Anda di halaman 1dari 3

Muhammad: Nabi dan Politikus Oleh Ulil Abshar-Abdalla, Peneliti pada Freedom Institute, Jakarta KEUNTUNGAN Islam sebagai

sebuah agama terletak pada satu hal: tidak sebagaimana pada kasus Kristen, Islam menemukan Konstantin dalam tubuhnya sendiri, bukan dari luar. Muhammad (saw) jelas bukan sekadar nabi, melainkan juga tokoh duniawi yang berjuang keras agar ajaran-ajaran yang ia bawa, bukan sekadar awan putih yang melayang-layang di angkasa, tidak berjejak di bumi. Pada kasus Kristen, Yesus hanya punya waktu kurang lebih tiga tahun untuk menyampaikan ajaran-ajarannya. Setelah itu, Yesus harus berhadapan dengan struktur politik Imperium Romawi yang begitu raksasa, sehingga akhirnya ia dibunuh dan disalibkan. Agama Kristen, saat itu, persis seperti tetumbuhan yang baru bersemi dan langsung terpangkas. Banyak orang barandai-andai: taruhlah tidak muncul tokoh besar Raja Konstantin Agung pada abad ke-3 Masehi yang akhirnya memeluk Kristen dan menjadikannya sebagai agama negara, apakah yang terjadi pada agama dengan pemeluk terbesar di dunia ini. Tanpa kekuasaan politik, apakah agama ini bisa berkembang dengan cepat, menjadi agama universal? Kita tidak pernah tahu, karena toh ini hanyalah pengandaian sejarah. Pada kasus Islam, dengan sedikit perbandingan yang agak ceroboh, Muhammad adalah Yesus dan Konstantin itu sendiri. Jika diperbolehkan membuat perbandingan antara sejarah Yesus dan Muhammad, maka tahun-tahun ketika Muhammad di Mekah (persisnya 610 M ketika Muhammad menerima wahyu pertama hingga 622 M saat dia hijrah ke Madinah) boleh kita katakan sebagai periode khotbah di atas bukit, periode ketika nabi mendakwahkan ajaran-ajarannya. Periode itu berlangsung kira-kira 13 tahun. Periode Madinah, yaitu sejak 622 M hingga 632 M, saat dia wafat, adalah periode pelembagaan politik dan sosial. Saya ingin menyebutnya pula sebagai periode Konstantin. Salah satu fase penting yang secara simbolik sering disebut sebagai mencerminkan corak misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah saat dia ber-takhannuts atau melakukan meditasi di Hira, sebuah gua di luar kota Mekah. Setelah nabi mendapat wahyu pada 610 M, dia tidak terus tinggal di sana, menikmati meditasi yang soliter, menjauhkan diri dari masyarakat. Sebaliknya, ia balik ke kota, mendakwahkan ajaran-ajaran, dan melakukan apa yang dalam istilah sekarang disebut sebagai transformasi sosial. Dalam Islam, biasa dibedakan antara seorang nabi dan rasul. Nabi adalah seseorang yang menerima wahyu, namun tidak diharuskan oleh Tuhan untuk mendakwahkannya kepada masyarakat. Rasul, sebaliknya, menerima wahyu dan diharuskan menyebarkannya. Muhammad adalah nabi dan sekaligus rasul. Saya, di sini, menggunakan istilah yang mudah ditangkap oleh masyarakat. Saya hendak menyebut Muhammad sebagai nabi dan politikus sekaligus. Politikus di sini saya maknai sebagai seseorang yang harus berjuang untuk dealing with possibilities, menghadapi kenyataan konkret yang serbasarat kemungkinankemungkinan. Secara meyakinkan, dalam kariernya selama 23 tahun, Muhammad telah memperlihatkan bukan saja sebagai seorang yang melakukan reformasi moral melalui karier kenabian, tetapi juga reformasi sosial, bahkan politik, melalui pembentukan sistem masyarakat dan politik di Madinah.
1

