Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

Dalam praktek sehari-hari anxietas sering dikenal dengan istilah perasaan cemas, perasaan bingung, was-was, bimbang dan sebagainya, dimana istilah tersebut lebih merujuk pada kondisi normal. Sedangkan gangguan anxietas merujuk pada kondisi patologik. Anxietas sendiri dapat sebagai gejala saja yang terdapat pada gangguan psikiatrik, dapat sebagai sindroma pada neurosis cemas dan dapat juga sebagai kondisi normal. Anxietas normal sebenarnya sesuatu hal yang sehat, karena merupakan tanda bahaya tentang keadaan jiwa dan tubuh manusia supaya dapat mempertahankan diri dan anxietas juga dapat bersifat konstruktif, misalnya seorang pelajar yang akan menghadapi ujian, merasa cemas, maka ia akan belajar secara giat supaya kecemasannya dapat berkurang. Sensasi anxietas / cemas sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan tersebut ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan, seringkali disertai oleh gejala otonomik, seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, gelisah, dan sebagainya. Kumpulan gejala tertentu yang ditemui selama kecemasan cenderung bervariasi, pada setiap orang tidak sama. Gangguan kecemasan merupakan salah satu penyakit yang paling tersering didalam ilmu kejiwaan. Banyak pasien dengan gangguan kecemasan ini mengalami gejala fisik dan biasanya mereka akan segera mencari dokter untuk mendapatkan pertolongan. Disamping dari begitu banyaknya prevalensi kejadian gangguan kecemasan ini, banyak yang tidak mengetahui bahwa mereka mempunyai gangguan kecemasan. Dalam praktek sehari-hari anxietas sering dikenal dengan istilah perasaan cemas, perasaan bingung, was-was, bimbang dan sebagainya, dimana istilah tersebut lebih merujuk pada kondisi normal. Sedangkan gangguan anxietas merujuk pada kondisi patologik. Anxietas sendiri mempunyai rentang yang luas dan normal sampai level yang moderat misalnya pertandingan sepak bola, ujian, wawancara untuk masuk kerja mempunyai tingkat anxietas yang berbeda. Anxietas sendiri dapat sebagai gejala saja yang terdapat pada gangguan psikiatrik, dapat sebagai sindroma pada neurosis cemas dan dapat juga sebagai

kondisi normal. Anxietas normal sebenarnya sesuatu hal yang sehat, karena merupakan tanda bahaya tentang keadaan jiwa dan tubuh manusia supaya dapat mempertahankan diri dan anxietas juga dapat bersifat konstruktif, misalnya seorang pelajar yang akan menghadapi ujian, merasa cemas, maka ia akan belajar secara giat supaya kecemasannya dapat berkurang. Istilah kecemasan dalam psikiatri muncul untuk merujuk suatu respon mental dan fisik terhadap situasi yang menakutkan dan mengancam. Secara mendasar lebih merupakan respon fisiologis ketimbang respon patologis terhadap ancaman. Sehingga orang cemas tidaklah harus abnormal dalam perilaku mereka, bahkan kecemasan merupakan respons yang sangat diperlukan. Ia berperan untuk meyiapkan orang untuk menghadapi ancaman (baik fisik maupun psikologik). Perasaan cemas atau sedih yang berlangsung sesaat adalah normal dan hampir semua orang pernah mengalaminya. Cemas pada umumnya terjadi sebagai reaksi sementara terhadap stress dalam kehidupan sehari-hari. Bila cemas menjadi begitu besar atau sering seperti yang disebabkan oleh tekanan ekonomi yang berkepanjangan, penyakit kronik dan serius atau permasalahan keluarga maka akan berlangsung lama; kecemasan yang berkepanjangan sering menjadi patologis. Ia menghasilkan serombongan gejalagejala hiperaktivitas otonom yang mengenai sistem muskuloskeletal,

