Anda di halaman 1dari 24

BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang ARDS adalah keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan kerusakan paru. (Aryanto Suwondo, 2006). ARDS mengakibatkan terjadinya gangguan paru yang progresif dan tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang berat, hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua belah paru. ARDS ( juga disebut syok paru) akibat cedera paru dimana sebelumnya paru sehat, sindrom ini mempengaruhi kurang lebih 150.000 sampai 200.000 pasien tiap tahun, dengan laju mortalitas 65% untuk semua pasien yang mengalami ARDS. Faktor resiko menonjol adalah sepsis. Kondisi pencetus lain termasuk trauma mayor, KID, tranfusi darah, aspirasi tenggelam, inhalasi asap atau kimia, gangguan metabolik toksik, pankreatitis, eklamsia, dan kelebihan dosis obat. ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru-paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru-paru menjadi kaku akibatnya adalah penuruna karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia ( Brunner & Suddart 616). Oleh karena itu, penanganan ARDS sangat memerlukan tindakan khusus dari perawat untuk mencegah memburuknya kondisi kesehatan klien. Hal tersebut dikarenakan klien yang mengalami ARDS dalam kondisi gawat yang dapat mengancam jiwa klien.

BAB 2
2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Latar Belakang Pernafasan ( respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung (oksigen) ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 (karbondioksida) sebagai sisab dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan udara ini disebut inspirasi dan menhembuskan disebut ekspirasi. Jadi, dalam paru-paru terjadi pertukaran zat antara dan oksigen ditarik dari udara masuk ke dalam darah dan CO2 akan dikeluarkan dari darah secara osmose. Seterusnya CO2 akan dikeluarkan melalui tractus respiratorius(jalan pernafasan) dan masuk ke dalam tubuh melalui kapiler kapiler vena pulmonalis kemudian masuk ken serambi kiri jantung (atrium sinistra) kemudian ke aorta keseluruh tubuh disini terjadi oksidasi sebagai ampas dari pembakaran adalah CO2 dan zat ini dikeluarkan melalui peredaran darah vena masuk ke jantung, ke bilik kanan,dan dan dari sini keluar melalui arteri pulmonalis ke jaringan-jaringan paruparu akhirnya dikeluarkan menembus lapisan epitel dari alveoli. Proses pengeluaran CO2 ini adalah sebagian dari sisa metabolisme sedangkan sisa dari metabolisme lainnya akan dikeluarkan melalui traktus urogenitalis, dan kulit. 2.2 Anatomi Sistem Pernafasan Sistem pernafasan pada dasarnya dibentuk oleh jalan atau saluran nafas dan paru- paru beserta pembungkusnya ( pleura) dan rongga dada yang melindunginya. Di dalamrongga dada terdapat juga jantung di dalamnya. Rongga dada dipisahkan dengan rongga perut oleh diafragma. 2.2.1 Nasal Hidung merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang( cavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung ( septum nasi). Didalam terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu dan kotorankotoran yang masuk kedalam lubang hidung. 1. Bagian luar dinding terdiri dari kulit 2. Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan.

3. Lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang berlipat-lipat yang dinamakan karang hidung (konka nasalis), yang berjumlah 3 buah: a) konka nasalis inferior ( karang hidup bagian bawah) b) konka nasalis media(karang hidung bagian tengah) c) konka nasalis superior(karang hidung bagian atas). Diantara konka-konka ini terdapat 3 buah lekukan meatus yaitu meatus superior (lekukan bagian atas), meatus medialis(lekukan bagian tengah dan meatus inferior (lekukan bagian bawah). Meatus-meatus inilah yang dilewati oleh udara pernafasan, sebelah dalam terdapat lubang yang berhubungan dengan tekak, lubang ini disebut koana. Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang atas, keatas rongga hidung berhubungan dengan beberapa rongga yang disebut sinus paranasalis, yaitu sinus maksilaris pada rongga rahang atas, sinus frontalis pada rongga tulang dahi, sinus sfenoidalis pada rongga tulang baji dan sinus etmodialis pada rongga tulang tapis. Pada sinus etmodialis, keluar ujung-ujung saraf penciuman yang menuju ke konka nasalis. Pada konka nasalis terdapat sel-sel penciuman, sel tersebut terutama terdapat di bagianb atas. Pada hidung di bagian mukosa terdapat serabutserabut syaraf atau respektor dari saraf penciuman disebut nervus olfaktorius. Disebelah belakang konka bagian kiri kanan dan sebelah atas dari langit-langit terdapat satu lubang pembuluh yang menghubungkan rongga tekak dengan rongga pendengaran tengah, saluran ini disebut tuba auditiva eustaki, yang menghubungkan telinga tengah dengan faring dan laring. Hidung juga berhubungan dengan saluran air mata disebut tuba lakminaris. Fungsi hidung, terdiri dari 1. bekerja sebagai saluran udara pernafasan 2. sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu hidung 3. dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa 4. membunuh kuman-kuman yang masuk, bersama-sama udara pernafasan oleh leukosit yang terdapat dalam selaput lendir (mukosa) atau hidung.
4

2.2.2 Faring Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan. Terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain keatas berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama koana. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus fausium. Ke bawah terdapat dua lubang, ke depan lubang laring, ke belakang lubang esofagus. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat folikel getah bening. Perkumpulan getah bening ini dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat 2 buah tonsilkiri dan kanan dari tekak. Di sebelah belakang terdapat epiglotis( empang tenggorok) yang berfungsi menutup laring pada waktu menelan makanan. Rongga tekak dibagi dalam 3 bagian: 1. bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan koana yang disebut nasofaring. 2. Bagian tengah yang sama tingginya dengan istmus fausium disebut orofaring 3. Bagian bawah sekali dinamakan laringgofaring. 2.2.3 Pangkal Tenggorokan(Laring) Merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea dibawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring. Laring terdiri dari 5 tulang rawan antara lain: 1. Kartilago tiroid (1 buah) depan jakun sangat jelas terlihat pada pria. 2. Kartilago ariteanoid (2 buah) yang berbentuk beker 3. Kartilago krikoid (1 buah) yang berbentuk cincin 4. Kartilago epiglotis (1 buah).

Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi oleh sel epiteliumnberlapis. Proses pembentukan suara merupakan hasil kerjasama antara rongga mulut, rongga hidung, laring, lidah dan bibir. Perbedaan suara seseorang tergsantung pada tebal dan panjangnya pita suara. Pita suara pria jauh lebih tebal daripada pita suara wanita. 2.2.4 Batang Tenggorokan ( Trakea) Merupakan lanjutan dari laring yang terbentuk oleh 16-20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda. Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia,hanya bergerak kearah luar. Panjang trakea 9-11 cm dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos. Sel-sel bersilia gunanya untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernafasan. Yang memisahkan trakea menjadi bronkus kiri dan kanan disebut karina. 2.2.5 Cabang Tenggorokan ( Bronkus) Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri, bronkus lobaris kanan ( 3 lobus) dan bronkus lobaris kiri ( 2 bronkus).bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental. Bronkus segmentalisini kemudian terbagi lagi menjadi bronkus subsegmental yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki: arteri, limfatik dan saraf. Bronkiolus Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus. Bronkiolus mengandung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan nafas. Bronkiolus terminalis Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis( yang mempunyai kelenjar lendir dan silia) Bronkiolus respiratori

Bronkiolus

terminalis

kemudian

menjadi

bronkiolus

respirstori.

Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara lain jalan nafas konduksi dan jalan udara pertukaran gas. Duktus alveolar dan sakus alveolar Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar. Dan kemudian menjadi alvioli. 2.2.6 Alveoli Merupakan tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida. Terdapat sekitar 300 juta yang jika bersatu membentuk satu lembar akan seluas 70 m2. Terdiri atas 3 tipe: Sel-sel alveolar tipe I : sel epitel yang membentuk dinding alveoli Sel-sel alveolar tipe II: sel yang aktif secara metabolik dan nensekresikan surfaktan ( suatu fosfolifid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps)ahanan Sel-sel alveolar tipe III: makrofag yang merupakan sel-sel fagotosis dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan. 2.2.7 Paru paru Merupakan organ yang elastis berbentuk kerucut. Terletak dalam rongga dada atau toraks. Kedua paru dipisahkan oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh dareah besar. Setiap paru mempunyai apeks dan basis, paru kanan lebih besar dan terbagi menjadi 3 lobus dan fisura interlobaris. Paru kiri lebih kecil dan terbagi menjadi 2 lobus. Lobus-lobus tersebut terbagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya. 2.2.8 Pleura Merupakan lapisan tipisyang mengandung kolagen dan jaringan elastis. Terbagi menjadi 2: Pleura perietalis yaitu yang melapisi rongga dada Pleura viseralis yaitu yang menyelubungi setiap paru-paru.

Diantara pleura terdapat rongga pleura yang berisi cairan tipis pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernafsan.
7

Juga untuk mencegah pemisahan toraks dengan paru-paru. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir, hal ini untuk mencegah kolap paruparu. 2.3 Mekanisme Pernafasan Pernapasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis walau dalam keadaan tertidur sekalipun karma sistem pernapasan dipengaruhi oleh susunan saraf otonom. 2.3.1 Respirasi 1.Repirasi luar adalah pertukaran udara yang terjadi antara udara dalam alveolus dengan darah dalam kapiler dan merupakan pertukaran O2 dan CO2 antara darah dan udara. 2. Respirasi dalam adalah pernapasan yang terjadi antara darah dalam kapiler dengan sel-sel tubuh dan merupakan pertukaran O2 dan CO2 dari aliran darah ke seluruh tubuh. 2.3.2 Jenis Respirasi 1. Pernapasan Dada Merupakan adalah pernapasan yang melibatkan otot antartulang rusuk. Fase inspirasi. Fase ini berupa berkontraksinya otot antartulang rusuk sehingga rongga dada membesar, akibatnya tekanan dalam rongga dada menjadi lebih kecil daripada tekanan diluar sehingga udara luar yang kaya oksigen masuk. Fase ekspirasi. Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antara tulang rusuk ke posisi semula yang dikuti oleh turunnya tulang rusuk sehingga rongga dada menjadi kecil. Sebagai akibatnya, tekanan di dalam rongga dada menjadi lebih besar daripada tekanan luar, sehingga udara dalam rongga dada yang kaya karbon dioksida keluar. 2. Pernapasan perut Merupakan pernapasan yang mekanismenya melibatkan aktifitas otot-otot diafragma yang membatasi rongga perut dan rongga dada. Fase Inspirasi. Pada fase ini otot diafragma berkontraksi sehingga diafragma mendatar, akibatnya rongga dada membesar dan tekanan menjadi kecil sehingga udara luar masuk.
8

