Anda di halaman 1dari 36

BAB I PENDAHULUAN

Hipertensi atau tekanan darah tinggi sering dikaitkan dengan terjadinya peningkatan tekanan darah secara abnormal yang disebabkan oleh beberapa faktor yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam mempertahankan tekanan darah secara normal. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of Blood Pressure mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah sistolik 140mmHg atau lebih atau tekanan darah diastolik 90mmHg atau lebih. Klasifikasi hipertensi menurut JNC VII adalah seperti berikut1: Systolic Pressure <120 120-139 140-159 160 Diastolic Pressure <80 80-89 90-99 100

Normal Prehipertension Hipertension stage I Hipertension stage II

dan Or Or Or

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebab meningkatnya resiko penyakit Strok, jantung dan ginjal. Penderita yang beresiko tinggi terkena hipertensi adalah laki-laki > 45 tahun atau perempuan > 50 tahun dan mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarga. Selain itu, obesitas, merokok, alkohol, mengkomsumsi garam berlebihan, kurang olah raga, Diabetes Melitus, stress juga beresiko. Pada akhir abad ke 20, penyakit jantung dan vaskuler menjadi penyebab kematian utama di negara-negara berkembang. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, kematian karena penyakit jantung dan vaskuler di Indonesia sebesar 26,3%. Sementara data kematian di Rumah Sakit 2005 sebesar 16,7%. Resiko utamanya adalah hipertensi, dan juga hiperkolesterolemia dan diabetes melitus2,3. Hipertensi yang lama dan tidak terkontrol dapat menyebabakan Congestive Hearth Failure ( CHF) atau gagal jantung kongestif. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung,

sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada jika disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan3. CHF di klasifikasikan menjadi akut dan kronik.CHF akut terjadi secara sporadik, ditandai dengan menurunya Cardiac output dan perfusi yang tidak adekuat. Hal ini dapat menyebabakan Edema pulmonal dan kolaps pembuluh darah. Penyebab CHF akut diantaranya ruptur katup jantung karena trauma, endokarditis, miokard infark masif pada penderita yang belum pernah terkena penyakit jantung. Sedangkan CHF kronik terjadi dengan lambat, ditandai dengan penyakit iskemik atau obstruksi pulmonal. Pada CHF kronik, terjadi retensi air dan natrium pada ventrikel yang menyebabkan hipervolume, kemudian dilatasi dan hipertropi ventrikel. CHF kronik biasanya terjadi pada penderita kardiomiopati atau penyakit katup multipel yang berlangsung lambat. Kongestif Vaskuler sering terjadi pada CHF kronik Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif meliputi gangguan kemampuan konteraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Tetapi pada gagal jantung, hal yang utama terjadi adalah kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada tiga faktor yaitu preload, kontraktilitas dan afterload1,2,3. Apabila terjadinya kerusakan dalam aksi pemompaan, baik pada ventrikel kiri, ventrikel kanan, atau keduanya, yang menyebabkan darah berkumpul di arteri paru, pembuluh darah, atau keduanya. Bendungan ini menyebabkan kemacetan di paru-paru (cairan terbendung di paru-paru), penurunan output jantung, peningkatan beban jantung, penurunan efisiensi kontraksi otot jantung, penurunan stroke volume, peningkatan denyut jantung, dan hipertrofi. Kompensasi ini dapat 2

menyebabkan peningkatan risiko serangan jantung dan penurunan suplai darah ke seluruh tubuh. Kompensasi terhadap gagal jantung kongestif tersebut merupakan alasan kedatangan penderita ke rumah sakit. Berdasarkan data Medicare di Amerika Serikat dan data Scottish di Eropa, gagal jantung merupakan penyebab rawat inap yang paling banyak di rumah sakit. Data lain menyebutkan bahwa sekitar 5 juta warga Amerika mengalami gagal jantung, dan terjadi penambahan 550.000 penderita gagal jantung setiap tahunnya. Selain insidensi yang tinggi, angka kematian pada gagal jantung kongestif juga tidak sedikit. Salah satunya, gagal jantung kongestif dapat menyebabkan edema paru yang memiliki angka kematian 12% di rumah sakit. Data lain menunjukkan bahwa angka kematian akibat gagal jantung adalah sekitar 10% setelah 1 tahun dan sekitar setengah dari penderita gagal jantung mengalami kematian dalam waktu 5 tahun setelah didiagnosis. Diagnosis CHF berdasarkan Framinghams Score adalah sebagai berikut: Kriteria Mayor 1. Paroxysmal Nokturnal dispnu atau ortopnu 2. Tekanan vena jugularis meningkat 3. Ronkhi Paru 4. Kardiomegali 5. Edema pulmonal akut 6. Gallop S3 7. Peningkatan Tekanan vena >16cmHg 8. Refluk Hepatojugular Kriteria Minor 1. Edema Pretibial 2. Batuk pada malam hari 3. Dyspnoe Deffort 4. Hepatomegali 5. Efusi Pleura

6. Penurunan Vital Capacity sampai1/3 Maksimum 7. Takikardi Diagnosis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Tingginya insidensi dan angka kematian pada gagal jantung kongestif sesuai dengan data tersebut menunjukkan bahwa kasus gagal jantung kongestif memerlukan perhatian lebih di kalangan masyarakat. Untuk itu diperlukan pemahaman lebih lanjut mengenai gagal jantung kongestif ini, sehingga kasus ini perlu diangkat untuk dipelajari.

BAB II LAPORAN KASUS


I. Identifikasi 4

Nama Usia Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Alamat MedRec Tanggal MRS

: Ny. A : 80 tahun : Perempuan : Islam : Ibu Rumah Tangga : Seberang Ulu 1,Kota Palembang : 703677 : 15 Februari 2013

Tanggal Pemeriksaan : 16 Februari 2013

II.

