningkat sesudah persediaan natrium habis. Kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik dengan LFG yang relatif rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok pertama. Karakteristik patofisiologi kelompok kedua ini sesuai dengan teori overfilled pada SN dengan retensi air dan natrium yang merupakan fenomena primer intrarenal. Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin saja kedua proses underfilled dan overfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis. Akibat mengecilnya volume intravaskular akan merangsang keluarnya renin dan menimbulkan rangsangan nonosmotik untuk keluarnya hormon antidiuretik. Dengan meningkatnya produksi renin terjadi rentetan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron. Akibat akhir ialah terjadinya retensi natrium dan air dengan Hipoalbuminemia

keluarnya volume urin yang sedikit dan pekat dengan sedikit natrium. Berkaitan dengan teori ini masih merupakan teka-teki bahwa pada pasien analbuminemia kongenital terdapat sedikit atau tanpa edema dan umumnya diagnosis tidak dibuat sampai anak menjadi dewasa. Terjadinya edema pada pasien-pasien ini rupanya dapat dicegah dengan menurunkan tekanan hidrostatik kapiler yang bersamaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan kenapa tidak terjadi mekanisme kompensasi yang sama pada SN? Apabila volume plasma pada pasien diukur ternyata tidak menurun semua. Meltzer dkk melaporkan pada dua kelompok pasien dewasa, yang pada satu kelompok keadaannya sesuai dengan teori klasik dengan SNKM, hipovolemia, konsentrasi plasma renin dan aldosteron tinggi dan responsif steroid. Kelompok kedua, volume darah meningkat dengan renin dan aldosteron rendah dan pasien ini resisten steroid dengan kelainan BKM. Penelitian lain memperkuat edema nefrotik dengan volume plasma renin dan aldosteron yang meningkat normal atau rendah. Apabila diteliti selama retensi natrium dan peningkatan berat badan yang progresif maka banyak pasien mempunyai konsentrasi renin dan aldosteron yang normal atau rendah menunjukkan bahwa retensi natrium tidak bergantung pada rangsangan sistem renin angiotensin aldosteron. Bahkan pada mereka dengan renin dan aldosteron yang tinggi reabsorpsi natrium terus berlangsung walaupun dilakukan supresi renin baik dengan infus albumin atau kaptopril. Bila reabsorpsi natrium pada tubulus proksimal menurun maka seharusnya retensi natrium terjadi pada nefron distal. Observasi ini menyokong observasi klinik yang menunjukkan bahwa retensi natrium pada SN disebabkan oleh faktor-faktor intrarenal. Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang tinggi umumnya menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka dengan volume darah normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah umumnya menderita kelainan BKM dan tidak responsif steroid, maka pemeriksaan renin dapat merupakan petanda yang berguna untuk menilai seorang anak dengan SN responsif terhadap steroid atau tidak di samping adanya SNKM. Namun derajat tumpang tindihnya terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan pasien antara kedua kelompok histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin. Peran peptida natriuretik atrial (ANP) dalam pembentukan edema dan diuresis masih belum pasti. Anak-anak dengan SN

responsif steroid dalam keadaan relaps dilaporkan mempunyai konsentrasi ANP yang tidak berbeda dengan kontrol. Namun, dengan pemberian infus albumin atau imersi air untuk ekspansi volume intravaskular akan terjadi diuresis yang diikuti dengan peningkatan ANP sebanyak lima kali, yang menunjukkan bahwa ANP berperan pada diuresis sesudah ekspansi volume.

GEJALA KLINIS
Di masa lalu orang tua menganggap penyakit SN ini adalah edema. Nafsu makan yang kurang, mudah terangsang, adanya gangguan gastrointestinal dan sering terkena infeksi berat merupakan keadaan yang sangat erat hubungannya dengan beratnya edema, sehingga dianggap gejala-gejala ini sebagai akibat edema. Namun dengan pengobatan kortikosteroid telah mengubah perjalanan klinik SN secara drastis dan dapat dikatakan bahwa baik oleh anak, orang tua atau dokter SN bukan lagi merupakan masalah edema, tapi masalah salah satu efek samping obat terutama bagi anak-anak yang tidak responsif terhadap pengobatan steroid. Dilaporkan kira-kira 80% anak dengan SN menderita SNKM, dan lebih dari 90% anak-anak ini bebas edema dan proteinuria dalam 4 minggu sesudah pengobatan awal dengan kortikosteroid. Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema persisten dengan komplikasi yang mengganggu merupakan masalah klinik utama bagi mereka yang menjadi non responder dan pada mereka yang edemanya tidak dapat segera diatasi. Kelompok ini hampir berjumlah dari semua pasien dengan SN primer. Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh orang tua atau anak yang besar sebelum dokter melihat pasien untuk pertama kali dan memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilang dan timbul kembali. Selama periode ini edema periorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjad menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orang tua sering mengeluh berat badan anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang meningkat. Timbulnya edema pada

anak dengan SN disebutkan bersifat perlahan-lahan, tanpa menyebut jenis kelainan glomerulusnya. Tampaknya sekarang pola timbulnya edema bervariasi pada pasien dengan berbagai kelainan glomerulus. Pada anak dengan SNKM edema timbul secara lebih cepat dan progresif dalam beberapa hari atau minggu dan lebih perlahan dan intermiten pada kelainan glomerulus jenis lainnya, terutama pada GN membranoproliferatif (GNMP). Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di kelopak mata dan muka sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi berdiri. Edema pada anak pada awal perjalanan penyakit SN umumnya dinyatakan sebagai lembek dan pitting. Pada edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki yang menyempit. Kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnutrisi sebagai tanda adanya menyeluruh sebelumnya. Gangguan gastrointestinal Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut yang kadangkadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif steroid dan persisten. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.

