Anda di halaman 1dari 8

Sekilas Sejarah

Konsolidasi & Mitos Peleburan Periodik


dalam Organ Keagamaan

cin pratipa hapsarin

I. Konsolidasi & Mitos Peleburan Periodik: Kelompok Islam Nominal


Pada perkembangannya—khususnya masa Indonesia modern—kelompok Islam sendiri
terfragmentasi dalam beberapa golongan. Namun hubungan erat antara kaum reformis Islam
dan para pedagang tetap terjalin. Ini dapat terlihat dalam kelompok-kelompok, macam
Sarekat Islam, Masjumi maupun Muhammadiyah. Menanggapi kecenderungan ini Lombard
(III, 2005: 173) berkata,

“...telah mencerminkan proses kesadaran yang muncul di kalangan usaha yang masih
goyah, dan justru karena kegoyahannya itulah, mencari dalam Islam pedoman
ideologis umum yang sanggup membakar semangat mereka. (...) Apapun perbedaan
doktrin yang amat banyak itu, semua gerakan di atas agaknya muncul sebagai reaksi
dari usahawan yang frustasi, dan sekaligus sebagai pembangkitan kembali jaringan-
jaringan perniagaan, sekalipun kalangan-kalangan itu telah tertidur beberapa waktu
dalam tarekat dan pesantren, yang merupakan bentuk oposisi halus. Kini mereka
tampil kembali dengan hasrat yang kuat untuk membentuk kelas borjuis nasional
seutuhnya”.

Sebenarnya, pasang surut gerakan Islam telah memperoleh cadangan kekuatan


konsolidasinya dari ikut campurnya pemerintah kolonial. Seperti gayung bersambut,
kelompok otoritas lokal menemukan semangat antikolonialnya melalui Islam. Pergerakan
wacana Islam di timur Tengah yang dikomandani Wahabisme beserta kemudahan akses
akibat dibukanya Terusan Suez nampaknya menjadi faktor pendukung yang paling
signifikan pada masa-masa ini sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwasanya gerakan
antikolonial bahkan telah dimulai jauh sebelum politik etis diberlakukan.

Belanda sendiri dengan antusias menanggapi semangat perlawanan itu dengan satu model
kebijakan baru, dimana mereka berusaha mengeliminir monopolinya. Pada kasus ini lahirnya
politik etis tidak lain adalah sinyalemen bagi ‘penolakan mereka atas Islam’. Snouck
Hurgronje, arsitek Perang Aceh mengatakan bahwa mereka tidak perlu menggunakan
kekerasan ketika berhadapan dengan kelas menengah Indonesia, asal mereka mengerti apa
yang dapat dimanfaatkan dari “memperlebar secara bebas batas-batas nasional dan politis
kita”.1 Dengan demikian menurut Snouck segalanya akan secara sukarela menghampiri
mereka. Kanalisasi pergerakan nasional yang bergandengan tangan dengan otoritas lokal
plus Islam itu menurutnya dapat dilakukan dengan “memberikan pendidikan barat kepada
penduduk Indonesia terutama kaum elitnya dapat membuat mereka menyimpang dari jalur
Islam ke arah persatuan kebudayaan dengan orang Belanda…”2

Seperti telah diketahui perkembangan Islam pasca dibukanya Terusan Suez cenderung
berirama Arabic. Akar tradisi di Minang, Aceh dan Semenanjung Malaya memang memiliki
kedekatan dengan pusat-pusat ortodoksi Islam, seperti Mekkah, Kairo, Baghdad dan Turki.
Terutama Padang dan Minang, wilayah ini telah mendapat terpaan dari rasionalitas yang
dibangun oleh Mohammad Abduh3 yang kemudian diteruskan oleh Syaikh Ahmad Khatib. 4
Lalu di Jawa, berdirinya Demak Bintara sebagai sebuah patron baru tidaklah kemudian
memberangus akar-akar puritanisme Hindu-Budha. Hal itu nampak dari bagaimana setelah
menggantikan kedudukan Sultan Pajang, Senopati sesegera mungkin memproklamirkan
otoritas ‘Mataram Baru-nya’ melalui padu-padan budaya pra-pasca Hindu-Budha.