Anamnesis (Autoanamnesis pada tanggal 16 Februari 2013) Keluhan Utama : Sesak nafas bertambah hebat sejak 3 hari SMRS Riwayat Perjalanan Penyakit : Sejak 2 bulan SMRS, os mengeluh sesak nafas. Sesak nafas dipengaruhi oleh aktivitas apabila os berjalan di keliling rumah ( 200m) dan berkurang bila os beristirahat, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, bunyi mengi (+). Os lebih nyaman tidur dengan 2 bantal. Batuk berdahak (-), nyeri dada (-), demam (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan biasa. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Os berobat ke RS Bari dan diberi 3 macam obat (os lupa nama obatnya). Keluhan sedikit berkurang.

Sejak 2 minggu SMRS, os mengeluh sesak nafas bertambah. Sesak dipengaruhi oleh aktivitas apabila os berjalan di keliling rumah ( 50 m) dan berkurang dengan istirahat. Os tidur dengan 3 bantal dan terkadang lebih nyaman tidur dengan posisi duduk. Sesak tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, bunyi mengi (+). Os sering terbangun di malam hari karena sesak (+). Os juga mengeluh sembab pada lengan, perut, dan tungkai. Batuk berdahak (-), nyeri dada (-), demam (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan biasa. Os berobat ke RS Bari rawat jalan dan diberi obat (os lupa nama obatnya). Keluhan dirasakan sedikit berkurang. Sejak 3 hari SMRS, os mengeluh sesak nafas bertambah hebat bahkan ketika beristirahat. Os semakin sering terbangun di malam hari karena sesak (+). Sesak tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, bunyi mengi (+). Batuk berdahak (-)demam (-), mual (-), muntah (-). Os juga mengeluh sembab pada lengan, perut, dan tungkai. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Os berobat ke RS Bari dirawat dan kemudian dirujuk ke RSMH Palembang.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit darah tinggi (+) sejak 10 tahun yang lalu dan os tidak kontrol teratur.

Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal

III.

Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum : Keadaan Umum Kesadaran Tekanan Darah Nadi Temperatur RR : Tampak sakit sedang : Compos Mentis : 160/90 mmHg : 72 x/m, reguler, isi dan tegangan cukup : 36,6 C : 24 x/m

Keadaan Spesifik Kulit Warna sawo matang, striae alba ada, efloresensi tidak ada, scar tidak ada, pigmentasi dalam batas normal, ikterus pada kulit tidak ada, temperatur kulit normal, keringat umum, keringat setempat tidak ada, pucat pada telapak tangan dan kaki ada, sianosis tidak ada, lapisan lemak dalam batas normal.

Kelenjar Getah Bening Pembesaran kelenjar getah bening submandibular, leher, axilla, dan inguinal tidak ada pada inspeksi dan palpasi.

Kepala

Bentuk simetris, rambut rontok tidak ada, deformitas tidak ada, perdarahan temporal tidak ada, dan nyeri tekan tidak ada.

Mata Eksoftalmus dan endoftalmus tidak ada, edema palpebra tidak ada, konjungtiva palpebra kedua mata pucat, sklera ikterik tidak ada, pupil isokor diameter 3 mm, refleks cahaya baik, penglihatan kabur pada kedua mata tidak ada, gerakan bola mata ke segala arah dan simetris, lapangan penglihatan baik.

Hidung Bagian luar tidak ada kelainan, septum tidak ada deviasi dan tulangtulang perabaan baik. Selaput lendir dalam batas normal. Tidak ditemukan adanya penyumbatan dan perdarahan. Pernapasan cuping hidung tidak ada.

Telinga Tophi tidak ada, pada liang telinga tidak ada kelainan, nyeri tekan prosesus mastoideus tidak ada, selaput pendengaran tidak ada kelainan, pendengaran baik.

Mulut

Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah tidak ada, typhoid tongue tidak ada, atrofi papil tidak ada, gusi berdarah tidak ada, stomatitis tidak ada, rhagaden tidak ada, bau pernapasan yang khas tidak ada.

Leher JVP (5+2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening di regio submandibula, colli, axilla, dan kelenjar tiroid tidak ada. inguinal tidak ada, pembesaran

Dada Bentuk thoraks normal, simetris kanan dan kiri, sela iga tidak melebar, retraksi dinding thoraks tidak ada. Paru-paru Inspeksi Palpasi Perkusi : Statis dan dinamis kanan = kiri : Stem fremitus kanan = kiri. : Sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi basah halus di basal paru, wheezing (+/+) di kedua lapangan paru

Jantung Inspeksi Palpasi : Iktus kordis tidak terlihat : Iktus kordis tidak teraba

Perkusi

: Batas atas ICS II, batas kanan linea sternalis dextra, batas

kiri linea axillaris anterior sinistra ICS VI Auskultasi : HR 72x/m, murmur (-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi Palpasi : Cembung, striae alba (+) : Tegang, nyeri tekan (-),hepar teraba 1 jari di bawah arcus

costae tepi tumpul permukaan rata konsistensi kenyal, lien tidak teraba Perkusi Auskultasi : Undulasi (+) : Bising usus (+) normal

Ekstremitas Atas Kedua ekstremitas atas tampak pucat, palmar eritema tidak ada, nyeri otot dan sendi tidak ada, gerakan baik ke segala arah, kekuatan +5, refleks fisiologis normal, refleks patologis tidak ada, jari tabuh tidak ada, eutoni, eutropi, tremor tidak ada, edema dorsum palmar ada.

