TAFSIR DUNIA TANDA*
s e b u a h r i n g k a s a n
Oleh:
Cin Pratipa Hapsarin
Problem utama filsafat mengalami pergeseran berarti ketika ‘jalan kembali pada
bahasa’ dirumuskan, dan pernyataan Paul Ricoeur “manusia adalah bahasa” menjadi
bagian dari tonggak peralihan tersebut. Pada akhirnya terkuaknya fungsi bahasa, di luar
fungsi deskriptifnya, mempengaruhi pemahaman akan ideologi, imajinasi, metafora,
maupun kebenaran. Kini, hal‐hal tersebut berhadap‐hadapan dengan problem
interpretasi teks, yang seluruhnya mengerucut pada bagaimana tafsir atas sesuatu,
atau konteks pemahaman akan sesuatu dilahirkan, tidak saja secara metodologis
melainkan juga secara ontologis..
*) Bagian ini sepenuhnya disarikan dari Ricoeur, Paul. 2002. Filsafat Wacana: Membelah Makna dalam
Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCISoD; Sugiharto, I. Bambang. 1996. Posmodernisme, Tantangan Bagi
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius; Sumaryono, E. 1993. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius; Thompson, John B. 2003. Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi‐Ideologi Dunia (terjemahan).
Yogyakarta: IRCiSoD.
Usaha tersebut secara komprehensif telah dilakukan oleh Paul Ricoeur lewat ontology of
interpretation (Permata, 2002: 216). Ricoeur disebut‐sebut telah berhasil menggabungkan
wilayah‐wilayah yang selama ini selalu dianggap paradoks bagi satu sama lainnya dan
memecahkan kebuntuan diantaranya. Misalkan saja berhasil memanfaatkan metodologi ilmu
alam (Naturewissenschaften) dan pemahaman ala Geisteswissenschaften. Pada gilirannya,
hermeneutika Ricoeur juga dianggap berhasil memadumadankan ketegangan antara
metodologi‐Emilio Betti (soal menyingkap makna objektif dari teks yang memiliki jarak ruang
dan waktu dari pembacanya) dan konsep filosofis versi Gadamer (mengenai acuan utama untuk
memahami teks bukan berasal dari niat penulisnya), Ricoeur juga berhasil mengawinkan konsep
filosofis ‘potensi Ada’ milik Heidegger dengan pandangan Schleiemecher dan Dilthey yang
mengatakan bahwa ekspresi kehidupan telah terbakukan lewat bahasa dan pemahaman atas
bahasa merupakan usaha penemuan diri sendiri. Namun demikian Ricoeur juga merevisi
pandangan romantik ala Schleiemecher dan Dilthey, yang ditekankan pada penolakan Ricoeur
untuk berhenti begitu saja pada kondisi psikologis pembuat teks untuk merekonstruksi
pengalaman menulis. Akhirnya Ricoer dianggap berhasil mempertemukan fenomenologi Jerman
(tendensi metafisik Cartesian dan Edmund Husserl juga tendensi eksistensial versi Heidegger)
dengan strukturalisme Prancis (aliran linguistik Ferdinand de Saussure dan aliran antropologis
Claude Levi‐Stauss) termasuk memberikan kontribusi bagi kritik ideologi dan pentingnya
psikoanalisis sebagai satu kunci metodologi untuk membaca sebuah teks. 1 Karena F F
Bahasa menjadi isu sentral sejak diketahui bahwa filsafat mengalami keterbatasan akibat
kontradiksi internal tiap usaha untuk membangun kosakata yang logis ketat juga tertutup selain
kenyataan adanya pluralitas permainan‐bahasa dan kritik epistemologi Heideggerian yang
1
Lebih lengkap peran mediator Ricoeur yang mengikat ambang batas antara ini lihat bagian apendiks
(202‐205) Permata, Ahmad Norma. 2002. Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur, dalam Filsafat
Wacana: Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCISoD.
Page 2 of 12
kemudian membawa filsafat menuju problem sastera dan metafora (Sugiharto, 1996: 80‐83).
Atas dasar kenyataan tersebut tinjauan mengenai fungsi maupun sifat bahasa mengalami
puncaknya ketika keterbatasan bahasa dalam konteks pengalaman maupun dalam konteks
konstruk lingustik menjadi perdebatan, terutama ketika diketahui bahwa fungsi deskripsi bahasa
sesungguhnya menggiring kerja pemaknaan pada paradigma positivis yang justru gagal
menampilkan ‘sesuatu yang sesungguhnya‐yang utuh atau penuh’. 2 Hal ini tidak lain karena
F F
86) sebagai berikut
“Segala konstruk linguistik atau segala kerangka konseptual umumnya mendasarkan diri
pada pengandaian‐pengandaian yang tak bisa dieksplisitkan dalam bahasa itu sendiri.
Dan ketidakmungkinan mengeksplisitkan asumsi‐asumsi dasar ini biasanya dianggap
sebagai isyarat keterbatasan bahasa.”
