Anda di halaman 1dari 0

IV.

HASlL DAN PEMBAHASAN


Pada penelitian ini dilakukan berbagai tahapan ekstraksi dengan tujuan untuk
menggali kemungkinan pemanfaatan sifat antimikroba ekstrak dan fraksi. Ekstraksi
dilakukan dengan cara distilasi untuk memperoleh minyak atsiri dan ekstraksi
menggunakan pelarut organik untuk dapat mengekstrak berbagai jenis senyawa
yang terdapat pada lengkuas. Selanjutnya, untuk ekstrak yang mempunyai aktivitas
antimikroba tertinggi dilakukan studi kestabilan aktivitas dan fraksinasi agar diperoleh
fraksi aktif yang diperkirakan mempunyai aktivitas antimikroba yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ekstraknya. Selain itu dilakukan juga identifikasi komponen
yang terdapat pada fraksi teraktif tersebut.
A. PENGARUH JENlS DAN UMUR LENGKUAS TERHADAP AKTlVlTAS
ANTlMlKROBA EKSTRAK LENGKUAS
Lengkuas dijumpai dalam beberapa jenis seperti lengkuas putih dan lengkuas
merah. Selain itu pada penggunaannya dikenal juga jenis lengkuas muda dan
lengkuas tua. Diperkirakan setiap jenis dan umur lengkuas mempunyai aktivitas
antimikroba yang berbeda. Karenanya perlu ditetapkan jenis dan umur lengkuas
yang paling potensial sebagai sumber senyawa antimikroba. Pada penentuan jenis
dan umur lengkuas yang paling potensial aktivitas antimikrobanya dilakukan proses
ekstraksi menggunakan pelarut air. Hal ini dilakukan mengingat bahwa selama ini
pemakaian lengkuas untuk bumbu daIarn makanan tradisional rnenggunakan air
sebagai pelarut. Pada ekstrak dengan pelarut air diharapkan terkandung komponen
flavonoid dan fenolik yang bersifat antimikroba.
Ekstrak lengkuas pada penelitian ini telah disterilisasi terlebih dahulu
mengingat bahwa rimpang lengkuas juga rnerupakan bahan pangan yang dapat
dicemari oleh mikroba. Penelitian Lienni (1991) menunjukkan bahwa sterilisasi
menggunakan otoklaf (12I0C, 15 menit) tidak mempengaruhi aktivitas antimikroba
yang ada pada ekstrak jahe terhadap pertumbuhan E. coli, Salmonella sp. dan
V. choleme.
Pencemaran rimpang lengkuas dapat disebabkan oleh bakteri maupun
kapang. Hadat et al. (1987) membuktikan bahwa dari rimpang lengkuas segar
berhasil diisolasi bakteri dan kapang sebagai mikroflora alami lengkuas. Bakteri
Pseudomonas sp. dijumpai pada lengkuas yang juga dijumpai pada rimpang
Zingibemceae lainnya seperti kunyit, kencur dan temulawak. Jenis kapang yang
dijumpai pada lengkuas adalah Trichoderma sp, A. niger dan Rhizoctonia sp. Pada
lengkuas segar yang berasal dari pasar telah diisolasi kapang Penicillium sp. dan
Sclerotium sp. Di tingkat pedagang yang telah menyimpan lengkuas dalam waktu
relatif lama, dijurnpai kapang jenis A. flavus, F. moniliforme, Rhizocfonia sp. dan
Sclerotium sp. (Mulya et al.. 1987).
Pengujian untuk melihat pengaruh jenis dan umur lengkuas terhadap aktivitas
antirnikroba dilakukan pada mikroba uji bakteri L. monocytogenes, 6. cereus,
S. aumus, S. typhimurium. E. coli, V. cholerae, P. aeruginosa serta kapang A. flavus,
P. funiculosum, dan R. oligospoms.
3. Zona Hambat Pertumbuhan Bakteri
Pengaruh jenis dan umur lengkuas terhadap daya antimikroba ekstrak
lengkuas dilihat dengan metode difusi sumur menggunakan ekstrak lengkuas. Hasil
analisis aktivitas antimikroba ekstrak tengkuas terhadap bakteri dengan metode difusi
sumur dengan jumlah mikroba uji 10' kolonjlml menunjukkan hasil bahwa aktivitas
antimikroba yang kuat terdapat pada lengkuas muda (umur 3 bulan), yaitu rata-rata
menunjukkan zona hambat sebesar 7,6 mm dibandingkan dengan lengkuas tua
(umur 12 bulan) yang memberikan zona hambat sebesar 4.5 mm untuk pengujian
ekstrak lengkuas merah (Gambar 10 dan Lampiran 2).
Jenis bakteri
Gambar 10. Pengaruh jenis dan umur lengkuas pada konsentrasi ekstrak 70 mglml
terhadap zona hambat pertumbuhan bakteri.
Aktivitas lengkuas merah mempunyai daya antimikroba yang lebih kuat
daripada lengkuas putih yang ditunjukkan pada baMeri uji V. cholerae yang
memberikan zona hambat sebesar 13.9 mm akibat aktivitas lengkuas merah
dibandingkan hanya 12.3 mm pada lengkuas putih. Hasil pengujian dengan
menggunakan metode difusi sumur juga memperlihatkan bahwa V. cholerae adalah
bakteri Gram negatif yang peka, serta L. monocytogenes merupakan bakteri Gram
positif yang peka dibandingkan dengan berbagai jenis bakteri uji lainnya. Kepekaan
tersebut terlihat dari zona hambat pertumbuhan yang besarnya masing-masing 15,3
dan 5.4 mm akibat adanya ekstrak lengkuas muda merah
Pada penelitian ini juga terlihat bahwa spektrum antimikroba Iengkuas merah
lebih luas dibandingkan dengan lengkuas putih. Efektivitas pengujian antirnikroba
sangat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah mikroba uji, sifat komponen antirnikroba,
sifat medium dan prosedur pengujiannya (Parish dan Davidson, 1993). Dalarn ha1 ini
jumlah mikroba. medium dan prosedur pengujiannya sudah sama sehingga
perbedaan yang ada dapat disebabkan karena sifat komponen antimikroba yang
terdapat pada lengkuas baik dari jenis, kualitas maupun kuantitasnya. Pada metode
difusi sumur, pertumbuhan mikroba yang berada pada agar dihambat oleh
antimikroba yang berada dalarn sumur sehingga dibutuhkan suatu jurnlah
antimikroba yang relatif sedikit yang mempunyai aktivitas yang besar agar pengaruh
penghambatannya dapat terlihat dengan jelas.
2. Konsentrasi Minimum Penghambatan (MfC)
Untuk menguatkan hasil yang diperoleh dilakukan juga inaktivasi rnikroba oleh
ekstrak lengkuas menggunakan metode agar cawan dan dinyatakan dengan MIC.
Dalarn penelitian ini MIC dinyatakan sebagai konsentrasi terendah ekstrak lengkuas
yang dapat meniadakan pertumbuhan mikroba selama waktu inkubasi 48 jam.
Penentuan waktu inkubasi setama 48 jam didasarkan pada penelitian lainnya yang
menggunakan ekstrak air bagian tanaman untuk menentuan MIC dilakukan batasan
waktu 48 jam (Natawirya, 1987; Maoz dan Neeman, 1998).