Ekstremitas Bawah Kedua ekstremitas bawah tampak pucat, nyeri otot dan sendi tidak ada, kekuatan +5, refleks fisiologis normal, refleks patologis tidak ada, eutoni, eutrophi, varices tidak dijumpai, jaringan parut tidak ada, pigmentasi dalam batas normal, jari tabuh tidak ada, turgor cukup, edema pretibial dan dorsum pedis ada.

10

Alat Kelamin Tidak ada kelainan

IV.

Pemeriksaan Penunjang A. Laboratorium Darah Rutin (15 Februari 2013) - Hb - Leukosit : 10,4 g/dl (normal : 12 16 g/dl) : 7.600/mm3 (normal : 5.000-10.000/mm3)

- Hematokrit : 32 vol % (normal : 37-43 vol%) - Trombosit : 241.000/mm3 (normal : 200.000-500.000/mm3) -Hitung Jenis Basofil Eosinofil Net Batang Net Segmen Limfosit Monosit - MCH - MCV - MCHC Kimia Darah : 0 (normal : 0-1 %) : 1 (normal : 1-3%) : 2 (normal : 2-6%) : 90 (normal : 50-70%) : 4 (normal : 20-40%) : 3 (normal : 2-8%) : 28 pico gram (27-31 pico gram) : 84 mikro gram (82-92 mikro gram) : 33% (32-36%)

11

- BSS - Ureum - Kreatinin - Protein Total - Albumin - Globulin - Natrium - Kalium

: 117 mg/dl (<180 mg/dl) : 47 mg/dl (15-39 mg/dl) : 6,7 mg/dl (0,6-1,0 mg/dl) : 5,3 g/dl (6,0-7,8 g/dl) : 2,5 g/dl (3,5-5,0 g/dl) : 2,8 : 142 mmol/l (135-155 mmol/l) : 3,1 mmol/l (3,5-5,5 mmol/l)

Foto Thorax

12

CTR >50% Kesan: Kardiomegali

B. EKG

Interpretasi: Sinus rhythm, Axis: ke kiri, HR: 100x/m, gel P: normal, PR interval: 0,16 detik, kompleks QRS: 0,06 detik Kesan: Left Ventricular Hypertrophy (LVH)

13

V.

Resume Sejak 2 bulan SMRS, os mengeluh sesak nafas. Sesak nafas dipengaruhi oleh aktivitas apabila os berjalan di keliling rumah ( 200m) dan berkurang bila os beristirahat, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, bunyi mengi (-). Os lebih nyaman tidur dengan 2 bantal. Batuk berdahak (-), nyeri dada (-), demam (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan biasa. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Os berobat ke RS Bari dan diberi 3 macam obat (os lupa nama obatnya). Keluhan sedikit berkurang. Sejak 2 minggu SMRS, os mengeluh sesak nafas bertambah. Sesak dipengaruhi oleh aktivitas apabila os berjalan di keliling rumah ( 50 m) dan berkurang dengan istirahat. Os tidur dengan 3 bantal dan terkadang lebih nyaman tidur dengan posisi duduk. Sesak tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, bunyi mengi (-). Os sering terbangun di malam hari karena sesak (+).. Batuk berdahak (-), nyeri dada (-), demam (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan biasa. Os berobat ke RS Bari rawat jalan dan diberi obat (os lupa nama obatnya). Keluhan dirasakan sedikit berkurang. Sejak 3 hari SMRS, os mengeluh sesak nafas bertambah hebat bahkan ketika beristirahat. Os semakin sering terbangun di malam hari karena sesak (+). Sesak tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, bunyi mengi (-). Batuk berdahak (-)demam (-), mual (-), muntah. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Os berobat ke RS Bari dirawat dan kemudian dirujuk ke RSMH Palembang.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang, tekanan darah 160/90 mmHg yang menunjukkan hipertensi

14

stage II, dan frekuensi pernafasan 24x/m. Pada keadaan spesifik ditemukan konjungtiva palpebra pucat, peningkatan JVP, ronkhi basah halus di basal paru. Pada pemeriksaan abdomen, hepar teraba 1 jari di bawah arcus costae tepi tumpul permukaan rata konsistensi kenyal, lien tidak teraba Dari pemeriksaan penunjang EKG didapatkan Left Ventricle Hypertrophy dan foto rontgen torak menunjukkan kardiomegali dan edem paru.

VI.

Diagnosis Kerja Congestive Heart Failure (CHF) e.c. Hypertension Heart Disease (HHD) + Hypertension Stage II

VII.

Diagnosa Banding - Congestive Heart Failure (CHF) e.c. Hypertension Heart Disease (HHD) + Hypertension Stage II -Congestive Heart Failure (CHF) e.c. Arteriosclerotic Heart Disease

Penatalaksanaan a. Non Farmakologis : Istirahat (posisi setengah duduk) Oksigen 2 5 liter Diet Jantung III Balance cairan

15

b. Farmakologis : IVFD D5 gtt x/m (mikro) Furosemide i.v 1x20 mg Ceftriaxon i.v 1x1 gr Captopril 2x12,5mg Vit B1B6B12

VIII. Rencana Pemeriksaan Echocardiography Cek ulang darah rutin, kimia darah

Prognosis Quo ad Vitam : mortalitas 5 tahun 50-70% Quo ad Functionam : dubia ad malam