Fase Ekspirasi. Fase ekspirasi merupakan fase berelaksasinya otot diafragma (kembali ke posisi semula, mengembang) sehingga rongga dada mengecil dan tekanan menjadi lebih besar, akibatnya udara keluar dari paru-paru. 2.3.3 Volume Udara Pernafasan Dalam keadaan normal, volume udara paru-paru manusia mencapai 4500 cc. Udara ini dikenal sebagai kapasitas total udara pernapasan manusia. Besarnya volume udara pernapasan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran alat pernapasan, kemampuan dan kebiasaan bernapas, serta kondisi kesehatan. 2.3.4 Pertukaran O2 Dan CO2 Dalam Pernafasan Jumlah oksigen yang diambil melalui udara pernapasan tergantung pada kebutuhan dan hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh jenis pekerjaan, ukuran tubuh, serta jumlah maupun jenis bahan makanan yang dimakan. Dalam keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen sehari (24 jam) atau sekitar 0,5 cc tiap menit. Kebutuhan tersebut berbanding lurus dengan volume udara inspirasi dan ekspirasi biasa kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi oksigen udara berkurang. Oksigen yang dibutuhkan berdifusi masuk ke darah dalam kapiler darah yang menyelubungi alveolus. Selanjutnya, sebagian besar oksigen diikat oleh zat warna darah atau pigmen darah (hemoglobin) untuk diangkut ke sel-sel jaringan tubuh. 2.3.5 Proses Kimiawi Respirasi Pada Manusia 1. Pembuangan CO2 dari paru-paru : H + HCO3 H2+CO3 H2 + CO2 2. Pengikatan oksigen oleh hemoglobin : Hb + O2 Hb O2 3.Pemisahan oksigen dari hemoglobin ke cairan sel : : Hb O2 Hb O2 4. Pengangkutan karbohidrat di dalam tubuh : : CO2 + H2O H2+CO2 (Anatomi fisiologi: modul 4 Sistem Pernafasan dan Sistem Kardiologi, Ed 2. Cambridge). 2.4 Definisi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan kerusakan paru total akibat berbagai etiologi. Keadaan ini dapat dipicu oleh berbagai hal,
9

misalnya sepsis, pneumonia viral atau bakterial, aspirasi isi lambung, trauma dada, syok yang berkepanjangan, terbakar, emboli lemak, tenggelam, transfusi darah masif, bypass kardiopulmonal, keracunan O2, perdarahan pankreatitis akut, inhalasi gas beracun, serta konsumsi obat-obatan tertentu. ADRS merupakan keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan kerusakan paru (Aryanto Suwondo, 2006) ARDS atau Sindroma Distres Pernafasan Dewasa ( SDPD ) adalah bentuk khusus gagal nafas yang ditandai dengan hipoksemia yang jelas dan tidak dapat diatasi dengan penanganan konvensional (Patofisiologi Sylvia A Price Ed 6 hal 835). ARDS adalah Penyakit akut dan progressive dari kegagalan pernafasan disebabkan terhambatnya proses difusi oksigen dari alveolar ke kapiler (a-c block) yang disebabkan oleh karena terdapatnya edema yang terdiri dari cairan koloid protein baik interseluler maupun intra alveolar. (Prof. Dr. H. Tabrani Rab, 2000) 2.5 Epidemiologi ARDS (juga disebut syok paru) akibat cedera paru dimana sebelumnya paru sehat, sindrom ini mempengaruhi kurang lebih 150.000 sampai 200.000 pasien tiap tahun, dengan laju mortalitas 65% untuk semua pasien yang mengalami ARDS. Faktor resiko menonjol adalah sepsis. Kondisi pencetus lain termasuk trauma mayor, KID, tranfusi darah, aspirasi tenggelam, inhalasi asap atau kimia, gangguan metabolik toksik, pankreatitis, eklamsia, dan kelebihan dosis obat. Penderita yang bereaksi baik terhadap pengobatan, biasanya akan sembuh total, dengan atau tanpa kelainan paru-paru jangka panjang. Pada penderita yang menjalani terapi ventilator dalam waktu yang lama, cenderung akan terbentuk jaringan parut di paru-parunya. Jaringan parut tertentu membaik beberapa bulan setelah ventilator dilepas. (American Lung Association Lung Disease Data: 2008) 2.6 Etiologi ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebabnya bisa penyakit apapun, yang secara langsung ataupun tidak langsung melukai paruparu:
10