Gangguan pernapasan Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid. Gangguan fungsi psikososial Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada penyakit berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Perasaan-perasaan ini memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya. Kecemasan orang tua dan perawatan yang sering dan lama menyebabkan anak berkembang menjadi berdikari dan bertanggung jawab terhadap dirinya dan nasibnya. Perkembangan dunia sosial anak menjadi terbatas. Anak dengan SN ini akhirnya menimbulkan beban pikiran karena akan membentuk pengertian dan bayangan yang salah mengenai penyakitnya. Para dokter yang sadar akan masalah ini dapat berbuat sesuatu untuk mencegahnya dan berusaha mendorong meningkatkan perkembangan dan penyesuaian pasien dan keluarganya serta berusaha menolong mengurangi cacat, kekhawatiran dan beban pikiran.

KOMPLIKASI
Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri atau sebagai akibat pengobatan : Infeksi Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis Perubahan hormon dan mineral Pertumbuhan abnormal dan nutrisi Peritonitis Anemia Gangguan tubulus renal

PENGOBATAN
Pengobatan imunosupresif Beberapa obat-obat imunosupresif seperti kortikosteroid, obat sitotoksik dan siklosporin, dapat menimbulkan remisi proteinuria dan melindungi fungsi ginjal paling tidak pada beberapa jenis glomerulonefritis primer. Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) SNKM merupakan kelompok yang terbesar meliputi 70-80% kasus dengan SN pada anak. Menurut Brodehl ada 3 tujuan utama pengobatan pada KM adalah: 1. Membuat SN ini dalam keadaan remisi secepat mungkin untuk mencegah komplikasi 2. Mencegah relaps, dan 3. Mencegah efek samping iatrogenik pada penyakit yang kambuh berulang dalam waktu lama. Kortikosteroid merupakan obat pilihan utama pengobatan awal SNKM. Proteinuria menghilang 90% pada anak selama pengobatan 8 minggu dengan prednison, dengan dosis 60 mg/m2/hari untuk 4 minggu, diikuti dengan 40 mg/m2/48 jam untuk 4 minggu berikutnya. Setengah dari pasien ini, remisinya terjadi dalam 4 minggu pertama dan kebanyakan pasien lainnya terjadi remisi dalam 4 minggu berikutnya. Namun sayangnya banyak pasien kambuh sesudah remisi. Laju relaps rupanya dipengaruhi oleh lamanya pengobatan awal. Kira-kira 80% anak relaps dalam satu tahun apabila prednison diberikan untuk 4 minggu, 60% relaps sesudah pengobatan 8 minggu, dan hanya 36% relaps apabila prednison diberikan selama 12 minggu. Pada anak lamanya pengobatan awal mempengaruhi risiko relaps. Untuk mengurangi risiko relaps pengobatan awal harus diperpanjang. Di samping itu prednison dosisnya diturunkan secara perlahan, tidak mendadak, untuk mencegah efek rebound yang dapat menimbulkan relaps. Dianjurkan pemberian prednison dosis 60 mg/m2/hari sampai proteinuria hilang untuk 3 hari berturut-turut. Kemudian pengobatan dilanjutkan dengan prednison selang sehari dengan dosis 40 mg/m2/48 jam untuk sekurang-kurangnya 12 minggu dengan penurunan prednison selanjutnya dengan 5-10 mg/m2/48 jam tiap bulan.

