Anda di halaman 1dari 14

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sintesis dan Karakterisasi Nanopartikel Magnetit 1. Hasil Pengamatan Fisik Sintesis nanopartikel magnetit pada penelitian ini dilakukan dengan metode kopresipitasi. Saat campuran larutan besi (II) sulfat heptahidrat dan besi (III) klorida anhidrat diteteskan pada larutan natrium hidroksida, terbentuk endapan hitam. Endapan kemudian disaring dan dicuci hingga pH air cucian sama dengan pH air yang digunakan untuk mencuci. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan ion-ion seperti Na+, SO42-, Cl- dan OH-. Endapan yang telah dicuci kemudian dikeringkan dalam oven pada temperatur 60-65oC selama 3 jam lalu ditumbuk. Pengeringan dilakukan pada temperatur rendah agar magnetit tidak teroksidasi menjadi maghemit. Berdasarkan pengamatan, produk yang diperoleh berupa serbuk hitam seperti pada Gambar 4.1

Gambar 4.1 Serbuk magnetit

25

26 Serbuk hitam ini tertarik kuat oleh magnet, tidak larut dalam air dan etanol, serta larut dalam asam klorida. Sifat-sifat ini telah sesuai dengan ciri-ciri magnetit (Hawley, 1971). Reaksi yang terjadi pada pembentukan magnetit adalah sebagai berikut: Fe2+(aq) + 2 Fe3+(aq) + 8 OH-(aq) 2. Analisis XRD (X-Ray Diffraction) Analisis XRD dilakukan untuk mengidentifikasi serbuk hitam yang diperoleh benar-benar merupakan magnetit atau bukan. Hasil analisis kemudian dibandingkan dengan JCPDS Card No. 19-629. Analisis XRD didasarkan pada interaksi sinar-X dengan permukaan magnetit pada sudut tertentu. Hasil analisis XRD disajikan pada Gambar 4.2. FeO.Fe2O3(s) + 4 H2O(l)

120

(a)

100

80

Intensitas

60

40

20

0 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70

27
120

(b)
100
(311)

80

Intensitas

60
(440) (220) (511) (400) (422) (531)

40

20

0 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70

2
Gambar 4.2 (a) Spektrum XRD Magnetit Hasil Sintesis, (b) Spektrum XRD Standar untuk Magnetit (JCPDS Card No. 19-629) Tabel 4.1 Perbandingan Karakter Spektrum XRD Magnetit Standar dan Hasil Sintesis

Karakter Standar Jumlah Puncak (220) (311) (400) (422) (511) (440) (531) 7 30,0945 35,4223 43,0519 53,3909 56,9425 62,5146 65,7430

Nilai 2 Sampel 6 30,1460 35,5052 43,2817 53,7755 57,1753 62,8520

Pada analisis XRD, sinar-X yang ditembakkan pada suatu kristal didifraksikan oleh bidang-bidang kristal dengan indeks Miller tertentu. Dari analisis XRD akan dihasilkan spektrum dengan sumbu X menunjukkan 2 dan sumbu Y merupakan intensitas. Sudut 2 adalah sudut difraksi, sedangkan intensitas merupakan jumlah cahaya hasil difraksi yang dapat diterima detektor.