1. Trauma langsung pada paru a. Pneumoni virus,bakteri,fungal b. Contusio paru c. Aspirasi cairan lambung d. Inhalasi asap berlebih e. Inhalasi toksin f. Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama 2. Trauma tidak langsung a. Sepsis b. Shock, Luka bakar hebat, Tenggelam c. DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation) d. Pankreatitis e. Uremia f. Overdosis Obat seperti heroin, metadon, propoksifen atau aspirin. g. Idiophatic (tidak diketahui) h. Bedah Cardiobaypass yang lama i. Transfusi darah yang banyak j. PIH (Pregnand Induced Hipertension) k. Peningkatan TIK l. Terapi radiasi m. Trauma hebat, Cedera pada dada Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya penyakit atau cedera. SGPA(sindrom gawat pernafasan akut) seringkali terjadi bersamaan dengan kegagalan organ lainnya, seperti hati atau ginjal. Salah satu faktor resiko dari SGPA adalah merokok sigaret. Angka kejadian SGPA adalah sekitar 14 diantara 100.000 orang/tahun. (American Lung Association Lung Disease Data: 2008)

11

Gambar 1. Normal alveoli dan alveoli pada ARDS

Menurut Hudak & Gallo (1997), gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya ARDS adalah: 1) Sistemik : a. Syok karena beberapa penyebab b. Sepsis gram negative c. Hipotermia, Hipertermia d. Takar lajak obat (Narkotik, Salisilat, Trisiklik, Paraquat,Metadone, Bleomisin) e. Gangguan hematology (DIC, Transfusi massif, Bypass kardiopulmonal) f. Eklampsia g. Luka bakar 2) Pulmonal : a. Pneumonia (Viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii) b. Trauma (emboli lemak, kontusio paru) c. Aspirasi ( cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon ) d. Pneumositis 3) Non-Pulmonal : a. Cedera kepala b. Peningkatan TIK c. Pascakardioversi d. Pankreatitis
12

e. Uremia 2.7 Patofisiologi ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru-paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru-paru menjadi kaku akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia (Brunner & Suddart 616).

Gambar 2. Patofisiologi pada Acute Respiratory Distress Syndrome

Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS: 1. Fase Eksudatif Fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium, inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut. 2. Fase Proliferatif

13

Terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding alveolus dan perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi seluler/membran hialin. Fase proliferative merupakan fase menentukan yaitu cedera bisa mulai sembuh atau menjadi menetap, ada resiko terjadi lung rupture (pneumothorax). 3. Fase Fibrotik/Recovery Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur-angsur membaik dalam waktu 6 12 bulan, dan sangat bervariasi antar individu, tergantung keparahan cederanya. Perubahan patofisiologi berikut ini mengakibatkan sindrom klinis yang dikenal sebagai ARDS (Philip et al, 1995): a. Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus, complement cascade menjadi aktif yang selanjutnya meningkatkan permeabilitas dinding kapiler. b. Cairan, lekosit, granular, eritrosit, makrofag, sel debris, dan protein bocor kedalam ruang interstisiel antar kapiler dan alveoli dan pada akhirnya kedalam ruang alveolar. c. Karena terdapat cairan dan debris dalam interstisium dan alveoli maka area permukaan untuk pertukaran oksigen dan CO2 menurun sehingga mengakibatkan rendahnyan rasio ventilasi-perfusi dan hipoksemia. d. Terjadi hiperventilasi kompensasi dari alveoli fungsional, sehingga mengakibatkan hipokapnea dan alkalosis resiratorik. e. Sel-sel yang normalnya melapisi alveoli menjadi rusak dan diganti oleh sel-sel yang tidak menghasilkan surfaktan ,dengan demikian meningkatkan tekanan pembukaan alveolar. ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik, meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum awitan, misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya terdapat periode laten sekitar 18-24 jam dari waktu cedera paru sampai berkembang menjadi gejala. Durasi sindrom dapat dapat beragam dari beberapa
14