Umumnya kebanyakan anak memberi respons dalam 4 minggu pertama, namun pada beberapa pasien responsnya dapat tertunda. Jadi pemberian prednison diperpanjang untuk 8-12 minggu sebelum seorang anak dianggap resisten steroid. Pengobatan baku ISKDC pada anak terdiri atas 60 mg/m2/hari (dengan maksimal 80 mg/hari) dan dosis ini diberikan sampai urin bebas protein tiga hari berturut-turut. Kemudian prednison dapat diberikan selang sehari selama 4 minggu dengan dosis 40 mg/m2/48 jam. Pemberian prednison maksimum pada pasien yang tidak responsif dini harus sama dengan episode pertama. Pasien dengan relaps dua kali atau lebih dalam 6 bulan sesudah episode pertama atau empat kali atau lebih dalam 12 bulan disebut relaps frekuen. Pasien yang relaps dalam 14 hari sesudah steroid dihentikan atau relaps bila dosis dikurangi disebut dependen steroid. Pengobatan terhadap pasien ini susah karena pengobatan steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping, seperti hipertensi, kelainan psikiatris, osteoporosis, obesitas, diabetes, muka cusingoid, infeksi, retardasi pertumbuhan dan lainlain. Siklofosfamid atau klorambusil dapat mengurangi frekuensi relaps pada pasien ini secara bermakna. Hasil pengobatan sitostatik jelas bergantung pada lama pengobatan. Barrat dkk membandingkan efek pengobatan siklofosfamid selama 2 minggu dan 8 minggu pada pasien SN sensitif steroid yang sering relaps dan menyimpulkan bahwa pengobatan jangka lama ternyata lebih efektif. Rance dkk melaporkan 27% angka remisi selama setahun terhadap anak yang diberikan siklofosfamid kurang dari 6 minggu, sedangkan 66% pasien masih dalam remisi apabila pengobatan diperpanjang sampai 12 minggu. Di sisi lain, apabila pengobatan diberikan terlalu pendek kurang bermanfaat, sedangkan pemberian alkylating jangka panjang dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping. Untuk mencegah efek samping yang berat pada SNKM, maka banyak dokter di klinik memberikan siklofosfamid atau klorambusil untuk tidak lebih dari 8 minggu. Dengan cara pengobatan ini hampir 70% pasien relaps frekuen tetap remisi, namun kebanyakan pasien dependen steroid cepat relaps sesudah pengobatan dihentikan. Namun apabila siklofosfamid diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari untuk 12 minggu daripada seharusnya 8 minggu, kira-kira 2/3 pasien dengan dependen steroid tetap dalam remisi sesudah 2 tahun. 10 dosis kumulatif ini masih di bawah ambang risiko terjadinya azoospermia.

Siklosporin-A (Cy-A) merupakan abat alternatif lain daripada steroid. Kebanyakan pasien dependen steroid remisi dipertahankan dengan CyA, yang diberikan sesudah terjadi remisi dengan steroid. Sesudah obat ini dihentikan, relaps dini terjadi namun tidak pada semua pasien. Relaps ini tampaknya tidak akan terjadi jika CyA diberikan dalam jangka waktu lama dan dosisnya diturunkan perlahan-lahan. Untuk menguji keamanan dan diterimanya CyA sebagai obat pada pasien SN idiopatik, maka dilakukan penelitian terhsdap 661 pasien pada 10 tempat studi. Efek samping non-renal yang paling sering ditemukan adalah hipertrikosis (18%), hiperplasia gusi (16%), gejala gastrointestinal (11%) dan hipertensi (9%). Di antara 225 pasien dengan SNKM yang diobati dengan CyA, 3 menderita gagal ginjal terminal. Semua pasien ini resisten steroid dan CyA yang menunjukkan evolusi yang kurang baik ini disebabkan oleh adanya glomerulosklerosis fokal dan segmental yang mendasari penyakit ini daripada akibat nefrotoksik CyA. Pada pasien lainnya kadar kreatinin serum rata-rata pada akhir tindak lanjut tidak berbeda bermakna daripada nilai basalnya. Namun tampaknya kreatinin serum bukan merupakan ukuran yang memadai untuk memonitor fungsi ginjal pada pasien yang diberikan obat yang potensial nefrotoksik. Sebenarnya CyA dapat menimbulkan kelainan histologis bahkan pada pasien dengan ginjal normal sekalipun. Kasus dengan fibrosis interstitial pernah dilaporkan pada pasien yang diberikan CyA karena penyakit autoimun nonrenal. Sebagai kesimpulan dapat disebutkan bahwa belum ada obat baku untuk pengobatan pasien dengan relaps frekuen atau dengan dependen steroid maka diusulkan cara pengobatan terhadap pasien ini sesuai dengna algoritme. Siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu Relaps Prednison selang sehari dosis efektif minimal Toleransi baik Efek samping Siklosporin (CyA) Tidak relaps

Relaps Pengobatan simtomatik

Tidak relaps Dikurangi bertahap sampai dosis sampai dosis efektif minimal

Oleh karena siklofosfamid atau klorambusil dapat menimbulkan remisi yang stabil pada sejumlah kasus, maka dianjurkan untuk pertama-tama memberikan salah satu daripada obat-obat ini dalam waktu jangka pendek (8 minggu untuk pasien relaps frekuen, dan 12 minggu untuk dependen steroid). Siklofosfamid dengan dosis 2 mg/kgbb/hari, kurang gonadotoksik dan lebih baik diberikan kepada anak dan remaja. Klorambusil yang mungkin lebih efektif dan kurang toksik terhadap kandung kemih, dapat digunakan untuk pasien lainnya dengan dosis 0.15 mg/kgbb/hari. Apabila terjadi relaps maka sebaiknya jangan diobati lagi dengan obat alkil karena toksisitasnya akan kumulatif. Umumnya pasien ini responsif lagi terhadap steroid. Diantara berbagai cara pemberian, prednison selang sehari sering dipakai secara luas dan aman untuk beberapa bulan. Apabila timbul gejala hiperkortisisme, steroid dihentikan dan diganti dengan CyA. Apabila pasien tetap dalam remisi, CyA dapat diturunkan sesudah 6 sampai 12 bulan sebanyak 25% tiap 2 bulan untuk menetapkan dosis efektif minimal. Beberapa peneliti meneruskan pemakaian obat ini untuk bertahuntahun. Sebaiknya pemberian CyA perlahan-lahan dihentikan sesudah 2 tahun. Apabila pasien relaps lagi maka pemberian steroid diulang lagi selama 6-12 bulan dan kemudian diberikan CyA lagi untuk 1-2 tahun yaitu untuk toksisitas potensial pada pemakaian obatobat ini dalam jangka panjang. Beberapa pasien (10%) dengan diagnosis histologis SNKM tidak memberikan respons terhadap pengobatan baku dengan steroid. Kebanyakan dari mereka ini, cepat atau lambat menunjukkan gambaran glomerulosklerosis fokal segmental pada biopsi ginjalnya dan harus diobati sesuai dengan kelainan tersebut.

Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) GSFS merupakan penyakit klinikopatologis yang heterogen yang merupakan komplikasi beberapa penyakit. Dalam bentuk idiopatik, GSFS umumnya dikaitkan dengan SN. Kebanyakan pasien nefrotik dengan GSFS berlanjut menjadi gagal ginjal kronik terminal dalam 10 tahun sesudah awitan klinis. Nasib kelainan ginjal GSFS pada anak dan orang dewasa adalah sama, walaupun anak kadang-kadang menunjukkan respons lebih baik terhadap pengobatan. Adanya kelainan tubulointerstitial pada sediaan biopsi menunjukkan prognosis yang kurang baik, sedangkan peran prognostik kelainan glomerulus seperti kelainan hilus, proliferasi mesangial dan glomerulus kolaps masih diperbincangkan. Belum ada penelitian prospektif terkontrol dengan pemakaian obat kortikosteroid atau sitostatik pada penyakit ini. Kebanyakan literatur didasarkan pada penelitian retrospektif, dan mungkin beberapa makalah dengan hasil yang kurang baik namun belum dipublikasi. Kesan umum ialah bahwa hanya sebagian kecil pasien dengan GSFS mencapai remisi komplit dengan prednison dosis tinggi dalam pemberian jangka pendek. Berdasarkan respons yang kurang baik ini banyak ahli klinik enggan untu mengobati pasien dengan GSFS. CyA juga mulai dipakai untuk mengobati GSFS. dari kepustakaan dilaporkan 40% pasien dipertahankan tanpa SN dengan pengobatan CyA. Tidak jelas apakah CyA merusak atau melindungi fungsi ginjal pada GSFS. Beberapa penelitian melaporkan memburuknya kelainan histologis pada beberapa pasien yang mendapat CyA. Untuk pasien nefrotik dengan GSFS tindakan pertama adalah memberikan prednison dosis tinggi (60 mg/m2/hari) selama 2 bulan untuk mengetahui berapa pasien yang responsif. Prednison selama 2 bulan (60 mg/m2/hari) Respons Tidak relaps Relaps Pengobatan Tidak responsif Prednison selang sehari selama 4-6 bulan Prednison dan obat sitotoksik selama 6

bulan Respons tidak responsif Siklosporin (CyA) responsif

Pengobatan simtomatik Tidak responsif

Untuk pasien ini pengobatan selanjutnya sama dengan SNKM, termasuk penanganannya bila ada relaps. Apa yang harus diperbuat terhadap pasien yang tidak responsif masih kontroversial. Banyak dokter tidak mau memberi pengobatan, namun dari data menunjukkan pemberian obat yang lebih lama dapat menimbulkan remisi SNnya dan fungsi ginjalnya tetap stabil pada 50% pasien. Dianjurkan pemberian steroid diteruskan sesudah tidak memberikan respons selama 2 bulan. Apabila tidak terdapat toksisitas steroid, prednison diteruskan selang sehari dengan penurunan dosis selama 4-6 bulan. Dapat juga digunakan sebagai alternatif protokol pengobatan dengan kortikosteroid selang sehari dengan obat sitostatik selama 6 bulan. Apabila SN menetap dengan kedua cara pengobatan tersebut, maka pengobatan diubah dengan memberikan CyA kecuali ditemukan fungsi ginjal dan tekanan darah yang abnormal, atau bila ditemukan fibrosis interstitial pada biopsi ginjal. Apabila tidak terdapat remisi dalam 3 bulan, maka pasien tersebut selanjutnya tidak akan responsif dan sebaiknya CyA dihentikan. Terhadap pasien yang responsif CyA dosis diturunkan perlahan-lahan dalam beberapa bulan untuk mengetahui dosis efektif yang paling kecil. Sesudah pengobatan 1 atau 2 tahun biopsi renal dianggap perlu untuk mengetahui kelainan histologis yang disebabkan oleh CyA. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) GNMP merupakan penyakit yang jarang pada anak. Umumnya penyakit terjadi pada semua umur tetapi sering terjadi pada umumr 8-30 tahun. GNMP dibagi dalam tipe I, II dan III atas dasar gambaran yang berbeda di bawah mikroskop cahaya, imunofluoresensi dan mikroskop elektron, tetapi prognosis dan perjalanan penyakit dari

