Anda di halaman 1dari 19

MODUL 6 dan 7 TEST KERIBADIAN DAN TEST INTELEGENSI

Tujuan Instruksional Umum


Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan dan memahami test kepribadian dan test intelegensi.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang test kepribadian dan test intelegensi, yang meliputi sebagai berikut: Test Atau Inventori Kepribadian Pengukuran Minat dan Sikap Urgensi Diagnostik Mengenai Intelegensi Penyelidikan Mengenai Intelegensi

Materi Pembahasan
Telah dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa untuk melakukan asesmen kepribadian perlu diketahui konstruk kepribadian yang akan dibahas oleh test itu : apakah sifat, sikap, minat, kebutuhan, temperamen; atau konstruk-konstruk yang berkaitan dengan teori psikodinamik tentang kepribadian seperti : ego, super-ego, defens, represi dan sebagainya. Telah pula dibahas klasifikasi test, yang terpenting adalah yang membagi antara testtest kemampuan dan test-test kepribadian. Untuk masing-masing ada syarat-syarat, yang ditegakkan berdasar prosedur standardisasi, yakni menyelidiki reliabilitas, validitas dan kegunaan. Berikut akan dibahas kelompok test kepribadian, yaitu Inventori Kepribadian atau test lapor-diri (self report). Bila dikaitkan dengan pembagian ciri-ciri psikis menurut Stern dan metode interpretasi Schraml, maka Inventori Kepribadian relatif stabil dengan menggunakan metode interpretasi kuantitatif. Test Atau Inventori Kepribadian Test atau inventori kepribadian adalah alat untuk mengukur ciri-ciri emosional, motivasional dan hubungan antar manusia. Pada umumnya test atau inventori kepribadian
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

terdiri dari sejumlah pernyataan atau pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek. Karena itu seringkali tidak digunakan istilah test tapi inventori yang merupakan hasil pelaporan diri sendiri subjek, atau test lapor-diri (Test intelegensi mengukur kemampuan dan bakat). Pendekatan yang digunakan untuk mengkonstruksi atau membuat inventori kepribadian dapat dilakukan menurut empat prosedur, yaitu : prosedur yang berorientasi isi (content related), prosedur yang menggunakan kunci berdasarkan kriteria empirik (empirical criterion keying), prosedur analisis faktor dan prosedur yang menggunakan teori kepribadian tertentu. a. Prosedur berorientasi isi (content related) adalah prosedur konstruksi yang didasarkan atas pengetahuan teoritis yang telah ada, misalnya tentang suatu gangguan tertentu. Test yang dikonstruksi dengan prosedur ini antara lain : Woodworth Personal Data Sheet dan Symptom Cheklist. Keuntungan dari inventori jenis ini adalah singkat dan langsung memperoleh data yang diinginkan (misalnya, menetukan apakah seseorang mempunyai atau tidak ciri patologis sesuai yang diukur test itu). Sedangkan kerugiannya adalah subjek yang mengisi dapat memanipulasi jawaban. Artinya mengisi hal-hal yang baik saja tentang dirinya sendiri (faking good) atau terlalu banyak megungkapkan kekurangan-kekurangan dirinya (faking bad). Jadi ke-objektif-an invebtori jenis ini kurang apabila dibandingkan dengan test-test intelegensi atau test-test faali. b. Prosedur Empirical criterion keying melakukan penyusunan item berdasarkan kenyataan adanya symptom (gejala) pada kelompok criterion yang akan diteliti. Test atau inventori yang dikonstruksi menurut prosedur ini contohnya adalah Minnessota Multiphasic Personality Inventory (MMPI), yang awalnya dibuat oleh Hathaway dan Meehl untuk keperluan screening klinis dalam setting klinis. MMPI telah diterjemahkan dan distandardisasi di Indonesia oleh Rudy Salan. Beberapa pakar psikiater lainya juga telah memnggunakan namun dalam versi yang lebih singkat. Kritik terhadapa MMPI adalah bahwa test ini sangat culture-bound atau sangat bergantung atau terikat dengan budaya tertentu, sehingga sulit untuk menstandardisasikannya. MMPI telah banyak dipergunakan d Indonesia dan nampaknya disukai oleh konsumen. Namun penggunaan MMPI ada kalanya tidak sesuai dengan rationale test yang asli (untuk keperluan screening klinis dalam setting klinis), yakni banyak digunakan sebagai salah satu baterai untuk seleksi pegawai. Inventori lain yang dikonstruksi melalui criterion keying adalah California Pesonality Inventory. c. Prosedur analisis faktor dilakukan dengan mengidentifikasi sejumlah kecil faktor-faktor yang diperoleh melalui matriks korelasi dari sejumlah besar variabel-variabel. Faktor yang diidentifikasi melalui prosedur ini merupakan gabungan dari item-item yang saling berkorelasi tinggi dan faktor itu diberi nama sesuai dengan variable-variabel yang saling berkorealsi tersebut. Test yang dikonstruksi dengan cara ini diantaranya adalah 16