SALAH satu keuntungan yang dinikmati Nabi adalah: ia hidup di pinggiran hemisphere atau dunia yang dikuasai oleh Imperium Roman dan Sasan di Persia. Inilah keuntungan sejarah yang tidak dimiliki oleh Kristen. Kristen lahir tepat di jantung kekaisaran Romawi, dan di tengah-tengah kekuasaan agama yang telah mapan, yaitu Yahudi. Islam, sebaliknya, lahir di tengah-tengahkatakan sajaterra incognita, daerah kosong yang belum ada kekuasaan apa pun di sana. Mekah, saat Muhammad lahir dan memulai garis kerasulan, adalah sebuah kota yang terletak jauh di pinggiran kekaisaran Romawi dan Persia. Kalau kita boleh meminjam analisis Ben Anderson tentang konsep kekuasaan politik di Jawa, saya rasa apa yang dikemukakan oleh Anderson adalah tipikal kerajaan-kerajaan pramodern, yang kekuasaannya kian meredup di daerah-daerah pinggiran. Begitulah kira-kira, keadaannya ketika itu. Pengaruh kekuasaan dua imperium besar tersebut kurang begitu terasa di Kota Mekah. Keadaan ini menguntungkan bagi agama dan komunitas baru yang sedang dikembangkan oleh Nabi. Saya akan berandai-andai: taruhlah Islam lahir dan muncul di Asia kecil, di kawasan Turki sekarang, mungkin perjalanan agama ini akan lain. Tentu kita tidak tahu apa yang akan terjadi, sebab ini hanya historical if. Seorang ulama Mesir, Ali Abdul Raziq, dalam risalahnya yang sangat ramai diperdebatkan, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Kekuasaan), pernah mengemukakan bahwa Muhammad hanyalah seorang rasul dan juru dakwah, bukan seorang pemimpin negara. Meskipun saya setuju dengan tujuan dia menuliskan risalah ini, yaitu untuk menolak klaim umat Islam untuk mendirikan kembali negara Khilafah setelah dibubarkan oleh Kemal Attaturk, tetapi penggambaran dia tentang Muhammad jelas berat sebelah. Muhammad memang seorang rasul, tetapi lebih penting lagi dia adalah pemimpin suatu komunitas konkret yang menjadi embrio sebuah negara di Madinah. Karena itulah, tidak salah seandainya generasi intelektual muslim modern mencoba mencari dalam contoh Nabi di Madinah itu suatu ilham untuk mengelola masyarakat modern. Salah satu kebijakan politik yang sering dianggap sebagai kejeniusan Muhammad (Abqariyyat Muhammad), adalah ketika dia memprakarsai suatu kontrak politik antara umat Islam dan kelompok-kelompok sosial lain di Madinah saat itu. Dokumen kontrak ini, dalam sejarah Islam, dikenal sebagai Mitsaq alMadinah atau Perjanjian Madinah, atau Piagam Madinah. Penulis Mesir, Muhammad Husen Haikal, dalam Hayat Muhammad (Peri Hidup Muhammad), menyebut hal ini sebagai watsiqah siyasiyyah atau dokumen politik yang menjamin kebebasan iman, kebebasan pendapat, perlindungan atas negara, hak hidup, hak milik, dan pelarangan kejahatan. Saya sepakat bahwa Madinah adalah sebuah embrio negara atau bahkan negara itu sendiri. Nabi adalah pemimpin di sana. Sebagai seorang politikus yang memimpin negara, dia sukses mendirikan identitas politik pertama di kawasan Arab. Dalam entitas baru itu, masyarakat Arab, dari pelbagai suku dan klan, bisa dipersatukan: suatu prestasi besar yang belum pernah dicapai oleh pemimpin Arab sebelum
2

Muhammad. Sebagaimana Konstantin sebelumnya, Nabi menjadikan Islam sebagai semen peradaban yang mengikat masyarakat Arab (juga non-Arab pada tahap selanjutnya). Yang tidak saya sepakati adalah jika seluruh kebijakan Nabi di Madinah saat itu harus ditiru 100% pada masa sekarang. Bagaimanapun, contoh Nabi di Madinah sangat dikondisikan oleh konteks sosial dan sejarah yang spesifik pada saat itu. Model Madinah bisa menjadi inspirasi dan ilham untuk mencari bentuk pengelolaan kehidupan modern sekarang ini bagi umat Islam, tetapi model itu bukanlah juklak yang harus ditiru setindak demi setindak. Umat Islam harus merumuskan sendiri model baru yang sesuai dengan tantangan saat ini. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala ali Sayyidina Muhammad.

Anda mungkin juga menyukai