ketiga tipe ini sama. Prognosisnya sering kurang baik terhadap pasien dengan insufisiensi ginjal dan atau adanya gejala SN. Lebih dari 50% pasien dengan SN berlanjut menjadi gagal ginjal terminal dalam 10 tahun sesudah awitan klinis. Umumnya penyakit lebih berat pada orang dewasa. McEnery dkk menekankan peran yang menguntungkan dengan memberikan prednison dosis tinggi jangka panjang selang sehari (2-2,5 mg/kgbb/48 jam) pada GNMP. ISKDC menyimpulkan dalam penelitian terkontrol bahwa pengobatan steroid selang sehari dapat mengurangi laju progresivitas GNMP tipe I, namun pengobatan jangka panjang diikuti hipertensi berat dan kejang-kejang pada beberapa pasien. Penelitian terkontrol lainnya, Donadio dan Offord melaporkan bahwa pasien GNMP tipe I dengan kombinasi aspirin (975 mg/hari) dan dipiridamol (225 mg/hari) menurunkan laju gagal ginjal sampai 4 tahun namun pada analisis 10 tahun tidak terdapat perbedaan antara pasien yang diobati (49%) dan tidak (41%) mengenai kerusakan ginjalnya. Sebagai ringkasan pengobatan terhadap GNMP masih belum jelas. Pengobatan simtomatik dan pengawasan yang baik terhadap tekanan darah merupakan hal yang penting. Cara ini dapat menyelamatkan pasien sampai 10 tahun, sesuai dengan harapan pada populasi umumnya. Pada kasus dengan SN yang mempunyai prognosis ginjal yang buruk, pengobatan dengan steroid dapat dicoba. Dalam hal demikian lebih dini diberikan pengobatan hasilnya lebih baik. Dianjurkan pengobatan dengan prednison selang sehari dengan dosis 2.0 mg/kgbb/48 jam untuk 2 bulan, dengan penurunan dosis secara berangsur pada periode berikutnya. Apabila tidak terdapat respons dalam waktu 4-6 bulan, obat steroid harus dihentikan. Apabila terdapat perbaikan proteinuria yang bermakna pengobatan steroid dapat diteruskan dengan dosis efektif minimal. Beberapa pasien dengan GNMP dapat terjadi penurunan fungsi ginjal secara progresif cepat, yang kadang-kadang didorong oleh infeksi atau oleh pemberian obat-obatan. Untuk pasien demikian perlu dilakukan biopsi ginjal. Pada pasien dengan glomerulonefritis ekstrakapiler atau bila disertai dengan nefritis interstitial, pengobatan yang lebih agresif dengan pulse metil-prednisolon dosis tinggi secara intravena, ditambah dengan prednison oral dengan siklofosfamid dapat dicapai perbaikan fungsi ginjal yang bermakna pada beberapa pasien.

Glomerulopati membranosa (GM) Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang dewasa. Prognosisnya sulit diduga sebelumnya, karena kadang-kadang fungsi ginjal tetap normal dan bahkan dapat terjadi remisi spontan, sedangkan 30-50% berlanjut menjadi gagal ginjal terminal dalam waktu 10 tahun sejak awitan klinis. Proteinuria berat yang menetap dan adanya kelainan tubulointerstitial pada biopsi awal merupakan faktor yang berhubungan dengan menurunnya fungsi ginjal secara progresif. Sebaliknya pasien dengan remisi proteinuria komplit mempunyai prognosis lebih baik walaupun dalam jangka lama. Penelitian dengan kontrol menggunakan obat sitotoksik juga memberikan hasil yang bertentangan walaupun menunjukkan efek perbaikan terhadap proteinurianya. Ada anggapan bahwa GM secara alamiah mempunyai perjalanan penyakit yang lebih baik dan diberikan pengobatan simtomatik saja. Yang lain mengkhawatirkan terhadap toksisitas potensial dan lebih suka memakai kortikosteroid saja, sedang yang lain menggunakan kombinasi kortikosteroid dan obat alkil. Berdasarkan data dari literatur dianjurkan algoritme di bawah ini dengan fungsi ginjal normal. Diagnosis GM Idiopatik A Prednisolon selama 6 bln Responsif Tidak responsif Terapi Relaps Tidak relaps Tidak responsif Respons Kurangi CyA simtomatik CyA Tidak relaps Obati dengan A atau B Relaps B Metilprednisolon selama 6 bulan < Tidak responsif responsif C Pengobatan simtomatik Remisi SN menetap atau insufisiensi ginjal