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

Personality Factor (16 PF) dari Cattel, Personality Inventory (EPI) dari Eysenck, PEN, Five Factor Model ciptaan Costa dan McCrae. Test Eysenck telah banyak diteliti melalui skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dengan berbagai sampel, diantaranya dilakukan oleh Aquira untuk populasi narapidana. Dari hasil penelitian tersebut, norma untuk faktor Neuroticism lebih tinggi daripada yang diusulkan oleh Eysenck, demikian juga dengan norma untuk Lie scale. 16 PF dari Cattel juga telah diteliti oleh Noor Rachman untuk populasi normal dan penderita epilepsi dan grand mal. d. Inventori kepribadian yang dikonstruksi sesuai dengan teori kepribadian adalah test Millon Clinical Multiaxial Inventory (MCMI), yakni sesuai dengan teori kepribadian Millon yang berorientasi biosocial learning. Test ini divalidasi dan beredar di Bagian Klinis Fakultas Piskologi Universitas Gadjah Mada. Test lain yang juga didasarkan atas teori kepribadian Millon adalah Millon Index of Personality Styles (MIPS). MCMI digunakan untuk keperluan diagnosis differensial, sedangkan MIPS digunakan untuk orang normal pada masalah-msalah pekerjaan sosial dan konseling. Bagaimana sikap pemeriksa terhadap inventori kepribadian? Seperti telah dikemukakan diatas, salah satu kekurangan dari inventori kepribadian adalah bahwa subjek yang mengisinya tidak selalu mengatakan yang sebenarnya., tetapi akan membuat penampilannya lebih baik atau sebaliknya menampilkan dirinya lebih buruk. Menurut Anastasi dan Urbina (1997), subjek yang menampakkan diri sendiri tidak sesuai dengan sesungguhnya belum tentu berniat untuk berbohong. Ada kemungkinannya bahwa subjek kurang mempunyai pemahaman tentang diri sendiri atau mempunyai kebutuhan untuk melindungi diri. Dalam penampilan yang lebih baik (faking good) mungkin ada kebutuhan untuk menghindari kritik, sedangkan dalam hal penampilan lebih buruk (faking bad) mungkin ada keinginan akan perhatian. Menampilkan diri lebih baik yang berkaitan dengan kecenderungan untuk mengikuti apa yang secara sosial dianggap baik ( social desirability) selanjutnya dapat mengakibatkan apa yang dalam pendekatan sosial-kultural dinamakan oleh Goffman (1959) sebagai impression management atau self-deception. Menurut Goffman, lingkungan sosio-kulutral kadang kala semakin besar menekan individu sehingga individu akan selalu menampilkan dirinya sesuai dengan apa yang pantas, sehingga kadang membohongi diri sendiri demi penyesuaian sosial. Menurut Goffman, perilaku manusia adalah seperti sandiwara yang disesuaikan engan tuntutan lingkungan. Upaya untuk mengurangi kemungkinan penampilan diri lebih baik atau lebih buruk adalah dengan membuat item yang netral, menghitung deviasi standar, membuat skala good impression. skala bohong atau pilihan jawaban paksa (forced-choice). Selain itu, individu sering mempunyai response set, yaitu kecenderungan untuk menjawab dengan cara tertentu, misalnya individu yang cenderung menjawab setuju atau cenderung menjawab tidak setuju. Response set dianggap sebagai suatu gaya yang dimiliki individu ( response style)

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

sehingga berkaitan dengan ciri kepribadian yang relatif menetap. Kesimpulan yang diambil oleh pakar inventori kepribadian adalah bahwa skor yang diperoleh dari inventori menggambarkan kombinasi dari tiga unsur tersebut diatas, yaitu : kebohongan diri ( selfdeception), manajemen impresi (impression management) dan penilaian diri yang realistik. Dengan demikian, hasil inventori kepribadian menggambarkan interaksi antara person dengan situasi. Variabel person : individu dapat berbeda dalam konsistensi perilaku yang ditunjukkannya untuk penyesuaian diri. Ada individu yang konsisten dalam perilakunya, dikatakan kaku, sedangkan yang tidak konsisten dikatakan fleksibel. Yang diinginkan biasanya adalah individu yang fleksibel (ada inkonsistensi) namun dalam batas-batas tertentu. Variabel situasi : situasi berbeda dalam memberikan batasan-batasan berperilaku. Misalnya situasi perpustakaan menyebabakan orang tidak ribut. Perbedaan-perbedaan lintas budaya merupakan contoh variabilitas situasi yang agak menetap. Sifat dan situasi : beberapa inventori ada yang lebih mengukur keadaan/situasi., sedangkan beberapa lainnya lebih mengukur sifat. Situasi atau keadaan adalah sesuatu yang sementara (mirip gejala atau akt dari Stern). Tidak ada batas yang jelas antara keduanya. Misalnya, State-Trait Anxiety Inventory (STAI) dari Spielberger. Apabila dibandingkan dengan intelegensi, maka kepribadian lebih terkait dengan situasi. Misalnya seorang yang dikatakan pandai berlaku untuk semua situasi, namun seorang yang dikatakan pemalu biasanya berkaitan dengan situasi yang spesifik. Pengukuran Minat dan Sikap Minat sangat penting untuk menunjang prestasi seseorang dalam pendidikan dan pekerjaan, selain juga penting untuk melangsungkan hubungan antar manusia dengan baik. Bahan yang dibahas dibicarakan dalam hubungan antar manusia sebaiknya diminati bersama. Mengisi kegiatan waktu luang biasanya juga dengan hal-hal yang diminati seseorang. Inventori minat semula dibuat untuk memperkirakan apa yang disukai seseorang di berbagai lingkungan kerja. Inventori minat menyelidiki apa yang ada di masa kini. Kemudian terjadi perubahan-perubahan dan penekanan pada masa kini menjadi penekanan pada halhal lain, diantaranya adalah penekanan pada eksplorasi diri. Tujuannya bukan saja menilai apa yang diminati pada masa kini, tapi juga dapat untuk memeperluas pilihan karir. Inventori kemudian juga memperhatikan bias seks. Tokoh-tokoh yang membuat inventori minat diantaranya adalah Strong, Holland, Kuder, Jackson dan Rothwell-Miller. Strong Interest Inventory (SII) dikembangkan pertama kali di awal tahun 1927, dengan edisi terakhir terbit pada tahun 1994. SII teidiri dari

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

317 item yang harus dijawab subjek apakah ia : suka, tidak suka tidak tahu. SII membahas 5 area, diantaranya pekerjaan, mata pelajaran, kegiatan waktu luang dan hubungan seharihari dengan kelompok-kelompok orang. Holland mengembangkan invemtori minat dengan model heksagonal, yang meliputi tema-tema pekerjaan, yaitu Realistic, Investigative, Artistic, Social, Enterprising dan Conventional (RIASEC). Reliabilitas dan validitas konstruk dari test Holland baik. Selain itu, instrumen ini cukup mudah, sederhana, murah dan cukup banyak teliti. Inventori minat lainnya adalah Jackson Vocational Interest Survey, Kuder Occupational Interesr Inventory (KOIS), Rothwell-Miller Interest Blank (RMIB), Career Assessment Inventory Vocational version dan Self Directed Search dari Holland. RMIB telah banyak digunakan dan diteliti oleh Soetarlinah Soekadji. Urgensi Diagnostik Mengenai Intelegensi 1. Pendahuluan Pada bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa Psikologi pada dasarnya adalah ilmu pengetahuan alamiah, yang tujuan akhirnya adalah memahami sesaa manusia dengan lebih baik. Pemahaman ini akan lebih baik kalau diagnosis psikologisnya makin tepat : diagnosis yang meliputi segala aspek tentang kepribadian manusia. Manusia adalah suatu unitas yang multiplex yang aspek-aspeknya banyak sekali. Urgensi untuk memba\uta diagnosis secara psikologis pada umumnya dan diagnosis mengenai intelegensi pada khususnya itu timbul karena kenyataan bahwa manusia itu satu sama lain berbeda, karea adanya apa yang disebut dengan indivdiual differences. Jika sekiranya manusia-manusia itu satu sama lain sama, maka tidak lagi diperlukan diagnosis tersebut dan sangat mungkin manusia tidak mengembangkan Psikodiagnostik. Tetapi sudah menjadi kenyataan bahwasanya manusia itu satu sama lain berbeda, maka penting untuk selanjutnya memahami manusia-manusia itu menurut apa adanya, manusia dengan pribadi dan dunianya masing masing. Dan karena intelegensi itu berpera penting dalam setiap aktifitas manusia, maka dianggap penting pula untuk membuat diagnosis tentang intelegensi manusia itu. 2. Urgensinya dalam Bidang Pendidikan Urgensi diagnosis mengenai intelegensi itu justru mula-mula timbul dalam bidang pendidikan. Mulanya sebagai kebutuhan untuk memahami-kegagalan-kegagalan dalam lapangan pendidikan, kemudian juga karena kebutuhan untuk membuat prediksi mengenai hasil-hasil pendidikan. Mendidik, pada hakikatnya adalah dengan penuh tanggung jawab memberika bimbingan kepada anak didik menuju ke-kedewasaan, supaya nantinya anak didik akan memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya. Ini berarti bahwa subjek nomer satu dalam