16

BAB III ANALISIS KASUS

17

HIPERTENSI Definisi Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah arterial tinggi (meningkat) atau tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih besar atau sama dengan 90 mmHg4. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Etiologinya 1) Hipertensi primer atau essensial adalah hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui. Hipertensi primer sekitar 90-95%5. 2) Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh adanya penyakit lain6. Hipertensi Berdasarkan Derajatnya Hipertensi diklasifikasikan menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, 2003. Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah untuk Dewasa Usia 18 tahun atau lebih 4 Kategori Normal Prehipertensi Hipertensi tingkat 1 Hipertensi tingkat 2 Patofisiologi Di dalam tubuh, terdapat empat sistem yang mengendalikan tekanan darah, yaitu baroreseptor, pengaruh volume cairan tubuh, sistem renin-angiotensin, dan Tekanan Darah Sistolik <120 mmHg 120-139 mmHg 140-159 mmHg 160 mmHg Tekanan Darah Diastolik <80 mmHg 80-89 mmHg 90-99 mmHg 100 mmHg

18

autoregulasi pembuluh darah. Menurut persamaan hidrolik, tekanan darah arterial (BP) adalah berbanding langsung dengan hasil perkalian antara aliran darah (curah jantung, CO) dan tahanan lewatnya darah melalui arteriol prekapiler (tahanan vaskular perifer, PVR)6. TEKANAN DARAH = CURAH JANTUNG X TAHANAN PERIFER 6 Hipertensi akan terjadi apabila ada perubahan pada persamaan tekanan darah karena adanya perubahan salah satu faktor yaitu resistensi pembuluh darah perifer (tahanan perifer) maupun curah jantung. Beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi perubahan dua hal tersebut, antara lain faktor genetik, stres, asupan garam yang berlebihan, obesitas, nefron yang berkurang dan bahan-bahan yang berasal dari endotel8. Diagnosis Diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan pengukuran tekanan darah secara berulang-ulang. Tekanan darah diukur saat seorang duduk selama 5 menit, dengan kaki berada di lantai dan lengan setinggi posisi jantung. Setelah dilakukan 2 kali pengukuran tekanan darah pada waktu yang berbeda (berselang minimal 1 minggu)5,8, didapatkan nilai tekanan darah rata-rata 140/90 mmHg, maka diagnosis hipertensi dapat ditegakkan8. Penatalaksanaan Hipertensi Tujuan pengobatan penderita hipertensi essensial adalah untuk mencapai tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg dan mengendalikan setiap faktor risiko kardiovaskular melalui perubahan gaya hidup5. Langkah-langkah yang termasuk perubahan gaya hidup, antara lain: a. Penderita hipertensi yang memiliki berat badan berlebihan dianjurkan untuk menurunkan berat badannya sampai batas ideal (Body Mass Index (BMI) 18,5-24,9 kg/m2)5

19

b. c.

Mengadopsi DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) eating plan.5 Mengurangi garam dalam diet. Konsumsi garam harus dibatasi sampai kurang dari 2,4 gram natrium atau 6 gram natrium klorida sehari. Berhenti merokok.

d. e. f. g.

Membatasi minum kopi sampai maksimum 3 cangkir sehari. Membatasi minum alkohol tidak lebih dari 2 konsumsi untuk laki-laki dan 1 konsumsi untuk wanita8. Cukup istirahat dan tidur adalah penting, karena selama periode itu tekanan darah menurun8. Olahraga secara teratur dapat menurunkan tekanan darah yang tinggi5,8.

Terapi Farmakologis Berikut ini macam-macam golongan obat antihipertensi yang dapat langsung diberikan secara sendiri-sendiri maupun kombinasi : a. Diuretika Diuretika menurunkan tekanan darah dengan cara mengosongkan simpanan natrium tubuh.6 b. Beta Blocker Beta Blocker memblokade reseptor 1 di jantung (juga di Sistem saraf pusat (SSP) dan ginjal) sehingga menyebabkan melemahnya daya kontraksi jantung, penurunan frekuensi jantung, dan penurunan volume-menitnya. Beta Blocker juga memblokade reseptor 2 di bronkus yang menyebabkan vasokontriksi bronkus.8 c. ACE Inhibitor ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan jalan mengurangi daya tahan pembuluh perifer dan vasodilatasi tanpa menimbulkan refleks takikardia atau retensi garam.8 d. Angiotensin II Antagonist / Angiotensin II Receptor Blocker

20

Angiotensin II Antagonist menghalangi penempelan zat angiotensin II pada reseptornya sehingga tidak terjadi vasokonstriksi dan tidak terjadi retensi air dan garam.6,8 e. Calsium Channel Blocker Calsium Channel Blocker melebarkan arteriol perifer dan mengurangi tekanan darah. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat infulks kalsium ke dalam sel otot polos arteri sehingga dapat mengurangi penyaluran impuls dan kontraksi miokard serta dinding pembuluh darah6,8. Contoh obatnya yaitu nifedipin, diltiazem dan verapamil6. 3.2 PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI Definisi Penyakit jantung hipertensi adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh tidak terkontrolnya tekanan darah tinggi dalam waktu yang lama, yang ditandai adanya hipertrofi ventrikel kiri (HVK) sebagai akibat langsung dari tingginya tekanan darah tersebut1. Etiologi Sebab utama penyakit jantung hipertensi adalah tekanan darah yang meningkat dan berlangsung kronik. Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung, dan seiring dengan berjalannya waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena jantung memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah, ventrikel kiri membesar dan jumlah darah yang dipompa jantung setiap menitnya (cardiac output) berkurang.2 Patofisiologi Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi berjalan cukup kompleks, karena berhubungan dengan berbagai faktor, seperti hemodinamik, struktural, neuroendokrin, selular, dan molekular. Di satu sisi, faktor-faktor ini memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor tersebut.