28 Spektrum XRD yang dihasilkan berupa deretan puncak-puncak difraksi dengan intensitas relatif bervariasi sepanjang nilai 2 tertentu. Berdasarkan Tabel 4.1 tampak bahwa ada kesesuaian antara hasil sintesis dengan data referensi JCPDS Card No.19-629 untuk magnetit. Maka dapat disimpulkan bahwa serbuk hitam (sampel) yang diperoleh benar merupakan magnetit. 3. Analisis BET (Brunauer-Emmet-Teller) Analisis BET dilakukan untuk mengetahui ukuran rata-rata partikel berdasarkan atas penyerapan gas nitrogen. Banyaknya molekul gas nitrogen yang teradsorpsi bergantung pada luas permukaan sampel yang dianalisis. Hasil analisis BET tersaji pada Lampiran 1. Pada kurva BET, sumbu y menyatakan volume gas nitrogen yang diserap oleh sampel dan sumbu x menyatakan tekanan relatif P/Po. Po adalah tekanan awal sistem dan P adalah tekanan yang hilang akibat terserapnya gas nitrogen oleh sampel. Volume gas nitrogen yang terserap berbanding lurus dengan tekanan relatif P/Po. Hal ini berarti semakin banyak volume gas nitrogen yang diserap, maka tekanan yang hilang (P) juga akan besar, akibatnya nilai dari P/Po juga semakin besar. Dari hasil BET, serbuk magnetit memiliki luas permukaan spesifik sebesar 112,701 m2/g. Dengan asumsi bahwa partikel berbentuk bola dan tidak berpori, dari data tersebut dapat dihitung diameter rata-rata partikel dengan rumus: Diameter partikel:

6 as

Dengan as adalah luas permukaan dan adalah densitas magnetit (5,18 gram/cm3). Berdasarkan perhitungan diameter, diperoleh diameter rata-rata partikel magnetit sebesar 10,28 nm. Berdasarkan hal tersebut, maka magnetit yang disintesis

29 tergolong dalam nanomaterial karena diameter rata-rata partikelnya kurang dari 100 nm. 4. Analisis TG-DTA (Thermogravimetry-Differential Thermal Analysis) Magnetit dapat teroksidasi dengan lambat menjadi maghemit dan prosesnya akan berjalan lebih cepat jika disertai dengan pemanasan. Analis TGDTA dilakukan untuk mengetahui pada temperatur berapa magnetit hasil sintesis dapat teroksidasi melalui pemanasan. Hasil analisis TG-DTA disajikan pada Lampran 2. Dalam grafik hasil analisis TG-DTA, kurva yang berwarna merah merupakan kurva TG, kurva biru adalah kurva DTA, dan kurva hijau adalah kurva temperatur. Pada kurva TG, terlihat terjadi penurunan massa akibat adanya kenaikan temperatur pada rentang waktu 0-4 menit. Penurunan massa ini diakibatkan oleh hilangnya molekul-molekul air yang menempel pada sampel magnetit, kemudian pada pemanasan lebih lanjut, massa sampel relatif tetap. Pada kurva DTA, kurva endotermik (saat temperatur relatif rendah) menunjukkan adanya perubahan fisika, dalam hal ini adalah peristiwa dehidrasi. Seiring dengan bertambahnya waktu dan temperatur, pada kurva DTA muncul puncak eksotermik yang menandakan ada perubahan kimia pada sampel. Kurva eksotermik menandakan adanya penurunan entalpi sampel yang mengindikasikan perubahan ke struktur yang lebih stabil. Dalam hal ini dapat dianalisis bahwa puncak eksotermik merupakan indikasi magnetit teroksidasi menjadi maghemit. Berdasarkan hasil analisis TG-DTA, dapat dikatakan magnetit dapat teroksidasi menjadi maghemit pada temperatur 200oC. Hal ini dapat dilihat pada kurva DTA. Jika titik ditengah-tengah kurva DTA di plotkan terhadap kurva

30 temperatur (berwarna hijau), maka diperoleh temperatur oksidasi, yaitu sekitar 200oC. Temperatur inilah yang digunakan sebagai dasar oksidasi magnetit menjadi maghemit pada penelitian ini.