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

pengarahan proses pendidikan adalah anak didik itu sendiri. Secara ideal masingmasing anak didik harus diperlakukan munurut sifat khasnya sendiri-sendiri., tanpa mengabaikan berlangsungnya proses sosialisasi antara taman sebayanya. Untuk kepentingnan ini, pemahaman mengenai masing-masing anak didik, khususnya mengenai intelegensinya yang merupakan salah satu aspek terpenting dalam kepribadiannya, menjadi sangat diperlukan. Banyak masalah dalam dunia pendidikan yang penyelesaiannya akan efektif dan efisien apabila orang bertolak dari pengetahuan mengenai intelegensi anak-anak didik. Beberapa diantara masalah tersebut adalah : a. Sistem pedididkan klasikal menghendaki murid-murid yang disebut normal Walapun mengandung kelemahan-kelemahan, namun sampai sekarang diakui bahwa sistem pendidikan klasikal adalah sistem yang paling dapat dijalankan, karena sistem tersebutlah yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, terutam untuk negara kita, dimana asilitas-fasilitas untuk pendidikan masih sagat kurang. Supaya perlakuan terhadap para murid itu dapat sesuai dengan keadaannya, maka mereka itu kurang lebih haruslah sama. Untuk Sekolah Dasar, mereka haruslah normal. Anak-anak yang tidak normal, baik ia lebih ataupun kurang dari normal, bukan pada tempatnya untuk mendapatkan proses pendidikan yang klasikal bersama-sama dengan anak-anak yang tergolong normal. Sampai sekarang terbukti bahwa jalan yang paling baik untuk menentukan normal atau tidak tersebut adalah dengan mendasarkan diri kepada intelegensi. Dalam pada itu perlu diingat bahwa diagnosis mengenai intelegensi itu cukup dilakukan satu kali saja. Hal itu perlu dilakukan secara periodik, untuk tetap dapat memberikan perlakuan yang paling sesuai kepada para anak didik. b. Masalah kurang dan lebih dari normal (pendidikan khusus) Di dalam undang-undang kita ada ketentuan bahwa pendidkan khusus diberikan kepada mereka yang memerlukan. Mereka yang menyimpang dari normal itu memerlukan pendidikan khusus. Dengan menentukan siapa-siapa yang normal sebenarnya dengan sendirinya telah pula ditentukan siapa-siapa yang kurang dan siapa-siapa yang lebih dari normal. Namun supaya perlakuan pendidikan yang diberikan benar-benar sesuai dengan mereka, perlulah diselidiki lebih jauh mengenai kemampuan selain dari intelegensi yang mereka miliki, sebab mereka telah diklasifikasikan dalam satu kelompok sebagai kurang atau lebih dari normal, dan juga ternyata mereka memiliki keanekaragaman atau perbedaan-perbedaan secara individu pula.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

Demikian pula pendidikan khusus diberikan kepada mereka yang tergolong sangat lemah mental (mentally defective) dan penyelidikian intelegensi juga hendaknya dilakukan kepada mereka. c. Masalah bimbingan dalam pendidikan Kebutuhan akan bimbingan dalam pendidikan timbul dari dua keadaan, yaitu: (1) Kalau terjadi kegagalan dalam pendidikan, dan (2) Kalau individu akan memilih lapangan atau arah studi Kegagalan-kegagalan dalam pendidikan (dalam arti anak didik tidak mencapai hasil yang diharapkan) banyak sekali dapat dicari keterangannya, antara lain dari intelegensinya. Dan dari pengetahuan mengenai intelegensi ini dan mengenai aspekaspek lainnya lagi para penyelidik dalam lapangan bimbingan pendidikan menentukan langkah-langkah apa yang akan dilakukan. Demikian pula dalam hal penentuan lapangan atau arah studi. Di samping bakat mengenai suatu lapangan studi, intelegensi merupakan suatu komponen yang sangat besar peranannya dalam hal berhasil atau gagalnya orang dalam belajar. Supaya dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi secara wajar, orang harus dibekali intelegensi dalam taraf tertentu. Dan untuk dapat mengetahui ini perlu dilakukan penyelidikan psikologis untuk menentukan diagnosisnya. 3. Urgensinya dalam Bidang Jabatan atau Pekerjaan Semboyan yang populer the right man in the right place bukanlah semboyan yang kosong dan usang. Semboyan tersebut masih dan tetap akan berisi dan berlaku. Bukan saja dipandang dari efisiensi kerja, akan tetapi juga dari kepuasan kerja. Kesesuaian antara pejabat dan jabatannya itu tidak saja berdasarkan atas kecakapan dan ketrampilannya, akan tetapi juga berdasarkan atas intelegensinya. Jabatan-jabatan tertentu membutuhkan taraf dan corak intelegensi tertentu. Ada jabatan-jabatan yang terutama memerlukan intelegensi praktis, ada jabatan-jabatan yang terutama memerlukan intelegensi teoritis, ada jabatan-jabatan yang memerlukan intelegensi taraf tinggi, ada juga yang tidak. Dan karenanya jug dalam bidang ini dibutuhkan diagnosis mengenai intelegensi itu. 4. Urgensinya dalam Hubungan dengan Gangguan Mental Bagaimanapaun juga pahitnya haruslah diakui bahwa sebagian dari kita menderita gangguan mental. Kenyataan ini pasti telah ada sejak zaman dahulu, hanya konstalasi dan verifikasinya memang belum lama dilakukan orang. Muncul dan berkembangnya Psikiatri telah menerangi masalah ini. Para ahli dalam lapangan ini hampir selalu memperhitungkan intelegensi dalam menentuka diagnosis dan terapi. Jenis-jenis gangguan mental tertentu ternyata mempunyai hubungan dengan taraf dan corak intelegensi tertentu. Seorang penderita schizophrenia berbeda dalam hal itelegensinya

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

dari seorang penderita manis depresif., juga mempunyai perbedaan dengan penderita psikoneurosis. Walaupun dalam hal ini intelegensi bukan aspek yang emnentukan, namun tidak dapat tidak hrus diperhitungkan dalam membuat diagnosis dan menentukan terapinya. Jadi diagnosis mengenai intelegensi menjadi sangat urgen.

