Anda di halaman 1dari 3

ANGGARAN KESEHATAN IBU ANAK DI DAERAH : Rendahnya kepemilikan program KIA di daerah

Studi Kasus di 4 kab/kota (Merauke, Sikka, Tasikmalaya, dan Pontianak) Trisnantoro, L. Kurniawan, F. Harbianto, D. Abstrak Latar Belakang Relatif pelannya kemajuan pencapaian indikator kesehatan ibu dan anak, menunjukkan perlunya perbaikan besar besaran dalam system kesehatan. Disparitas geografis mempertegas perbedaanperbedaan kondisi dan hambatan yang ada dalam pencapaian indicator tersebut. Situasi ini sangat kontras dengan kondisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang masih terlihat bersifat sentralistis. Salah satunya adalah kebijakan dalam kesehatan ibu dan anak (KIA) yang masih banyak terjadi ketidaksesuaian antara strategi perencanaan dan pembiayaannya dengan implementasinya. Decentralisasi, jika dikelola dengan baik akan dapat memberikan ruang gerak bagi strategi kebijakan local yang berbasis kepada pemecahan masalah regional di tingkat propinsi dan kabupaten kota. Disisi lain, jika tidak dikelola dengan benar, justru akan menjadi program yang kontraproduktif bagi pengembangan kebijakan kesehatan di daerah, seperti yang terjadi dalam beberapa decade terakhir ini. Isu utama kebjiakan pembiayaan dalam era desentralisasi adalah bagaimana meningkatkan kepemilikan program KIA oleh pemerintah daerah dan memobilisasi dana yang ada untuk kegiatan pencapaian indicator KIA. Sampai saat ini belum terlihat adanya agenda kebijakan untuk memobilisasi dana daerah dalam rangka mendukung prioritasasi program KIA ini, sedangkan ketergantungan akan dana pusat semakin membesar dan pemerintah pusat sendiri memiliki keterbatasan anggaran. Salah satu tantangan utama bagi pengambil kebjiakan di daerah adalah membuat suatu rencana dan menyediakan anggaran implementasi kebjiakan yang berbasis kepada data dan bukti (evidence). Tidak ada data tersedia mengenai efektifitas biaya intervensi dalam KIA dan kurangnya studi-studi tentang penganggaran costing KIA, baik dari tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Selain itu juga terbatasnya penelitian-penelitian yang berbasis kepada intervensi di tingkat keluarga, klinis individu dan populasi tentang program dan pembiayaan KIA di tingkat daerah sampai dengan pusat. Hal penting lainnya adalah tidak ada analisis yangn komprehensif untuk perencanaan alokasi anggaran yang tersedia menggunakan analisis ruang fiscal untuk pembiayaan KIA, meskipun data pendukungnya seperti kondisi social ekonomi dan geografi, serta beberapa indicator KIA, relative lengkap sebagai data pendukung. Beberapa point penting diatas menimbulkan hambatan dan ketimpangan informasi sebagai dasar perencanaan pembiayaan kesehatan program KIA pada khususnya dan program pencapaian MDG 4 dan 5 pada umumnya.

Metodologi Studi ini menerapkan metode analisis deskriptif dengan menggunakan data kuantitatif yang dikumpulkan dari ke-4 daerah studi (Kab. Merauke, Kab Sikka, Kota Pontianak dan Kota Tasikmalaya). Unit analisisnya adalah dana-dana/anggaran pembiayaan yang digunakan dalam program KIA dan