hari sampai beberapa minggu. Pasien yang tampak sehat akan pulih dari ARDS. Sedangkan secara mendadak relaps kedalam penyakit pulmonary akut akibat serangan sekunder seperti pneumotorak atau infeksi berat (Yasmin Asih. Hal 125). Sebenarnya sistim vaskuler paru sanggup menampung penambahan volume darah sampai 3 kali normalnya, namun pada tekanan tertentu, cairan bocor keluar masuk ke jaringan interstisiel dan terjadi edema paru.( Jan Tambayog 2000, hal 109). Secara pathofisiologi terjadinya ARDS dapat dijelaskan sebagai berikut :
Kerusakan sistemik Pe perfusi jaringan Hipoksia seluler Pelepasan faktor-faktor biokimia ( enzim lisosom, vasoaktif, system komplemen, asam metabolic, kolagen, histamine ) Pe permiabilitas kapiler paru Pe aktivitas surfaktan Edema interstisial alveolar paru Kolaps alveolar yang progresif Pe compliance paru Stiff lung Pe shunting Hipoksia arterial

15

Gambar 3. Gambaran paru pada Acute Respiratory Distress Syndrome

2.8 Manifestasi Klinik Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi selama bernapas spontan. Frekuensi pernapasan sering kali meningkat secara bermakna dengan ventilasi menit tinggi. Sianosis dapat atau tidak terjadi. Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah tanda dini dari hipoksemia. Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah: a. Distres pernafasan akut: takipnea, dispnea , pernafasan menggunakan otot aksesoris pernafasan dan sianosis sentral. b. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai seharian. c. Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor, wheezing. d. Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampai koma. e. Auskultasi jantung: bunyi jantung normal tanpa murmur atau gallop
16

( YasminAsih Hal 128 ). Sindroma gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah kelainan dasarnya. Mula-mula penderita akan merasakan sesak nafas, bisanya berupa pernafasan yang cepat dan dangkal. Karena rendahnya kadar oksigen dalam darah, kulit terlihat pucat atau biru, dan organ lain seperti jantung dan otak akan mengalami kelainan fungsi. Hilangnya oksigen karena sindroma ini dapat menyebabkan komplikasi dari organ lain segera setelah sindroma terjadi atau beberapa hari/minggu kemudian bila keadaan penderita tidak membaik. Kehilangan oksigen yang berlangsung lama bisa menyebabkan komplikasi serius seperti gagal ginjal. Tanpa pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan kematian. Bila pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat. Karena penderita kurang mampu melawan infeksi, mereka biasanya menderita pneumonia bakterial dalam perjalanan penyakitnya. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: a. Cemas, merasa ajalnya hampir tiba b. Tekanan darah rendah atau syok (tekanan darah rendah disertai oleh kegagalan organ lain) c. Penderita seringkali tidak mampu mengeluhkan gejalanya karena tampak sangat sakit. 2.9. Diagnosa Diagnosa dini sukar untuk ditegakkan baik dari pemeriksaan faal paru maupun dari pemeriksaan radiologi. Setiap pasien dengan predileksi terdapatnya ARDS dapat dicurigai ARDS bila didapatkan pemeriksaan radiologi infiltrat yang luas dimana tidak terdapat pneumonia. Kadar FiO2 yang tinggi diperlukan untuk mempertahankan PO2. Kecurigaan tergadap ARDS bila didapatkan sesak napas yang berat disertai dengan infiltrat yang luas pada paru yang terjadi secara akut sementara tidak terdapat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya dekompensasi kiri yang dapat menyebabkan edema jantung (cardiac edema). Pada pemeriksaan fisis pada edema jantung terdapat trias dekompensasi, yakni, bunyi gallop, takikardi, dan ronkhi basal. Takikardi dan ronchi basal susah