5. Urgensinya Bagi Lapangan-Lapangan Lain Masih ada lapangan-lapangan lain dimana intelegensi besar peranannya dan yang masih dalam taraf penyelidikan lebih lanjut antara lain : a. Kenakalan anak-anak (juvenile deliquency), apakah kiranya ada hubungan antara taraf dan corak intelegensi tertentu dengan jenis-jenis kenakalan yang dilakukan. b. Kejahatan/pelanggaran hukum, apakah ada hubungannya antara jenis-jenis kejahatan dengan taraf dan corak intelegensi tertentu. Penyelidikan Mengenai Intelegensi Semenjak para ahli psikologi mulai mengadakan cara pendekatan secara empiris, maka penyelidikan mengenai intelegensi itu telah banyak menarik perhatian banyak ahli. Terlebih-lebih setelah gerakan pengukuran dalam lapangan psikologi maju dengan pesat maka penyelidikan mengenai intelegensi itu juga maju dengan pesat dan bentuknya juga lalu membentuk pengukuran mengenai intelegensi. Usaha inilah yang akhirnya menghasilkan bermacam-macam test intelegensi yang sampai sekarang dipandang sebagai metode yang terbaik untuk landasan membuat diagnosis mengenai intelegensi. Dalam bab ini akan dikemukakan tinjauan secara umum mengenai metode penyelidikan mengenai intelegensi itu, khususnya test intelegensi. 1. Sejarah Perkembangan Test Intelegensi Dalam membahas masalah penyelidikan mengenai intelegensi, menurut hemat penulis sebaiknya diambil tinjauan historis. Jadi caranya adalah dengan mengemukakan sejarah para ahli dalam bidang ini, yang sekaligus juga menunjukkan teknik-teknik yang dipergunakan dalam penyelidikan atau pengukuran intelegensi itu. Kalau kita berbicara mengenai perkembangan test intelegensi pada umumnya, maka secara garis besarnya perkembangan test intelegensi ini dapat kita gambarkan melewati empat fase, yaitu : a. Fase persiapan (dari permulaan sampai dengan tahun 1915) Fase persiapan ini, yaitu fase dimana para ahli sedang berusaha mendapatkan atau menyusun test intelegensi itu. Dalam fase ini kita dapat sederetan nama para ahli dengan usaha dan sumbangannya masing-masing.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

Tidak dapat diragukan lagi bahwa sejak zaman dahulu kala, manusia telah menyakskan dan mengakui adanya perbedaan-perbedaan di antara individu yang satu dengan individu lainnya dalam hal intelegensi itu dan tentu telah berusaha untuk menyelidikinya atau mengukurnya. Salah satu pengakuan yang eksplisit mengenai individual differences itu kita dapatkan pada Quintilianus (35-95), seorang ahli didik Romawi.yang pendapatnya dikutip oleh Boyd sebagai berikut : It is generally and not without reason, regarded as an excellent quality in a master to observe accurately differences of ability in those whom he has undertaken to instruct and to ascertain in what direction the nature of each particularly inclines him : for there is in talent an incredible variety and the forms of mind are not less varied those of bodies Tentang pengukuran mengenai individual differences itu secara empiriseksperimental mula-mula kita dapatkan pada phrenologi yang tokoh utamanya adalah Franz Josseph Gall (1758 1828). Dasar teoritik dari usaha ini sebenarnya adalah Psikologi Daya yang pada waktu itu memang sangat besar pengaruhnya di Eropa terutama di Jerman. Phrenologi itu telah mengilhami dan merangsang usaha besar dalam bidang penyelidikan individual differences serta penyusunan test psikologis pada awalnya. Francis Galton (1822 1911) dalam laboratorium anthropometrisnya telah berusaha menyusun test psikologis yang mula-mula menyelidiki gejala-gejala peripheral seperti misalnya daya pembeda pada penglihatan dan pendengaran, waktu reaksi, dapat menunjukkan perbedaan-perbedaan pada kualitas mental. Selanjutnya usaha-usaha Cattel, Gilbert, telah banyak membawa kemajuan, walaupun menilik test item-nya masih terikat kepada gejala-gejala. Hermann Ebinghauss-lah yang membawa perubahan dalam hal ini, karena dia melakukan penyelidikan eksperimental mengenai gejala-gejala yang lebih tinggi dengan test yang berbentuk test melengkapi, dia berusaha mengukur proses-proses yang lebih tinggi. Namun yang benar-benar merupakan pembuka dan penunjuk jalan bagi testing mengenai intelegensi adalah Binet. Pada tahun-tahun 1895 1898 Binet dan Henri menulis serangkaian karangan dalam LAnne Psychologique. Dalam tulisan tersebut dikemukakan studi yang intensif tentang subtest-subtest serta rangkaiannya yang dipandang baik untuk mengukur fungsi-fungsi yang kompleks dan lebih tinggi. Yang mereka bahas adalah test untuk ingatan, fantasi, perhatian dan comprehension. Justru dari tulisan-tulisan itulah, maka Binet mendapatkan kepercayaan pemerintah Perancis untuk menyusun test intelegensi yang selanjutnya menjadi modal dan model dari test-test intelegensi di kemudian hari.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