Secara utuh, konsep kesesuaian ini sendiri mencapai puncaknya pada jaman Sultan Agung.
Raja ketiga Mataram ini berusaha melebur pergesekan antara ‘sisa-sisa’ Hindu-Budha (baca
Majapahit) dengan pergerakan Islam.5 Jurang sosial dan kultural antara keduanya diikat

1
Abd al-Ghaffar atau lebih dikenal dengan nama Christian Snouck Hurgronje telah dengan
gemilang membaca sekat antara kaum ulama dan adat di Aceh. Keberhasilannya melihat celah itu
membuat Belanda berhasil memenangkan perang panjang dengan Aceh yang telah menghabiskan
dana besar. Merujuk pada pola kerja Belanda tersebut, menjadi pertanyaan yang menarik bagi
penyusun, untuk mengetahui siapakah kiranya yang telah ‘mengarsiteki’ kerja besar itu di Jawa. Lih.
Hurgronje, Snouck. 1973. Islam di Hindia Belanda (terjemahan). Jakarta: Bharatara.
2
Dalam Kahin, 1995: 62-63.
3
Mohammad Abduh, seorang pembaharu Islam di Kairo, Mesir. Tahun 1884 bersama Jamal
al-Din al-Afghani menerbitkan dua majalah Islam di Paris yang kemudian menggoncang rasionalitas
Eropa dan bahkan dunia Islam sendiri. Majalah tersebut dibinasakan kolonial Inggris di dunia Timur
dan dilarang di Mesir dan India. K.H. Ahmad Dahlan berhasil memperoleh dan berusaha
menerapkannya di Jawa.
4
Syaikh Ahmad Khatib adalah seorang keturunan hakim Paderi yang kemudian menetap di
Mekah dan menjadi guru bagi banyak generasi pembaharu Islam, seperti Syaikh Muhammad Djamil
Djambek, Haji Abdul Karim Abdullah, Haji Abdullah Ahmad (Minangkabau), Syaikh Sulaiman ar-
Rasuli (Bukittinggi), Kyai Haji Hasjim Asj’ari (pemimpin Nahdlatul Ulama), dan Kyai Haji Ahmad
Dahlan (pendiri Muhammadiyah). Lih. Noer: 1996, 39.
5
Menurut penyusun, peleburan yang diupayakan Agung tidak terbatas pada pengertian yang
sempit melainkan cenderung komprehensif-spekulatif. Hal ini terlihat dari beberapa kebijakan awal di
masa kepemimpinannya, terutama ‘kedekatannya’ dengan pihak kolonial. Sikap akomodatifnya
terlihat dari kesepakatan-kesepakatan seperti pertukaran 4 meriam dengan ijin mendirikan benteng
bagi Belanda di Jepara, selain janji untuk memberi bantuan batu bata bagi pembangunan benteng,
tidak menarik bea dan lain-lain. Menurut de Graaf & Pigeaud (1986: 54), kerjasama ini dapat ditafsir
sebagai usaha untuk memperluas ‘kewibawaan’ pedalaman selain usaha ‘merekrut’ kekuatan militer
dan armada laut kolonial untuk menghadapi kekuatan pesisir yang masih belum mau mengakui
kedaulatannya secara utuh. Disisi lain bagi penyusun, kedekatan ini merupakan sinyalemen gerilya
dari dalam. Secara positif berarti melakukan kerjasama yang saling ‘menguntungkan’ dengan pihak
dalam kolaborasi perhitungan Hijriah yang digunakan kaum pesantren dan tahun Saka yang
digunakan para penganut kejawen. Perhitungan tahun Jawa yang diundangkan tahun 1633
secara keseluruhan menyesuaikan tahun Hijriah yang berdasar bulan. Namun awal hitungan
tahun dimulai dari tahun satu Saka, yakni tahun 78 M. Selain itu Raja Mataram yang secara
minor terkenal karena sifat ekspansifnya, sempat mengadakan pembaruan tata hukum Islam
dan membuka kemungkinan andilnya para ulama dalam hukum kenegaraan (Simuh, 1988:
11-13). Secara rutin, Agung juga aktif dalam kegiatan keagamaan, macam shalat Jum’at—
hal mana yang tidak dilakukan penggantinya kemudian, Amangkurat I.