21

Peningkatan tekanan darah menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jantung melalui 2 cara: secara langsung melalui peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui neurohormonal dan perubahan vaskular terkait2,9. Komplikasi penyakit hipertensi yang tidak terkontrol Hipertrofi ventrikel kiri Abnormalitas atrium kiri Penyakit katup jantung Penyakit jantung koroner Gagal jantung2

Diagnosis Diagnosis penyakit jantung hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesisnya sesuai dengan anamnesis riwayat penyakitnya sekarang dan adanya riwayat penyakit hipertensi yang tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik kemungkinan didapatkan: a. Batas-batas jantung melebar b. Impuls apeks prominen c. Bunyi jantung S2 meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta d. Kadang-kadang ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta e. Bunyi S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat peninggian tekanan atrium kiri f. Bunyi S3 (gallop ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dilatasi ventrikel kiri g. Suara napas tambahan seperti ronkhi basah atau kering h. Pemeriksaan perut untuk pembesaran hati, limpa, ginjal, dan ascites1,7,7 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis penyakit jantung hipertensi, antara lain: Pemeriksaan laboratorium awal (pemeriksaan darah dan urinalisa)

22

Analisis gas darah Elektrokardiografi untuk menemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri jantung Foto thorax untuk menemukan adanya pembesaran jantung atau tanda-tanda bendungan paru Echocardiography, dilakukan karena dapat menemukan HVK lebih dini dan lebih spesifik (spesifisitas sekitar 95-100%)1,7,7 3.3 GAGAL JANTUNG KONGESTIF Definisi Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Gagal jantung kongestif adalah keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompensatoriknya.3 Epidemiologi Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50 tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang berusia 85 tahun atau lebih. Di Amerika Serikat, hampir 5 juta orang telah didiagnosis gagal jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Kondisi ini lebih sering pada penduduk Amerika Afrika daripada penduduk kulit putih.4

Penyebab gagal jantung kongestif a. Kelainan mekanik Peningkatan beban tekanan o Sentral (stenosis aorta, dll) o Perifer (hipertensi sistemik, dll)

23

Peningkatan beban volume (regurgitasi katup, pirau, peningkatan beban awal, dll ) Obstruksi terhadap pengisian ventrikel (stenosis mitral atau trikuspidal) Tamponade pericardium Pembatasan miokardium atau endokardium Aneurisma ventrikel Dissinergi ventrikel4

b. Kelainan miokardium (otot) Primer o Kardiomiopati o Miokarditis o Kelainan metabolik o Toksisitas (alkohol, kobalt) o Pesbikardia4 Kelainan disdinamik sekunder (akibat kelainan mekanik) o Deprivasi oksigen (penyakit jantung koroner) o Kelainan metabolik o Peradangan o Penyakit sistemik o Penyakit Paru Obstruksi Kronis4 Perubahan irama jantung atau urutan hantaran o Tenang o Fibrilasi o Takikardia atau bradikardia ekstrim o Asinkronitas listrik, gangguan konduksi4

Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif

24

Sindrom gagal jantung kongestif timbul sebagai konsekuensi dari adanya abnormalitas struktur, fungsi, irama, ataupun konduksi jantung. Di negara-negara maju, disfungsi ventrikel merupakan penyebab mayor dari kasus ini.3,10 Faktor-faktor komorbid menyebabkan mekanisme kompensasi sehingga terjadi gagal jantung. Mekanisme kompensasi yang dapat terjadi antara lain adalah mekanisme kompensasi pada jantung, syaraf otonom, dan hormon. Pada jantung, dapat terjadi mekanisme Frank Starling, hipertrofi dan dilatasi ventrikel, dan takikardi. Pada syaraf otonom, terjadi peningkatan aktifitas syaraf simpatis. Sedangkan pada mekanisme kompensasi yang terjadi pada hormon adalah berupa sistem renin-angiotensi-aldosteron, vasopressin, dan natriuretik peptida3,10

Mekanisme Kompensasi pada Jantung Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi pada fungsi jantung yang berhubungan dengan gagal jantung dapat menurunkan daya kontraktilitas. Ketika terjadi penurunan daya kontraktilitas, jantung berkompensasi dengan adanya kontraksi paksaan yang kemudian dapat meningkatkan cardiac output. Pada gagal jantung kongestif, kompensasi ini gagal terjadi sehingga kontraksi jantung menjadi kurang efisien. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan stroke volume yang kemudian menyebabkan peningkatan denyut jantung untuk dapat mempertahankan cardiac output. Peningkatan denyut jantung ini lama-kelamaan berkompensasi dengan terjadinya hipertrofi miokardium, yang disebabkan peningkatan diferensiasi serat otot jantung untuk mempertahankan kontaktilitas jantung. Jika dengan hipertrofi miokardium, jantung masih belum dapat mencapai stroke volume yang cukup bagi tubuh, terjadi suatu kompensasi terminal berupa peningkatan volume ventrikel.3,10 Preload seringkali menunjukkan adanya suatu tekanan diastolik akhir atau volume pada ventrikel kiri dan secara klinis dinilai dengan mengukur tekanan atrium kanan. Walaupun demikian, preload tidak hanya tergantung pada volume intravaskular, tetapi juga dipengaruhi oleh keterbatasan pengisian ventrikel. Pompa otot jantung akan memberikan respon pada volume output. Jika volume