b. Fase naif (dari 1915 sampai dengan 1935) Karena pengaruh dari hasil karya Binet dan terlebih-lebih karena hasil-hasil diskusi pada Kongres Psiklogi Internasional pada tahun 1911 1912, maka test intelegensi mengalami kemajuan yang sangat pesat dan pada kira-kira tahun 1915 telah terbentuklah test-test yang dipandang cukup baik/memenuhi syarat, maka dimulailah fase kedua yaitu fase naif. Dalam fase ini orang menggunakan test intelegensi tanpa kritik. Kegiatan para ahli terutama adalah pada penggunaan test intelegensi yang telah berhasil disusun itu dalam bebagai bidang kehidupan. Dalam penggunaan itu pada umumnya orang bersikap naif, yaitu menggunakan test intelegensi itu tapi tanpa mengingat kelemahan-kelemahan yang mungkin terkadnung di dalamnya. Test intelegensi dipandang sebagai sesuatu yang serba dapat menentukan, sebagai sesuatu yang allmighty. Test intelegensi dianggap sebagai sesuatu yang dapat dipakai sebagai dasar yang kuat untuk menentukan berbagai hal mengenai kemampuan manusia. Pemilihan calon-calon pegawai didasarkan kepada ahsil test intelegensi, pemilihan calon-calon karyawan didasarkan pada hasil test intelegensi, pemilihan calon-calon militer didasrkan juga pada hasil test intelegensi. Hal tersebut juga dilakukan kepada caloncalon petugas tertentu. Terlebih lagi dalam bidang pendidikan, penggunaan test intelegensi itu jauh lebih luas lagi. Penggolongan murid-murid, bahkan calon-calon murid, semata-mata didasrkan kepada hasil test intelegensi-nya. Di Inggris misalnya sampai sekarang sistem pendidikannya masih kuat dipengaruhi oleh akibat penggunaan test intelegensi secara naif itu. c. Fase mencari test yang bebas dari pengaruh kebudayaan atau culture free test (1935 1950) Setelah sekian lama orang dengan sangat antusias menerima test intelegensi dan mempergunakannya tanpa kritik, maka akhirnya timbul juga keragu-raguan terhadap test intelegensi itu sebagai alat peramal. Para hli mulai menyadari bahwa test intelegensi bukanlah hal yang serba dapat menentukan, bukanlah hal yang allmighty dan akhirnya terbukti bahwa test intelegensi itu mengandung kelemahankelemahan. Karenanya mak timbullah usaha-usaha untuk mengatasi kelemahan tersebut. Menurut hasil pemikiran dan penyelidikan para ahli, ternyata kelemahan-kelemahan test intelegensi itu bersumber pada kenyataan bahwa test intelegensi itu bergantung kepada kebudayaan. Konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa perlu mengatasi kelemahan-kelemahan test intelegensi yang bebas dari pengaruh kebudayaan

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

10

(culture free test). Dan karena kebudayaan masuk ke dalam test intelegensi dalam bentuk bahasa, maka test yang dianggap bebas dari pengaruh kebudayaan adalah test yang sesedikit mungkin, atau bahkan sama sekali tidak menggunakan bahasa, jadi yang non verbal. Tokoh-tokoh yang besar jasanya dalam lapangan ini adalah Goodenough dan Porteus. Florence L. Goodenough terkenal dengan hasil karyanya yang disebut dengan DAM Test atau Draw A Man Test (Gambarlah orang!). Goodenough berpendapat bahwa aktivitas anak yang memcerminkan intelegensinya, yang tidak dipengaruhi oleh kebudayaan, adalah menggambar. Menggambar adalah aktivitas masnusia yang bebas dari pengaruh kebudayaan. Petunjuk dalam DAM Test itu sangat sederhana, hanya berbunyi Gambarlah Orang! (Draw A Man!). Dengan mengadakan pemilihan secara luas dan dalam akhirnya Goodenough berhasil menyusun standard gambaran anak-anak, yang merupakan standard dari taraf intelegensi. Dalam penelitian verifikatif selanjutnya diperoleh hasil sebagai dikemukakan berikut ini. Karena test itu dikenakan kepada anak-anak Amerika kulit putih, maka DAM Test itu terbukti memenuhi syarat-syarat sebagai test yang baik. Akan tetapi setelah dikenakan kepada anak-anak yang berkulit berwarna, ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Anak-anak, bahkan orang-orang dewasa berkulit berwarna menunjukkan prestasi yang jauh dibawah anak-anak kulit putih dalam mengerjakan test tersebut. Jadi usaha Goodenough mencari culture free test tidak berhasil. Proteus mengembangkan test labyrinth (maze test) yang dianggapnya sebagai test yang bebas dari pengaruh budaya (culture free test). Dalam test ini testee hanya harus menunjukkan jalan singkat dari mulai pintu masuk labyrinth hingga menuju keluar labyrinth. Kecakapan untuk menyelesaikan tugas dalam test labyrinth tersebut menurut Proteus bebas dari pengaruh kebudayaan, karena di dalam test ini bahasa tidak memegang peranan. Tetapi pada akhirnya usaha Proteus juga mengalami kegagalan. Apakah seababnya usaha usaha untuk mencari test yang bebas dari pengaruh kebudayaan tersebut mengalami kegagalan? Apakah karena para ahli tersebut kurang cakap dalam penelitian? Sama sekali tidak! Kegagalan itu sebenarnya terletak dalam premise penyelidikan itu, yaitu mencari test intelegensi yang bebas dari pengaruh kebudayaan. Premise ini yang tidak betul. Test intelegensi, bagaimanapun juga, adalah hasil kebudayaan. Jadi orang mau mencari hasil kebudayaan yang bebas dari pengaruh kebudayaan, tidaklah dimungkinkan. Jadi sejak semula memang sudah dapat diramalkan bahwa usaha mencari test

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

11

intelegensi yang bebas dari pengaruh kebudayaan itu akan mengalami kegagalan, kalau kita mengikuti jalan pikiran yang baru saja diketengahkan itu. Kecakapan menggambar, bukanlah hal yang bebas dari pengaruh kebudayaan. Untuk dapat memahami ini kita dapat berpaling kepada pengalaman hidup seharihari. Kita semua mengalami, bahwa pada suatu kali anak-anak kecil itu gemar sekali menggambar. Kita saksikan apa saja yang digambari. Sikap pendidikan (dalam hal ini terutama orang tua) terhadap adanya gejala yang demikian itu bermacam-macam, yang secara garis besarnay dapat kita golongkan menjadi : (1) Ada orang tua (pendidik) yang menyambut kegiatan anak tersebut dengan antusias. Melihat anak gemar menggambar kemudian disediakan alat-alat (fasilitas) secukupnya supaya kegemaran tersebut dapt berkembang sebaikbaiknya, bahkan jika perlu, diberikan bimbingan (2) Ada golongan orang tua lain yang menganggap kegemaran menggambar yang terdapat dalam anak-anak tersebut sebagai aktivitas yang mengganggu, sebab apabila anak-anak sudah mulai menggambar, apa saja akan dicorat-coret. Lantai yang baru saja dibersihkan, akan dikotori dengan pensil berwarna atau alat lain. Juga akan terjadi dengan meja, kursi, lemari dan bahkan tembok rumah. Karena itu orang tua lalu mulai melarang sama sekali kegiatan menggambar tesebut. (3) Ada golongan lain lagi yang umumnya terdiri dari orang-orang tua yang tidak tinggi taraf pendidikannya, atau kurang memperhatikan pendidikan anakanaknya. Golongan ini bersikap acuh tak acuh terhadap adanya kegiatan menggambar anak-anaknya. Tentulah ketiga macam sikap itu akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap kecakapan menggambar anak-anak. Anak-anak yang mendapatkan fasilitas yang seluas-luasnya itulah yang tentu akan jauh lebih cakap daripada anakanak yang lain, sedangkan yang dilarang sam sekali tersebut, kesempatan untuk mengembangkan seluas-luasnya kecakapan menggambar, menjadi sangat tipis. Jika ketiga golongan anak-anak tersebut kemudian dihadapkan kepada tugas yang sama, yaitu menggambar, maka tentu prestasi masing-masing akan berbeda. Apakah ini menggambarkan sesuatu hal yang bebas dari pengaruh kebudayaan? Tentu saja tidak. Demikian juga halnya tentang kecakapan mengerjakan test labyrinth yang diselidiki oleh Proteus dapat diterangkan dengan cara yang sama seperti itu. Jadi usaha untuk mencari test yang bebas dari pengaruh kebudayaan itu gagal. Karena kenyataan ini maka para ahli lalu lebih berhati-hati dan bekerja lebih kritis. d. Fase kritis (1950 sekarang)