kardiovaskuler, gastrointestinal dan bahkan genitourinarius. Respon kecemasan yang berkepanjangan ini sering diberi istilah gangguan kecemasan, dan ini merupakan penyakit. Dari aspek klinik kecemasan dapat dijumpai pada orang yang menderita stress normal; pada orang yang menderita sakit fisik berat, lama dan kronik; pada orang dengan gangguan psikiatri berat (skizofrenia, gangguan bipoler dan depresi); dan pada segolongan penyakit yang berdiri sendiri yang dinamakan gangguan kecemasan. Geriatric psychiatry atau kedokteran jiwa usia lanjut (geropsikiatri) merupakan bagian ilmu kedokteran jiwa yang mencurahkan perhatian kepada segala gangguan jiwa yang terdapat pada orang yang sudah lanjut usia. Hal ini sangat penting karena orang yang sudah lanjut usia merupakan individu dengan ciri serta masalahnya tersendiri.

Usia lanjut bukanlah sebuah penyakit melainkan sebuah fase dalam siklus kehidupan yang memiliki karakter tersendiri pada setiap fase perkembangan. Usia lanjut terkait dengan matangnya pemikiran yang bijak yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya, salah satu tugas pada usia lanjut yang dikemukakan oleh Erik Erikson tentang usia lanjut yang sehat yaitu integritas dan bukan putus asa. Gangguan cemas biasanya memiliki awitan pada masa dewasa awal atau pertengahan, namun beberapa kasus memiliki awitan setelah usia 60 tahun. Penelitian ECA menemukan prevalensi gangguan cemas pada orang yang berusia 65 tahun keatas adalah 5,5%. Gangguan kecemasan yang paling sering ditemukan adalah fobia. Tanda dan gejala gangguan fobia pada individu usia lanjut tidak seberat tanda dan gejala yang terjadi pada orang muda, namun efek yang ditimbulkan sama.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


DEFINISI GANGGUAN CEMAS

Cemas didefinisikan sebagai suatu sinyal yang menyadarkan; ia memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Rasa tersebut ditandai dengan gejala otonom seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, rasa sesak di dada, tidak nyaman pada perut, dan gelisah.

Rasa cemas dapat datang dari eksternal atau internal. Masalah eksternal umumnya terkait dengan hubungan antara seseorang dengan komunitas, teman, atau keluarga. Masalah internal umumnya terkait dengan pikiran seseorang sendiri

TANDA DAN GEJALA GANGGUAN CEMAS

Gejala-gejala cemas pada dasarnya terdiri dari dua komponen yakni, kesadaran terhadap sensasi fisiologis ( palpitasi atau berkeringat ) dan kesadaran terhadap rasa gugup atau takut. Selain dari gejala motorik dan viseral, rasa cemas juga mempengaruhi kemampuan berpikir, persepsi, dan belajar. Umumnya hal tersebut menyebabkan rasa bingung dan distorsi persepsi. Distorsi ini dapat menganggu belajar dengan menurunkan kemampuan memusatkan perhatian, menurunkan daya ingat dan menganggu kemampuan untuk menghubungkan satu hal dengan lainnya. Aspek yang penting pada rasa cemas, umumnya orang dengan rasa cemas akan melakukan seleksi terhadap hal-hal disekitar mereka yang dapat membenarkan persepsi mereka mengenai suatu hal yang menimbulkan rasa cemas.

PATOFISIOLOGI GANGGUAN CEMAS

Teori Psikoanalitik Sigmeun Freud menyatakan dalam bukunya 1926 Inhibitons, Symptoms, Anxiety bahwa kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego bahwa suatu dorongan yang tidak dapat diterima menekan untuk mendapatkan perwakilan dan pelepasan sadar. Sebagai suatu sinyal, kecemasan menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam. Jika kecemasan naik di atas tingkatan rendah intensitas karakter fungsinya sebagai suatu sinyal, ia akan timbul sebagai serangan panik.

Teori Perilaku Rasa cemas dianggap timbul sebagai respon dari stimulus lingkungan yang spesifik. Contohnya, seorang anak laki-laki yang dibesarkan oleh ibunya yang memperlakukannya semena-mena, akan segera merasa cemas bila ia bertemu ibunya. Melalui proses generalisasi, ia akan menjadi tidak percaya dengan wanita. Bahkan seorang anak dapat meniru sifat orang tuanya yang cemas.