Setelah rentang panjang—kembali retaknya ‘hubungan Islam-Jawa’ di bawah Raja-raja


Mataram pasca Sultan Agung—upaya sintesa yang datang kemudian baru terjadi pada medio
abad 19. Adalah Dipanagara yang berusaha mengakomodir seluruh kekuatan massa dari
berbagai elemen lapisan sosial dalam Perang Jawa (1825-1830), sebuah masa yang
memisahkan jaman ancient regime raja-raja Jawa dengan jaman kolonialisme Belanda secara
penuh. Walaupun pertemuan berbagai elemen tersebut cenderung bersifat fisiologis artinya
pertemuan dalam ruang fisik yang terbangun dari rasa ketidakpuasan atas rezim berkuasa,
namun dukungan Islam (yang diwakili oleh Kyai Maja), keraton (paling tidak 15 dari 29
Pangeran), dan birokrat (41 dari 88 Bupati) telah menunjukkan bagaimana ‘kekuatan
primordial’ itu berhasil berdiri dibawah satu payung tunggal, hal mana yang selalu menjadi
polemik pada masa-masa sebelumnya.6 Penaklukan atas Dipanagara oleh pihak kolonial

kolonial namun secara negatif dapat dipadankan dengan usaha menggunting lipatan dari dalam.
Derivasi dari hasrat ‘positif’ Agung terlihat dari minatnya akan sejarah perkembangan dunia.
Hadirnya penasehat Eropa di Kraton Mataram menunjukkan tingginya minat tersebut (walaupun
sebenarnya sudah dimulai sejak jaman Panembahan Seda ing Krapyak). Sementara kekesalan Coen
mengenai serangan Agung kepada pihak pemerintah kolonial yang dilakukan dengan meriam kiriman
Belanda sendiri, tentu menunjukkan bagaimana sesungguhnya ‘kerja politik’ Agung. Yang menarik
dari kasus ini adalah ‘keberanian’ Agung untuk membangun afiliasi strategis dengan pihak pemerintah
Kolonial. Bagi penyusun hal tersebut bukan semata bersifat taktis melainkan secara esensial
menunjukkan kehendak untuk ‘meleburkan’ berbagai kepentingan dibawah yuridiksi kekuasaannya
sebagai bagian dari pola kaum sawah. Walaupun sejarah kemudian menujukkan kegagalan Agung—
terutama sejak penyerangannya ke Batavia—tetapi apa yang digagasnya (sebutlah dengan mudah,
semacam ‘berkarib dengan musuh’) belum lagi menjadi ‘pilihan sadar’ dan metode yang familiar pada
jamannya.
6
Dipanagara adalah cucu dari Sultan Sepuh dan putra sulung dari selir HB III. Ia hidup di
jaman Daendles dan Rafles dan tinggal bersama nenekndanya, Ratu Ageng di Tegalreja. Berbeda
dengan perang kebanyakan di waktu sebelumnya yang merupakan konsentrasi dari pemusatan
kekuatan untuk memperebutkan tahta, Perang Jawa lahir atas ketidakpuasannya Dipanagara melihat
kondisi sosial ekonomi yang berlaku pada masa itu. Disatu sisi ia melihat bagaimana watak para
pangeran, keraton maupun para birokrat lainnya justru memperkeruh situasi dengan kewenangan yang
mereka miliki, dan karenanya Jawa hampir berada diambang kejatuhan. Di sisi lain, kasus-kasus yang
secara pribadi menimpa Dipanagara seperti affairs antara selirnya dengan Asisten Residen Chevallier
dan pelebaran jalan yang dilakukan oleh Residen Smissaert di Tegalreja yang menerjang tanah
miliknya menjadi salah satu ‘catatan kaki’ bagi pergerakan ini. Perang Jawa ditanggapi secara khusus
oleh pemerintah kolonial Belanda karena memadukan unsur Islam di dalamnya. Atas kenyataan itu C.
Th. Elout, Menteri Wilayah Jajahan Belanda menolak desakan para pejabat Belanda untuk
menghentikan Perang Jawa sesegera mungkin dengan memberi pengakuan terhadap Dipanagara
sebagai pangeran merdeka di Jawa Tengah sebagaimana yang pernah dilakukan kepada pendahulu
Belanda akhirnya secara ‘permanen’ menandai dominasi (baca: memberi legitimasi kultural)
mereka atas Jawa.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Jawa kehilangan kekuatannya setelah penangkapan