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

12

Setelah usaha-usaha untuk mencari test yang bebas dari pengaruh kebudayaan gagal, kemudian ada kesimpulan bahwa bagaimanapun juga test intelegensi itu tepengaruh oleh kebudayaan, maka kemudian orang mulai bersikap kritis. Para ahli memang mengakui bahwa test intelegensi tersebut sangat berguna, tetapi kegunaannya itu terbatas. Test intelegensi itu bukanlah allmighty, melainkan mengandung kelemahan-kelemahan. Karena itu dalam menggunakannya, orang tidak lagi naif tetapi lebih kritis, mengingat akan kelemahan-kelemahan yang dimiliki test intelegensi tersebut. 2. Kelemahan-Kelemahan Test Intelegensi Adapun kelemahan-kelemahan test intelegensi tersebut adalah : a. Test intelegensi itu bergantung kepada kebudayaan Test intelegensi adalah hasil dari kebudayaan, karena itu hasil akan terbatas pada lingkungan kebudayaan tertentu. Test yang disusun dalam lingkungan kebudayaan tertentu tidak dapat digunakan begitu saja untuk men-test orang-orang yang berasal dari lingkungan kebudayaan yang berlainan. Sebab bila hal ini dilkukan, maka test itu sudah tidak dapat memenuhi fungsinya lagi, karena orang yang orang yang rendah prestasinya belum tentu tidak cerdas, dan sebaliknya orang yang tinggi prestasinya belum tentu cerdas. Misalnya saja kalau seorang anak selama hidupnya belum pernah melihat kereta api harus mengahadapi soal yang berhubungan dengan kereta api, maka dapat diperkirakan bahwa kemungkinan besar dia gagal, tetapi apakah ini menunjukkan bahwa ia kurang cerdas? Belum tentu. Jadi berlakunya test intelegensi itu terbatas pada daerah yang telah diambil samplenya dalam menyusun test tersebut. b. Test intelegensi itu hanya cocok untuk jenis tingkah laku tertentu Tingkah laku di dalam kehidupan nyata itu bermacam-macam, yang tidak kesemuanya cocok untuk di-test dengan test intelegensi. Max Weber adalah seorang ahli kenamaan, menggolongkan tingkah laku yang bermacam-macam itu menjadi empat golongan, yaitu : (1) Affektiv Handlung, tingkah laku afektif (2) Traditional Handlung, tingkah laku tradisional (3) Wertrational Handlung, tingkah laku rasional atas dasar nilai-nilai (4) Zweckrational Handlung, tingkah laku rasional atas dasar tujuan Tingkah laku afektif yaitu tingkah laku yang didasari afek atau perasaan. Banyak orang-orang yang di dalam hidupnya, tingkah lakunya diwarnai perasaan, mislnya saja para seniman yang tingkah lakunya kadang-kadang tidak masuk diakal. Memang mereka tidak menggunakan akal sebagai kriteria, melainkan rasa. Tingkah laku yang demikian itu tidak akan cocok kalau di-test dengan test intelegensi.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

13

Tingkah laku tradisional juga tidak cocok kalau di-test dengan test intelegensi. Dalam menyelesaikan tugas dalam test intelegensi, orang harus bekerja dengan cepar dan tepat. Tetapi tradisi seringkali tidak memperkenankan hal yang demikian itu. Suatu contoh misalnya, di kalangan masyarakat Jawa tradisi ujung atau sungkem, yaitu pada hari beberapa anak-anak muda (atau orang-orang yang lebih muda) datang kepada orang-orang yang lebih tua untuk mencium lutut mereka (tradisi ini mengharuskan anak muda sudah dari jarak jauh melakukan jalan dengan berjongkok kemudian menghampiri orang-orang tua dengan pergerakan bisa tanpa gerakan yang dipercepat). Jika test intelegensi menganjurkan untuk berjalan seperti layaknya orang jalan kaki biasa, tentulah hal ini tidak dapat dilakukan disini. Jadi tingkah laku tradisional tidak cocok kalau di-test dengan test intelegensi. Tingkah laku rasional berdasarkan nilai-nilai adalah tingkah laku tetapi rasionalnya itu didasarkan pada nilai-nilai tertentu misalnya nilai keagamaan. Contoh tingkah laku ini adalah bermacam-macamnya upacara korban yang masih banyak dilakukan dimana-mana. Mengapa orang memberikan korban? Karena mereka percaya bahwa dewata akan menurunkan rezeki lebih banyak. Semakin banyak yang dikorbankan maka semakin banyak pula rezeki yang akan meeka peroleh sehingga mereka tidak segan-segan membuang harta benda yang telah ada di tangan. Tingkah laku rasional atas dasar nilai-nilai ini juga tidak cocok kalau harus di-test dengan test intelegensi. Tingkah laku rasional atas dasar tujuan adalah tingkah laku rasional yang menurut pertimbangan yang akan dicapai atau apa yang akan dituju. Misalnya, kalau mau mencari kekayaan, maka cari dengan kegiatan yang riil, jika ingin mengeluarkan harta maka hendaklah dipertimbangkan apakah kegiatan tersebut akan membawa/mendatangkan hasil yang positif/lebih banyak. Maka kemudian tingkah laku rasional atas dasar tujuan inilah yang cocok kalau ditest dengan test intelegensi. Menagapa tingkah laku rasional atas dasar tujuan itu cocok untuk di-test dengan test intelegensi? Karena test intelegensi (yang telah ada sekarang ini) memang disusun pada konteks kebudayaan yang sesuai dengan rasional atas dasar tujuan itu. c. Test intelegensi yang cocok untuk tipe kepribadian tertentu Supaya orang dapat sukses dalam test intelegensi, maka ia harus memiliki sifat-sifat tertentu yang sesuai dengan dasar pikiran dalam penyusunan alat test intelegensi itu. Adapun sifat-sifat tersebut adalah : (1) Dia harus menurut saja tanpa kritik petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam test tersebut, demikian pula ia harus menjalankan tugas yang diperintahkan kepadanya. Jika sekiranya ia mempunyai pikiran atau pendapat lain dan itu