Dari anggapan tersebut lahir beberapa kubu yang secara kasar dapat dikelompokan dalam
beberapa tesis, 4 walau demikian perbedaan pandangan itu tidak berarti mempertentangkan
F F
fungsi deskripsi bahasa melainkan, secara umum, justru meneguhkan bahwa,
“batas bahasa bukanlah sesuatu yang ekstern, bukan berasal dari realitas
ekstralinguistik, bukan pula akibat kenyataan lebih tinggi (kenyataan mistik, transenden,
atau apapun), melainkan sesuatu yang bersifat intern…batas intern bahasa tadi
hanyalah batas‐batas fungsi deskriptif bahasa 5 ” Sugiarto (1996: 94)
F. F
2
‘sesuatu yang sesungguhnya‐yang utuh atau penuh’ tidak dapat disederhanakan menjadi yang
sepenuhnya benar atau benar secara objektif. Kata tersebut sebagaimana paradigma hermeneutika
Ricoeur haruslah ditafsir sebagai upaya komprehensif ketika kerja pemaknaan sedang dilangsungkan dan
merupakan bagian dari upaya mendasar yang berguna untuk—meminjam istilah Heidegger—‘menyingkap
potensi sang Ada’.
3
Sugiharto (1996: 84‐85) menjelaskan bahwa hal tersebut dapat terjadi karena sifat bahasa sendiri.
Pertama, generalitas. Bahwa bahasa selalu bersifat umum dan gagal mendeskripsikan keunikan dunia
kehidupan. Artinya bahasa menjadi satu banding tak terhingga (1: ) dengan pengalaman. Kedua,
keeksplisitan. Bahwa bahasa selalu memberi bentuk definitif ketika pengalaman itu berusaha dirumuskan
atau dibahasakan. Artinya bahasa bersifat putusan sementara pengalaman bersifat terbuka. Dan ketiga,
kekosongan. Bahasa bersifat derivatif dan sekunder seolah ‘kosong’ sementara pengalaman nyata primer
dan seolah ‘penuh’.
4
Wittgenstein dan Heidegger mengatakan pada dasarnya ada hal‐hal tertentu yang tidak dapat atau tidak
pernah bisa dapat dikatakan, sementara Foucault, Gadamer dan Kuhn berpendapat bahwa tiap bentuk
skema konseptual yang mau merangkum segala hal umumnya mendasari diri pada asumsi tersembunyi
yang tidak dinyatakan dalam skema itu. Namun demikian asumsi‐asumsi tersembunyi itu tetap dapat
diketahui yakni melalui penyibakan sejarah intelektual selanjutnya. Berbeda dengan pendapat di atas Karl
Popper menganggap walau selalu ada asumsi tersembunyi hal tersebut dapat diketahui dengan cara
mengganti pijakan tempat awal seseorang berdiri. Selama seseorang menyadari tempat awalnya berdiri
tabir asumsi tersembunyi memungkinkan untuk diketahui. Tawaran Popper mengandaikan bahwa segala
hal dapat diketahui selama seseorang dapat melakukan penjarakan. Lebih lengkap lihat Sugiharto (1996:
87‐93).
5
Pernyataan di atas tentulah mengandaikan bahkan untuk sesuatu hal yang dianggap transenden
sekalipun sebenarnya berangkat dari kegagalan fungsi deskriptif bahasa dan bukan berangkat dari hal
Page 3 of 12
Dominasi fungsi deskriptif bahasa sendiri pada dasarnya berlandaskan paradigma representasi
yang menganggap bahasa dan pengalaman, satu berbanding satu atau apa yang dikatakan
sepenuhnya adalah bagian dari realitas objektif dunia kehidupan. Selanjutnya proses kesadaran
tentang keber‐ada‐an manusia dalam pandangan hermeneutik akan mengantar terbukanya
fungsi yang lebih mendasar dari bahasa, yakni fungsi transformasi bahasa. Pada taraf ini bahasa
tidak lagi digambarkan sebagai cermin semesta yang secara absolut menampilkan wajah dunia
dalam bentuknya yang paling utuh. Manusia sebagai binatang yang bercerita atau zoon logon
echon menunjukkan bahwa lahirnya bahasa tidak dapat semata dipandang sama seperti lahirnya
peradaban dalam arti lahirnya alat‐alat atau teknologi dalam kehidupan manusia, melainkan
sebuah fase dimana manusia secara khas berangkat dari kebinatangannya dan berupaya keluar
dari kungkungan alam.
“Bahasa adalah juga pengalaman, pengalaman yang dihayati…(atau) bahasa adalah cara
kita sebagai manusia memahami apa yang kita sebut ‘kenyataan’ (dan) bahasa adalah
cara kenyataan itu hadir dan bermakna bagi kita, cara kenyataan menyingkapkan diri
kepada kita…(dan) bila benar apa yang dikatakan Heidegger bahwa ‘bahasa adalah
rumah tempat tinggal sang Ada’, akan lebih benarlah bila kita katakan bahwa bahasa
adalah rumah bagi pengalaman‐pengalaman yang bermakna…Dengan kata lain,
pengalaman itu tidak bermakna bila tidak menemukan ‘rumah’nya dalam bahasa.
sebaliknya, tanpa pengalaman yang nyata bahasa adalah, ibarat kerang yang kosong
tanpa kehidupan.” Sugiharto (1996: 87‐93).
Fungsi transformatif bahasa ini kemudian disejajarkan dengan term ‘metamorfosis’ di mana
bahasa tidak lagi dianggap ‘sekedar teks, struktur dan makna’ melainkan sebuah proses dialektis
yang secara esensial dapat mendorong terciptanya fusi horizon baru lewat usaha pertemuan diri
dengan diri. Atau mengutip Ricoer dalam Sugiharto (1996: 97) “metamorfosis dunia dalam
permainan teks adalah juga metamorfosis ego”.
Munculnya bahasa sebagai kemampuan reflektif dalam usaha manusia memahami diri sekaligus
potensi untuk mengatasi keterbatasan membuat kedudukan manusia dengan dunia menjadi
tidak berjarak—seperti yang selama ini diandaikan. Pemahaman dalam kerangka ini tidak lagi
dianggap sebagai tindakan reproduktif melainkan menjadi sebuah tindakan pro‐aktif dan
sebagai akibatnya makna kebenaranpun menjadi
“tidak berarti ‘berkorespondensi’ dengan kenyataan, melainkan menunjuk pada
tersingkapnya kemungkinan‐kemungkinan baru untuk hidup dan bertindak, yang timbul
dari atau melalui pertemuan yang ‘bermain’ yaitu, pertemuan dialogis dengan orang lain
(sehingga) …‘kebenaran’ menunjuk pada proses transformasi yang terjadi pada setiap
peristiwa pemahaman” (Sugiharto, 1996: 98).
Merujuk hal tersebut berarti konsep kebenaran—yang sebelumnya disinonimkan dengan
kenyataan objektif—pada gilirannya menghasilkan ‘tafsir ketakberhinggaan’ dan ketika
yang tak dapat dijelaskan secara penuh. Justru hal yang transenden adalah, mengutip Sugiarto, “adalah
sebutan yang kita pakai untuk menunjuk batas bahasa deskriptif.”
Page 4 of 12
kebenaran tidak selamanya berkorelasi dengan kenyataan onjektif, kepastianpun memasuki
medan terbukanya, ia menjadi semakin tak pasti. 6 Hal ini secara langsung maupun tak langsung
F F
jelas berakibat pada satu, lahirnya ketegangan akibat ‘keterpecahan’ yang lahir karena konsep
peletakan kepercayaan, misalkan saja kebenaran‐kesalahan, kepastian‐ketidakpastian,
multitafsir‐monotafsir atau singkatnya seluruh paham binari dan yang kedua, kondisi ini
menimbulkan semangat bertanya, semangat mengkritisi keadaan—kalau term semangat
mencurigai kemudian dianggap terlalu sinis.
Pemaparan bagian kedua di atas, dalam filsafat bahasa akan mendorong terbukanya kedudukan
metafor sebagai inti bahasa sementara bagian pertama akan mengerucut pada pembahasan
akan imaji sosial yang menurut Ricoeur lahir akibat ketegangan terus menerus antara ideologi
dan utopia. Metafor 7 sendiri kemudian berhubungan dengan imaji sosial, hal ini dapat diamati
F F
mengikuti anggapan yang menyebut bahwa metafor adalah jalan keluar bagi filsafat
postmodern. 8 Metafor dalam fenomena multimakna kemudian tidak lagi dianggap secara
F F
metaforis menurut Ricoeur selalu bersifat ‘tensional’ 10 (Sugiharto 1996: 106‐107).
F
6
Hermeneutik sendiri tidak secara utama—seperti halnya epistemologi ilmu—mengejar klaim kebenaran
agar sesuatu dapat dikatakan absah secara ilmiah melainkan lebih mengacu pada usaha meneropong
bagaimanakah pola pemahaman ilmiah tersebut dilahirkan.
7
Bambang Sugiharto (1996: 107) menjelaskan metafor sebagai “‘imigrasi’ skema‐skema kategori tentang
realitas yang kadang terasa ‘anarkis’ namun toh menghasilkan tatanan‐tatanan baru dalam persepsi kita.
Olehnya gambaran kita tentang realitas itu dirombak dan dirumuskan ulang, di‐redeskripsikan secara
baru”
8
Mengenai postmodern dan filsafat yang mendasarinya lebih lengkap simak Sugiharto, I. Bambang. 1996.
Posmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Sementara metafor sendiri, pada buku
tersebut, dijelaskan (1996: 82‐83) menjadi problem, pertama, ketika filsafat akhirnya memilih pendekatan
pragmatis‐kontekstual ketimbang deskriptif‐logis dan representasional‐ketat dalam pendekatannya pada
bahasa. Hal tersebut membuat keragaman ‘bentuk‐bentuk kehidupan’ termasuk ‘permainan bahasa’
harus diterima termasuk hadirnya status penggunaan kiasan. Menjadi polemik, apakah ungkapan
metaforis kemudian dianggap salah secara literal atau justru ia menjadi bentuk tersamar literal yang
masih harus ditafsir. Kedua, merujuk pada pluralitas permainan bahasa yang menyulitkan penetapan
hubungan yang baku dan universal antar konsep, membuat pernyataan makin sulit diukur. Hal ini
membuat kekaburan, apakah sebuah pernyataan harus ditafsir metaforis atau tidak dan yang ketiga
lahirnya motifasi yang kuat pasca Heidegger—yang jauh hari sebelumnya telah diawali oleh Nietzsche—
untuk membongkar suatu yang tersembunyi dibalik teks.
9
Untuk mengefektifkan peran metafor, Ricoeur bukan saja menyarakan untuk mengalihkan perhatian dari
kata metafor menjadi pernyataan metafor, tetapi ia juga menyarakan untuk mengkontekskan metafor
sehingga ia juga bersinggungan dengan kebenaran dan kenyataan juga. Untuk itu metafor membutuhkan
‘referensi’.
10
Menurut Ricoeur sifat tensional itu berada dalam kopula ‘to be’ atau adalah yang selalu berada di
tengah‐tengah subjek dan predikat. Kopula ‘adalah’ dalam metafor selalu menunjuk ‘adalah seperti’
sekaligus ‘adalah bukan (seperti)’. Inilah yang kemudian dalam filsafat bahasa, menunjukkan kedudukan
Page 5 of 12
Penjelasan tentang metafor, sifat retorik dan pemaparan multimakna dari tensional posisi
kenyataan, sekali lagi ditekankan, yang tidak lagi menjadi sama dengan kebenaran—akhirnya
memaksa pemahaman untuk menggeluti alur pembacaan. Dalam hal ini harus pula diingat
Ricoeur (Thompson, 2003: 295) berpendapat landasan primordial fenomena ideologi dimulai
ketika tindakan diarahkan menjadi bermakna, persis sebagaimana halnya ketika suatu teks
dapat diinterpretasikan oleh siapapun dan sejarah sendiri—sebagai mata penjuru—tak lain dan
tak bukan adalah gambaran dari jejak langkah tradisi yang memuat juga di dalamnya bagaimana
usaha pewarisan atau bahkan penyelamatan akan ‘nilai’ ketika ia dikondisikan. 11 Menjadi F F
penting karena jika mengutip VN Voloshinov (Takwin, 2003: 120), ideologi adalah “…the struggle
of antagonistic social interest at the level of the sign.” atau “…pergulatan kepentingan sosial
yang bertentangan pada tingkatan tanda.” Itu artinya, pada tataran ini tanda yang menjadi bidak
ideologi akan bertemu dengan tafsir dan pemahaman. Oleh karenanya tidak menggherankan
jika Voloshinov mengatakan “tanpa tanda tidak ada ideologi.”
Bagi Ricoeur sendiri (Thompson, 2003: 295‐298), ideologi jelas memiliki fungsi integrasi sosial
karena di dalamnya ‘makna diarahkan’ lewat pembentukan image pada suatu kelompok sosial
dengan jalan menekankan ‘persamaan identitas’—yang sebelumnya telah disepakati sehingga ia
merupakan representasi sosial. Namun demikian Ricoeur menganggap ideologi tidak
berhubungan dengan dominasi secara umum melainkan sebuah ‘dominasi kelas’ yang dijalankan
melalui distorsi yang membalikkan realitas dan ide yang menyembunyikan ciri‐ciri tertntu dunia
sosial. Oleh karena itu ideologi menutup kesempatan dialektika (atau pertentangan yang
mungkin lahir) antara masa lalu dan masa kini sehingga Ricoeur menyebut ideologi “bersifat
lembam yang intoleran, yang menolak perubahan.”
Berbanding terbalik dengan hal itu, utopia justru menumbangkan tatanan sosial dengan
menciptakan ‘ruang‐ruang terbuka’ dalam arti membuka kemungkinan lahirnya pertentangan
melalui pemunculan dari apa yang diinginkan masyarakat saat ini. Bagi Ricoeur, ideologi dan
utopia merupakan bagian dari praktek imajinatif yang pertemuan antara keduanya kemudian
disebut Ricoeur dengan “imaji sosial.” Dalam Thompson dijelaskan, imajinasi menurut Ricoeur
adalah
“hal yang produktif, dimensi kreatif bahasa, tindakan dan kehidupan sosial; ia tidak
sekedar refleksi tentang realitas tapi sebagai sebuah medium untuk memunculkan
realitas‐realitas baru dan untuk mengkritisi apa yang diterima sebagai ‘kenyataan’.”
Pertemuan ideologi dan utopia pada gilirannya akan menghasilkan sebuah kritik ideologi yang
dalam pandangan Ricoeur, “haruslah dilihat sebatas jenis hermeneutika.” Ketermilikan (mode of
manusia dalam posisinya yang tragis sebab selalu berada dalam antara atau sebuah dunia‐ambang—‘yang
ini’ sekaligus ‘yang itu’.
11
Nilai pada konteks lepas dari pemahaman kategoris baik‐buruk, dan lebih ditekankan pada ‘isi’ sebagai
substansi esensial yang terkandung dalam ‘diri’ sesuatu, termasuk di dalamnya misalkan idea ala Plato, ide
dalam versi Aristoteles juga klaim‐klaim atas nilai itu sendiri.
Page 6 of 12
belonging) atas sejarah, tradisi, kelompok, termasuk objektifikasi pengetahuan yang sebelumnya
tidak berjarak, kini haruslah dipandang memiliki ‘otonomi relatif’. Lewat penegakan jarak dan
kemampuan mengatasi partikularitas, pemahaman diri dan usaha untuk mengekspos kesadaran
sangat dimungkinkan lahir. Oleh karena itu metafora dalam hubungannya dengan tanda,
retorika dan imaji sosial menjadi berguna untuk ‘membongkar yang tersembunyi di dalam teks’
dan ‘distansiasi untuk memahami sejarah, yang bagi Ricoeur adalah juga bagian dari proses
interpretasi atau dengan kata lain “akhir tugas hermeneutika dalam memperbaharui dan menilai
warisan sejarah sosial kita.”
TEKS SEBAGAI KARYA
Teks menurut Ricoeur dalam Thompson (2003: 284) adalah inskripsi wacana karena itu ia adalah
karya 12 Teks bukan hanya bahasa melainkan tiap tindakan manusia yang memiliki makna atau
F. F
tiap tindakan yang disengaja untuk mencapai maksud tertentu (Permata, 2002: 224). Di sini teks
menjadi sebuah wahana yang berguna untuk menjabarkan keluasaan dunia kehidupan atau
lebenswelt yang dapat dilakukan dengan mengedepankan langkah‐langkah sistematik yang
reflektif, dan yang terikat sekaligus otonom 13 Mewadahi kedua hal tersebut dalam satu konsepsi
F. F
umum adalah tujuan yang berguna untuk membongkar wacana. Untuk menjadi lebih jelasnya,
jawaban atas hal tersebut dijabarkan Ricoeur melalui pemaparan atas ciri khas suatu karya
secara semantik.
Namun sebelum masuk dalam ruang pembahasan tersebut, ada baiknya disinggung dahulu
mengenai syarat yang diajukan Ricoeur (Thompson, 2003: 285‐287; permata, 2002: 225‐227)
agar karya dapat menjadi bagian dari wacana. Ricoeur menyebut kerja ini sebagai distansiasi 14 F. F
Konsep ini sendiri berkorelasi dengan otonomisasi teks, yang merupakan modal awal bagi
lahirnya kerangka pemahaman dalam pandangan hermeneutik Ricoeur, sehingga distansiasi
sebenarnya menjadi tidak berbeda dengan otonomisasi teks secara semantik. Pertama, fixation
of action atau fiksasi wacana. Ricoeur mengatakan bahwa bagian ini adalah usaha awal dari
distansiasi karena peristiwa coba dilampaui sekaligus diungkapkan. Pengungkapan sendiri
merupakan penerjemahan tindak‐tutur yang harus diwujudkan melalui pembakuan‐pembakuan.
Atau dengan kata lain fiksasi adalah usaha penterjemahan realitas sosial lewat struktur‐struktur
tertentu ataupun mekanisme tertentu. Kedua, the outomatization of action, bahwa teks—
sebagai tindakan sosial—memiliki makna objektifnya sendiri. Ia menjadi tidak tergantung
dengan maksud pembuat teks atau dengan kata lain makna teks tidak selalu sama dengan
12
Dengan kata lain teks adalah penampang wacana sekaligus karya, artinya teks adalah usaha pemadatan
atau pengkapsulan dunia kehidupan atau lebenswelt. Wacana sendiri kemudian ditafsir Ricoeur (2002: 17)
sebagai logos, yang dalam pandangan lingusitik sejak awal dianggap Ricoeur bermasalah karena memiliki
fungsi afeksi sebagai kata benda sekaligus kata kerja.
13
Konsep ini akan dijabarkan dalam bagian berikut: Eksplanasi dan Pemahaman antara metode dan
filsafat.
14
Distansiasi merupakan pernyataan Ricoeur (2002: 159) yang menolak pandangan romantik maupun
pendekatan psikologis yang sebelumnya cenderung digunakan hermeneutika. Peletakan distansiasi
sebagai syarat merupakan bagian dari agenda pembebasan teks sehingga teks benar‐benar dapat menjadi
otonom, sehingga sebagai bahan kajian ia diandaikan menjadi mampu membuka dirinya sendiri sekaligus
menampilkannya kepada penafsir sehingga usaha pemahaman dapat berjalan.
Page 7 of 12
maksud pengarang. Ketiga, berkait dengan ketidaksamaan antara teks dan kondisi sosial yang
melingkupi teks itu sendiri atau relevance and importance. Artinya apabila teks dilekatkan
dengan situasi sosial yang berbeda dengan situasi teks—ketika pada awalnya dibuat—selama ia
relevan menjadi dimungkinkan dan yang keempat, terbebasnya teks dari batas‐batas acuan yang
bersifat lahiriah misalkan saja efek oral. Meaningful action, artinya teks tidak semata merujuk
pada situasi dan ciri dimana teks dihasilkan melainkan terbuka pada makna‐makna baru.
Nah, menjadi tidak sulit dipahami apabila Ricoeur—dalam Thompson (2003: 284)—kemudian
menetapkan ciri khas suatu karya secara semantik, 15 seperti yang telah disinggung sebelumnya,
F F
pertama, “suatu karya adalah totalitas terstruktur yang tidak dapat direduksi menjadi
kalimat”, kedua, “bahwa suatu karya dihasilkan sesuai dengan aturan‐aturan atau kode‐
kode yang menegaskan arah aliran sastranya dan merubah wacana menjadi novel, puisi,
atau permainan, dan ketiga “… (genre) memberikan kerangka kerja turunan yang
berpengaruh baik kepada produksi wacana sebagai satu bentuk karya dan
interpretasinya sebagai satu bentuk karya yang lain. Jika suatu karya yang dihasilkan
sesuai dengan genrenya, maka karya tersebut hadir sebagai satu konfigurasi yang unik
yang membentuk gayanya sendiri.”
Tafsir sendiri kemudian dapat diberlakukan bukan hanya teks ilmiah melainkan juga pada
bentuk‐bentuk lain, termasuk pada sastera yang awalnya dianggap memiliki makna (sense)
tanpa memiliki dunia acuan (reference) atau hanya mengandung konotasi belaka. Untuk
permasalahan tersebut Ricoeur menjawab, “maknanya adalah struktur karya itu, sedang
acuannya adalah ‘dunia’ yang ditampilkan oleh karya itu” (Sugiharto, 1996: 105).
EKSPLANASI DAN PEMAHAMAN: SEBUAH PERJALANAN ONTOLOGIS
Interpretasi dalam perspektif hermeneutik adalah usaha pembacaan yang merespon otonomi
teks dengan menggunakan bahan acuan ‘penjelasan’ dan ‘pemahaman’ secara bersama‐sama.
Gambaran ini dapat dipahami apabila interpretasi kemudian dikaitkan dengan makna. Seperti
telah diungkapkan, makna dalam kacamata Ricoeur menyebut‐menyebut dua hal secara
mendasar, yakni ‘struktur karya’ dan ‘dunia acuan’. ‘Struktur karya’ sendiri kemudian akan
diletakkan dalam kerangka ‘penjelasan atau eksplanasi’ sementara ‘dunia acuan’ akan
dikorelasikan dengan ‘pemahaman’. Konsep eksplanasi dan pemahaman Ricoeur sendiri
dibangun dari penggabungan secara komprehensif metode‐metode ilmu alam
(Naturwissenschaften) dan ilmu‐ilmu sosial atau humaniora (Geistesswissenschaften) 16 Okulasi F. F
ini sendiri dapat dikatakan sebagai puncak konsep dari hermeneutika Ricoeur.
15
Pengendepanan konsep semantika kalimat Ricoeur berangkat dari kritiknya atas semiotika tanda.
Menurut Ricoeur, semiotika tanda hanya berkutat pada level tanda dalam fungsinya sebagai pembeda.
Sesuatu yang khas dapat dijelaskan dengan memaparkan bedanya sementara tingkat kalimat—hal yang
justru lepas dari perhatian semiotika tanda—menjadi penting karena kalimat adalah unit dasar yang
kemudian disebutnya sebagai wacana. Dari titik itulah dimensi referensial—yang selama ini dilewati oleh
semiotika tanda—memperoleh tempatnya.
16
Ricoeur sendiri pada dasarnya tidak menganggap adanya dua pemilahan dalam wilayah ilmu, baginya
kedua bagian itu tetap dianggap berada dalam satu wilayah pemahaman Geistesswissenschaften saja.
Mungkin maksudnya adalah pemaknaan secara luas—dalam arti melihat kerja ‘pemahaman dalam
Page 8 of 12
Baiklah pada permulaaan, secara mendasar menyimak konsep Ricoeur mengenai tiga tahapan
yang harus dilalui hingga akhirnya peta pemahaman dapat terbuka 17 Pertama, bahasa sebagai
F. F
teks dan sebagai karya mengandung didalamnya kodifikasi yang khas, yang dalam hal ini harus
dipandang juga sebagai bagian dari ekspresi ontologi, Ricoeur menyebut tahap ini berada dalam
level semantik. Penjabaran wilayah semantik akan berfungsi untuk melihat sistem kebahasaan
beserta seluruh simbol‐simbolnya selain berguna untuk menyingkap distorsi‐distorsi komunikasi
termasuk memperhatikan makna yang tak terkatakan sebab represi maupun derivasi makna
yang mungkin lahir karena berbagai alasan 18 Level semantik secara khusus memang digunakan
F. F
Ricoeur untuk menjembatani ‘metode’ dan ‘konsep’ sehingga tujuan dari kerja penafsiran tidak
lepas pada wilayah ontologis yang semena‐mena ataupun masuk dalam pemahaman struktural
yang kaku. Metode dan kebenaran sendiri tidak perlu dipertentangkan secara sengit karena
manusia di sini harus dipandang bukan sebagai yang statis melainkan intensional.
Setelah secara aflikatif masuk pada wilayah kebahasaan, pembacaan kemudian digiring pada
level yang lebih filosofis, yakni masuk pada level reflektif. Pada tahap ini pembacaan
dipertemukan dengan ‘dunia acuan’ artinya subjek—secara sadar—harus melakukan penjarakan
dengan teks. Maksud dari langkah ini tiada lain untuk melengkapi konsep pemahaman dengan
cara ‘mempertemukan diri dengan diri’ melalui pemahaman akan ‘yang lain’. Atau dengan kata
lain mengamati intensi yang terjadi akibat pertemuan subjek—sebagai bentuk pertemuan diri
dengan diri—dengan realitas, yang merupakan wujud pemahaman akan ‘yang lain’ itu.
Tahapan selanjutnya merupakan tujuan akhir dari prosedural kerja hermeneutika, dimana
pemahaman mencapai level eksistensial, sesuatu yang diharapkan mampu menyeruak ‘paham
ada’ secara ontologis. Sesuatu yang awalnya dimulai dari methodology of interpretation
kemudian diarahkan pada ontology of interpretation—bukan semata ontology of understanding.
Pembukaan wilayah ini bagi Ricoeur sebenarnya hanya meneguhkan bahwa proses
tersingkapnya makna sebenarnya juga berasal dari akar‐akar atau dorongan‐dorongan instingtif.
Dapat dipahami bahwa Ricoeur kemudian berharap sesuatu yang naluriah dalam diri subjek,
akhirnya dapat berguna untuk menjawab realitas yang lebih tinggi—phenomenology of
religion—dimana kesadaran akan diri, kesadaran akan kala‐raya semesta—yang sebelumnya
tereliminir dalam proses pemaknaan—kembali mendapat tempat. Proses ini sendiri sebenarnya
bagian dari upaya fenomeologi yang pada dasarnya berusaha memberi ruang bagi lorong‐lorong
kesadaran melalui penapakan dan pelacakan kembali apa yang disebut archeology of subject.
bentuknya yang paling esensial pada diri manusia’ (ada baiknya merujuk konsep Heidegger yang bicara
mengenai ‘potensi menyibak sang Ada’ pada tataran ini – kebenaran manusia autentik atau Dasein)—dan
bukan pemahaman dalam artiannya yang sempit, karena toch, dapat kita lihat bahwa secara material
atau secara khusus Ricoeur tetap membedakan langkah kerja dalam usaha pemahaman teks tersebut.
17
Lihat Permata, 2002: 210‐217; Sumaryono, 1995: 103‐104; Thompson, 2003: 287‐291.
18
Pada wilayah ini Ricoeur menyarankan untuk menelaah makna dengan menggunakan pendekatan
psikoanalisis. Pendekatan ini—dalam wilayah komunikasi—dapat membantu mencermati distorsi makna
melalui pengamatannya pada posisi subjek termasuk ketertekanannya.
Page 9 of 12
Penjelasan Ricoeur di atas dengan jelas menunjukkan bahwa eksplanasi atau penjelasan secara
material adalah kerangka dasar yang secara struktural berusaha membedah sistem internal
dalam faktor kedirian karya atau mudahnya, penelaahan instrinsik karya, yang sekali lagi dalam
bahasa Ricoeur (2002: 154) disebut “mendapat lahan aplikasi paradigmatiknya dalam ilmu‐ilmu
alam” sementara pemahaman sebagai proses verstehen, menggarisbawahi referensi dunia
acuan yang “mendapatkan orisinalitas aplikasinya dalam ilmu‐ilmu kemanusiaan.”
Secara metodologis pernyataan Ricoeur (Sumaryono, 1995: 101‐102) dapat digambarkan
sebagai berikut: bahwa teks yang otonom harus ‘didekontekstualisasi’ agar lepas dari makna
psikologis atau intensi pengarang. Dengan cara ini ‘kita’ berarti “mengizinkan teks memberi
kepercayaan (pada) diri kita” sehingga ia—teks—dapat menampilkan dirinya sendiri. Upaya
‘rekontekstualisasi’ sendiri kemudian baru dapat dilakukan, yakni dengan jalan memberi
kesempatan terbuka bagi teks untuk dimaknai, sehingga ia dapat menghasilkan sebuah
‘cakrawala baru’ yang dapat menggiring terbentuknya pemahaman ontologis. Dengan demikian
dekontekstualisasi tidak lain adalah proses membebaskan diri dari konteks sementara
rekontekstualisasi adalah proses kembali menuju pada konteks sebelum akhirnya pemaknaan
lahir menjadi fusi horison baru.
Namun sebelum memasuki lingkar dialektis erklaren dan verstehen, masih ada landasan
penafsiran yang harus dicermati, yakni perlunya menebak atau memperkirakan 19 Dugakira ini
F. F
menurut Ricoeur (2002: 161) tidak bisa dihindari karena
“bila makna objektif adalah sesuatu selain daripada maksud pengarang, maka tentulah
(makna objektif ) dapat diartikan dalam berbagai cara…untuk mengartikan makna
sebagai makna verbal teks harus membuat perkiraan.”
Dan untuk ini tidak ada aturan baku untuk membuat sebuah perkiraan yang baik. Satu‐satunya
jalan yang ditawarkan Ricoeur hanyalah melalui metode validasi. Ricoeur sendiri (2002: 161)
mengutip ED Hirsch dan bersepakat bahwa
“tindakan pemahaman pada awalnya merupakan semata‐mata praduga (atau salah) dan
tidak ada metode‐metode untuk untuk berpraduga, tak ada aturan dalam
menggeneralisasikan pengetahuan (wawasan)ini. Aktifitas metodologi interpretasi
dimulai ketika kita mulai mengetes dan mengkritisi dugaan kita.”
Menjadi relevanlah bila Heissenberg, dalam Sugiharto (1996: 112) menjadi lebih suka bicara
‘probabilitas yang tinggi’ ketimbang kebenaran ‘objektif’ dan untuk menutup bagian ini baiklah
digarisbawahi bahwa interpretasi lebih
“merupakan persoalan validasi daripada verifikasi, atau kemungkinan daripada
kenyataan. Interpretasi teks merupakan suatu disiplin argumentatif yang dapat
menghindari skeptitisme tanpa menuntut kepastian.” (Thompson, 2003: 288)
19
Lihat Sumaryono, 1995: 99; Sugiharto, 1996: 92; Thompson, 2003: 287‐288.
Page 10 of 12
MODERNISME DAN POSTMODERNISME
Sebagai penutup bagian ini, ada baiknya memberi gambaran yang lebih lugas mengenai
perbedaan antara modernisme dan postmodernisme.
No C I R I ‐ K A R A K T E R I S I T I K
M o d e r n i s m P o s t m o d e r n i s m
01 Pandangan dualisme (oposisi biner) a la Pandangan a la Aristotelian ini ditentang karena
Aristotelian yang menganggap A adalah A meniadakan jalan tengah (excluced middle) dan
dan A tidak mungkin bukan A. menutup kemungkinan alternatif dari tindakan
kreatif manusia.
02 Penempatan kedaulatan subjek yang Postmodernism menawarkan hermeneutika
dikemukakan Descartes pada gilirannya yang berusaha menjembatani kajian‐kajian ilmu
justru meniadakan subjek karena kekakuan alam yang objektif atau ‘berjarak’
sifat objektif‐empirik, rasional dan (Naturewissenschaften) dan pemahaman versi
positivistis justru semakin memperjarak ilmu sosial (Geisteswissenschaften), untuk
manusia dengan realitasnya. selanjutnya membuka ruang‐ruang penemuan
yang bersifat ontologis.
03 Dalam tataran ilmu, fenomena positifis‐ Kebenaran tidak bersifat immortal‐abadi‐atau
empirik menjadi standart kebenaran never ever end, melainkan merupakan bagian
tertinggi, terutama mengingat hukum dari pergulatan manusia yang menyejarah atau
verifikasinya. bagian dari dialektika yang tidak akan pernah
usai hingga cenderung bersifat ‘kebenaran
untuk ruang dan waktu yang ini atau yang itu’.
Kebenaran tidak pernah dapat secara holistik
atau general dibakukan secara keras.
04 Pun temasuk bahasa dan pengalaman yang Mengutip Heissenberg bicara ‘probabilitas yang
dianggap satu banding satu (1:1). tinggi’ menjadi lebih relevan ketimbang
memaksakan ‘kebenaran objektif’, oleh karena
itu bahasa dan pengalamanpun harus dilihat
satu banding tak terhingga karena di dalam
bahasa maupun manusia sebagai subjekpun
didapati kenyataan keterbatasan.
05 Kerasnya modernism dengan postulat‐ Ruang terbuka memungkinkan argumentasi
postulatnya, langsung maupun tak terus dikembangkan. Hal ini secara tidak terasa
langsung berakibat pula pada justru membangun pemahaman ontologis yang
menghilangkan nilai‐nilai moral dan religius tidak mengawan (tetap berjejak‐berpijak) pada
(penemuan tafsir ontologis) yang diri subjek.
terindikasi dengan meningkatnya
kekerasan, keterasingan, dan seterusnya— Pada titiknya, usaha ini diharapkan dapat
hal yang malahan dimanfaatkan sebagai membangun kerangka pemahaman diri
alat penekan untuk mengatur, mengontrol, termasuk pemahaman lingkungan yang lebih
dan menguasai manusia lainnya. manusiawi: toleran.
Page 11 of 12
06 Materialisme menjadi filsafat dasar yang Penempatan yang relevan dari kerja
mendasari logika penguasaan. Dalam hermeneutik kembali menempatkan filsafat,
tataran praktis, hidup menjadi semata lewat tafsir ontologisnya, pada tataran yang
ditujukan untuk pada pemenuhan hal‐hal harus dipertimbangkan untuk menjaga apa yang
material dan hal ini sejalan dengan disebut nietzsche sebagai ‘kehendak
munculnya kembali tribalisme sebagai berkuasanya manusia’.
konsekuensi logis yang lahir dari hukum
survival of the fittest.
07 Sebagai gilirannya, manusia yang lain kerap Frame tubuh mekanik pun harus dibongkar
dibaca semata sebagai objek kajian dan demi menempatkan kesadaran kesejajaran
masyarakatpun direkayasa menjadi mesin. antara subjek yang satu dengan yang lain.
Pada bagian ini tubuh mekanik tercipta Dengan ini tubuh yang patuh dapat diusahakan
dengan sempurna. terbebas dari berbagai tekanan (intervensi)
sehingga tubuh organis dapat tumbuh kembang
tak kempis.
08 Seluruh kenyataan di atas sebenarnya Sebagai gantinya postmodernism menawarkan
hanya menegaskan kokohnya klaim dibukanya berbagai ruang, yang dapat dimaknai
kebenaran tunggal dan dengan demikian sebagai ruang tandingan ataupun sebagai
berarti cenderung menutup ruang‐ruang ruang alternatif bermain.
dialektika.
Dengan demikian kenyataan bahwa segala
Dalam lintas apapun (baik secara sosial, sesuatu demikian terseraknya dan sama sekali
politik, budaya, akademik) ini berarti tidak tidak tunggal menyebabkan wacana‐wacana
memberi ruang pada wacana‐wacana yang sempat termarjinalkan—secara sosial
alternatif terutama yang tidak sejalan maupun akademik—seperti gerakan minoritas
dengan wacana dominan. sosial dan politik macam subkultur, etnis, dan
politik budaya marjinal pantas mendapat
perhatian yang sama. Dan inilah waktu yang
disebut‐sebut sebagai carnaval terbesar:
sebuah perayaan bagi heterogenitas, pluralitas
dan dekonstruksi.
Page 12 of 12