Anda di halaman 1dari 8

IBU WA KOKO: SI PEMBELA EKOSOB BAGI WARGA EKSODUS

Di desa Matanauwe, kecamatan Siontapina Kabupaten Buton, ada dua sekolah dasar berdiri. SD Satu yang maju dan SD Dua yang terbelakang. SD Satu jelas diminati oleh banyak orang tua murid. SD Dua sebaliknya, seolah tak layak dilirik. Orang berbondong-bondong mendaftarkan anak-anaknya ke SD Satu dan beberapa di antara mereka ke sekolah tujuan dengan melintasi SD Dua di sisi kiri jalan raya. Barangkali tak sedikitpun menengok karena khawatir kepergok wajah guru-guru yang sedang mengharapkan ada siswa mendaftar. Jika sudah cukup penuh di SD Satu sehingga tak mampu lagi menampung anak didik pilihan orang tua mereka maka dengan amat terpaksa sang orang tua lalu membawa anak mereka ke SD Dua. Demikian kira-kira gambaran buruk SD Dua

Tentu tak semua orang tua berpikir demikian. Sebagian kecil tak memedulikan ketenaran SD Satu. Bagi mereka, hal terpenting adalah tetap memerhatikan pendidikan anak-anak di rumah, walaupun sudah bersekolah bersama para guru di pagi hingga siang hari. Salah satu dari beberapa orang tua ini adalah Ibu Wa Koko. Anaknya bersekolah di SD Dua. Ia dan tiga orang tua murid lainnya punya sejumlah rencana. Mereka berniat membantu kepala sekolah dan para guru untuk memperbaiki kualitas pengajaran di SD Dua. Gayung bersambut. LSM Prima sedang menjalankan satu program pengorganisasian rakyat di desanya. Salah satu programnya adalah pengorganisasian orang tua murid yang mereka sebut Kelompok Terorganisir Orangtua Murid disingkat KTOM. Mereka bergabung dalam kelompok ini dan mengikuti beberapa pelatihan yang membuka pikiran dan menambah kemampuannya, khususnya pemahaman akan hak dan kewajiban warga negara dan kemampuan berbicara di depan umum. Menurut ingatan Wa Koko, awalnya aktifis LSM Mitra datang ke sekolah untuk membantu meningkatkan kapasitas sekolah. Namun, pihak sekolah meresponnya dengan dingin, bahkan terkesan mengabaikan ajakan. Daripada berharap kepada pihak pendidik sekolah yang acuh tak acuh maka pilihan jatuh kepada orang tua murid yang peduli.

Sejak saat itu, niat memperbaiki kualitas SD Dua pun ditasbihkan. KTOM yang diketuai oleh Wa Koko mengorganisir beberapa pertemuan bersama orang tua murid. Berbagai keluhan terlontar dari mulut mereka yang selama ini diam. Strategi pun dibuat. Salah satu organ penting di sekolah yang penting untuk dihidupkan adalah Komite Sekolah yang selama ini seolah hampa. Wa Koko menghubungi ketua komite dan mengajaknya bekerjasama. Bersama-sama memperbaiki kualitas sekolah. Dalam beberapa kali pertemuan yang digelar oleh KTOM, Komite Sekolah, UPTD dan guru serta kepala sekolah dan pengurus PIPM perlahan-lahan jumlah anggota aktif mulai bertambah. Memang, kelompok ini seyogianya menjadi milik semua orang tua murid dan menjadi anggotanya. Namun mereka membutuhkan beberapa anggota aktif lainnya. Mereka yang aktif inilah yang kemudian disebut orang tua murid terorganisir. Mereka pulalah yang sewaktu-waktu dapat mengikuti berbagai pelatihan peningkatan kapasitas diri yang digelar oleh beragam organisasikhususnya mitra ACCESS. Perlahan-lahan mereka tumbuh sebagai orang tua yang kritis. Kini jumlah mereka 15 orang. Sebuah bilangan yang cukup untuk melakukan perubahan di sekolah yang selama ini terbelakang. Mereka bahkan sudah memiliki aturan main yang mereka sebut AD-ART kelompok. Gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh KTOM di SD Dua membuahkan hasil. Sudah ada beberapa capaian setelah berdiri hampir dua tahun ini. Capaian pertama adalah keberhasilan melahirkan dokumen Piagam Warga. Piagam yang disusun bersama orang tua murid, para guru, komite sekolah, dan PIPM ini mengatur operasionalisasi keseharian sekolah: mengenai jadwal mengajar dan jam mengajar [lihat boks]. Piagam warga ini berupaya membangun kondisi pendisiplinan guru-guru yang selama ini memang yang menjadi salah satu sebab kemunduran SD Dua ini. Menurut Wa Koko, dulu citra sekolah itu rusak gara-gara perilaku gurugurunya yang tidak disiplin. Kini, setiap usai mengajar, maka setiap guru akan memaraf buku tulis siswa dan menuliskan jam berapa ia mulai mengajar dan pukul