Dipanagara yang terjadi pada 23 Maret 1830. Rakyat ‘kapok menentang penguasa’ dan
kesan ini berlanjut hingga wacana nasion mulai menjadi isue dan telah mendorong
berdirinya berbagai kelompok reformatif maupun revolusioner yang awalnya digerakkan
oleh para pemuda yang tergabung dalam berbagai fraksi sekaligus friksi. Walaupun Kahin
(1995: 59) menyebut “Islam umumnya hanya bagaikan lapisan krem tipis di atas roti tebal,
terbuat dari Hindu-Budhisme dan mistisisme Jawa asli yang sudah lama hidup di Indonesia”,
tetapi kekuatan Islam tidaklah dapat dipandang sebelah mata. Sebagai sebuah organ massa
mereka telah mencoba ‘berbaur’ dan turut bermain dalam percaturan politik yang lebih luas
sifatnya.7

Hadirnya komunitas-komunitas Arab telah mendorong perkembangan gerakan Islam di awal


abad 20, sebut saja misalkan Jamiat Khair, sebuah organisasi para pedagang Arab yang
tinggal di Indonesia, memiliki kedekatan dengan Sarekat Islam (SI) dan beberapa organisasi
di Sumatera, menjalin hubungan baik dengan Mekah, Mesir, dan Turki (Noer: 1996, 68-73). 8
Perkembangan SI yang awalnya dimodali pembentukan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang
dimotori oleh Tirtoadisoerjo pada masa-masa berikutnya terus bergerak dan cenderung
bersinggungan dengan wilayah politis yang bercampur dengan kekuatan komunisme. Pada