Pada tahap penentuan MIC ekstrak lengkuas juga terlihat adanya perbedaan
daya antimikroba antara jenis dan umur lengkuas yang diuji. Hasilnya relatif sarna
dengan pengukuran menggunakan metode difusi sumur. Pada penentuan MfC
ekstrak lengkuas, antimikroba ditempatkan pada agar sedangkan rnikroba uji
(10" koloni/ml) digoreskan diatasnya. Sedangkan pada metode difusi sumur mikroba
berada dalam agar dan antimikroba diletakkan di dalarn surnur agar. Untuk
membandingkan antara jenis iengkuas. dapat dilihat nilai MIC dari lengkuas tua dari
jenis merah dan jenis putih. sedangkan untuk rnembandingkan pengaruh umur
lengkuas dapat dilihat nilai MIC lengkuas rnerah. Lengkuas rnerah rnernberikan daya
antimikroba yang lebitr tinggi dibandingkan dengan lengkuas putih untuk sernua
bakteri yang diuji yaitu rata-rata rnemberikan nilai MIC 16,s mgfrnl pada lengkuas
rnerah dibandingkan dengan 20.6 mglml pada lengkuas jenis putih. Pada lengkuas
rnerah juga dapat dilihat bahwa lengkuas yang rnasih rnuda mernpunyai aktivitas
antimikroba yang jauh Iebih tinggi (hampir dua kali lebih kuat) dibandingkan dengan
lengkuas yang sudah tua yaitu rnernpunyai nilai MIC rata-raw sebesar 9.3 mglrnl
pada lengkuas yang rnuda dan 16.9 mg/ml pada yang tua (Gambar 11 dan Larnpiran
3).
Ketahanan rnikroba uji yaitu beberapa jenis bakteri patogen dan perusak
terhadap antirnikroba yang terkandung dalarn ekstrak lengkuas juga dapat dilihat
pada Garnbar 11. Bakteri Gram negatif yang paling peka adalah V. choleme dengan
konsentrasi minimum pengharnbatan 6 rng/rnl ekstrak lengkuas rnuda, sedangkan
dari golongan bakteri Gram positif yang paling peka adaiah B. cereus dan
L. monocytogenes dengan konsentrasi minimum penghambatan 9 rngfml.
Nilai MIC dari bakteri Gram negatif lainnya seperti E. coli, S. typhimurium dan
P. aeruginosa iidak banyak berbeda satu dengan lainnya, baik terhadap ekstrak
lengkuas merah rnaupun putih, dan lengkuas tua rnaupun lengkuas rnuda. Bakteri
yang paling tahan terhadap ekstrak lengkuas, baik dengan rnetode MlC rnaupun
dengan rnetode difusi surnur, adalah S. aumus.
Hasil penelitian Natawirya (1987) menunjukkan bahwa lengkuas masih
bersifat bakteristatik pada konsentrasi 23 mg bubuk Irnl medium NB terhadap
perturnbuhan Leuconostoc sp. dengan rnetode hitungan cawan. Jenie et al. (1992)
yang rnenguji efektivitas ekstrak jahe dengan metode hitungan cawan menunjukkan
hasil bahwa bubuk jahe pada konsentrasi 20 mglml medium bersifat bakterisidal
terhadap pertumbuhan Leuconosfoc sp.
Jenis bakteri
I
Gambar 11. Perrgaruh jenis dan urnur lengkuas terhadap nilai MIC berbagai jenis
bakteri.
Dengan demikian terlihat bahwa ekstrak lengkuas mempunyai aktivitas
antimikroba yang relatif sama dengan ekstrak jahe. Namun bila dibandingkan dengan
hasil penelitian ini terlihat bahwa S. aureus merupakan bakteri yang paling tahan
terhadap lengkuas dibandingkan dengan bakteri patogen dan perusak lainnya yaitu
mempunyai MIC 35 mg bubuk Iml medium. Selain itu bila dibandingkan dengan
rempah-rempah Iainnya terlihat bahwa aktivitas antimikroba rimpang lengkuas (MIC
8 mglml) tidak berbeda jauh dengan aktivitas antimikroba bawang merah (MIC
10 mglml) terhadap bakteri uji S. typhimurium (Johnson dan Vaughn, 1969) namun
lebih rendah bila dibandingkan dengan ekstrak rosemari dengan MIC 1 mglml
(Farbood et al., 1976).
Tabak et al. (1996) telah membandingkan pengukuran rnenggunakan medium
padat dan medium cair untuk melihat pengaruh ekstrak thyme pada bakteri
Helicobacfer pylon. Dikemukakan bahwa penghambatan timol lebih efektif pada
medium cair dibandingkan dengan medium padat, pada konsentrasi timol 3.5 mglml
penghambatannya pada medium padat masih dapat teramati, sedangkan pada
medium cair sudah mernbunuh semua bakteri yang ada. Demikian juga yang telah
dilakukan oleh Wan et al. (1998). minyak basil tidak memberikan pengaruh
penghambabn terhadap P. fluorescens dengan metode difusi agar, sedangkan bila
menggunakan medium cair, penga~h penghambatan dapat terlihat. Hal ini
disebabkan karena adanya perbedaan laju difusi antimikroba pada jenis media yang
berbeda. Pada media padat, laju difusi antimikroba akan tertahan dengan adanya
agar pada medium.
3. Daya Hambat Pertumbuhan Bakteri Secara Deskriptif
Untuk mengetahui pengaruh umur dan jenis lengkuas terhadap aktivitas
antimikroba secara kuantitatif, maka dilakukan penentuan daya hambat dengan
metode deskriptif. Metode deskriptif dapat menjelaskan pengaruh antimikroba selama
pertumbuhan mikroba dengan demikian dapat diketahui daya hambat dan pola
penghambatan ekstrak lengkuas pada waktu tertentu selama pertumbuhan mikroba
(Parish dan Davidson, 1993).
Pengujian dengan menggunakan medium cair diharapkan dapat memberikan
informasi yang lebih komprehensif. Youssef dan Tawil (1990) menyatakan bahwa
hasil pengujian aktivitas minyak atisiri menggunakan metode difusi agar dan metode
pengenceran tidak selalu memberikan hasil yang sama. Faktor yang sulit dikontrol
antara lain adalah daya larut ataupun laju evaporasi minyak atisiri selama pengujian.
Pengujian untuk melihat pengaruh jenis dan umur lengkuas terhadap daya
hambat pertumbuhan bakteri dilakukan pada konsentrasi ekstrak 25 mglml medium,
mengingat bahwa nilai MIC bakteri yang diuji umumnya dibawah konsentrasi tersebut
(Garnbar 11). Dengan konsentrasi ekstrak 25 mglml diharapkan pengaruh
penghambatan ekstrak lengkuas dapat terlihat dengan jelas, karena bila pengujian
menggunakan ekstrak lengkuas dengan konsentrasi yang lebih tinggi maka pengaruh
penghambatan akan terlampau besar sehingga pola pengharnbatannya tidak dapat
terlihat dengan jelas.
Pengaruh jenis dan umur Iengkuas terhadap daya hambat perturnbuhan
mikroba dapat dilihat pada Garnbar 12-14 serta Lampiran 4a -10b. Hasilnya
rnernperlihatkan bahwa daya harnbat maksirnum pada selang pengamatan 24 jam
setiap jenis rnikroba berbeda-beda tergantung dari jenis ekstrak dan waktu
kontaknya. Pengaruh waktu kontak pada perturnbuhan rnikroba yang dihambat oleh
ekstrak lengkuas dapat dilihat dengan jelas pada bakteri B. cereus,
L. monocytogenes dan S. aureus. B. cereus sangat peka terhadap ekstrak lengkuas
pada waktu kontak 6 jam, L. monocytogenes pada waktu kontak 12 jam dan
S. aureus pada waktu kontak 24 jam. Perbedaan waktu kontak terhadap kepekaan
bakteri disebabkan karena perbedaan waktu generasi setiap jenis mikroba juga
berbeda. Pada urnurnnya rnikroba peka terhadap senyawa antirnikroba pada saat
fase eksponensial karena pada saat itu sel rnernbutuhkan energi yang tinggi untuk
pertumbuhannya (Adam dan Moss, 1995).