Kapan pengobatan dimulai masih merupakan masalah yang diperdebatkan. Beberapa ahli klinik menganjurkan untuk menunggu 1 atau 2 tahun sesudah timbulnya gejala klinik SN untuk mencegah pengobatan bagi pasien yang mungkin timbul remisi spontan. Ada yang berpendapat lebih baik menunggu sampai timbul insufisiensi ginjal. Anjuran yang baik adalah memulai pengobatan dini yaitu dengan beberapa alasan: 1. Pengobatan yang efektif akan mencegah timbulnya komplikasi SN 2. Kemungkinan timbulnya respons lebih besar untuk pasien yang belum timbul kelainan glomerulus dan tubulointerstitial yang lanjut. 3. Pengobatan lebih baik ditoleransi oleh pasien dengan fungsi ginjal yang normal, dan 4. Pasien yang telah menderita gagal ginjal akan tidak mempan terhadap pengobatan atau responsnya tidak lengkap. Sekarang apa yang harus diperbuat terhadap pasien dengan fungsi ginjal yang menurun? Pertama diusahakan untuk mendeteksi dan mengobati semua komplikasi yang mungkin ada, seperti trombosis vena, nefritis interstitial, glomerulonefritis ekstrakapiler, dan sebagainya. Jenis pengobatan apa yang digunakan terhadap pasien dengan gagal ginjal progresif? Banyak laporan di dalam kepustakaan, namun yang terbaik diantaranya ialah penelitian Reichert Koene dan Wetzels yang memberikan metil prednisolon dan klorambusil untuk 6 bulan. Anjuran dosis klorambusil tidak melebihi 0,1 mg/kg/hari, karena pada insufisiensi ginjal efek sampingnya meningkat. Pengobatan Suportif Dalam penanganan pasien SN harus diperhatikan tidak saja pendekatan farmakologis khusus terhadap penyakit glomerular yang mendasarinya tetapi juga tindakan yang ditujukan terhadap pencegahan dan pengobatan sekuele klinis oleh proteinuria yang masif. Pengobatan suportif sangat penting untuk pasien yang tidak memberikan respons terhadap obat-obat imunosupresif dan oleh karena itu mudah mendapat komplikasi SN yang berkepanjangan.

Pengobatan diitetik Masukan natrium harus dibatasi 2 gram/hari untuk mengurangi keseimbangan natrium yang positif. Dari sudut praktis umumnya cukup dengan menganjurkan tidak menambahkan garam ke dalam makanan. Pembatasan garam yang ketat hanya diperlukan terhadap pasien yang tidak memberi respons terhadap diuretika. Dahulu masukan protein tinggi dianjurkan untuk mengimbangi keluarnya protein dalam urin. Namun cara ini akan meningkatkan permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul yang berakibat peningkatan proteinuria lebih lanjut sedangkan keseimbangan protein tetap negatif dan kadar albumin serum yang rendah akan menetap. Di pihak lain penelitian dengan diit rendah protein memberikan hasil yang bertentangan. Telah dilaporkan oleh beberapa peneliti bahwa ekskresi albumin urin menurun dan kadar albumin serum meningkat, sedangkan peneliti lain tidak menemukan adanya penurunan proteinuria, setidaknya pada GM. Bila kadar ureum dan kreatinin normal diberikan diet nefrotik dengan protein 2-3 g/kg/hari, rendah garam 1 g/hari. Bila kadar ureum dan kreatinin tinggi diberikan diet nefrotik dengan protein 1 g/kg/hari, rendah garam 1 g/hari. Sambil menunggu hasil penelitian jangka panjang sebaiknya pemberian diit protein tinggi pada SN dicegah dan menganjurkan diit yang mengandung protein 2 gram/kgbb/hari. Diit penurunan lipid (<200 mg/hari kolesterol, jumlah lemak <30% dari kalori total dan asam lemak tidak jenuh 10% dari jumlah seluruh kalori), umumnya dianjurkan untuk pasien dengan hiperkolesterolemia. Namun respons individu terhadap diit ini agak susah bahkan tidak mungkin untuk menduga penurunan sekurang-kurangnya 15-20% kadar kolesterol LDL. Di samping itu makin ketat regimen makanan makin tidak patuh pasien, terutama untuk jangka waktu lama. Oleh karena itu agak susah untuk menangani hiperlipidemia pada SN dengan diit saja. Akhir-akhir ini diit vegetarian yang mengandung kedelai yang ditambah dengan asam amino esensial tampaknya lebih efektif menurunkan hiperlipidemia, daripada diit menurunkan lipid secara tradisional. Penurunan proteinuria juga dijumpai, namun tidak terdapat data mengenai kepatuhan jangka lama, efisiensi dan toleransi terhadap diit demikian.