25

meningkat, maka jumlah darah yang mampu dipompa oleh otot jantung secara fisiologis juga akan meningkat, hubungan ini sesuai dengan hukum FrankStarling.3,10 Tolak ukur akhir pada stroke volume adalah afterload. Afterload adalah volume darah yang dipompa oleh otot jantung, yang biasanya dapat dilihat dari tekanan arteri rata-rata. Afterload tidak hanya menunjukkan resistensi vaskular tetapi juga menunjukkan tekanan dinding thoraks dan intrathoraks yang harus dilawan oleh miokardium. Ketiga variabel ini terganggu pada pasien gagal jantung kongestif. Gagalnya jantung pada gagal jantung kongestif dapat dievaluasi dengan menilai ketiga variabel tersebut. Jika cardiac output turun, maka denyut jantung dan stroke volume akan berubah untuk mempertahankan perfusi jaringan. Jika stroke volume tidak dapat dipertahankan, denyut jantung ditingkatkan untuk mempertahankan cardiac output.3,10

Mekanisme Kompensasi pada Syaraf Otonom dan Hormon Respon neurohormonal meliputi aktivasi syaraf simpatis dan sistem reninangiotensin, dan peningkatan pelepasan hormon antidiuretik (vasopressin) dan peptida natriuretik atrium.3,10 Sistem syaraf simpatis dan renin-angiotensin adalah respon mayor yang dapat terjadi. Secara bersamaan, kedua sistem ini menyebabkan vasokonstriksi sistemik, takikardi, meningkatkan kontraktilitas miokardium, dan retensi air dan garam untuk mempertahankan tekanan darah sehingga perfusi jaringan menjadi lebih adekuat. Namun jika berlangsung lama, hal ini dapat menurunkan cardiac output dengan meningkatkan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas miokardium dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Retensi air dan garam dapat menyebabkan kongesti vena.10 Selain itu, faktor neurohormonal lain yang berperan dalam gagal jantung kongestif adalah sistem renin-angiotensin. Penurunan tekanan perfusi ginjal dideteksi oleh reseptor sensorik pada arteriol ginjal sehingga terjadi pelepasan renin dari ginjal. Hal ini dapat meningkatkan tekanan filtrasi hidraulik glomerulus

26

yang disebabkan oleh penurunan tekanan perfusi pada ginjal. Angiotensin II akan menstimulasi sintesis aldosteron, yang akan menyebabkan retensi air dan garam pada ginjal. Awalnya, kompensasi ini merupakan usaha tubuh untuk mempertahankan perfusi sistemik dan ginjal. Namun, aktivasi yang lama pada sistem ini dapat menyebabkan edema, peningkatan tekanan vena pulmonal, dan peningkatan afterload. Hal ini dapat memperberat kondisi gagal jantung.10 Mediator sistemik lainnya yang dapat dikenali adalah peningkatan konsentrasi endothelin sistemik yang dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer dan kemudian menyebabkan hipertrofi miosit dan terjadilah remodelling. Peptida natriuretik pada atrium dan otak yang dilepaskan dari atrium dapat menyebabkan peningkatan tekanan atrium. Peningkatan ini berkorelasi positif dengan tingginya angka mortalitas dan aritmia ventrikel, walaupun korelasi ini tidak sekuat korelasi yang ditimbulkan oleh peningkatan level norepinephrin plasma.10 Efek respon neurohormonal ini menyebabkan adanya vasokonstriksi (untuk mempertahankan tekanan arteri), kontraksi vena (untuk meningkatkan tekanan vena), dan meningkatkan volume darah. Umumnya, respon neurohormonal ini dapat dilihat dari mekanisme kompensasi, tetapi dapat juga meningkatkan afterload pada ventrikel (yang menurunkan stroke volume) dan meningkatkan preload sehingga menyebabkan edema dan kongesti pulmonal ataupun sistemik. Ada juga teori yang menyatakan bahwa faktor lain yang dapat terjadi pada gagal jantung kongestif ini adalah nitrit oksida dan endotelin (keduanya dapat meningkat pada kondisi gagal jantung) yang juga berperan dalam patogenesis gagal jantung.10 Klasifikasi Gagal Jantung Berdasarkan waktunya, gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal jantung akut dan kronik. Berdasarkan tipe gangguannya, gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal jantung sistolik dan diastolik. Berdasarkan letak jantung yang terkena, gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal jantung kanan dan kiri.9

27

Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA) Klasifikasi Fungsional NYHA Kelas I Kelas II (Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik) Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari hari tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas. Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi aktivitas sehari hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak Kelas III nafas. Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas Kelas IV sehari hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas. Tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa adanya kelelahan. Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan akan semakin meningkat. Kriteria Diagnosis Gagal Jantung Kongestif Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Kriteria diagnosis ini meliputi kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor terdiri dari beberapa tanda klinis, antara lain: a. Paroksismal nokturnal dispnea b. Distensi vena leher c. Ronki paru d. Kardiomegali e. Edema paru akut f. Gallop S3 g. Peningkatan tekanan vena jugularis (>16 cmH2O) h. Refluks hepatojugular positif Kriteria minor terdiri dari beberapa gejala, antara lain: a. Edema ekstremitas b. Batuk malam hari

28

c. Dispnea deffort d. Hepatomegali e. Efusi pleura f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal g. Takikardia (lebih dari 120 kali per menit) Kriteria mayor atau minor, antara lain penurunan berat badan 4,5 kg selama 5 hari pemberian terapi. Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor9. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif Penatalaksanaan Nonfarmakologis Jika tidak terdapat faktor penyebab yang dapat diobati, penatalaksanaan medis adalah dengan mengubah gaya hidup dan pengobatan medis. Perubahan gaya hidup ditujukan untuk kesehatan penderita dan untuk mengurangi gejalanya, memperlambat progresifitas gagal jantung kongestif, dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Hal ini berdasarkan rekomendasi American Heart Association dan organisasi jantung lainnya.9 Konsumsi alkohol Walaupun jumlah alkohol yang dapat menyebabkan kardiomiopati tidak dapat ditegaskan, namun konsumsi alkohol lebih dari 11 unit per hari lebih dari 5 tahun dapat menjadi faktor risiko terjadinya kardiomiopati. 9 Merokok Dengan demikian, penderita dengan gagal jantung kongestif harus menghindari rokok.9 Aktifitas fisik