Jawa lainnya, Mangkubumi dan Raden Mas Said. Belanda sendiri harus menghabiskan lebih dari 20
juta Gulden untuk perang ini dan kehilangan lebih dari 8000 dari 23.000 prajurit yang dikerahkan.
Untuk mengembalikan keadaan keuangan pemerintah kolonial Belanda yang kolaps, Gubernur Hindia
Belanda, van den Bosch akhirnya mendorong diberlakukannya tanam paksa di seluruh wilayah yang
dikuasai pemerintah kolonial. Kajian tentang Perang Jawa ini secara komprehensif telah dibahas oleh
Peter Carey. Lebih lengkap lih. Carey, Peter. 2004. Asal Usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy &
Lukisan Raden Saleh. Yogyakarta: LKiS.
7
Hingga tahun 1930, jumlah penduduk di Hindia Belanda 60.682.880 jiwa, dengan pribumi
59.138.067 jiwa. Dari jumlah itu, 90% di antaranya beragama Islam (Kahin: 1995, 47). Persentase ini
tidak mengalami perubahan 40 tahun kemudian, dengan jumlah penduduk Indonesia 118.367.850
jiwa, dimana 103.579.496 jiwa di antaranya beragama Islam. Terutama di Jawa, di mana jumlah
penduduk Jawa tahun 1970 adalah 71.483.144 jiwa, 69.272.025 jiwa adalah Islam (Noer: 1996, 4).
Hal ini membuktikan bahwa metode politik etis yang sekular sesungguhnya cukup berhasil, di mana
persatuan kebudayaan tidak menitikberatkan pada persatuan agama, namun penciptaan nalarisasi kelas
terdidik ala ‘Barat’. Di sisi lain, data ini menunjukkan betapa resistennya masyarakat Indonesia atas
kolonisasi lewat pengkristalan atas jumlah penduduk yang beragama Islam.
8
SI dibentuk tahun 1912 oleh RM Tirtoadisoerjo, lulusan OSVIA yang berhasil mengelola
perusahaan Medan Priyayi dengan modal publik. Bersama Haji Samanhoedi di Surakarta, Tirto
berhasil membangun SI menjadi sebuah organisasi massa. Di bawah kepemimpinan HOS
Tjokroaminoto, SI menjelma menjadi organisasi dengan jumlah keanggotaan yang cukup besar, walau
kemudian justru muncul berbagai friksi (Shiraishi: 1997, 78-79; Ricklefs: 2005, 252). SI cenderung
mengidentifikasikan dirinya sebagai organ yang mewadahi pengusaha-pengusaha Islam pribumi.
Dengan dukungan jaringan pengusaha Arab, SI berusaha mendobrak dominasi perdagangan
pemerintah kolonial dan pengusaha-pengusaha Cina yang memang diposisikan secara istimewa oleh
otoritas kolonial.
wilayah ini, baik Islam maupun komunisme, ataupun Islam-Komunis macam yang diusung
Haji Misbach, telah menjadi sarana terbaik bagi ide-ide kontra revolusi maupun anti
kolonialisme. 9

Namun, bersamaan dengan berdirinya organisasi Islam lain macam, Muhammadiyah tahun
1918, Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1926, Majelis Islam A’Laa Indonesia (MIAI) yang
didirikan tahun 1937 atas prakarsa para pimpinan NU dan Muhammadiyah yang kemudian
mewadahi sejumlah organisasi Islam seperti Persatuan Islam dan al-Irsyad, dll, pergesekan
antara sekularisasi dan unifikasi agama dan politik menciptakan pertarungannya sendiri.
Konflik ini semakin meruncing lewat celaan bagi pribumi Islam yang terkena imbas
pendidikan gaya Barat, yang kemudian mengkristal pada gesekan dalam pesoalan tuntutan
pendirian negara Islam.

Hadirnya tokoh-tokoh sekular yang bersengketa seperti Semaoen dan Tan Malaka justru
semakin membuat proses pembentukan ideologisasi terus mengalami situasi yang tegang. 10
Di lain pihak, tuntutan Negara berlandaskan agama pada Mukadimah UUD’45 Piagam
Jakarta terus bergulir sejalan dengan semakin besarnya kekuatan organisasi Islam berbasis
massa. Harus diakui, pada titik inilah sosok Soekarno sebagai penyeimbang yang jitu dapat
memberikan bingkai yang cocok bagi situasi saat itu, seperti ucapnya saat rapat besar
BPUPKI 1 Juni 1945,

“Kita mendirikan satoe Negara Kebangsaan Indonesia. Saja minta, saoedara Ki


Bagoes Hadikoesoemo11 dan saoedara-saoedara Islam lain: maafkan saja memakai
perkataan ‘kebangsaan’ ini! Saja poen orang Islam. Tetapi saja minta kepada
saoedara-saoedara, djanganlah saoedara-saoedara salah faham djikalau saja katakan
bahwa dasar pertama boeat Indonesia adalah dasar kebangsaan. Itu boekan berarti
satoe kebangsaan dalam arti jang sempit, tetapi saja menghendaki satoe nationale
staat. Satoe Nationale Staat Indonesia boekan berarti staat jang sempit. Sebagai