B. Sintesis dan Krakterisasi Nanopartikel Maghemit 1. Hasil Pengamatan Fisik Nanopartikel magnetit yang telah dipanaskan pada temperatur 200oC selama 2 jam, memberikan produk berupa serbuk coklat kemerahan seperti pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Serbuk Maghemit

Serbuk coklat kemerahan ini tertarik kuat oleh magnet, tidak larut dalam air dan alkohol, serta larut dalam HCl. Hal ini sesui dengan ciri-ciri maghemit (Hawley, 1971). Berdasarkan fakta yang teramati, serbuk coklat kemerahan mengindikasikan magnetit telah berubah menjadi maghemit dengan persamaan reaksi: FeO.Fe2O3(s) + O2(g) 3 -Fe2O3(s)

31 2. Analisis XRD (X-Ray Diffraction) Analisis dilakukan untuk mengidentifikasi apakah serbuk coklat kemerahan yang diperoleh memang benar-benar maghemit atau bukan. Hasil analisis XRD disajikan pada Gambar 4.4.

250

(a)

200

intensitas

150

100

50

0 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70

2
250

(b)
200

150

Intensitas

(311)
100

50

(220) (400)

(511) (422)

(440)

0 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70

32 (c)

Maghemit Magnetit

25

30

35

40

45

50

55

60

65

70

2
Gambar 4.4 (a) Spektrum XRD Maghemit Hasil Pemanasan Magnetit, (b) Spektrum Standar XRD untuk Maghemit (JCPDS Card No. 39-1346), (c) Perbandingan Spektrum XRD Magnetit dan Maghemit Hasil Sintesis

Tabel 4.2. Perbandingan Karakter Spektrum XRD Maghemit Standar dan Hasil Sintesis Nilai 2 Standar Jumlah Puncak (220) (311) (400) (422) (511) (531) 6 30,2406 35,63016 43,28351 53,73254 57,10561 62,92503 Sampel 6 30,2112 35,6510 43,3731 53,8600 57,2200 62,9734

Karakter

Dari Gambar 4.4 tampak bahwa spektrum XRD maghemit bersesuaian dengan JCPDS Card No. 39-1346). Hal ini didukung oleh adanya pergeseran 2 ke nilai yang lebih besar jika dibandingkan dengan nilai 2 pada XRD magnetit sebagaimana yang tersaji dalam Tabel 4.3.

33
Tabel 4.3 Perbandingan Nilai 2 Magnetit dan Maghemit Hasil Sintesis

Magnetit 30,1460o 35,5052o 43,2817o 53,7755o 57,1753o 62,8520o

Maghemit 30,2112o 35,6510o 43,3731o 53,8600o 57,2200o 62,9734o

Berdasarkan Tabel 4.3, tampak bahwa 2 yang dibentuk oleh magnetit memiliki nilai yang lebih besar daripada magnetit. Hal ini disebabkan oleh nilai a (panjang unit sel) magnetit lebih besar dari pada magnetit. Maghemit memiliki a sebesar 0,389 nm, sedangkan magnetit adalah 0,384 nm. Semakin besar a maka 2 yang terbentuk akan semakin kecil dan sebaliknya. Spektrum XRD magnetit dan maghemit yang identik dikarenakan keduanya memiliki susunan rapat tiga dimensi atom-atom yang sama, yaitu kubus (Cornell & Schwertmann, 2003: 177). Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa serbuk coklat kemerahan yang diperoleh adalah maghemit. 3. Analisis BET (Brunauer-Emmet-Teller) Seperti pada karakterisasi magnetit, analisis BET digunakan untuk menentukan ukuran rata-rata partikel maghemit. Hasil analisis BET disajikan pada Lampiran 3. Penjelasan mengenai kurva BET maghemit serupa dengan penjelasan kurva BET pada magnetit. Dari hasil BET, serbuk maghemit memiliki luas permukaan spesifik sebesar 87,616 m2/g. Dengan asumsi bahwa partikel berbentuk bola dan tidak berpori serta = 4,87 gram/ cm3, diperoleh diameter rata-rata partikel maghemit hasil sintesis sebesar 13,22 nm. Berdasarkan hal

34 tersebut dapat dilihat bahwa maghemit memiliki diameter rata-rata partikel magnetit. Hal ini disebabkan proses oksidasi magnetit menjadi maghemit pada temperatur 200C menyebabkan partikel-partikelnya membesar sehingga jarak antar partikel semakin rapat. Hal ini menyebabkan luas permukannya juga mengecil. Maghemit yang disintesis tergolong dalam nanomaterial karena diameter rata-rata partikelnya kurang dari 100 nm.

C. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan Rhodamin B Pada penelitian yang dilakukan oleh Garindani, 2012, diperoleh panjang gelombang maksimum larutan rhodamin B sebesar 533 nm. Berdasarkan hal tersebut, pada penelitian ini pencarian panjang gelombang maksimum dilakukan pada rentang panjang gelombang 540-570 nm dengan menggunakan spektronik 20. Data hasil penentuan panjang gelombang maksimum disajikan pada Gambar 4.5.

0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 535 540 545 550 555 560 Panjang Gelombang Axis Title (nm) 565 570 575

Gambar 4.5 Kurva Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan Rhodamin B

Absorbansi

35

Berdasarkan data, panjang gelombang maksimum yang diperoleh adalah 533 nm dengan memberikan nilai absorbansi paling tinggi, yaitu 0,571. Panjang gelombang maksimum ini kemudian digunakan pada tahap-tahap selanjutnya.

D. Penentuan Jumlah Larutan Hidrogen Peroksida 30% Penentuan jumah larutan hidrogen peroksida 30% dilakukan dengan mengamati perubahan nilai absorbansi larutan rhodamin B. Data absorbansi yang diperoleh disajikan pada Lampiran 4. Dari data absorbansi kemudian diolah menjadi persen oksidasi yang tersaji pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Data Penentuan Jumlah Larutan Hidrogen Peroksida 30%

Volume H2O2 30% 0,4 mL 0,6 mL 0,8 mL 1,0 mL 1,2 mL 1,4 mL

Mol H2O2 30% 0,0039 0,0058 0,0078 0,0097 0,0116 0,0136

% Oksidasi 59,89% 62,70% 63,40% 70,40% 69,53% 65,67%

Dari data tampak bahwa pada penambahan larutan hidrogen peroksida 30% sebanyak 0,4-1,0 mL, terjadi peningkatan persen oksidasi. Saat jumlah larutan hidrogen peroksida sebanyak 1,2 mL, persen oksidasi tampak menurun. Menurunnya persen oksidasi ini dimungkinkan karena adanya efek scavenging, yaitu reaksi penstabilan radikal-radikal yang berlimpah membentuk molekul yang lebih stabil. Jumlah hidrogen peroksida yang banyak akan meningkatkan produksi radikal hidroksil, sehingga peluang tumbukan antar radikal bebas dengan hidrogen peroksida berlebih adalah besar. Reaksi antara radikal hidroksil dengan hidrogen peroksida berlebih ini menghasilkan oksidator lain yaitu radikal peroksil. Radikal

36 peroksil ini memiliki kereaktifan yang lebih rendah dibanding radikal hidroksil sehingga tidak dapat bereaksi cepat dengan senyawa organik atau komponenkomponen lain. Reaksinya adalah sebagai berikut: H2O2(aq) OH(aq) + OH(aq) OH(aq) + H2O2(aq) OOH(aq) + H2O(l) Berdasarkan data, diperoleh jumlah larutan hidrogen peroksida yang memberikan persen oksidasi paling tinggi adalah 1 mL. Jumlah ini digunakan dalam tahap selanjutnya, yaitu tahap perbandingan daya katalitik magnetit dan maghemit.