17

untuk dibedakan antara ARDS dengan edema jantung, akan tetapi bunyi gallop tidak terdapat pada ARDS. Demikian pula tanda bendungan berupa peninggian tekanan jugular tidak didapatkan pada ARDS. Gambaran radiologi pada ARDS infiltrat di perifer sementara pada edema jantung perihilar. Pada pemeriksaan laboratorium cairan edema kristaloid pada ARDS koloid. Salah satu perbedaan antara edema jantung dan ARDS yang membawa dampak pada pemberian oksigen dimana pada edema jantung terdapat korelasi antara FiO2 dan PaO2 oleh karena shunt sedikit bertambah tapi pada ARDS tidak terdapat korelasi pada FiO2 dan PaO2 oleh karena shunt yang jauh lebih banyak dari pada edema paru. Kriteria yang digunakan untuk menyatakan ARDS bila terdapat difus infiltrat bilateral, refrakter hipoksemia, berkurang statik komplain paru (lung compliance) dan bertambahnya shunt (QS/QT). PaO2/FiO2 < 200 sedangkan PCWP <18mmHg in Swan-Ganz Catheter. (Indian J Med Sci vol. 63. No.9) 2.10 Penatalakasanaan 1. Tujuan terapi a. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya bersifat suportif b. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang adekuat c. Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi) 2. Farmakologi a. Inhalasi NO2 dan vasodilator lain b. Kortikosteroid (masih kontroversial: no benefit, kecuali bagi yang inflamasi eosinofilik) c. Ketoconazole: inhibitor poten untuk sintesis tromboksan dan menghambat biosintesis leukotrienes, mungkin bisa digunakan untuk mencegah ARDS

3. Non-farmakologi a. Ventilasi mekanis, dgn berbagai teknik pemberian, menggunakan ventilator, mengatur PEEP (positive-end expiratory pressure)
18

b. Pembatasan cairan c. Pemberian surfaktan, tidak dianjurkan secara rutin 2.11 Prognosis Biasanya, korban mulai pulih dalam waktu dua minggu awal ARDS. Sekarang tingkat kematian pada ARDS sekitar 32 -45%, lebih baik dibandingkan pada tahun 1980-an dengan 53-68 %. Cedera pada system pernafasan menyumbang angka kematian lebih tinggi. Manajemen yang agresif dalam menangani faktor, infeksi, dan dukungan nutrisi yang baik mungkin juga memainkan peran dalam menurunnya tingkat kematian. Kematian lebih tinggi pada orang tua, system imun yang rendah, dan pasien dengan penyakit hati kronis. Usia kurang dari 55 dan trauma etiologi memprediksi harapan lebih menguntungkan, beberapa pusat penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pasien yang lebih tua dari 70 tahun memiliki resiko dua kali kematian dibandingkan dengan mereka yang memiliki usia lebih muda. Dalam kasus ARDS, kematian banyak disebabkan oleh kegagalan multisystem organ daripada kegagalan dalam system pernapasan. Tindak lanjut studi, fungsi paru meningkatkan dari 3 sampai 6 bulan dan stabil pada 1 tahun. Pembagian dari ringan sampai obstruksi moderat dan difusi. Pengujian neuropsychologic dapat mengungkapkan perbedaan yang signifikan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih parah dan berlarut-larut dalam hypoxemia. Selama 30 tahun terakhir, telah ada kemajuan dalam standardisasi evaluasi dan pengelolaan penyakit ini seluruh dunia. Pemahaman yang lebih baik dari patofisiologi telah menghasilkan manajemen strategi, perbaikan dalam hasil study eksperimental sedang dilakukan untuk mengevaluasi peran faktor pertumbuhan epitel dan agonis beta-adrenergic dalam mengurangi cedera paru-paru dan mempercepat dalam penyembuhan. Investigasi peran mutasi gen dan polimorfisme gen telah memberikan wawasan kerentanan genetic untuk pengembangan dan hasil dari ARDS. (KAHDI F. UDOBI, M.D., and ED CHILDS, M.D., Am Fam Physician 2003;67:315-22.)