9
Haji Misbach adalah tokoh Islam asal Surakarta yang berhasil memadukan Islam dan
Komunisme. Di tahun 1919 ia memimpin pemberontakan di pedesaan dan membuat kekacauan yang
memberikan alas an kepada pemerintah Belanda untuk menahannya selama tiga tahun. Setahun
setelah pembebasannya, Misbach kembali ditangkap atas kegiatannya menyebarkan komunisme Islam
(Ricklefs: 2005, 362-363). Setipikal dengan Teologi Pembebasan pada gerakan Amerika Latin, paham
milik haji yang disebut sebagai ‘haji merah’ ini dianggap terlalu berbahaya bagi kelangsungan kinerja
politik etis. Tak ayal, tekanan dari Islam fundamental yang menolak sekularisasi membuat paham
Misbach tak bisa berkembang.
10
Ketegangan antara keduanya tercipta saat pemberontakan 1926. Semaoen berhasil
memprovokasi sejumlah petani dan buruh di daerah untuk melakukan pemberontakan dengan berakhir
pada kegagalan. Pemberontakan itu semakin memperbesar jurang antara perjuangan Marxis ala Stalin
dari Semaoen dengan SI Tjokroaminoto yang menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Islam-an. Tan Malaka
tidak menyetujui pemberontakan itu dengan berbagai alas an, dimana salah satunya melihat Islam
bukanlah musuh yang harus diperangi, namun kawan yang berbagi dalam perasaan antikolonialisme.
11
Ki Bagoes Hadikoesoemo merupakan ketua PB Muhammadiyah era Proklamasi. Bersama
beberapa anggota BPUPKI dari Islam seperti Abikoesno Tjokrosoejoso (PSII), Wachid Hasjim (NU),
Haji Agoes Salim (Penyadar) mendorong Islam menjadi dasar negara yang tertuang dalam Piagam
Jakarta. Tentang isi Piagam dan para penandatangan, lihat Bahar: 1995, 385.
saoedara Ki Bagoes Hadikoeseomo katakan kemarin, maka Toean adalah orang
bangsa Indonesia, bapak Toean poen orang Indonesia, nenek Toean poen bangsa
Indonesia, datoek-datoek Toean, nenek mojang Toean poen bangsa Indonesia. Di
atas satoe kebangsaan Indonesia, dalam arti jang dimaksoedkan oleh saoedara Ki
Bagoes Hadikoesoemo itoelah kita dasarkan Negara Indonesia” (dalam Bahar: 1995,
71-72).

Bagi penyusun, gagasan Res Publica Soekarno yang dinyatakan melalui melalui pertautan
konsep ‘tripartit’ antara golongan kaum Nasional, Agama dan Komunis, pada sekitar tahun
1960-an dapat dikatakan sebagai partitur terakhir (dalam skala besar) yang berhasil
disuarakan kelompok-kelompok nasionalis sebelum akhirnya tragedi 65 mengembalikan
masing-masing entitas kembali ke barak primordial dan hidup dalam keseakan-akanan
berada dalam jaminan sosial (social garantie) yang diwartakan penguasa berikut. Nasakom,
selain sebagai upaya sintesa yang ditawarkan ‘penguasa sawah’ adalah penggambaran bahwa
ketiga hal tersebut terus mengalami fluktuasi.12 Paling tidak walaupun golongan sekular
untuk sementara telah memenangkan pertarungan di Pembukaan UUD ’45, tetapi semenjak
UUD itu dinyatakan sampai dengan lebih dari seperempat abad kemudian, masalah-masalah
tersebut dan ide besar Res Publica sendiri belum lagi disadari pentingnya lebih lagi bisa
diterima dengan lapang dada oleh masing-masing pihak.13

Sketsa di atas setidaknya telah menampilkan perjalanan Islam Nominal dalam menghadapi
kekuatan diseberangnya yang secara keras mendorong dilahirkannya wacana Negara Islam
Merdeka. Dalam masyarakat Jawa, ‘konsolidasi’ Islam Nominal ini sendiri kerap dimaknai
sebagai bagian dari kerja milenaris, ia adalah upaya peleburan perodik yang terus akan
terjadi selama puritanisme Islam belum lagi berhasrat menurunkan tensi dan obsesinya.

II. Konsolidasi & Mitos Peleburan Periodik: Kelompok Non Islam


Thomas Reuter dalam telaah sejarah politik dan dinamika sosial bangkitnya kembali agama
Hindu di Jawa—yang dibuat berdasarkan riset etnografis atas lima kelompok masyarakat
pada candi-candi Hindu besar—mengatakan bahwa semenjak tahun 1970-an, terlebih
semenjak jatuhnya Soeharto, Mei’98, gerakan Hindu telah bangkit menyebar ke seluruh
kepulauan Indonesia.14 Agama ini mendapat lebih banyak pengikut saat negara menghadapi
berbagai krisis, terutama di Jawa, sebagai pusat politik Indonesia. Dalam pandangan Reuter,
masalah ini dipengaruhi oleh perkembangan sejarah dan politik Indonesia, termasuk

12
Hal yang sama telah dinyatakan oleh Jakob Sumardjo (2002: 167-168). Baginya Nasakom
sebenarnya sistem integrasi yang dibangun berdasar pemahaman primordial, yakni sebuah upaya
untuk mengkomplementerkan kerja dua kutub yang saling bertentangan dan sarat konflik. Lebih
lengkap lih. Sub bab Budaya Priyayi, Nasakom dalam artikel Elemen Primordial dalam Cerita
Bubukshah-Gagang-Aking.
13
DI-TII dan kelompok lain menunjukkan motif yang tetap sama macam apa yang secara
sayup-sayup terus diulang oleh Dipanagara, “mangun luhuripun agami Jawi Islam ing Tanah Jawa”
atau mendirikan sebuah negara agama (Islam) di Jawa (lih. Carey, 2004: xxii).
14
Disarikan dari http://www.swaveda.com/articles.php?action=show&id=49
relevansinya dengan dampak ekonomi maupun hubungannya dengan pemenuhan ramalan
negara Utopi.

Seperti diketahui semenjak jatuhnya Majapahit, beberapa kelompok masyarakat mencoba


bertahan dan menganut Hindu secara terbuka, contohnya adalah masyarakat Tengger.
Namun, semenjak kasus 65, jumlah mereka menurun drastis. Hal ini terjadi terutama karena
pada saat itu tuduhan komunis dan atheis dapat dilontarkan kepada mereka yang tidak dapat
menyebutkan agamanya (seperti diketahui sebelum tahun 1962, agama Hindu tidak diakui
secara nasional, sehingga banyak penganut Hindu tidak dapat mencatumkan keyakinan
mereka secara resmi.). Bersepakat dengan Hefner, Reuter berpendapat jika kelompok Islam
pada masa itu telah dengan gigih menghabisi seluruh laskar kekuatan Partai Nasionalis Islam
milik Soekarno, yang di dalamnya termasuk unsur-unsur Kejawen ataupun anti Islam.
Akibatnya selama tahap pertama pembunuhan masal di jaman itu, demi keselamatan, para
pengikut Kejawen terpaksa mengumumkan diri mereka sebagai Muslim.