29

Penderita gagal jantung kongestif yang sudah stabil perlu dilakukan motivasi untuk dapat melakukan aktifitas fisik dengan intensitas yang rendah secara teratur.9

Pengaturan diet Membatasi konsumsi garam dan cairan Monitor berat badan per hari

Penatalaksanaan Farmakologis Diuretik Diuretik digunakan untuk mengobati kelebihan cairan yang biasanya terjadi pada gagal jantung kongestif. Diuretik menyebabkan ginjal mengeluarkan kelebihan garam dan air dari aliran darah sehingga mengurangi jumlah volume darah dalam sirkulasi. Dengan volume darah yang rendah, jantung tidak akan bekerja keras. Dalam hal ini, jumlah sel darah merah dan sel darah putih tidak berubah.3 Diuretik dimulai dengan dosis awal yang rendah, kemudian dosis perlahanlahan ditingkatkan sampai output urine meningkat dan berat badan menurun, biasanya 0.5 hingga 1 kg per hari. Dosis pemeliharaan diuretik digunakan untuk mempertahankan diuresis dan penurunan berat badan. Penggunaan diuretik ini perlu dikombinasikan dengan pembatasan konsumsi natrium.3,6 Diuretik yang biasanya digunakan pada gagal jantung meliputi furosemid, bumetanid, hidroklortiazid, spironolakton, torsemid, atau metolazon, atau kombinasi agen-agen tersebut. Spironolakton dan eplerenon tidak hanya merupakan diuretik ringan jika dibandingkan dengan diuretik kuat seperti furosemid, tetapi juga jika digunakan dalam dosis kecil dan dikombinasikan dengan ACE Inhibitor akan memperpanjang harapan hidup. Hal ini disebabkan karena kombinasi obat ini mampu mencegah progresifitas kekakuan dan pembesaran jantung.3,6

30

Angiotensin Converting Enzym (ACE) Inhibitor ACE Inhibitor dapat memperbaiki kondisi penderita gagal jantung kongestif,

penyakit jantung koroner, dan penyakit vaskular aterosklerosis, maupun nefropati diabetikum. ACE Inhibitor tidak hanya akan mempengaruhi sistem reninangiotensin, tetapi juga akan meningkatkan aksi kinin dan produksi prostaglandin. Keuntungan penggunaan ACE Inhibitor ini berupa mengurangi gejala, memperbaiki status klinis, dan menurunkan resiko kematian pada penderita gagal jantung kongestif ringan, sedang, maupun berat, dengan atau tanpa penyakit jantung koroner.3,6 Inotropik Inotropik bersifat simultan, seperti dobutamin dan milrinon, yang dapat meningkatkan kemampuan pompa jantung. Hal ini digunakan sebagai pengobatan pada kasus dimana ventrikel kiri sangat lemah dan tidak berespon terhadap pengobatan standar gagal jantung kongestif. Salah satu contohnya adalah digoksin. Obat ini digunakan untuk memperbaiki kemampuan jantung dalam memompakan darah. Karena obat ini menyebabkan pompa paksa pada jantung, maka obat ini disebut sebagai inotropik positif. Namun demikian, digoksin merupakan inotropik yang sangat lemah dan hanya digunakan untuk terapi tambahan selain ACE Inhibitor dan beta blocker.3,6 Angiotensin II Reseptor Blocker (ARB) Angiotensin II Reseptor Blocker (ARB) bekerja dengan mencegah efek angiotensin II di jaringan. Obat-obat ARB, misalnya antara lain candesartan, irbesartan, olmesartan, losartan, valsartan, telmisartan, dan eprosartan. Obatobatan ini biasanya digunakan pada penderita gagal jantung kongestif yang tidak dapat menggunakan ACE Inhibitor karena efek sampingnya. Keduanya efektif, namun ACE Inhibitor dapat digunakan lebih lama dengan jumlah yang lebih banyak digunakan pada data percobaan klinis dan informasi pasien.3,6

31

Beta Blocker Beta Blocker dapat menurunkan frekuensi denyut jantung, menurunkan

tekanan darah, dan memiliki efek langsung terhadap otot jantung sehingga menurunkan beban kerja jantung. Reseptor beta terdapat di otot jantung dan di dalam dinding arteri. Sistem syaraf simpatis memproduksi zat kimia yang disebut sebagai norepinefrin yang bersifat toksik terhadap otot jantung jika digunakan dalam waktu lama dan dengan dosis yang tinggi.3,6 Hidralazin Hidralazin merupakan vasodilator yang dapat digunakan pada penderita gagal jantung kongestif namun tidak memiliki efek yang sedikit terhadap tonus vena dan tekanan pengisian jantung. Namun efek pemberian hidralazin tunggal tanpa kombinasi dengan obat lain terhadap gagal jantung kongestif belum dapat dibuktikan secara klinis. Pemberian hidralazin dan isosorbid dinitrat dapat menurunkan angka kematian penderita gagal jantung kongestif.3,6 Prognosis Gagal Jantung Kongestif Secara umum, mortalitas pasien gagal jantung rawat inap sebesar 5-20% dan pada pasien rawat jalan sebesar 20% pada tahun pertama setelah diagnosis. Angka ini dapat meningkat sampai 50% setelah 5 tahun pasca diagnosis. Mortalitas pasien gagal jantung dengan NYHA kelas IV, ACC/AHA tingkat D sebesar lebih dari 50% pada tahun pertama.9