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

14

dinyatakan dalam test itu, mungkin akan merupakan score-nya. Misalnya seorang anak diminta mengacungkan tangan kirinya, sebenarnya dia tahu mana tangan kirinya itu, tapi dengan sengaja ia justeru mengacungkan tangan kanannya, maka dia akan mendapat score nol dalam item itu. (2) Dia harus mempunyai dorongan yang bersaing yang besar Di dlam test intelegensi orang harus berusaha untuk mencapai score yang tertinggi, melebihi siapa saja. Untuk itu maka dorongan bersaingnya harus besar. Jika sekiranya dia bisa sekali hidup dalam suasana gotong-royong, yang mengesampingkan masalah persaingan itu, mungkin dia tidak memiliki dorongan persaingan yang besar itu. Jadi orang-orang yang dorongan bersaingnya kecil walaupun sebenarnya cukup cerdas, akan rugi dalam testing ini. (3) Dia harus berpergang kepada prinsip ekonomi, yaitu mengeluarkan usaha yang sekecil-kecilnya dan mendapatkan lain hasil harus yang sebesar-besarnya, soal pertimbangan-pertimbangan cerdas. d. Materi test intelegensi sendiri masih mengandung kelemahan-kelemahan Di dalam penyusunan test intelegensi tidak dapat diragukan lagi, bahwa ahli yang menyusun test itu telah berusaha sebaik mungkin supaya segala syarat untuk terciptanya test yan baik, dipenuhi. Walaupun demikian kesalahan masih mungkin terjadi. Untuk dapat menjelaskan hal ini dapat dikemukakan beberapa masalah sebagai berikut : (1) Misalnya soal reliabilitas. Dalam metode test-retest terdapat kelemaha, yaotu masuknya faktor latihan (belajar) pada score testing yang kedua. Dalam metode paralel version dan metode gasal-genap sukar dijamin, bahwa belahan yang satu benar-benar sama taraf kesulitannya dengan belahan yang lain. (2) Mengenai validitas, dapat dipersoalkan yang dijadikan kriteria validitas itu apa. Biasanya adalah suatu test yang sudah dianggap valid, lalu kriteria validitas test yang sudah valid itu apa, adalah test yang lain lagi. Kalau dirunut terus maka akan sampai pada fakta bahwa kriteria itu adalah pendapat kelompok orang tertentu. Apakah pendapat itu benar-benar valid akan sulit untuk dijawab. (3) Dalam standardisasi terdapat kelemahan-kelemahan dalam penentuan sample. Apakah sample yang diambil tersebut benar-benar merupakan representatif bagi populasinya? Hal ini sukar dijamin. (4) Demikian pula syarat-syarat yang lain, sukar untuk dijamin bahwa telah dipenuhi dengan baik. dikesampingkan. Karena

perkembangannya dalam lingkungan masyarakat tertentu, mungkin orang tidak

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

15

e. Perbandingan kecerdasan atau IQ tidak semata-mata bergantung kepada keturunan atau dasar Sudah menjadi rahasia umum bahwa , taraf tinggi rendahnya intelegensi dinyatakan dengan IQ, yaitu angka yang menunjukkan perbandingan intelegensi testee dengan standard yang sudah ada. Penggunaan test intelegensi pada umumnya berdasarkan pada asas-praduga bahwa IQ itu semata-mata bergantung pada dasar atau keturunan. Tetapi berbagai penyelidikan telah membuktikan ketidak benaran asaspraduga tersebut. Anak-anak yang berasal dari ibu-ibu yang tergolong kurang nilai IQ-nya ternyata memiliki IQ diatas mereka jika anak-anak itu dirawat di rumah perawatan yang kondisi-kondisinya cukup baik. Sedangkan jika anak-anak tersebut jika dirawat oleh ibunya di rumah, maka kira-kira IQ anak-anak tersebut akan relatif sama dengan IQ yang dimiliki oleh ibu mereka. Hal ini membuktikan bahwa lingkungan berperan dalam perkembangan intelegensi seseorang. Speer misalnya, dari hasil-hasil penyeleidikannya akhirnya sampai kepada kesimpulan yang senada dengan apa yang disapaikan diatas tersebut. Dia menyatakan bahwa : ...If intelligence can be developed or improved by simulating enviromental situations, as Wellman suggest, we believe it should occur in in this situation, alter placement in this superior environment. And as measured by the BINET IQ, it does...The data idicate that the child is directly affected by environment conditions; it is de[ressed by inferior or limited environmental stimulation, and increase when the child placed in superior environment. f. Perbandingan kecerdasan atau IQ seseorang tidak konstan IQ seseorang itu dapat berubah statusnya, artinya dapat meningkat atau menurun. Seseorang yang pada suatu kali di-test dan menunjukkan IQ dibawah 100, mungkin beberapa waktu kemudian kalau di-test akan menunjukkan IQ diatas 100, dan kemungkinan yang sebaliknya juga dapat terjadi. Mengingat akan hal itu maka jika sekiranya hasil testing pada suatu saat lalu dipakai sebagai pegangan, dapat menyesatkan. Testee mungkin kemudian akan ditempatkan pada posisi yang kurang pada tempatnya dalam hubungan dengan teman-temannya. g. Klasifikasi manusia atas dasar IQ mengandung kelemahan Di dalam penggunaan praktis hasil penyelidikan mengenai intelegensi adalah klasifikasi manusia atas dasar IQ. Dalam klasifikasi ini biasanya diikuti suatu pedoman, yang sebenarnya harus diterima dengan hati-hati. Suatu klasifikasi yang banyak diikuti adalah seperti pada tabel berikut

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

16

Tabel 7.1 Klasifikasi Manusia Atas Dasar IQ IQ 140 keatas 130-139 120-129 110-119 100-109 90-99 80-89 70-79 60-69 50-59 40-49 30-39 di bawah 30 (idiot) Data di atas disusun atas dasar penyelidikan dengan test BINET yang telah pernah dilakukan. Dari tabel diatas jelas bahwa klasifikasi atas dasar IQ itu memang mengandung kelemahan. Miaslnya saja ada orang yang ber-IQ 50-69 digolongkan kepada orang yang kurang dari normal, sedangkan yang IQ-nya 70 keatas dimasukkan dalam golongan normal. Jadi orang-orang yang mempunyai IQ 69 dan 70 yang selisihnya hanya 1 itu mempunyai status yang berbeda sekali, yaitu normal dan kurang dari normal, sedangkan mereka yang mempunyai IQ 50 dan 69, yang selisihnya 19, termasuk dalam satu golongan. Contoh in dapat ditambah dengan yang lain-lain. Pedoman klasifikasi ini tidak jelek, hanya saja dalam menerimanya kita harus berhati-hati. 3. Beberapa Pertimbangan Praktis Dengan sengaja, kelemahan-kelemahan test intelegensi ini dikemukakan dengan aspek agak panjang lebar. Hal ini dilakukan bukan karena maksud untuk menolak test intelegensi itu. Bagaimanapun juga test intelegensi adalah alat yang sangat berguna untuk membuat diagnosis secar psikologis. Apa yang ingin dikemukakan dalam hal ini hanya supaya kita dalam menerima dan menggunakan test intelegensi itu, beserta hasil-hasil nya dengan sikap kritis, karena setiap test mengandung kelemahan. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa setiap test memiliki kekuatan yang juga dapat diandalkan. Sehubungan dengan itu, maka di bawah ini dikemukakan beberapa pertimbangan secara praktis yang kiranya dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan. a. Karena test intelegensi itu bergantung kepada kebudayaan, maka jangan menggunakan test yang disusun di negara lain untuk secara mentah begitu saja digunakan untuk men-test anak-anak kita sendiri. Kalau sekiranya akan digunakan Golongan luar biasa sangat cerdas cerdas sedang, biasa kurang cerdas dungu, manusia batas debil debil 1 imbisil Persen dari Populasi 1 2 8 16 23 23 16 8 2

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

17

yang dususun dari luar negri, haruslah terlebih dahulu diadakan penyesuaian dengan kondisi anak-anak kita sendiri. Dalam hubungannya dengan hal ini, kiranya sangat baik apabila segera diadakan penelitian lebih lanjut. b. IQ tidak semata-mata begantung kepada dasar, karena itu prasangka yang menyatakan bahwa anak-anak dari orang yang kurang cerdas tentu juga kurang cerdas, harus ditolak. Penolakan prasangka ini justru sesuai dengan padnangan hidup kita yang demokratis. c. Kaena IQ tidak semata-mata bergantung kepada dasar dan karena IQ tidak konstan, maka jika sekiranya digunakan test intelegensi, hendaklah satu kali pengambilan test jangan dianggap menentukan. Sebaiknya diadakan penyelidikan berkelanjutan atau follow-up dengan test secara periodik atau berkala. d. Karena kemungkinan adanya kesehatan dalam test itu sendiri, maka adalah tugas para ahli untuk selalu meminjam dan merevisi test-test yang telah terbentuk. e. Karena test intelegensi bukanlah hal yang serba dapat menentukan, maka sebaiknya jangan dipakai sebagai satu-satunya pedoman, melainkan harus digunakan dalam kombinasi dengan test-test yang lain. Latihan tatap muka 6 Pendekatan yang digunakan untuk mengkonstruksi atau membuat inventori kepribadian dapat dilakukan menurut empat prosedur. Jelaskan salah satunya! Pembahasan latihan pada tatap muka 6 Prosedur berorientasi isi (content related) adalah prosedur konstruksi yang didasarkan atas pengetahuan teoritis yang telah ada, misalnya tentang suatu gangguan tertentu. Test yang dikonstruksi dengan prosedur ini antara lain : Woodworth Personal Data Sheet dan Symptom Cheklist. Keuntungan dari inventori jenis ini adalah singkat dan langsung memperoleh data yang diinginkan (misalnya, menetukan apakah seseorang mempunyai atau tidak ciri patologis sesuai yang diukur test itu). Sedangkan kerugiannya adalah subjek yang mengisi dapat memanipulasi jawaban. Artinya mengisi hal-hal yang baik saja tentang dirinya sendiri (faking good) atau terlalu banyak megungkapkan kekurangan-kekurangan dirinya (faking bad). Jadi ke-objektif-an invebtori jenis ini kurang apabila dibandingkan dengan test-test intelegensi atau test-test faali. Latihan tatap muka 7 Max weber menggolongkan tingkah laku menjadi empat golongan. Jelaskan salah sau diantaranya!

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

18

Pembahasan latihan pada tatap muka 7 Tingkah laku rasional berdasarkan nilai-nilai adalah tingkah laku tetapi rasionalnya itu didasarkan pada nilai-nilai tertentu misalnya nilai keagamaan. Contoh tingkah laku ini adalah bermacam-macamnya upacara korban yang masih banyak dilakukan dimana-mana. Mengapa orang memberikan korban? Karena mereka percaya bahwa dewata akan menurunkan rezeki lebih banyak. Semakin banyak yang dikorbankan maka semakin banyak pula rezeki yang akan meeka peroleh sehingga mereka tidak segan-segan membuang harta benda yang telah ada di tangan. Tingkah laku rasional atas dasar nilai-nilai ini juga tidak cocok kalau harus di-test dengan test intelegensi. Tingkah laku rasional atas dasar tujuan adalah tingkah laku rasional yang menurut pertimbangan yang akan dicapai atau apa yang akan dituju. Misalnya, kalau mau mencari kekayaan, maka cari dengan kegiatan yang riil, jika ingin mengeluarkan harta maka hendaklah dipertimbangkan apakah kegiatan tersebut akan membawa/mendatangkan hasil yang positif/lebih banyak. Daftar Pustaka 1. Anastasia A & Urbina S. (1998) Tes Psikologi, Edisi Bahasa Indonesia Jilid 1 dan 2 (Judul asli Psychology Testing 7th ed) Jakarta : Victory Jaya 2. Elmira Sumintarja. (1991). Pembimbing Ke Psikodiagnostik, Bandung, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

3. Suprapti, S. Markam. (1997). Kapita Selekta Psikodiagnostik Jakarta. LP3SP Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
4. Sumadi Suryabrata. (1990). Pembimbing Ke Psikodiagnostik, Edisi Ke-2 Yogyakarta Rake Suraisin Friedenberg. (1995). Psychological Testing : Desain, Anal

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Dra. Nunnie Retna Widagdo MM

PSIKODIGNOSTIK I

19

Anda mungkin juga menyukai