berapa pelajaran berakhir. Paraf guru pada buku siswa akan menjadi alat kontrol orang tua siswa terhadap kinerja guru. Capaian kedua adalah mengenai pengaturan murid yang tinggal di mana akan sekolah di SD mana. Misalnya, calon murid yang tinggal berdekatan dengan SD Dua akan bersekolah di SD Dua, demikia pula, calon siswa yang tinggal didekat SD Satu akan bersekolah di SD Satu. Peraturan ini disepakati oleh warga dan kedua sekolah mengingat tindakan ini bertujuan meningkatkan jumlah siswa SD Dua yang selama ini sepi. Walaupun aturan yang dibuat sejak 2 tahun lalu ini masih menimbulkan perdebatan dan ada beberapa orang tua yang tetap menyekolahkan anaknya di SD Satu dengan alasan kualitas SD Satu lebih baik, setidaknya tindakan ini sudah mendongkrak jumlah siswa SD Dua. Bahkan kepala SD Satu yang baru menjabat tujuh bulan saat wawancara berlangsung juga mengutarakan keberatannya.

Ia mencontohkan, bahwa ia kesulitan menolak jika ada orang tua murid yang mendaftarkan anaknya walaupun ia tinggal di sekitar SD Dua. Kepala Sekolah lebih memilih mengikuti aturan Dinas Pendidikan dari pada mengikuti aturan yang sudah disepakati warga dan pihak sekolah yang diputuskan saat ia belum menjabat sebagai kepala sekolah di SD Satu ini. Lepas dari kelemahan aturan ini, di satu sisi, pihak SD

Dua juga sedang dalam proses memperbaiki kualitasnya melalui bantuan dan pantauan dari pengurus KTOM seperti Wa Koko. Capaian ketiga adalah melalui swadaya orang tua murid dan anggaran yang dialokasikan khusus dari sekolah, kini seluruh siswa sudah mengenakan seragam batik dan pakaian olah raga di mana selama berdirinya sejak 1960-an [?] tidak pernah sekalipun siswa ini memiliki seragam tersebut. Setelah kesuksesan itu, kini KTOM bersama pihak sekolah juga sedang mempersiapkan rancangan anggaran untuk pemagaran sekolah. Sejauh ini masih belum diputuskan apakah pagar sekolah ini akan menggunakan material semen dan batu atau kayu. Capaian keempat dan ini merupakan salah satu capaian yang penting adalah pengelolaan dana BOS secara transparan dan bertanggung jawab. Wa Koko menyatakan bahwa sebelumnya pihak sekolah mengelola anggaran dana BOS secara tertutup bahkan terdapat beberapa pemotongan tidak resmi yang diabaikan atau dibiarkan oleh orang tua murid. Dulu kami tidak tahu aturan dana BOS itu. Setelah kami ikut pelatihan, kami mulai mampu membaca anggaran, sekarang kami berani mengkritik pihak sekolah mengenai pengelolaan dana BOS. Bahkan sekarang dominan perempuan yang berani mengkritik, mungkin sudah lebih 70% pengkritik itu ibu-ibu! Ujar Wa Koko lantang di kedai kelontongnya saat kami berbincang. Ia melanjutkan, bahkan pernah saat kepala sekolah sedang sakit, saya mendatangi dan memintanya merencanakan baik-baik alokasi dana BOS untuk tahun ini, khususnya dana BOS untuk GTT. Saya sampaikan bahwa anggaran yang memadai bagi GTT ini akan membantu proses belajar-mengajar berjalan baik. Sekarang honor bagi GTT sebesar 400 ribu, padahal sebelumnya hanya 250 ribu. Dalam upayanya menjadi pemantau kinerja pendidik di sekolah, pernah juga ada keluhan dari orang tua murid, termasuk Wa Koko sendiri mengenai pekerjaan rumah anak-anak sekolah ini yang terlampau banyak. Masak anak kelas dua diberi PR matematika sampai 200 nomer. Belum usai PR itu, esok sudah diberikan PR lagi.