19

BAB 3 KESIMPULAN

20

1. Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah sekumpulan gejala dan tanda yang terdiri dari empat komponen yaitu: gagal napas akut, perbandingan antara PaO2/FiO2 <300 mmHg untuk ALI dan <200 mmHg untuk ARDS, terdapat gambaran infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan gambaran edema paru pada foto toraks dan tidak ada hipertensi atrium kiri serta tekanan kapiler wedge paru <18 mmHg. 2. Prinsip pengaturan ventilator untuk pasien ARDS J Respir Indo Vol. 32, No. 1, Januari 2012 51 meliputi: - Volume tidal rendah (4-6 mL/kgBB). - Positive end expiratory pressure (PEEP) yang adekuat, untuk memberikan oksigenasi adekuat (PaO2 > 60 mmHg) dengan tingkat FiO2 aman. - Menghindari barotrauma (tekanan saluran napas <35cmH2O atau di bawah titik refleksi dari kurva pressure-volume). - Menyesuaikan rasio I:E (lebih tinggi atau kebalikan rasio waktu inspirasi terhadap ekspirasi dan hiperkapnia yang (J Respir Indo Vol. 32, No. 1, Januari 2012 51)

DAFTAR PUSTAKA

21

1. Ashbaugh DG, Bigelow DB, Petty TL, Levine BE. Acute respiratory distress in adults. Lancet 1967;2:319-23. 2. Hudson LD, Steinberg KP. Epidemiology of acute lung injury and ARDS . Chest 1999;116(1 suppl): S74-82. 3. Luhr OR, Antonsen K, Karlsson M, Aardal S, Thorsteinsson A, Frostell CG, et al. Incidence and mortality after acute respiratory failure and acute respiratory distress syndrome in Sweden, Denmark, and Iceland . The ARF Study Group. Am J Respir Crit Care Med 1999;159:1849-61. 4. Roupie E, Lepage E, Wysocki M, Fagon JY, Chastre J, Dreyfuss D, et al. Prevalence, etiologies and outcome of the acute respiratory distress syndrome among hypoxemic ventilated patients. SRLF Collaborative Group on Mechanical Ventilation. Intensive Care Med 1999;25:920-9. 5. Krafft P, Fridrich P, Pernerstorfer T, Fitzgerald RD, Koc D, Schneider B, et al. The acute respiratory distress syndrome: definitions, severity and clinical outcome. An analysis of 101 clinical investigations . Intensive Care Med 1996;22:519-29. 6. Jardin F, Fellahi JL, Beauchet A, Vieillard-Baron A, Loubieres Y, Page B. Improved prognosis of acute respiratory distress syndrome 15 years on . Intensive Care Med 1999;25:936-41. 7. Bernard GR, Artigas A, Brigham KL, Carlet J, Falke K, Hudson L, et al. Report of the American-European consensus conference on ARDS: definitions, mechanisms, relevant outcomes and clinical trial coordination. Intensive Care Med 1994;20:225-32. 8. Bernard GR, Artigas A, Brigham KL, Carlet J, Falke K, Hudson L, et al. The American-European consensus 9. Carpenito,Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.EGC. Jakarta. 10. Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta. 11. Farid, 2006. Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Penyakit Sejuta Etiologi.
22

12. Hudak, Gall0. 1997. Keperawatan Kritis. Pendekatan Holistik.Ed.VI. Vol.I. EGC. Jakarta. 13. Ikawati, Zulies. 2009. Respiratory Distress Syndrom: gangguan gagal nafas. 14. Setyaningsih, Indah. 2008. Akut Respiratory Distres Sindrom. Somantri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Salemba. Jakarta. 15. Rab, Tabrani. 2000. Agenda Gawat Darurat (Critical Care) jilid 2 . Bandung: PT. Alumni 16. American Lung Association Lung Disease Data: 2008 17. KAHDI F. UDOBI, M.D., and ED CHILDS, M.D., Am Fam Physician 2003;67:315-22. 18. Indian J Med Sci vol. 63. No.9 19. J Respir Indo Vol. 32, No. 1, Januari 2012 51 20. Anatomi fisiologi: modul 4 Sistem Pernafasan dan Sistem Kardiologi, Ed 2. Cambridge.

23

24

Anda mungkin juga menyukai