Teori Eksistensi Pada gangguan cemas menyeluruh, tidak didapatkan stimulus rasa cemas yang bersifat kronis. Inti dari teori eksistensi adalah seseorang merasa hidup di dalam dunia yang tidak bertujuan. Rasa cemas adalah respon mereka terhadap rasa kekosongan eksistensi dan arti.

Berdasarkan aspek biologis, didapatkan beberapa teori yang mendasari timbulnya cemas yang patologis antara lain: Sistem saraf otonom Neurotransmiter

Neurotransmiter 1. Norepinephrine

Gejala kronis yang ditunjukan oleh pasien dengan gangguan cemas berupa serangan panik, insomnia, terkejut, dan autonomic hyperarousal, merupakan karakteristik dari peningkatan fungsi noradrenergik. Teori umum dari keterlibatan norepinephrine pada gangguan cemas, adalah pasien tersebut memiliki kemampuan regulasi sistem noradrenergik yang buruk terkait dengan peningkatan aktivitas yang mendadak. Sel-sel dari sistem noradrenergik terlokalisasi secara primer pada locus ceruleus pada rostral pons, dan memiliki akson yang menjurus pada korteks serebri, sistem limbik, medula oblongata, dan medula spinalis. Percobaan pada primata menunjukan bila diberi stimulus pada daerah tersebut menimbulkan rasa takut dan bila dilakukan inhibisi, primata tersebut tidak menunjukan adanya rasa takut. Studi pada manusia, didapatkan pasien dengan gangguan serangan panik, bila diberikan agonis reseptor -adrenergik ( Isoproterenol ) dan antagonis reseptor -2 adrenergik dapat mencetuskan serangan panik secara lebih sering dan lebih berat. Kebalikannya, clonidine, agonis reseptor -2 menunjukan pengurangan gejala cemas.

2. Serotonin Ditemukannya banyak reseptor serotonin telah mencetuskan pencarian peran serotonin dalam gangguan cemas. Berbagai stress dapat menimbulkan peningkatan 5-hydroxytryptamine pada prefrontal korteks, nukleus accumbens, amygdala, dan hipotalamus lateral. Penelitian tersebut juga dilakukan berdasarkan penggunaan obat-obatan serotonergik seperti clomipramine pada gangguan obsesif kompulsif. Efektivitas pada penggunaan obat buspirone juga menunjukkan kemungkinan relasi antara serotonin dan rasa cemas. Sel-sel tubuh yang memiliki reseptor serotonergik ditemukan dominan pada raphe nuclei pada rostral brainstem dan menuju pada korteks serebri, sistem limbik, dan hipotalamus.

3. GABA Peran GABA pada gangguan cemas sangat terlihat dari efektivitas obatobatan benzodiazepine, yang meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA tipe A. Walaupun benzodiazepine potensi rendah paling efektif terhadap gejala

gangguan cemas menyeluruh, benzodiazepine potensi tinggi seperti alprazolam dan clonazepam ditemukan efektif pada terapi gangguan serangan panik

Pada suatu studi struktur dengan CT scan dan MRI menunjukan peningkatan ukuran ventrikel otak terkait dengan lamanya pasien mengkonsumsi obat benzodiazepine. Pada satu studi MRI, sebuah defek spesifik pada lobus temporal kanan ditemukan pada pasien dengan gangguan serangan panik. Beberapa studi pencitraan otak lainnya juga menunjukan adanya penemuan abnormal pada hemisfer kanan otak, tapi tidak ada pada hemisfer kiri. fMRI, SPECT, dan EEG menunjukan penemuan abnormal pada korteks frontal pasien dengan gangguan cemas, yang ditemukan juga pada area oksipital, temporal, dan girus hippocampal. Pada gangguan obsesif kompulsif diduga terdapat kelainan pada nukleus kaudatus. Pada PTSD, fMRI menunjukan pengingkatan aktivitas pada amygdala.

Sistem Saraf Otonom Gejala-gejala yang ditimbulkan akibat stimulus terhadap sistem saraf otonom adalah: sistem kardiovaskuler (palpitasi) muskuloskeletal (nyeri kepala) gastrointestinal (diare) respirasi (takipneu)

Sistem saraf otonom pada pasien dengan gangguan cemas, terutama pada pasien dengan gangguan serangan panik, mempertunjukan peningkatan tonus simpatetik, yang beradaptasi lambat pada stimuli repetitif dan berlebih pada stimuli yang sedang.

Berdasarkan pertimbangan neuroanatomis, daerah sistem limbik dan korteks serebri dianggap memegang peran penting dalam proses terjadinya cemas.

Korteks Serebri Korteks serebri bagian frontal berhubungan dengan regio

parahippocampal, cingulate gyrus, dan hipotalamus, sehingga diduga berkaitan dengan gangguan cemas. Korteks temporal juga dikaitkan dengan gangguan cemas. Hal ini diduga karena adanya kemiripan antara presentasi klinis dan EEG pada pasien dengan epilepsy lobus temporal dan gangguan obsesif kompulsif.

Sistem Limbik Selain menerima inervasi dari noradrenergik dan serotonergik, sistem limbik juga memiliki reseptor GABA dalam jumlah yang banyak. Ablasi dan stimulasi pada primata juga menunjukan jikalau sistem limbik berpengaruh pada respon cemas dan takut. Dua area pada sistem limbik menarik perhatian peneliti, yakni peningkatan aktivitas pada septohippocampal, yang diduga berkaitan dengan rasa cemas, dan cingulate gyrus, yang diduga berkaitan dengan gangguan obsesif kompulsif.

KLASIFIKASI GANGGUAN CEMAS

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders ( DSM-IV), gangguan cemas terdiri dari : (1) Serangan panik dengan atau tanpa agoraphobia; (2) Agoraphobia dengan atau tanpa Serangan panik; (3) Fobia spesifik; (4) Fobia sosial; (5) Gangguan Obsesif-Kompulsif; (6) Post Traumatic Stress Disorder ( PTSD ); (7) Gangguan Stress Akut; (8) Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder).

Gangguan kecemasan Geriatric kurang mendapat perhatian, mungkin karena ada pendapat bahwa kecemasan menjadi jarang dengan usia yang lebih tua. Data epidemiologi mendukung melihat, menemukan tingkat yang lebih rendah dari

gangguan kecemasan di populasi masyarakat lansia tinggal daripada di populasi usia muda. Beberapa studi telah menemukan terutama rendahnya tingkat gangguan panik dan fobia sosial pada subjek lansia. Gangguan kecemasan komorbid mungkin jauh lebih umum di depresi lansia, tapi ketidakhadiran penelitian epidemiologi skala besar menangani kejiwaan komorbiditas pada orang tua meninggalkan kemungkinan ini belum dikonfirmasi. Dua studi komunitas kecil ditemukan tingkat yang lebih rendah dari gangguan kecemasan umum komorbiditas, fobia kecemasan, dan terutama serangan panik pada depresi lansia subyek daripada yang ditemukan dalam penelitian serupa yang melibatkan orang dewasa muda. Tiga penelitian sebelumnya dalam pengaturan klinis menilai tingkat komorbiditas kecemasan pada depresi pasien usia lanjut. Satu studi menemukan bahwa 38% dari 45 lansia pasien rawat jalan dengan depresi berat juga bertemu kriteria DSM-III-R untuk gangguan kecemasan. Dalam sebuah penelitian terhadap lansia yang merupakan penghuni panti jompo, 65% dari mereka dengan Depresi utama juga menunjukkan gejala kecemasan bersamaan, namun harga yang sangat rendah dari serangan panik terlihat. Penelitian Laporan tidak menyatakan berapa banyak pasien yang memenuhi kriteria penuh untuk suatu diagnosis gangguan kecemasan. Hasil dari ketiga penelitian yang dilakukan dalam pengaturan perawatan menunjukkan bahwa komorbiditas gangguan kecemasan kurang umum pada pasien usia lanjut dengan depresi berat dibandingkan pada orang dewasa mereka lebih muda.

BAB III PENUTUP


Anxietas adalah perasaan yang difus, yang sangat tidak menyenangkan, agak tidak menentu dan kabur tentang sesuatu yang akan terjadi. Perasaan ini disertai dengan suatu atau beberapa reaksi badaniah yang khas dan yang akan datang berulang bagi seseorang. Perasaan ini dapat berupa rasa kosong di perut, dada sesak, jantung berdebar, keringat berlebihan, sakit kepala atau rasa mau kencing atau buang air besar. Perasaan ini disertai dengan rasa ingin bergerak dan gelisah. Wanita 2-3 kali lebih sering terkena dari pada laki-laki Etiologi : Biologis : norepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Genetika : peningkatan resiko gangguan panik sebesar 4-8 kali lipat pada sanak saudara derajat pertama pasien dengan gangguan panik dibandingkan dengan sanak saudara derajat pertama dari pasien dengan gangguan psikiatrik lainnya. Demikian juga pada kembar monozigot. Psikososial : Teori kognitif,teori psikoanalitik Gejala : Palpitasi, berkeringat, gemetar, sesak napas, perasaan tercekik, nyeri dada atau perasaan tidak nyaman, mual dan gangguan perut, pusing, bergoyang. melayang. atau pingsan. Bentuk anxietas : Gangguan Panik,gangguan Fobik,Gangguan Obsesifkompulsif,Gangguan Stres Pasca Trauma,gangguan Stres Akut, Gangguan Anxietas Menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA
1. Porzych K, Kedziora KK, Porzych M, Polak A, Motyl J. Depression and anxiety in elderly patients as a challenge for geriatric therapeutic team. Roczniki Akademii Medycznej w Biatymstoku 2005; Vol. 50, Suppl.1. 2. Veer-Tazelaar PJ, Marwijk HWJ, Oppen P, Hout HPJ, Horst HE, Cuijpers P, et al. Stepped-care prevention of anxiety and depression in late life, a randomized controlled trial. Arch Gen Psychiatry 2009 March;66(3). 3. Lenze EJ, Mulsant BH, Shear MK, Schulberg HC, Dew MA, Begley AE, et al. Comorbid anxiety disorders in depressed elderly patients. Am J Psychiatry 2000; 157:722-728. 4. Uleng AST, Jayalangkara A, Hawaidah, Patellongi I. Hubungan derajat ansietas dengan dispepsia organik. 5. Hoge EA, Oppenheimer JE, Simon NM. Generalized anxiety disorder. The Journal of Lifelong Learning in Psychiatry 2004;II(3). 6. Sadavoy J, LeClair JK. Treatment of anxiety disorders in late life. Can J Psychiatry 1997;42 Suppl 1:28S-34S. 7. Simanjuntak ITM, Daulay W. Hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara, Medan. Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara 2006 Mei;2(1). 8. Coolidge FL, Segal DL, Hook JN, Stewart S. Personality disorders and coping among anxious older adults. Journal of Anxiety Disorders 2000;14(2) 157-172. 9. Iverach L, OBrian S, Jones M, Block S, Lincoln M, Harrison E, et al. Prevalence of anxiety disorders among adults seeking speech therapy for stuttering. Journal of Anxiety Disorders 2009;23 928-934. 10. Gellis ZD, McCracken SG. Anxiety disorders among older adults literature review. Council on Social Work Education. 11. Thorp SR, Ayers CR, Nuevo R, Stoddard JA, Sorrell JT, Wetherell JL. Meta-analysis comparing different behavioral treatments for late-life anxiety. Am J Geriatr Psychiatry 2009 February;17(2): 105-115.

12. Wetherell JL, Ayers CR, Sorrell JT, Thorp R, Nuevo R, Belding W, et al. Modular psychotherapy for anxiety in older primary care patients. Am J Geriatr Psychiatry 2009 June;17(6): 483-492. 13. Lenze EJ, Rollman BL, Shear MK, Dew MA, Pollock BG, Ciliberti C, et al. Escitalopram for older adults with generalized anxiety disorder. JAMA 2009 January;301(3) 295-303. 14. Stanley MA, Wilson N, Novy DM, Rhoades HM, Wagener P, Greisinger AJ, et al. Cognitive behavior therapy for generalized anxiety disorder among older adults in primary care: a randomized clinical trial. JAMA 2009 April;301(14): 1460-1467.

Anda mungkin juga menyukai