Bahkan di hari ketiga anak-anak sudah malas mengerjakan PR itu karena PR itu bahkan tidak dibahas keesokan harinya. Wa Koko mengenang saat beberapa orang tua murid terorganisir ini mendatangi guru bersangkutan dan menyampaikan keluhan mereka. Mereka menyampaikan, bukannya orang tua murid tidak suka dengan tugas-tugas yang diberikan oleh guru kepada siswa, namun perlu dipertimbangkan kemampuan anak didik. Bukannya kita orang tua murid tidak menerima anak-anak diberi PR, tapi tolong ada batas-batasnya. Untuk pelajaran penjumlahan bagi siswa kelas satu tidak boleh lebih dari angka seratus. Anak-anak kelas dua tidak boleh lebih dari angka 500. Lalu, masa anak-anak kelas dua diberi PR yang jumlahnya sampai 200 nomer! Anakanak kami sudah malas belajar di rumah. Hari ini guru kasih PR 200 nomer, besok ditambah lagi PRnya, hari ketiga anak-anak sudah malas kerja PR karena PR juga tidak dibahas di sekolah! ujarnya berapi-api. Wa Koko sebagai orang tua murid benar-benar memaksimalkan fungsinya sebagai orang tua dan pihak yang sudah menjadi bagian dari sistem pengajaran sekolah. Ia sesekali menampakkan diri di sekolah seolah-olah sedang memantau. Ia tidak peduli dengan cibiran guru-guru yang bisa saja terlintas dalam pikiran mereka jika melihat dirinya muncul di sekolah. Dengan keberhasilan KTOM yang ia koordinir, pernah dari desa lain desa Puraaia diminta untuk menfasilitasi beberapa orang tua murid mengenai pentingnya KTOM dan PIPM. Maklum, selain pengurus KTOM sebenarnya ia juga adalah pengurus PIPM. Ketua PIPM di desa Matanauwe adalah La Rabaa. Kedua organisasi desa ini saling mendukung satu sama lain. Jangankan sesama orang tua murid, ia bahkan pernah mengajarkan Community Organizer dari desa lain yang membutuhkan pengetahuannya bagaimana menyusun Perdes. Ia memaklumi kekurangpengetahuan CO dari LSM pendamping itu karena yang dilatih dan mengikuti pelatihan memang hanyalah para pengurus organisasi rakyat.

Mengenai bagaimana sehingga Wa Koko menjadi begitu bersemangat, ia menyampaikan bahwa itu berkat pelatihan-pelatihan penting yang ia ikuti [lihat ulasan khusus peningkatan kapasitas pengorganisir rakyat]. Selain itu, dukungan dari suaminya yang kuat juga membuat dirinya bersedia dan berani menghadapi berbagai tantangan dalam menindaklanjuti keluhan-keluhan warga. Dengan dukungan itu ia tidak segan-segan menyampaikan kebenaran walaupun itu pahit. Bahkan bukan kepada institusi yang ada di desanya saja ia berani memberikan masukan dan kritik, ia juga berani mengkritik manajemen ACCESS jika ada hal-hal yang menurutnya tidak benar. Kejujuran adalah hal utama baginya. Dengan sikapnya yang kritis itu, ia bukan tidak sadar kemungkinan bahaya yang bisa menimpa dirinya. Suatu hari, pernah ada guru yang mau memarangnya. Saat itu, ia mengusulkan pergantian kepala sekolah yang tak becus mengelola dana BOS kepada pihak dinas pendidikan. Berkat keberanian dan kemampuannya menjelaskan secara gamblang apa yang ia perjuangkan membuat

guru itu mengerti dan siap mendukungnya. Dari peristiwa itu, ia percaya bahwa apa yang ia dan orang tua murid lainnya perjuangkan membutuhkan waktu panjang dan tidak bisa diselesaikan secara tergesa-gesa. Kita pelan-pelan, namanya berbuat baik kita mesti melakukannya pelanpelan, ujarnya kemudian. Wa Koko lahir pada 25 Desember 1969 di Matanauwe. Ia menikah dengan suaminya yang bernama Hamid asal Pulau Banda pada tahun 1992. Kini ia memiliki enam putra dan putri. Anak pertamanya adalah Salmawati yang lahir pada 1993 dan kini sedang kuliah di Bau-Bau. Berturut-turut anaknya adalah Rizal (lahir 1995), Fadillah (1997), Armin (1999), Muh. Reski (2001), lalu hartinah (2003). Saat kerusuhan Ambon pecah pada tahun 1999. Ia yang menetap di Ambon sejak tahun 1990 dan kemudian menetap bersama keluarganya akhirnya memilih pulang ke kampung halaman. Awalnya sebagai seorang eksodus, kini ia adalah pembela hak ekosob warga. Terwujudnya hak warga atas pendidikan yang layak adalah fokus pembelaannya[].

Anda mungkin juga menyukai