E. Uji Sifat Katalitik Nanopartikel Magnetit dan Maghemit ada Reaksi Oksidasi Rhodamin B Nanopartikel magnetit dan maghemit hasil sintesis dalam penelitian ini diaplikasikan sebagai katalis dalam oksidasi rhodamin B oleh larutan hidrogen peroksida 30%. Berdasarkan langkah kerja, data yang diperoleh pada tahap ini berupa nilai absorbansi larutan rhodamin B sebagaimana disajikan pada Lampiran 5. Data absorbansi diolah menjadi persen oksidasi yang disajikan dalam Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Data Perbandingan Persen Oksidasi tanpa dan dengan Katalis

Jam ke0 1 2 3 4 5

Tanpa Katalis 0,000% 9,107% 13,135% 19,615% 24,34% 29,25%

Dengan Katalis Magnetit 0,000% 15,236% 22,942% 31,699% 39,405% 43,433%

Dengan Katalis Maghemit 0,000% 14,711% 17,688% 22,942% 28,722% 32,224%

37 Berdasarkan Tabel 4.3, oksidasi dengan katalis menghasilkan persen oksidasi yang lebih tinggi dari pada oksidasi tanpa katalis. Hal ini dikarenakan dengan adanya atom besi dipermukaan katalis dapat mempercepat pembentukan radikal hidroksil. Oksidasi menggunakan katalis magnetit menghasilkan persen oksidasi yang lebih besar dibandingkan menggunakan katalis maghemit. Hal ini disebabkan luas permukaan magnetit lebih besar daripada maghemit. Jika luas permukaan suatu katalis semakin besar, maka kemungkinan terjadinya interaksi antara hidrogen peroksida dengan permukaan katalis juga semakin besar, akibatnya pembentukan radikal hidroksil juga akan semakin cepat terbentuk. Berdasarkan pengamatan, muncul gelembung gas saat proses oksidasi. Campuran hasil oksidasi memiliki pH 7 yang dibuktikan dengan indikator universal dan tidak berubahnya warna kertas lakmus merah maupun biru. Hal ini bertentangan dengan mekanisme Fenton heterogen yang menghasilkan ion hidroksida pada akhir reaksi. Dari fakta tersebut, mekanisme reaksi yang terjadi adalah: + Permukaan Katalis

Permukaan Katalis ROH(aq) + H(aq) HOO(aq) + H2O(l) OH(aq) + H2O(l) + O2(g) H2O(l)

R-H(aq) + OH(aq) H2O2(aq) + OH(aq) H2O2(aq) + HOO(aq)


H(aq) + OH(aq)

Reaksi keseluruhan dituliskan sebagai berikut: Rhodamin B(aq) + H2O2(aq)


FeO.Fe2O3/ -Fe2O3

H2O(l) + O2(g) + hasil oksidasi(aq)

38 Penurunan nilai absorbansi tiap jam menyebabkan meningkatnya persen oksidasi dikarenakan radikal hidroksil yang berasal dari hidrogen peroksida mampu mengoksidasi larutan rhodamin B menjadi senyawa lain. Terbentuknya air pada reaksi ini mengakibatkan bertambahnya volume pelarut. Hal ini juga menjadi faktor pemyebab menurunnya nilai absorbansi (meningkatnya persen oksidasi). Berdasarkan reaksi, gelembung gas yang muncul diidentifikasi sebagai gas oksigen.

F. Identifikasi Senyawa Hasil Oksidasi Rhodamin B Pada umumnya,oksidasi sempurna senyawa organik akan menghasilkan gas karbondioksida, air, dan gas amonia. Berdasarkan pengamatan, gas hasil oksidasi tidak mengeruhkan air kapur. Fakta ini menunjukkan bahwa zat hasil oksidasi tidak menghasilkan gas karbon dioksida. Gas hasil oksidasi juga tidak merubah warna kertas lakmus merah basah. Fakta ini menunjukkan bahwa zat hasil oksidasi tidak menghasilkan gas amonia. Berdasarkan fakta yang diperoleh, oksidasi rhodamin B oleh hidrogen peroksida baik tanpa maupun dengan katalus tidak berlangsung sempurna. Diduga zat hasil oksidasi berupa zat lain yang masih belum diketahui senyawanya. Untuk mengetahui senyawa tersebut, diperlukan analisis atau penelitian lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai