Anda di halaman 1dari 11

1. Bagaimana terjadi icterus pada decomp-cordis?

Kelainan ini merupakan temuan lanjut pada decomp-cordis kongestif dan berkaitan dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect. Timbul akibat gangguan fungsi hati sekunder terhadap kongesti paru dan hipoksia hepatoseluler berkaitan dengan atrofi lobulus sentral. Konsentrasi serum transaminase sering meningkat. Jika kongesti hepatic terjadi secara aku, icterus mungkin berat dan enzim-enzim meningkat secara langsung.

2. Diagnosis hipopigmentasi dan hubungannya dengan penyakit dalam

Pitiriasis versikolor. Lesi pitiriasis versikolor terutama dijumpai di bagian atas dada dan meluas ke lengan atas, leher, tengkuk, perut atau tungkai atas/bawah. Dilaporkan adanya kasus-kasus yang khusus dimana lesi hanya dijumpai pada bagian tubuh yang tertutup atau mendapatkan tekanan pakaian , misalnya pada bagian yang tertutup pakaian dalam. Dapat pula dijumpai lesi pada lipatan aksila, inguinal atau pada kulit muka dan kepala. Penderita pada umumnya hanya mengeluhkan adanya bercak/makula berwarna putih

(hipopigmentasi) atau kecoklatan (hiperpigmentasi) dengan rasa gatal ringan yang umumnya muncul saat berkeringat. Ukuran dan bentuk lesi sangat bervariasi bergantung lama sakit dan luasnya lesi. Pada lesi baru sering dijumpai makula skuamosa folikular. Sedangkan lesi primer tunggal berupa makula dengan batas sangat tegas tertutup skuama halus.

Morbus Hansen. Makula hipopigmentasi yang terdapat pada penderita Morbus Hansen mempunyai ciri-ciri khas yaitu makula anestesi, alopesia, anhidrosis dan atrofi. Lesi dapat satu atau banyak, berbatas tegas dengan ukuran bervariasi. Ada hubungannya dengan Hipertiroidisme (atas aktivitas dari kelenjar tiroid), Insufisiensi adrenocortical (kelenjar adrenal tidak menghasilkan cukup hormone kortikosteroid.

Hipopigmentasi post inflamasi. Berbagai proses inflamasi pada penyakit kulit dapat pula menyebabkan hipopigmentasi misalnya lupus eritematosus diskoid, dermatitis atopik, psoriasis, parapsoriasis gutata kronis, dan lain-lain. Predileksi dan bentuk kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesuai dengan lesi primernya. Hal ini khas pada kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesudah menderita psoriasis

Pitiriasis alba. Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Wanita dan pria sama banyak. Lesi berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya lesi berwarna

merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama halus diatasnya. Setelah eritema menghilang lesi yang dijumpai hanya hipopigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita datang berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna. Bercak biasanya multipel 4 sampai 20. Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka (50-60%), paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Lesi umumnya asimtomatik tetapi dapat juga terasa gatal dan panas.

Progressive macular hipomelanosis Progressive macular hipomelanosis (PMH) adalah suatu kondisi yang sering dijumpai di India Barat ditandai dengan makula hipopigmentasi yang menyebar cepat pada badan. Ditemukan terutama pada usia muda terutama wanita usia 18-25 tahun. Sering disangka sebagai pitiriasis versikolor dan pitiriasis alba. Lesi berbentuk makula hipopigmentasi dengan batas tidak tegas, tidak berskuama, berukuran numular dan dapat berkonfluen dengan predileksi di badan bagian muka dan belakang.

Pinta (Carate, Mal de Pinta, Azul) Pinta yang berarti bercak berwarna dalam bahasa Spanyol, disebabkan oleh Treponema carateum. Pinta adalah satu-satunya treponematosis dengan manifestasi klinis terbatas pada kulit. Seperti sifilis, pada pinta terdapat 3 stadium klinis namun berbeda dengan sifilis pada pinta lesi dari berbagai stadium dapat ditemukan bersamaan pada satu pasien. Lesi primer timbul antara 3 hingga 60 hari setelah inokulasi, berupa papul eritem, satu atau lebih. Dalam beberapa minggu berkembang menjadi plak ireguler, hiperkeratotik, likenifikasi dan dapat mencapai ukuran diameter 20 cm. Lesi timbul pada daerah yang terbuka misalnya tangan, kaki, lengan, wajah dan leher. Lesi dapat bertahan hingga tahunan atau sembuh secara spontan dengan sisa berupa hipopigmentasi.