penunjangnya, baik dana pusat, propinsi dan kabupaten kota, dalam kurun waktu 2 tahun terakhir, tahun 2008 dan 2009. Tujuan Menganalisis dan menjelaskan situasi pembiayaan kesehatan dengan meloihat kontribusi sumbersumber pembiayaan program KIA, dalam kaitannya melihat kontribusi pemerintah daerah dalam rangka pencapaian target indicator MDG 4 dan 5. Komitment pemerintah daerah melalui kontribusi pendanaan KIA inilah yang menajdi tujuan analisis kepemilikan daerah terhadap program KIA, sehingga bias menjawab pertanyaan penelitian; bagaimana tanggung jawab pemerintah daerah terhadap pembiayaan KIA? Apakah tanggung pusat atau kontribusi bersama? Hasil Latar belakang studi ini menyatakan bahwa salah satu tantangan utama bagi pengambil kebijakan dan perencana program kesehatan adalah bagaimana menyediakan dana yang cukup bagi intervensi dan prioritas program, seperti kegiatan KIA. Adanya pernyataan khusus secara nasional dalam dokumen rencana strategis kesehatan, bahwa program KIA merupakan program prioritas utama dalam pembangunan kesehatan baik dilevel pusat dan daerah, namun hal ini tidak manjamin prioritas penyediaan dananya di tingkat propinsi dan kabupaten kota. Secara teori, pendanaan nasional program KIA ini telah tertuang dalam rencana strategis kegiatan, tetapi tidak diikuti dengan rekomendasi, bagaimana aplikasinya di tingkat pemerintah daerah. Dalam 5 tahun terakhir ini, ada indikasi bahwa pendanaan program KIA ini mengalami penurunan, yang disebabkan oleh adanya realokasi dana bagi penjaminan kesehatan masyarakat miskin melalui skema JAMKESMAS. Namun demikian, dokumen yang telah direncanakan secara baik oleh pemerintah pusat, sehingga walaupun ada pengurangan dalam pendanaan akibat adanya program jaminan tersebut, program KIA masih diupayakan menjadi program prioritas utama dalam pembiayaan kesehatan oleh pemerintah pusat. Hasil analisis awal dengan menggunakan data yang ada menunjukkan bahwa kontribusi pembiayaan KIA yang terbesar di tingkat daerah, masih bersumber dari pembiayaan dari pemerintah pusat (Dana kementrian kesehatan, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Dekonsentrasi). Secara rata-rata, untuk sumber pembiayaan, APBN pusat mempunyai kontribusi sebesar 57%, ditambahkan dana pusat yang didaerahkan (DAK dan decon) sebesar 13%. Sedangkan kontribusi local melalui APBD (Dana Pendamping) sebesar 7%, dan alokasi APBD untuk program inisiatif KIA di daerah sebesar 14%, selain itu juga ada beberapa daerah yang menerima donor dari luar untuk kegiatan program 9%. Apabila dibandingkan dengan pembiayaan kesehatan lokal (total APBD kesehatan), proporsi untuk kegiatan KIA hanya sekitar 2% dari APBD kesehatan atau sekitar 18% jika termasuk gaji dan pembiayaan rutin terkait dengan program KIA. Pada kasus di 4 kab/kota tersebut, sangat terlihat bahwa KIA masih merupakan program kesehatan yang tersentralisasi dari pemerintah pusat, minimal dari sisi jumlah dana yang diterima. Kontribusi local (pemerintah daerah kabupaten dan kota) sangat relative kecil. Selama kurun waktu 4 tahun terakhir, program KIA telah menjadi tanggung-jawab pemerintah pusat. Pemerintah pusat sangat konsern dengan pencapaian target MDG 4 dan 5, dan hal ini diwujudkan dengan memberikan tambahan dana. Dan karena alas an tersbut, pemerintah daerah merasa tidak bertanggung jawab secara financial atas pendanaan program KIA tersebut. Hal ini yang kemudian diasumsikan bahwa daerah memiliki komitment yang kurang terhadap program KIA.

Conclusion Adanya proporsi pendanaan pemerintah pusat yang semakin tinggi untuk program KIA ini, menimbulkan masalah serius dalam penentuan program intervensi di daerah. KOntribusi intervensi local menjadi semakin kecil, sehingga menyebabkan ownership pemerintah daerah terhadap kegiatan KIA ini juga semakin menurun. Hal ini yang kemudian ditunjukkan menjadi semakin kecilnya kontribusi pemerintah daerah dalam pendanaan menjadi relatif kecil. Walaupun secara umum, masalah yang ditimbulkan juga bukan hanya masalah prioritas program, tetapi yang utama justru masalah ketersediaan dana itu sendiri di daerah dan juga disparitas antar daerah. Hal tersebut masih merupakan hal problematic dalam kaitannya dengan system pemerntahan yang sudah terdesentralisasi. Bisa disimpulkan bahwa rendahnya komitmen daerah untuk kegiatan KIA ini adalah sebagai berikut; disparitas dan rendahnya kapasitas fiscal daerah, komitment politik local terhadap program KIA akibat kebijakan pusat yang tidak sejalan dengan rencana strategis kesehatan daerah serta, memang kurangnya rasa memilki kewajiban terhadap pencapaian target indicator MDG 4 dan 5, khususnya program KIA, Keyword: health financing, local commitment, budget allocation

Anda mungkin juga menyukai