32

BAB IV ANALISIS KASUS Seorang wanita berinisial Ny. A berumur 80 tahun , datang ke RSMH tanggal 15 Februari 2013 dengan keluhan utama sesak nafas yang semakin berat sejak 3 hari SMRS. Dari keluhan utama dapat memikirkan sesak boleh disebabkan oleh kelainan jantung, kelainan paru, kelainan ginjal, kelainan hematologi dan kelainan metabolik. Sesak nafas timbul bila os berjalan dan berkurang bila duduk. Pasien juga merasa sesak bila berbaring sehingga os baru bisa tidur dengan menggunakan 2 bantal. Pasien juga sering terbangun tengah malam karena sesak dan batuk. Sesak nafas seperti ini khas pada sesak nafas oleh karena kelainan pada organ jantung. Hal ini merupakan proses dari perjalanan penyakitnya yang sudah sampai ke tahap gagal jantung kongestif (terjadinya gagal jantung kanan dan kiri). Pasien juga mengeluh sesak mempengaruhi aktivitas sehari-hari tetapi dapat diatasi dengan istirahat. Ini mendukung klasifikasi gagal jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA) III. Pasien juga mengeluh batuk berdahak berwarna putih @ 1 sendok teh dan nafsu makan berkurang. Pasien juga memiliki riwayat penyakit darah tinggi yang tidak terkontrol. Ini semakin menguatkan kelainan pada organ jantung. Riwayat darah tinggi yang tidak terkntrol menjadi faktor pencetus untuk terjadinya gagal jantung kongestif pada pasien ini. Dan gejala-gejala di atas memenuhi 1 kriteria mayor Framingham (paroxysmal nocturnal dyspnea) dan 2 kriteria minor Framingham (batuk di malam hari dan sesak nafas waktu berjalan). Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, tekanan darah 160/90 mmHg, nadi 72x/menit, pernafasan 26x/menit, dan tekanan vena jugularis (5+2) cmH2O yang merupakan akibat dari dekompensasi jantung kanan. Pada pemeriksaan paru ditemukan ronkhi basah halus (+) pada kedua basal paru akibat dari edema paru yang dialaminya. Pada pemeriksaan jantung didapatkan ictus kordis teraba pada linea axilaris anterior sinistra ICS VI

33

dan batas kiri linea axilaris anterior sinistra setinggi ICS VI menunjukkan adanya pembesaran jantung kiri. Hal ini disebabkan proses perjalanan penyakit os yang sudah kronis sehingga menyebabkan jantung mengalami pembesaran akibat proses kompensasi. Pada pemeriksaan abdomen, hepar teraba 1 jari di bawah arcus costae tepi tumpul permukaan rata konsistensi kenyal. Hepatomegali pada pasien disebabkan oleh dekompensasi jantung kanan yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan vena porta. Berdasarkan pemeriksan fisik, pasien mengalami hipertensi derajat 2, peningkatan tekanan vena jugularis, cairan pada paru, hipertrofi ventrikel kiri, hepatomegali. Tanda klinis ini memenuhi 3 gejala mayor Framingham (peningkatan tekanan vena jugularis, ronkhi basah halus, dan kardiomegali) dan 1 kriteria minor (hepatomegali). Dari pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan left ventricle hipertrophy. Dari pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan kardiomegali. Jadi, dapat disimpulkan bila pasien ini menderita gagal jantung kongestif karena telah memenuhi syarat kriteria minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Berdasarkan anamnesis, adanya riwayat darah tinggi yang tidak terkontrol di mana tekanan darahnya 160/90. Maka dapat disimpulkan diagnosis gagal jantung kongestif ec penyakit jantung hipertensi + hipertensi derajat 2. Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini berupa penatalaksanaan farmakologis dan non-farmakologis. Penatalaksanaan nonfarmakologis meliputi istirahat dengan posisi duduk, pemberian O2 3-5 liter/menit, diet jantung III (berupa bubur), dan balance cairan. Penatalaksanaan ini diberikan untuk mencukupi kebutuhan oksigen optimal pasien dan mengurangi beban jantung. Sedangkan penatalaksanaan farmakologis diberikan IVFD D5 gtt X/menit (mikro) untuk melengkapi kebutuhan nutrisi pasien khususnya karbohidrat; furosemid i.v. 1x 20mg untuk mengurangi cairan yang ada dalam tubuh sehingga dapat mengurangi beban kerja jantung; captopril 2x12,5 mg untuk menurunkan tekanan darah tinggi. Prognosis ditegakkan berdasarkan dari kemampuan pompa jantung untuk kompensasi serta perbaikan gejala klinik setelah di terapi. Prognosis quo ad vitam

34

menurut NYHA kelas III adalah mortalitas 5 tahun 50-70%. Secara fungsional, prognosis quo ad fungsionam adalah dubia ad malam.

35

DAFTAR PUSTAKA 1. Grady, et al. Team management of patients with heart failure. A statement for healthcare professionals from the cardiovascular nursing councils of the American Heart Association Circulatin. 2000 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta 2006 3. Rilantono, dkk. Buku Ajar Kardiologi: Fakultas Kedokteran Indonesia.Jakarta, 2000. 4. Ebbersole, Hess. Prevalence of CHF in Old Patients. Available From: www.e-medicine.library.com 5. Nurjanah S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2006 6. Miftah, Suyapraja. Prevalensi CHF. USU. 2000 7. Rani, Aziz. Panduan Pelayanan Medik, Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI. 2006 8. Pathophysiology of CHF. Available from www.thenewstoday.info/2006/12/08/CH.html 9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional CHF. Jakarta. 2006

36

Anda mungkin juga menyukai