3. cairan hipertonik memiliki osmolaritas yang lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel kedalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urun dan mengurang udem. Penggunaannya bertolak belakan dengan jenis cairan hipotonik. Contohnya albumin karena molekulnya cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membrane kapiler

Parameter

Ringan

Sedang

Berat

Ancaman henti

klinis, fungsi faal paru, laboratorium

napas

Sesak (breathless)

Berjalan Bayi : Menangis keras

Berbicara Bayi : -Tangis pendek dan lemah -Kesulitan menetek/makan

Istirahat Bayi : Tidakmau makan/minum

Posisi

Bisa berbaring

Lebih suka duduk

Duduk bertopang lengan

Bicara Kesadaran Sianosis Wheezing

Kalimat Mungkin iritabel Tidak ada Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi

Penggal kalimat

Kata-kata

Biasanya iritabel Biasanya iritabel Kebingungan Tidak ada Nyaring, sepanjang ekspirasi inspirasi Ada Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop Nyata Sulit/tidak terdengar

Penggunaan otot bantu respiratorik

Biasanya tidak

Biasanya ya

Ya

Gerakan paradok torakoabdominal

Retraksi

Dangkal, retraksi interkostal

Sedang, ditambah retraksi suprasternal

Dalam, ditambah napas cuping hidung

Dangkal / hilang

Frekuensi napas

Takipnu

Takipnu

Takipnu

Bradipnu

Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar : Usia menit < 2 bulan <60 Frekuensi napas normal per

2-12 bulan 1-5 tahun 6-8 tahun Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikar di

< 50 < 40 < 30 Dradikardi

Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak Usia 2-12 bulan 1-2 tahun 6-8 tahun Pulsus paradoksus (pemeriksaan nya tidak praktis) PEFR atau FEV1 (%nilai >60% 40-60% 60-80% <40% <60%, respon <2 jam Tidak ada (< 10 mmHg) Ada (10-20 mmHg) Ada (>20m mHg) Frekuensi nadi normal per menit < 160 < 120 < 110 Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik

dugaan/%nilai >80% terbaik) Pra bonkodilator Pasca bronkodilator SaO2 % PaO2 >95% Normal (biasanya tidak perlu diperiksa) PaCO2 <45 mmHg

91-95% >60 mmHg <45 mmHg

90% <60 mmHg >45 mmHg

4. Klasifikasi Asma menurut GINA, 2006

5. Penanganan Asma

Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu: 1. Medikasi 2. Pengobatan berdasarkan derajat Medikasi Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara seperti inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui inhalasi agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang minimal ataupun tidak ada. Macammacam pemberian obat inhalasi dapat melalui inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu (spacer), Dry powder inhaler (DPI), breathactuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol (controllers) dan pelega (reliever). Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang, terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma tetap terkontrol (PDPI, 2006). Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut sebagai pencegah terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5. Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik Leukotriene modifiers Agonis -2 kerja lama (inhalasi dan oral) Metilsantin (teofilin) Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium)

Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hipersensitivitas jalan napas. Pelega terdiri dari: 1. Agonis -2 kerja singkat 2. Kortikosteroid sistemik

3. Antikolinergik (Ipratropium bromide) 4. Metilsantin Pengobatan Berdasarkan Derajat Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi: 1. Asma Intermiten a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol b. Bila diperlukan pelega, agonis -2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan agonis -2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan 2. Asma Persisten Ringan a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis -2 kerja lama inhalasi 400 g/hari 250 g/hari

Teofilin lepas lambat Kromolin Leukotriene modifiers

b. Pelega bronkodilator (Agonis -2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu 3. Asma Persisten Sedang ( a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Budenoside: 400800 g/hari