Edema Apabila edema tidak memberikan respons dengan membatasi pemasukan garam dalam makanan, maka sering diperlukan pemberian diuretika. Langkah pertama dapat diberikan obat tiazid, sebaiknya dikombinasi dengan obat penahan kalium, seperti spironolakton atau triamteren. Namun banyak pasien terutama dengan anasarka, volume berlebih, atau dengan kongesti paru-paru tidak memberikan respons terhadap obat tiazid. Untuk keadaan ini diperlukan pemberian furosemid, asam etakrin atau bumetamid. Di antara obat-obatan ini furosemid yang paling sering dipakai karena toleransi yang baik bahkan dengan dosis yang sangat tinggi. Furosemid dapat diberikan baik secara intravena ataupun oral, dengan dosis berkisar antara 25-1000 mg/hari, bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Oleh karena terikatnya obat ini dengan cairan tubulus albumin dapat mengganggu respons dan dosis furosemid tinggi sering diperlukan untuk mengatasi berkurangnya efek ikatan senyawa ini. Terhadap pasien yang refrakter terhadap furosemid sebagai monoterapi, kombinasi obat diuretika yang bekerja pada tingkat lain dari furosemid, seperti hidroklortiazid (25-50 mg/hari) atau metolazon (2.510 mg/hari) dapat meningkatkan respons diuretika. Selama pengobatan diuretika, pasien harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan adanya komplikasi seperti misalnya hipokalemia, alkalosis metabolik atau kehilangan cairan intravaskular berat. Proteinuria dan hipoalbuminemia Pemberian albumin per intravena kepada pasien nefrotik merupakan prosedur yang mahal dan meningkatkan klirens albumin ginjal dan menaikkan konsentrasi albumin plasma hanya sedikit dan bersifat sementara. Infus albumin hanya diberikan untuk pasien dengan deplesi volume plasma simtomatik dengan hipotensi. Beberapa obat dapat mengurangi keluarnya protein di dalam urin antara lain ACE inhibitor mempunyai efek antiproteinuria yang penting. Walaupun ACE inhibitor secara teoritis menurunkan tekanan darah dan vasodilatasi pascaglomerulus dapat memberi efek antiproteinuria namun efek ini mungkin berkaitan dengan adanya perubahan pada permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul. Efek antiproteinuria ini bergantung pada dosis, lama pengobatan dan masukan natrium. Pengobatan dengan ACE inhibitor umumnya dapat ditoleransi oleh beberapa pasien namun dapat timbul anemia, hipotensi atau batuk kering.

Dalam praktek, untuk mendapat efek antiproteinuria yang maksimal pasien diminta untuk mengikuti diet rendah garam. Pemberian ACE inhibitor dimulai dengan dosis rendah untuk menguji toleransinya. Kemudian dosis dinaikkan secara progresif sampai dosis toleransi maksimal. Pengobatan diperpanjang untuk beberapa minggu sebelum dinilai hasilnya. Obat-obat anti-inflamasi nonsteroid dapat menurunkan proteinuria sampai 50% atau lebih. Efek ini disebabkan karena menurunnya permeabilitas kapiler terhadap protein, menurunnya tekanan kapiler intraglomerulus dan/atau karena menurunnya luas permukaan filtrasi. Pada kebanyakan pasien efeknya cepat (dalam 1 minggu) dan kembali lagi setelah pengobatan dihentikan. Indometasin (150 mg/hari) dan meklofenamat (200-300 mg/hari) merupakan dua obat yang sering dipakai. Obat-obat ini dapat menimbulkan hiperkalemia dan pada SN, dapat memperberat retensi natrium, menurunkan respons terhadap diuretika dan mengganggu hipertensi arteri. Di samping itu obat-obat ini dapat menyebabkan gagal ginjal akut karena gangguan hemodinamik, nefritis interstitial akut atau kerusakan ginjal kronik. Karena itu pemantauan fungsi ginjal yang ketat diperlukan selama pengobatan pada pasien nefrotik. Obat-obat ini tidak boleh diberikan apabila klirens kreatinin lebih rendah dari 50 ml/menit. Akhir-akhir ini pengobatan selama 6 minggu dengan dosis tinggi n-3 asam lemak tak jenuh (poly-unsaturated fatty acid) dapat mengurangi proteinuria sebanyak 30% tanpa efek samping yang berarti. Hiperlipidemia Pada kebanyakan pasien SN, diet saja tidak cukup menurunkan hiperlipidemia. Berbagai obat penurun lipid seperti probukol, asam nikotinat, resin, derivat asam fibrik, dan akhir-akhir ini hidroksimetil glutaril ko-enzim A (HGM-A) penghambat reduktase, telah digunakan pada SN. Probukol tidak begitu efektif dan dapat menurunkan tidak hanya LDL tetapi juga HDL lipoprotein. Asam nikotinat dapat menurunkan semua lipoprotein aterogenik bersikulasi secara efektif. Namun ada efek vasodilatasi kulit dan iritasi gaster dan hepatotoksik. Resin sering menimbulkan gejala abdomen dan mengganggu absorpsi vitamin larut lemak dan obat-obat lain. Derivat asam fibrik seperti klofibrat, bezafibrat dan gemfibrozil lebih efektif menurunkan trigliserid daripada kolesterol. Pada pasien SN klofibrat dapat menimbulkan rabdomiolisis dan gagal ginjal

akut. Di samping itu obat-obat ini mengandung risiko timbulnya miopati dan batu empedu. Pada saat ini, penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastatin dan simvastatin merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemia pada SN. Obat-obat ini menghambat enzim dalam biosintesis kolesterol. Pada pasien SN obat penghambat HMG-CoA menurunkan secara bermakna pada kolesterol serum (36%), lipoprotein densitas rendah (LDL)-(43%) dan apolipoprotein B (30%). Demikian juga terhadap trigliserid juga terjadi penurunan. Walaupun terjadi perbaikan terhadap komposisi lipoprotein, namun meningkatnya kadar lipoprotein aterogenik (Lpa) tidak dipengaruhi oleh penghambat HMG-CoA. Pengobatan dengan penghambat HMG-CoA umumnya ditoleransi baik oleh pasien SN, walaupun dapat terjadi kenaikan transaminase serum pada bulan pertama pengobatan. Jarang terjadi miositis dan mialgia, namun ada baiknya diperiksa fosfokinase kreatinin secara teratur. Hiperkoagulabilitas Tromboemboli merupakan komplikasi yang serius dan sering dijumpai pada SN. Obat-obat anti koagulan dapat menurunkan terjadinya risiko trombosis namun mengandung risiko timbulnya komplikasi perdarahan. Pemakaiannya terbatas pada keadaan terjadinya risiko trombosis seperti pada tirah baring yang lama, pembedahan, saat dehidrasi atau saat pemberian kortikosteroid i.v. dosis tinggi. Namun sekarang keuntungan pemberian anti-koagulan profilaktik lebih besar pada pasien GM daripada risiko trombosis intravaskular. Kapan obat harus dihentikan masih belum jelas. Oleh karena risiko trombosis tetap tinggi selama SN menetap maka secara teoritis pemberian antikoagulan diteruskan sampai remisi atau diberikan seumur hidup. Pemberian antikoagulan jangka lama ini merupakan keharusan untuk pasien yang mengalami dua atau lebih episode trombosis atau satu episode yang mengancam kehidupannya. Pemantauan (Monitoring) Terapi dengan pemberian prednison atau imunosupresan lain dalam jangka lama, maka perlu dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya efek samping obat. Prednison dapat menyebabkan hipertensi atau efek samping lain, dan siklofosfamid dapat

menyebabkan depresi sumsum tulang dan efek samping lain. Pemeriksaan tekanan darah perlu dilakukan secara rutin. Pemeriksaan tekanan darah perlu dilakukan secara rutin. Pada pemakaian siklofosfamid diperlukan pemeriksaan darah tepi setiap minggu. Apabila terjadi hipertensi, prednison dihentikan dan diganti dengan imunosupresan lain, dan hipertensi diatasi dengan obat antihipertensi. Jika terjadi depresi sumsum tulang (leukosit <3.000/ul) maka obat dihentikan sementara dan dilanjutkan lagi jika leukosit 5.000/ul. Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi sebagai akibat penyakit sindrom nefrotik sendiri atau efek samping pemberian obat prednison secara berulang dalam jangka lama. Selain itu, penyakit ini merupakan keadaan imunokompromais sehingga sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi yang berulang dapat mengganggu tumbuh kembang pasien. Dosis pemberian albumin, bila kadar albumin serum 1-2 g/dl : diberikan 0,5 g/ kgBB/hari; bila kadar albumin < 1 g/dl diberikan 1 g/kgBB/hari.

DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein dkk, Buku Ajar Nefrologi Anak, Edisi 2, Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2002, Jakarta, hlm. 381 422. 2. Allison A Eddy, Jordan M Symons, Nephrotic syndrom in chilhood, The Lancet, vol : 362, august 2003, page : 629-639. 3. Darmawan John, Remisi lengkap proteinuria dan remisi bebas-terapi sindrom nefrotik, Majalah kedokteran Indonesia, Vol: 50, No.6, Juni 2000, hal: 312-316. 4. Hutagalung. P, Sindrom nefrotik, Majalah Kedokteran FK. UKI XVIII, No. 44, Jakarta, September 2000, hal: 1-10. 5. Pardede O. Sudung, Miklofenolat Mofetil sebagai Terapi Sindrom Nefrotik pada Anak, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume : 54, No:10, Jakarta, Oktober 2004, hal : 431-437. 6. Pardede O. Sudung, Sindrom Nefrotik Infantil, Cermin Dunia Kedokteran No. 134, Jakarta, 2002, hal: 32-38. 7. Subandiyah Krisni, outcome Sindrom nefrotik pada anak, Journal Kedokteran Brawijaya, Vol. XX, No. 3, Malang, Desember 2004, hal: 147-151. 8. William W. Hay, Jr., Jessie R, CURRENT Pediatric Diagnosis & Treatment, a LANGE medical book, 13th edition, Aplleton & Lange, Stamford, Connecticut, 1997, page: 607-616. 9. www.pediatrics.com, Efficacy of albumin and diuretic therapy in children with nephrotic syndrome, 2006 10. www.pediatriconcall.com/forpatients/CommonChild/nephroticsyndrome.asp Diet in Nephrotic Syndrome 11. www.ikcc.com treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children 12. www.pediatrics.com, predicting first-year relapses in children with nephrotic syndrome 13. www.Eurepean Renal Association.com, Mechanisms of oedema in nephrotic syndrome 14. www. NEJM.com, Nephrotic Syndrome 15. www. Pubmed .com, the nephrotic syndrom

Anda mungkin juga menyukai