Lepas dari alasan tersebut, kembalinya para penganut Hindu ini juga karena ingin
mempertahankan agama nenek moyang dan bagi masyarakat di luar Jawa, Hindu merupakan
pilihan terbaik dibandingkan Islam. (bagi Orang Jawa ini dianggap lebih masuk akal
ketimbang menjadi Kristen yang berarti antek kolonialis. Sementara bagi masyarakat non
Jawa dan Jawa yang memilih Agama Kristen, pertimbangan ini dipilih lantaran jaminan
sosial—termasuk di dalamnya akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan maupun keamanan
yang dapat mereka peroleh. Satu-satunya alasan lain yang dapat dikemukakan di samping
hal-hal tersebut adalah ‘gengsi sosial’ untuk menjadi Islam yang dianggap telah menodai
perasaan kebanggaan mereka akan sejarah dan tradisi. Tetap memilih menjadi minor, apapun
keyakinannya tampaknya menjadi ‘prestise diri’ karena minimal tetap idealis terhadap
rongrongan pihak luar).

Dalam hubungannya dengan sektor ekonomi, bangunnya pura-pura disekitar candi-candi


Hindu telah membangkitkan gairah pasar. Misalkan saja Di sepanjang jalan menuju Candi
Semeru terdapat deretan hotel dan toko yang menawarkan sesajen siap pakai, angkutan, dan
makanan bagi para pendatang. Pada hari raya, puluhan ribu peziarah akan datang setiap hari.
Dikatakan Reuter, peziarah yang memberi sumbangan dana besar bagi candi besar itu
ternyata juga menarik perhatian penduduk setempat. Lahir pula anggapan bahwa, “...budaya
Hindu ternyata lebih banyak mendatangkan keberhasilan pariwisata internasional
dibandingkan budaya Islam”. Akibatnya, penduduk kini berduyun-duyun untuk ambil
bagian.
Seperti telah disebut dimuka, orang Jawa begitu tertarik dengan isue milenaris terutama
sabda Sabdopalon dan Jayabaya (selain Ranggawarsita tentunya). Berkenaan dengan
pemenuhan ramalan mengenai Negara Utopi, Reuter mengatakan,

“Orang-orang Hindu Jawa mengenang Sabdapalon dan Jayabaya dengan penuh


kebanggaan karena mewakili jaman keemasan sebelum Islam. Kalangan Islam
sendiri sebaliknya percaya bahwa Jayabaya itu sebetulnya adalah seorang Muslim
dan Sabdapalon tidak mau masuk Islam karena saat itu dia berhadapan dengan
bentuk Islam yang salah dan tidak murni lagi (Soewarno 1981)”.

Menjadi jelas jika kalangan Hindu kemudian ‘mengadopsi’ citra maupun sasmita yang ada
disekeliling lingkungan sosialnya untuk kemudian ditafsir mengikuti arah logika yang
sejalan dengan apa yang ditampilkan oleh Sabdapalon maupun Jayabaya. Sebagai contoh
adalah,

”Beberapa candi Hindu baru yang pertama dibangun di Jawa memang selesai
dibangun sekitar tahun 1978, misalnya Candi Blambangan di daerah Banyuwangi.
Sesuai dengan ramalan, Gunung Semeru meledak di waktu itu pula. Semua ini
dianggap sebagai bukti tepatnya ramalan Sabdapalon. Pihak penentang Hindu dari
agama Islam menerima prinsip ramalan itu, meskipun menafsirkannya secara
berbeda. Beberapa kalangan Islam menganggap murtadin yang memeluk Hindu
disebabkan karena kelemahan sesaat dalam masyarakat Islam itu sendiri, dengan
menyalahkan sifat materialisme di dunia modern dan turunnya nilai-nilai Islami atau
karena penerapan Islam yang tak murni melalui tatacara ibadat Kejawen (Soewarno
1981). Menurut pendapat mereka, ‘kembalinya Sabdapalon’ berarti ujian bagi Islam
dan perlunya memurnikan dan membangkitkan kembali iman Islam”.

Dalam kacamata ini (baik dalam nuansa apriori maupun tidak), menjadi minoritas Hindu
Jawa itu sama dengan ‘menghidupkan kembali kebangkitan Jawa Raya’ yang sempat
tenggelam.

Anda mungkin juga menyukai