Fluticasone propionate : 250500 g/hari Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah teofilin lepas lambat Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -2 kerja lama oral Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 g/hari) Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah leukotriene modifiers

b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu Agonis -2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari, atau Agonis -2 kerja singkat oral, atau Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis -2 kerja lama inhalasi d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah. 4. Asma Persisten Berat Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Beclomethasone dipropionate: >800 g/hari Selain itu teofilin lepas lambat, agonis -2 kerja lama oral, dan leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis -2 kerja lama inhalai ataupun sebagai

tambahan terapi Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas

6. Perbedaan Asma Bronkial dan Asma cardial

Asma Bronkial merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari Penderita asma bronkial, hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan dari luar, seperti debu rumah, bulu binatang, asap, dan bahan lain penyebab alergi. Gejala kemunculannya sangat mendadak, sehingga gangguan asma bisa datang secara tiba-tiba. Jika tidak mendapatkan pertolongan secepatnya, risiko kematian bisa datang. Gangguan asma bronkial juga bisa muncul karena adanya radang yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan bagian bawah. Penyempitan ini akibat berkerutnya otot polos saluran pernapasan, pembengkakan selaput lendir, dan pembentukan timbunan lendir yang berlebihan. Asma kardial adalah asma yang timbul akibat adanya kelainan jantung atau disebut juga edema paru kardiogenik. Penyebab terjadinya asma kardial karena terjadinya gagal jantung kiri. Hal ini akan diikuti peninggian tekanan darah di vena pulmonalis dan di pembuluh darah kapiler paru-paru Pada saat tekanan di arteri pulmonalis dan arteri bronchialis meninggi terjadi pula transudasi di jaringan interstisial bronkus. Jaringan tersebut menjadi edema dan hal ini akan mengurangi besarnya lumen bronchus, sehingga aliran udara menjadi terganggu. Pada keadaan ini suara pernafasan menjadi berbunyi pada saat ekspirasi, terdengar bising ekspirasi dan fase ekspirasi menjadi lebih panjang. Keadaan ini dikenal dengan asma kardial, suatu fase permulaan gagal jantung. Asma kardial merupakan perjalanan penyakit dari gagal jantung karena itu disertai oleh gejala-gejala gagal jantung lainnya. Sesak nafas terjadi pada saat berbaring dan dapat dikurangi dengan sikap duduk atau berdiri (Ortopnue)

Serangan sesak nafas terjadi pada malam hari, pasien yang sedang tertidur terbangun karena sesak (Paroksismal Nokturnal Dispneu) Berkeringat dingin dan pucat Untuk membedakan dengan asma bronchial kita perlu menanyakan apakah sesak nafasnya terjadi setelah suatu infeksi virus, olah raga, terpapar allergen, atau karena lonjakan emosi Pemeriksaan fisik Ditemukannya gejala-gejala :

suara nafas berbunyi pada saat ekspirasi (wheezing) terdengar bising ekspirasi fase ekspirasi menjadi lebih panjang Ditemukan juga gejala-gejala gagal jantung kiri

Takikardi >120/menit Kardiomegali Gallop S3 Ronki paru Edema paru Penurunan kapasitas vital paru

Kadang-kadang suit membedakan edema paru kardiogenik akut dengan Asma Bronkhial yang berat, karena pada keduanya terdapat sesak nafas yang hebat, pulsus paradoksus, lebih enak posisi duduk dan wheezing merata yang menyulitkan auskultasi jantung Pada asma bronchial terdapat riwayat serangan asma yang sama dan biasanya penderita sudah tau penyakitnya. Selama serangan akut penderita tidak selalu banyak berkeringat dan hipoksia arterial kalau ada tidak cukup menimbulkan sianosis. Sebagai tambahan, dada nampak hiperekspansi, hipersonor, dan penggunaan otot pernafasan sekunder nampak nyata. Wheezing nadanya lebih tinggi dan musika, suara tambahan seperti ronkhi tidak menonjol. Penderita edema paru akut sering mengeluarkan banyak keringat dan sianotik akibat adanya desaturasi darah arteri dan penurunan aliran darah ke kulit. Perkusi paru sering redup, tidak ada hiperekspansi, pemakaian otot pernafasan sekunder juga tidak begitu menonjol dan selain wheezing terdengar ronkhi basah. Gambaran radiology paru menunjukkan adanya gambaran edema paru yang membedakan dengan

asma bronchial. Setelah penderita sembuh gambaran edema paru secara radiology menghilang lebih lambat dibandingkan penurunan tekanan kapiler paru.

Anda mungkin juga menyukai