Daya harnbat atau penurunan logaritma jumtah rnikroba dalam persen yang
ditimbulkan oleh ekstrak lengkuas dengan konsentrasi 25 mg/ml berkisar antara
20.5% yaitu akibat edanya ekstrak Lengkuas tua jenis putih terhadap S. aureus pada
waktu kontak 24 jam hingga 52.6% akibat ekstrak lengkuas muda jenis rnerah
terhadap perturnbuhan V. cholerae pada waktu kontak 24 jam.
w
50
-
E 40
C
to
a
s =
C
5 23
0
10
0
0 6 12 18 24
Waktu kontak (jam)
Gambar 12. Pengaruh ekstrak lengkuas muda jenis rnerah (25 mglml) terhadap daya
hambat (%) pertumbuhan bakteri dengan waktu pengamatan 0, 6, 12
dan 24 jam.
0 8 12 I 8 24
Waktu kontak (jam)
Gambar 13. Pengaruh ekstrak lengkuas tua jenis merah (25 mglml) terhadap
daya hambat (96) pertumbuhan bakteri dengan waktu pengarnatan
0,6,12 dan 24 jam.
Waktu kontak (Jam)
Garnbar 14. Pengaruh ekstrak lengkuas tua jenis putih (25 rng/rnl) terhadap daya
harnbat (%) perturnbuhan bakteri dengan waktu pengamatan 0.6.12
dan 24 jam.
Metode pengujian deskriptif ini juga rnemperlihatkan bahwa V. cholerae
merupakan bakteri yang paling peka terhadap ekstrak lengkuas dibandingkan
dengan bakteri golongan Gram negatif lainnya sebagaimana yang telah terbukti dari
rnetode penentuan MIC rnaupun dengan difusi surnur. Hal ini rnernbuktikan bahwa
ketiga rnetode yang digunakan untuk rnenguji aktivitas antirnikroba ekstrak lengkuas
yaitu rnetode difusi surnur. IMIC dan deskriptif walaupun mernpunyai perbedaan
prosedur pengujian narnun rnernberikan hasil pengujian yang sarna.
Perbedaan hasil ketiga jenis metode tersebut terutarna karena perbedaan
kuantitas ekstrak yang diuji. Pada setiap waktu kontak, daya hambat ekstrak
lengkuas muda jenis merah terhadap V. cholerae lebih tinggi dibandingkan terhadap
rnikroba uji yang lain. Sedangkan untuk ekstrak lengkuas tua merah maupun putih.
tidak mernberikan perbedaan daya hambat yang nyata.
Daya harnbat ekstrak lengkuas terhadap E. coli tidak berbeda banyak antara
ke tiga jenis tengkuas yang diuji. Daya harnbat pada waktu kontak 6, 12 dan 24 jam
juga tidak banyak berbeda yaitu berkisar antara 30-36 YO. Hal ini disebabkan karena
E. coli rnerupakan rnikroba yang relatif tahan terutarna pada fase stasioner karena
adanya perubahan kornposisi asarn lernak pada rnernbran daiarn dan peningkatan
lipopolisakarida pada rnernbran luar. Perubahan tersebut rnernperlihatkan
peningkatan ketahanan membran tei-hadap pengaruh bahan perusak (Ivanov dan
Fanchenkov. 1989). Pemyataan ini diperkuat oleh Cox et al. (1998) yang
rnenyatakan bahwa minyak atsiri daun teh febih efektif terhadap penghambatan
E. col i pada fase eksponensial dibandingkan fase stasioner karena rnengharnbat
respirasi dan rnenstirnulir kebowran ion kaliurn instraseluler. Selain itu akurnulasi
yang tinggi dari kornponen lipofilik pada membran set E. coli menyebabkan
kornponen yang bersifat lipofilik lebih rnarnpu rnenernbus membran sehingga
rnerusak permukaan rnernbran (Sikkerna et al., 1995).
Pengujian rnenggunakan rnetode deskriptif rnernberikan hasil bahwa
S. aureus dapat diharnbat dengan cukup baik oleh ekstrak lengkuas yang tidak
narnpak pada rnetode penentuan MIC rnaupun untuk rnetode difusi sumur. Hal ini
dapat disebabkan karena adanya perbedaan pada pernbuatan ekstrak yang
digunakan untuk analisis. Ekstrak lengkuas untuk penentuan MIC adalah ekstrak
yang diperoleh dengan menyaring suspensi lengkuas sehingga ampasnya terpisah.
Sedangkan ekstrak Iengkuas untuk pengujian dengan metode deskriptif selain telah
disaring juga telah disentrifus.
Pada rnetode MIC, ekstrak yang digunakan rnasih rnengandung komponen
yang dapat digunakan untuk menstirnulir perturnbuhan S. aureus sehingga nilai MIC
nya relatif tinggi. Diperkirakan kornponen yang rnasih dapat rnernbantu pertumbuhan
rnikroba tersebut adalah kornponen nutrisi seperti pati dan protein. Sedangkan pada
rnetode deskriptif kemungkinan adanya kornponen yang rnenstimulir pertumbuhan
tersebut telah dikurangi dengan cara sentrifugasi yang akan rnengendapkan
sebagian pati dan protein sehingga sebagian pati dan protein akan terpisah dari
supematan yang digunakan pada uji.
Efektivitas antirnikroba ekstrak lengkuas tertinggi terhadap 8. cemus dicapai
pada waktu kontak 6 jam, yaitu dengan daya hambat sekitar 39% pada konsentrasi
ekstrak lengkuas 25 rnglrnl yang tidak berbeda untuk setiap jenis lengkuas. Hal ini
kemungkinan karena pada waktu kontak 6 jam spora bakteri belum terbentuk karena
rnasih dalarn fase eksponensial yang peka terhadap perlakuan fisik rnaupun kirnia.
Endospora biasanya mulai dibentuk setelah fase stasioner pada kurva perturnbuhan
rnikroba yaitu pada kondisi yang rnenekan pertumbuhan sel vegetatif. Kornponen
dalam rernpah-rempah dapat menyebabkan perturnbuhan sel vegetatif terganggu
walaupun tidak rnempengaruhi gerrninasi spora, seperti yang tejadi pada 8. subtilis
yang disimpan dalarn suspensi cengkeh {Al-Wayat den Blank, 1985). Spora bersifat
tahan terhadap lingkungan, dan pada masa gerrninasi rnaupun perturnbuhan, spora
dapat kehilangan daya tahannya terhadap pengaruh panas, radiasi, tekanan.
kekeringan, dan beberapa senyawa kimia, sehingga ketahanannya sama dengan sel
vegetatifnya. Antirnikroba ada yang rnempengaruhi proses gerrninasi spora. narnun
ada juga yang rnernpengaruhi perturnbuhan spora (Russell, 1990).
Pada pengujian rnenggunakan ekstrak Iengkuas terlihat bahwa secara urnurn
ketahanan bakteri Gram negatif lebih rendah dibandingkan dengan bakteri Gram
positif. Perbedaan ini disebabkan perbedaan alarniah antara kedua golongan bakteri
tersebut. Menurut Gorrnan (1993) pada bakteri Gram negatif terdapat sisi hidrofilik
yaitu gugus karboksil. amino, fosfat dan hidroksil yang peka terhadap senyawa polar.
Sedangkan kepekaan bakteri Gram positif terutama S. aureus disebabkan karena
pada bakteri kokus Gram positif tidak terdapat molekul reseptor spesifik untuk
membantu penetrasi antimikroba dan susunan matriknya terbuka (Russell. 1991).
Konsekuensinya antimikroba dapat berpenetrasi dengan mudah dan ketahanan
intrinsiknya lemah. Ketahanan bakteri terhadap bahan antimikroba dapat juga
disebabkan karena bakteri telah mengalami mutasi, atau karena terjadi peningkatan
ketahanan karena adanya perpindahan plasmid (Fardiaz. 1989).
Dengan rnernbandingkan aktivitas antimikroba ekstrak dari berbagai jenis
lengkuas terhadap bakteri uji seperti telah diuraikan tersebut diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa lengkuas muda jenis merah terbukti lebih efektif dalam
menghambat mikroba uji terutama ditunjukkan dari hasil pengujian menggunakan
4. Daya Hambat Pertumbuhan Kapang
Pengaruh jenis dan umur lengkuas terhadap daya antifungi diujikan pada
kapang. Gambar 15 hingga 17 dan Lampiran 11 hingga 19 memperlihatkan hasil
yang diperoleh dari pengujian ekstrak lengkuas terhadap kapang uji yaitu
R. oligospoms, P. funiculosum dan A. flavus.
Pola pertumbuhan kapang yang ditunjukkan pada Gambar 15-17
menggambarkan po[a yang serupa untuk setiap jenis kapang karena pengaruh
ekstrak dari tiga jenis lengkuas. Pengaruh lengkuas terhadap R. oligospoms yaitu
memperpanjang fase adaptasi pertumbuhan kapang hingga jam ke 12 dan hingga
jam ke 18 untuk konsentrasi lengkuas yang lebih besar, sedangkan untuk
P. funiculosum dan A. flavus fase adaptasi tersebut hanya dapat diperpanjang
hingga jam ke 12 dari hanya 6 jam pada pertumbuhan kapang pada media tanpa
ekstrsk lengkuas.
I
Waktu pertumbuhan kolonl Oam)
I
0 6 12 18 24 30 36 42 48
Waktu pertumbuhan kotonl (/am)
Waktu pertumbuhan kotanl Uam)
I
Gambar 15. Pengaruh ekstrak lengkuas muda jenis merah pada konsentrasi
0-25 rnglml terhadap pertumbuhan kapang.
0 6 12 $8 24 30 36 42
Waktu pertumbuhan kolonl (jam)
0 6 12 18 24 30 36 42 48
Waktu pertumbuhan kolonl (jam)
0 6 12 18 24 30 36 42
Waktu pertumbuhan koloni Uaml
Garnbar 16. Penga~h ekstrak lengkuas tua jenis merah pada konsentrasi
0-25 rnglrnl terhadap pertumbuhan kapang.
I
Waktu pertumbuhan koloni uam)
I Waktu pertumbuhan koloni (jam) I
0 6 12 18 24 30 36 42
Waktu pertum buhan kolonl (jam)
Gambar 17. Pengamh ekstrak lengkuas tua jenis putih pada konsentrasi
0-25 mg/ml terhadap perturnbuhan kapang.
Fase adaptasi dari mikroba dapat dipengaruhi oleh adanya bahan kimia,
pemanasan, pendinginan dan perlakuan fisiko-kimia lainnya (Adam dan Moss, 1995).
Pada penelitian ini tertihat bahwa ekstrak lengkuas dapat rnemperpanjang fase
adaptasi dan pada fase adaptasi tersebut pertumbuhan sel kapang dengan
perlakuan penambahan ekstrak lengkuas rnungkin belum te rjadi karena pada saat itu
kapang masih dalarn tahap penyembuhan kerusakan yang rnungkin timbul akibat
adanya ekstrak lengkuas atau tejadi sintesis enzim-enzim yang diperlukan oleh
kapang untuk tumbuh. Setelah fase adaptasi terlewati, maka pola pertumbuhan
kapang selanjutnya sama dengan pertumbuhan kapang kontrol, dengan diameter
pertumbuhan yang Iebih kecil.
Pertumbuhan kapang secara retatif yang dinyatakan dengan NPR dilihat
dengan membandingkan diameter pertumbuhan kapang pada media PDA yang
mengandung ekstrak lengkuas dengan diameter pertumbuhan kapang pada media
tanpa ekstrak lengkuas pada jam ke 48. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 18 dan
Lampiran 20 yang akan mempejelas penga~h konsentrasi lengkuas terhadap
pertumbuhan kapang.
Daya hambat lengkuas muda jenis merah dengan konsentrasi 25 mglml
terhadap R. oligosponrs dapat ditunjukkan dengan NPR sebesar 0,65 sedangkan
pada A. flavus adalah 0.71. Bila dibandingkan dengan penelitian menggunakan
ekstrak jahe dengan konsentrasi yang sama terlihat bahwa untuk A. niger nilai daya
hambatnya 0.66 (Jenie et al., 1992). Hal ini memperlihatkan bahwa kedua jenis
rempah-rempah tersebut mempunyai daya antirnikroba terutama terhadap kapang
yang retatif sama kuatnya.
I
lengkuas muda jenis merah
1
1.2 T lengkuas tua jenls merah
R. oligosporus P. funiculosum A. flaws
Jenls kapang
1
lengkuas tua Jenis putlh
I
I
R. oligosporus P. fi~niculosum A. flaws
I
Jenls kapang
Gambar 18. Pengaruh ekstrak lengkuas pada konsentrasi 525 mglml tet-hadap NPR
kapang.
Pada umumnya pada media yang mengandung ekstrak lengkuas muda jenis
merah telah terlihat adanya pengaruh penghambatan terhadap pertumbuhan kapang
mulai dari konsentrasi 5 mglml dan pengaruh pengharnbatan tenebut akan semakin
meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak lengkuas. Namun
penghambatan pertumbuhan kapang tidak lebih dari nitai NPR 0,65. Ketahanan
kapang terhadap antimikroba disebabkan karena struktur alami dinding selnya.
Dinding sel kapang yang banyak mengandung polimer glukosa dengan ikatan p- 1.3
dan khitin (Fardiaz, 1989) mempakan penangkal dari senyawa antimikroba.
Pengujian memperlihatkan bahwa pengaruh jenis dan urnur lengkuas relatif hampir
sama terhadap setiap kapang yang diuji.
Ariani et al. (1999) yang rneneliti perbedaan pengaruh ekstrak rimpang
lengkuas merah dan putih menyatakan bahwa terhadap kapang penyebab dermatitis
yaitu Trichophyton ajelloi, ekstrak lengkuas merah mernpunyai aktivitas yang lebih
kuat dibandingkan dengan ekstrak lengkuas putih.
Perbedaan efektivitas ekstrak lengkuas terhadap kapang dan bakteri dapat
dilihat dari nilai NPR kapang dan bakteri. Pada kapang NPR dinyatakan dengan
perbandingan diameter pertumbuhan koloni pada jam ke 48 pada perlakuan
penambahan ekstrak lengkuas dengan tanpa penambahan eksbak lengkuas.
Sedangkan pada bakteri NPR dinyatakan dengan perbandingan jurnlah pertumbuhan
koloni (log koloni) pada jam ke 24 pada perlakuan penambahan ekstrak lengkuas
dibandingkan dengan tanpa penambahan ekstrak lengkuas. Perhitungan yang
dilakukan untuk melihat efektivitas ekstrak lengkuas terhadap pertumbuhan kapang
dan bakteri dilakukan dengan data pada penghambatan akibat ekstrak lengkuas
muda merah pada konsentrasi 25 mglml. Kisaran nilai NPR kapang yang diuji adalah
0.650,71 dart nilai NPR bakieri 0.48-0.75- Secara relatif V. choteme (NPR= 0.48)
dan S.aureus (NPR= 0.50) lebih peka dari kapang, sedangkan bakteri lainnya
S. typhimurium (NPR= 0,62), L. monocytogenes (NPR= 0,63), E. coli (NPR= 0,67),
P. aeruginosa (NPR= 0.68) dan B. cereus (NPR=0,75) mempunyai kepekaan yang
relatif sama. Secara umum bakteri lebih tahan tehadap antimikroba dibandingkan
dengan kapang (Zaika, 1988) namun ha1 ini tentunya hams dibuktikan dengan
metode pengujian yang sama.
Daya antimikroba yang tinggi pada lengkuas merah dan pada lengkuas muda
dapat disebabkan karena kandungan senyawa bioaktif yang relatif berbeda baik dari
segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Adapun perbedaan komponen yang
terdapat pada berbagai jenis lengkuas tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Pada
Tabel 8 terlihat bahwa lengkuas merah mempunyai kadar minyak atsiri dan beberapa
komponen lain seperti komponen yang lamt air yang lebih tinggi dibandingkan
dengan lengkuas putih. Kornponen bioaktif lengkuas dapat bersifat lamt dalarn air
seperti beberapa senyawa fenolik. larut dalam etanol seperti beberapa senyawa
flavonoid yang sangat termetilasi dan terdapat dalam minyak atsiri seperti senyawa
terpenoid (Robinson, 1995).
Tabel 8. Hasil analisis kimiawi bubuk lengkuas (kadar bahan, % bk)"
Pada urnumnya rendemen rninyak atsiri Iengkuas berkisar antara
0,15 hingga 1.5% (Heyne,l987) tergantung dari ikiim, keadaan tanah, dan faktor
ekologi serta kondisi ekstraksi. Pada penelitian ini kadar minyak atisiri berkisar antara
0,150.224b ( vh) , sehingga rnasih ada dalam kisaran minyak atsiri lengkuas yang
dinyalakan oleh Heyne (1987).
Sebagai perbandingan dengan jenis rempah lainnya, antara lain dapat
dibandingkan dengan jahe karena jahe satu famili dengan lengkuas (Zingiberaceae).
Selain itu penelitian terhadap jahe retatif telah banyak dilakukan. Penelitian yang
dilakukan oleh Yuliani dan Risfaheri (1990) pada berbagai jenis jahe menunjukkan
bahwa jahe rnerah rnempunyai kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi (3.9%)
dibandingkan dengan jahe putih, yaitu jahe ernprit (3.3%) dan jahe jenis badak
(1 .Soh). Hasil analisis minyak atsiri tersebut dengan krornatografi gas menunjukkan
bahwa jahe rnerah mempunyai jurnlah kornponen yang lebih banyak dibandingkan
dengan jahe putih, dan salah satu komponen yang terdapat pada jahe rnerah
rnaupun jahe putih mernpunyai jumlah yang lebih besar pada jahe merah
dibandingkan yang ada pada jahe putih.
Pada lengkuas muda, kadar rninyak atsirinya relatif lebih tinggi (0.22%)
dibandingkan dengan lengkuas tua (0.15%). Demikian juga kadar komponen yang
larut dalam air lebih tinggi pada lengkuas muda (4,48%) dibandingkan pada lengkuas
tua (2.79%). Hal ini dapat terjadi karena setiap tanaman mempunyai waktu tertentu
untuk dapat memproduksi rninyak atsiri yang tinggi. Sebagai perbandingan,
perbedaan kandungan komponen bioaktif antara bagian tanaman muda dan tua juga
pemah dilakukan oleh Nurjanah dan Mariska (1988). Pada daun cengkeh jenis
Sikotok kadar minyak atsiri daun muda berkisar antara 5.8% dibandingkan hanya
3,7Y0 pada daun tua, namun kadar eugenolnya retatif sama. Pada tanaman gambir,
daun rnuda rnernpunyai kadar rninyak atsiri (9.7%) dan katekin (48.89'0) yang lebih
tinggi dari pada yang berada pada daun tua, yaitu kadar rninyak atsirinya 8.4% dan
katekin 33.7% (Risfaheri dan Yanti, 1993).
Keberadaan minyak atsiri dalarn tanarnan rnerupakan hasil rnetabolit
sekunder yang disintesis dalarn sel glandula pada jaringan tanarnan. Dalarn
tanarnan, rninyak atsiri berfungsi sebagai penarik serangga, cadangan rnakanan. dan
rnencegah kerusakan sel. Selain itu Siliker (1980) rnenyatakan bahwa adakalanya
rninyak atsiri rernpah-rernpah dapat rnenarnbah aktivitas zat lain yang bersifat
antirnikroba, atau bahkan rninyak atsiri dapat berperan sebagai pengawet utama.
Pada rninyak atsiri terdapat senyawa fenolik (Houghton dan Rarnan, 1998) dan
senyawa fenolik rnerupakan senyawa yang dapat larut dalarn air sehingga pada
ekstrak lengkuas kontribusi rninyak atsiri terhadap aktivitas antirnikrobanya
dirnungkinkan.
Ekstraksi kornponen kirnia tanarnan rnenggunakan pelarut air dapat
rnenghasilkan gula, asam amino dan glikosida. Pada golongan glikosida terdapat
flavonoid (Houghton dan Rarnan, 1998). Kornponen Iarut air yang lebih tinggi pada
lengkuas rnuda (3 bulan) dibandingkan dengan lengkuas tua (12 bulan) kernungkinan
karena pada lengkuas yang relatif rnuda yang rnasih dalarn rnasa perturnbuhan
rnasih banyak terbentuk kornponen bioaktif yang larut air seperti kornponen golongan
navonoid dan fenolik. Komponen yang bersifat antirnikroba pada lengkuas yang larut
air antara lain adalah kuersetin yang termasuk golongan flavonol (Duke, 1994;
Gofflieb, 1995). Kornponen tersebut diperkirakan berfungsi untuk rnenangkal rnikroba
kontarninan. yang rnungkin dapat rnencemari rnasa awal perturnbuhan yang sangat
rentan terhadap gangguan dari luar (Harborne, 1996) ataupun sebagai insektisida
dan berdaya racun terhadap hewan tinggi (Duke, 1994; Robinson. 1995).
6. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK LENGKUAS
Pada tahapan penelitian pengaruh jenis dan umur lengkuas diperoleh hasil
bahwa ekstrak lengkuas rnuda jenis merah yang memberikan auvitas tertinggi
sehingga untuk tahapan penelitian selanjutnya digunakan lengkuas muda jenis
rnerah yang dalarn penyebutan selanjutnya adalah lengkuas.
Pada awalnya dilakukan ekstraksi dengan cara distilasi untuk mengekstrak
minyak atsiri dari rimpang lengkuas. Hal ini dilakukan karena telah terbukti bahwa
minyak atsiri dari berbagai jenis rempah-rempah bersifat sebagai antimikroba. Selain
itu dilakukan juge ekstraksi rnenggunakan heksana agar komponen yang bersifat
nonpolar seperti lilin, lemak dan minyak atsiri dapat dipisahkan dari rirnpang
lengkuas. Residu ekstrak heksana diekstraksi dengan metanol untuk memperoleh
komponen polar. Komponen polar yang mungkin terekstrak dalam metanol adalah
gula, asarn amino, alkaloid, aglikon dan glikosida. Ekstraksi lebih lanjut dari ekstrak
metanol rnenggunakan pelarut kloroform dan air dirnaksudkan agar dapat
mernisahkan kornponen yang dapat larut datam kloroform seperti alkaloid dan aglikon
serta kornponen yang dapat Iarut dalarn metanol-air seperti gula, asam amino dan
glikosida.
1. Rendemen Ekstrak Lengkuas
Pada ekstraksi lengkuas dengan pelarut yang dilakukan secara
berkesinambungan diperoleh minyak atsiri, ekstrak nonpolar yang terdiri dari ekstrak
heksana dan ekstrak polar yang terdiri dari ekstrak metanol. Selanjutnya dari ekstrak
polar diperoleh ekstrak kloroform dan ekstrak metanol-air (Garnbar 8).
Rendemen dari setiap pedakuan ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 9. Ekstrak
polar yang merupakan ekstrak metanol mernberikan rendemen yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ekstrak nonpolar yang merupakan ekstrak heksana,
sedangkan rendemen minyak atsiri sangat rendah yaitu hanya sekitar 0,2290.
Tabel 9. Data rendemen pembentukan ekstrak dengan berbagai jenis pelarut
"residu ekstraksi dengan heksana
"setelah dilakukan penguapan pelarut, kecuali pada minyak atsiri
Distilask bubuk lengkuas untuk memperoleh minyak atsiri dilakukan selama
8 jam pada bubuk Iengkuas kering yang mengacu pada cara distilasi jahe yang
dilakukan oleh Rusli (1990). Rusli (1990) menyatakan bahwa rendemen minyak atsiri
terbesar (3,75Y0) diperoleh dari jahe kering dengan kadar air 39,2% yang didistilasi
menggunakan uap dan air selama 8 jam. Sedangkan dari jahe basah dengan kadar
air 73.6% hanya memberikan rendemen minyak atsiri 3.05% untuk metode yang
sama. Sehingga pada penelitian ini dilakukan distilasi bubuk Iengkuas kering.
Rendemen minyak atsiri lengkuas yang pemah diteliti sangat bervariasi
jumlahnya. Rosdiyati (1980) menyatakan bahwa dari Iengkuas kering diperoleh
minyak atsiri sebanyak 0.27%. Mulyaningsih (1996) memperoleh 0.31% sedangkan
penelitian Pratiwi (1992) pada lengkuas merah dan lengkuas putih yang berasal dari
pasar menghasilkan minyak atsiri masing-masing adalah 0.44 dan 0,40%. Dengan
demikian dapat diperkirakan bahwa rendernen minyak atsiri lengkuas dipengaruhi
oleh beberapa ha1 yaitu tingkat kekeringan, urnur, jenis, metode serta perlakuan
sebelurn ekstraksi.
Rendemen ekstrak polar lengkuas lebih tinggi daripada ekstrak nonpolamya
yaitu rendernen ekstrak polar sekitar 4,3 kali ekstrak nonpotamya. Jika dibandingkan
dengan golongan Zingiberaceae lainnya seperti jahe, rendemen ekstrak lengkuas
dengan rnenggunakan pelarut heksana rnaupun metanol pada penelitian ini cukup
tinggi. Ekstraksi jahe untuk rnenghasilkan oleoresin seperti yang pemah dilakukan
oleh Wirakartakusumah et al. (1991) menunjukkan bahwa rendernen oleoresin jahe
tertinggi (7.9%) diperoleh dari hasii ekstraksi jahe gajah selama 2 jam dengan pelarut
etanot (IS. btv).
Tingginya rendemen ekstrak polar kngkuas dapat disebabkan karena
keberadaan kornponen polar yang dapat terekstrak dalam metanol pada lengkuas
lebih banyak dibandingkan komponen nonpolar yang dapat terekstrak oleh heksana.
Selain itu rendernen ekstrak po[ar yang tinggi dapat juga disebabkan karena masih
tersisanya pelarut metan01 dan air dari bahan baku dalarn ekstrak. Pada penelitian ini
penghilangan pelarut dilakukan dengan menggunakan vakurn robvapor pada suhu
4 0 ' ~ dan juga penghembusan dengan gas N2 hingga berat konstan. Titik didih
metanol dan air pada tekanan atrnosfer normal masing-masing adalah 69 dan 1 0 0 ~ ~
(Leonard et al., 1995). Lebih tingginya rendemen ekstrak polar juga diternukan oleh
Chang et al. (1977) yang rnengekstrak daun roseman dan mendapatkan rendemen
ekstrak metanol (5.3%) sebagai ekstrak polar 3,3 kati ekstrak nonpolamya (ekstrak
heksana I .6%).
Pernakaian panas pada pelarut rnetanol untuk mengekstrak lengkuas
rnernberikan rendemen yang lebih besar, karena pada penggunaan suhu yang lebih
tinggi proses kontak antar bahan dengan pelantt bejalan dengan lebih baik.
Akibatnya kemarnpuan peIarut untuk rnelarutkan tinggi pada saat pelarut panas dan
rendah pada saat pelarut dingin (Harwood dan Moody, 1989).
2. Aktiiitas Antimikrobs Ekstrak Lengkuas
Aktivitas antirnikroba dari setiap ekstrak lengkuas yang meliputi rninyak atsiri,
ekstrak nonpolar, ekstrak polar serta penga~h suhu ekstraksi pada ekstraksi untuk
menghasilkan ekstrak polar dan pengaruh Tween 80 pada pengujian minyak atsiri
terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Garnbar 1426 dan Lampiran 21-24. BakteFi uji
yang digunakan untuk rnelihat pengaruh ekstrak lengkuas ada 5 jenis yaitu dari jenis
bakteri Gram negatif V. cholerae dan P. aemginosa, bakteri Gram positif S. aumus,
L. monocytogenes dan 5. cereus yang sekaligus mewakili bakteri pembentuk spora,
sedangkan kapang uji adalah R. oligospoms dan A. flavus. Bakteri dan kapang yang
digunakan merupakan bakteri dan kapang yang peka terhadap ekstrak lengkuas
pada pengujian antimikroba sebelumnya.
a. Minyak atsiri
Pengaruh rninyak atsiri terhadap bakteri uji seperti yang dapat diamati pada
Garnbar 19, rnernperlihatkan bahwa 8. cereus adalah bakteri yang paling peka dari
golongan bakteri Gram positif dan V. cholerae adalah bakteri yang paling peka dari
golongan Gram negatif. Kepekaan tersebut juga terlihat dari zona hambat
perturnbuhan bakteri 8. cereus dan V. cholerae yang disebabkan rninyak atsiri yaitu
rnasing-masing 7.5 dan 6.1 mrn pada pengujian rninyak atsiri dengan konsentrasi
minyak 50h dibandingkan dengan bakteri lain yang mernpunyai zona hambat yang
lebih kecil.
Jenis bakteri
Gambar 19. Pengaruh rninyak atsiri lengkuas terhadap aktivitas antiinikroba.
Selain itu Mulyaningsih (1996) menemukan bahwa rninyak atsiri lengkuas
rnulai menunjukkan pengharnbatan pada konsentrasi minyak atsiri 12.5% dan pada
konsentrasi minyak atsiri 50% mernberikan zona hambat sekitar 10 mm terhadap
kamir C. albicans dan S. cerevisiae pada pengujian menggunakan kertas cakram.
Walaupun pengujian dilakukan dengan metode yang berbeda yaitu rnetode difusi
sumur untuk bakteri dan metode kertas cakram untuk karnir, namun secara relatif
keduanya dapat dibandingkan. Hasilnya memperlihatkan bahwa kamir (zona hambat
10 mrn) relatif lebih peka terhadap rninyak atsiri lengkuas dibandingkan dengan
bakteri (zona hambat <8 mm). Hal ini disebabkan karena dinding sel kamir hanya
sedikit atau tidak ada sama sekali mengandung khi n yang merupakan sistem
perlindungan alarni golongan fungi (Fardiaz, 1989).
Pada penelitian ini, terlihat bahwa bakteri yang paling tahan terhadap minyak
atsiri lengkuas adalah P. aeruginosa dari golongan bakteri Gram negstif. Pada
pengujian menggunakan bakteri yang sama, antara lain dapat dikemukakan bahwa
P. aeruginosa sebagaimana P. fluomscens juga tahan terhadap minyak atsiri dari
basil yang mengandung linalool dan metilkavikol dibandingkan dengan berbagai jenis
bakteri Gram negatif lainnya (Wan et al., 1998). Selain itu terhadap rninyak atsiri
kunyit. P. aemginosa juga merupakan bakteri yang paling tahan diantara bakteri
Gram negatif lainnya yang diuji, sedangkan E. coli adalah bakteri yang paling peka
(Shew et al.. 1994).
Terhadap minyak atsiri rosemari yang rnengandung bomeol, a-pinen
dan a-terpinen, P. aeruginosa mempunyai ketahanan yang lebih tinggi (MIC=
12 mgfml) dibandingkan dengan S. aumus (MIC = 1.25 mgfml). Selain itu ketahanan
P. aemginosa (MIC = 10 mglmt) juga lebih tinggi daripada terhadap S. aumus (ME=
0,5 mglml) terhadap minyak jinten (Farag et al., 1989). Pada penelitian ini juga
terbukti bahwa P. aeruginosa (dengan zona hambat 44.5 mmlg minyak atsiri)
me~pakan bakteri yang ketahanannya terhadap minyak atsiri lengkuas lebih tinggi
dibandingkan dengan S. aureus dengan zona hambat 154.3 mmlg minyak atsiri.
Pada penelitian ini bakteri Gram positif urnumnya lebih peka jika dibandingkan
dengan bakteri Gram negatif. Hal ini serupa dengan yang telah dihasilkan oleh
peneliti lainnya. Pengamatan terhadap aktivitas penghambatan bakteri oleh rninyak
atsiri beberapa jenis tumbuh-tumbuhan rnembuktikan bahwa bakteri Gram positif
seperti L. monocytogenes dan S. aureus lebih peka dibandingkan dengan bakteri
Gram negatif seperti E. coli, S. enteritidis dan C. jejuni (Palmer et al., 1998).
Pengujian terhadap minyak atsiri jenis lingibemceae lainnya seperti jahe dan kunyit,
terlihat bahwa 5. cereus relatif lebih tahan bila dibandingkan dengan L. acidophilus
ataupun beberapa jenis kapang dan kamir (Sethi dan Meena, 1994).
Komponen yang terdapat dalarn rninyak atsiri sangat mempengaruhi daya
antimikroba suatu rempah-rernpah. Untuk itu dilakukan analisis GC-MS untuk
rnengetahui jenis komponen yang terdapat pada minyak atsiri lengkuas. Hasil analisis
rninyak atsiri lengkuas muda jenis merah menggunakan GGMS menunjukkan ada
29 buah komponen dengan komponen p-pinen, 1.8-sineol, famesen, isokariofilen
dan asetoksikavikol asetat sebagai kornponen utama (Tabel 10).
Hasil penelitian minyak atsiri dari beberapa golongan Alpinia lainnya telah
dikemukakan oleh beberapa peneliti, yang hasilnya sangat beragarn baik jenis
komponen maupun jumlahnya. Komponen minyak atsiri terutarna terdiri dari mono
dan seskuiterpen serta fenolik (Houghton dan Raman, 1998). Keragaman tersebut
dapat disebabkan karena jenis rempah yang berbeda, varietas. umur panen. tempat
pertanaman, metode ekstraksi maupun rnetode penentuan kandungan minyak
atsirinya.
Lawrence et al. (1969) mulai mengeksplorasi komponen minyak atsiri dari
Alpinia sp. dan dilaporkan bahwa pada Alpinia ofkinarum Hance terdapat a-pinen
dan 1.8-sineol serta 46 jenis komponen lainnya. Selanjutnya Dung et at. (1990)
rnenyatakan bahwa minyak atsiri dari rimpang Alpinia katsumadai mengandung
a-pinen, p-pinen, mirsen, Z-a- felandren, 4.8-sineol, fenkon dan geraniol. Nguyen
et al. (1994) yang menganalisis minyak atsiri dari bunga Alpinia speciosa K. Scfium
menyatakan bahwa telah ditemukan 35 komponen dengan komponen utamanya
p-pinen (34%). a-pinen (14,896) dan p-kariofilen (10,8). Selain itu oleh
Athamaprasangsa et al. (1994) Alpinia conchigera dinyatakan rnengandung
komponen I ,7-difeniC3.5-heptanedion dari golongan diaril heptanoid dan juga
komponen lainnya dari golongan flavonoid dan fenil propanoid.
Tabel 10. Komponen dalam minyak atsiri lengkuas muda jenis merah
tinier Retenfion Indices pustaka pada &!om DB5 ( ~dam, 1995)
3'Penentase berdasarkan luas area pada total ion kmmatogram hasil analisis GC-
MS
heptan
a-bisabolol
asetoksikavikol asetat
alkana
rniristil klorida
(E)-3,7-dirnetil-2.6-oktadien-I-oI- asetat
asam lemak
''- :Tidak dijumpai di pustaka
"tinier Refention Indices hasil oenelitian oada kolom DBS
1560
1618
1635
1656
1839
1936
1683
-
-
-
-
-
<0,5
7,7
6,4
<0,5
12
1 .o
Pada jenis Alpinia galanga, peneliti yang pemah rnenganaiisis jenis
kornponen dalarn rninyak atsirinya adalah Pooter et al. (1985) yang rnengemukakan
bahwa kornponen utama rninyak atsiri Alpinia galanga adalah rnetil eugenol, eugenol
asetat. kavikol dan kavikol asetat selain beberapa senyawa lain dari golongan
rnonoterpen. rnonoterpen alkohol, ester dan seskuiterpen. Selain itu Janssen dan
Scheffer (1985) rnenemukan lengkuas rnernpunyai rninyak atsiri yang rnengandung
a-pinen, P-pinen, limonen, 1,s-sineol. a-terpineol dan terpinen-401. Mulyaningsih
(1996) yang rnenganalisis rninyak atsiri lengkuas rnerah juga menernukan adanya
p-pinen, a-terpineol. 4-alilfenil asetat, a-famesen, p-famesen, kariofilen, germakren,
3,7.11-trirnetil-l,6.10-dodekatrien-3-ol seperti juga telah ditemukan pada penelitian
ini.
Kornponen yang dkjurnpai pada rninyak atsiri Alpinia sp. ataupun Alpinia
galanga seperti telah diternukan oleh peneliti-peneliti lain dan terdapat pada hasil
penelitian ini antara lain adalah 1 ,&sineol, p-pinen. rnirsen. a-terpineoi. Komponen
1,8-sineol. p-pinen, a-terpineol, mirsen dan asetoksikavikol asetat dikenal sebagai
senyawa antimikroba (Janssen dan Scheffer. 1985; Stenberg dan Duke. 1994;
Raman et al., 1995). Janssen dan Scheffer (1985) juga telah mernbuktikan bahwa
aktivitas rninyak atsiri secara keseluruhan lebih baik jika dibandingkan dengan
masing-masing kornponen tersebut. Begitu pula minyak atsiri dari rimpang kering
lebih efektif dibandingkan rimpang basah.
Pengaruh Tween 80 terhadap efektivitas uji minyak a t s i ~
Minyak atsiri merupakan suatu komponen yang bersifat nonpolar, oleh karena
itu untuk pengujiannya digunakan pelarut yang dapat rnelarutkan komponen
nonpolar. Pelarut yang dapat digunakan antara lain adalah etanol (Buchanan dan
Shepherd, 1981). Untuk rnenarnbah kelarutan dari larutan tersebut dalam media
digunakan Tween 80 yang telah direkomendasikan oleh Tramer dan Fowler (1964)
pada waktu mengamati penga~h nisin terhadap pertumbuhan baktefi menggunakan
rnetode difusi agar.
Dalam penelitian ini terbukti bahwa Tween 80 dapat meningkatkan daya
hambat minyak atsiri lengkuas. Hal ini teriihat pada mikroba uji S. aumus,
V. cholerae dan B. cereus masing-masing meningkatkan daya hambat sebesar
sekitar 42,4; 19.0 dan 5.6%. Sedangkan untuk L. monocytogenes dan P. aeruginosa
adanya Tween 80 tidak meningkatkan daya hambat minyak atsiri (Gambar 20).
,i.-...- ~
300 1 I L~Etanol gEtanol+O.5% Tween 801 1
Gambar 20. Pengawh jenis pelarut minyak atsiri terhadap aktivitas antimikroba.
Peneliti lain yang dalam pengujian minyak atsiri menggunakan bahan
pembantu kelarutan antara lain adalah pada pengujian bawang putih digunakan
Tween 80 sebanyak 0.05 % (Holt dan Gomez. 1994). Carson clan Riley (1995) juga
menggunakan Tween 80 dengan konsentrasi 0.5-1% dan dimetil sulfoksida (DMSO)
dengan konsentrasi 1-2% pada waktu mengukur aktivitas antimikroba minyak atsiri
daun teh. Capasso et at. (1995) menggunakan 1% DMSO untuk menguji aktivitas
antimikroba minyak zaitun dan membuktikan bahwa DMSO tidak menghambat
pertumbuhan Pseudomonas syringae dan Corynebacterium michiganense.
Tidak semua jenis minyak atsiri atau semua jenis mikroba membutuhkan
bahan penambah kelarutan untuk pengujian aktivitas antimikroba. Selain itu Nguyen
dan Lund (1992) mengemukakan bahwa penambahan Tween 20 sebanyak 0.05%
(vhr) pada proses maserasi untuk mengekstrak wortel sebagai antimikroba dapat
meningkatkan aktivitas antilisteria, namun dalam jumlah yang lebih banyak justru
akan menurunkan aktivitas antilisteria. Hili et al. (1997) juga mernbuktikan bahwa
pengujian 0,3 g minyak atsiri kayu manis dalam 20 ml DMSO justru akan
menurunkan daya antimikrobanya terhadap S. cemvisiae.
Pemberian Tween 80 pada pengujian minyak atsiri tergantung pada tingkat
kepolaran kornponen nonpolar pada minyak atsiri, kondisi membran bakteri dan
lingkungan yang aqueous. Tween 80 berfungsi sebagai bahan penurun tegangan
permukaan. Apabila penambahan Tween terlalu banyak dari yang dibutuhkan,
kemungkinannya Tween 80 akan meningkatkan kelarutan minyak atsiri terhadap air
dan mengurangi tingkat penetrasi minyak atsiri terhadap membran bakteri. Pada
kasus ini, Tween 80 menyebabkan minyak atsiri menjadi lebih hidrofilik, sehingga
menurunkan kekuatan penetrasi minyak atisiri kedalam membran (Juven et al.,
1994). Selain itu Tween 80 juga akan meningkatkan jumlah enzim ekstraseluler
karena mampu meningkatkan pengeluaran komponen tersebut dari dalam sel melalui
modifikasi perubahan perrneabilitas membran plasma (Huot et al., 1996) sehingga
komponen antimikroba lebih mudah berpenetrasi ke dalam sel.
Selain itu adanya Tween diduga berperanan dalarn pencegahan adsorpsi
karena interaksi elektrostatis rninyak atsiri pada tip pipet yang terbuat dari
polipropilen yang digunakan untuk pengukuran aktivitas antirnikroba, yang bila te qadi
berakibat pada pengurangan volume rninyak atsiri yang diuji. Joosten dan Nunez
(1995) rnernbuktikan bahwa 0.1% Tween 80 akan rnenekan hingga hanya 5%
kehilangan volume bakteriosin. dibandingkan bila tanpa Tween 80 kehilangan volume
bakteriosin dapat rnencapai 15% dari 100 p1volume yang diuji.
Mekanisrne pengharnbatan perturnbuhan bakteri karena adanya rninyak atsiri
kernungkinan karena rninyak atsiri akan rnenyebabkan perubahan perrneabilitas
rnernbran dan rnengganggu sistern transpor (Ismaiel dan Pierson. 1990) dan
rnengganggu lapisan lernak dari rnembran sel seperti telah dibuktikan oleh Kim et al.
(1995) pada mekanisrne pengharnbatan rnikroba oleh kornponen rninyak atsiri seperti
karvakrol, sitral dan geraniol. Kornponen rninyak atsiri seperti tirnol dan karvakrol
setelah rnelewati dinding sel akan berinteraksi dengan enzirn periplasrna dan setelah
berpenetrasi ke bagian mernbran sitoplasrna yang kaya akan Iemak akan berinteraksi
dengan protein rnernbran sehingga dapat rnernbalikkan aliran proton pada rnernbran
(Juven et al.. 1994). Kornponen rninyak atsiri dari jenis terpen yang terakurnulasi
pada rnernbran rnenyebabkan integritas rnernbran turun dan menghilangkan
keseirnbangan proton (Sikkerna et al., 1995) dan rnengganggu penetrasi asam lernak
(Takahashi et al., 1996). Hal ini diperkuat oleh Oka (1964). yang rnenyatakan bahwa
pada perwbaan rnenggunakan tirnol sebagai bahan antirnikroba pada E. coli,
dibuktikan bahwa distribusi tirnol dalarn sel adalah pada cairan sel bagian dalarn
sebanyak 2%. fase lipid sel6%, dan pada fase padatan sel sebanyak 92%.
Grup benzaldehida dari rninyak atsiri akan rnernpengaruhi bagian permukaan
seI tanpa perlu berpartisi ke dalarn sel. Pada permukaan sel yang peka seperti
luar, dalarn mernbran dapat berinteraksi dengan protein rnernbran yang
menyebabkan kebocoran isi sel.
Gambar 21. Pengaruh ekstrak nonpolar lengkuas terhadap aktivitas antimikmba.
Oarnbar 22. Zona hambat ekstrak lengkuas pada S. aureus. (1) ekstrak nonpolar,
(2 dan 3) ekstrak polar. Foto berlatar belakang hitarn.
c. Ekstrak polar
Pengujian a k t i i s antimikroba pada ekstrak polar menunjukkan pola yang
berlawanan dengan pengujian ekstrak nonpolar tefhadap bakbri S. aureus. Pada
pengujian ekstrak polar terlihat bahwa S. aureus mempunyai ketahanan yang paling
tinggi dibandingkan dengan bakteri lainnya. Sedangkan dari golongan bakteri Gram
negatif terlihat kalau V. cholerae dan P aemginosa relatif peka terhadap ekstrak
polar (Gambar 23).
I Jenis bakteri I
Gambar 23. Penga~h ekstrak polar lengkuas terhadap aktivitas antimikroba.
Kepekaan bakteri Gram negatif terhadap ekstrak polar dapat disebabkan
karena balderi Gram negatif mempunyai sisi hidrofilik yaitu karboksil, amino, fosfat
dan hidroksil (Gorrnan, 1993). Penetrasi ekstrak polar pada dinding sel bakteri Gram
negatif juga disebabkan adanya grup protein yang disebut porin yang akan
mernbentuk pori-pori hidrofilik pada lapisan membran luar sehingga ekstrak polar
dapat lebih mudah menembus dinding sel mikroba (Franklin dan Snow, 1989).
Keadaan ini menyebabkan membran V. cholerae dan f? aeruginosa bersifat hidrofilik
sehingga lebih mampu ditembus oleh ekstrak polar.
Perbedaan ketahanan antar berbagai jenis bakteri Gram negatif dapat juga
disebabkan karena perbedaan permukaan selnya. Menurut Russell (1991) pada
bakteri Gram negatif dengan permukaan sel yang ticin sifatnya hidrofilik, sedangkan
bakteri Gram negatif yang permukaannya kasar sifatnya lebih hidrofobik karena
munculnya bagian fosfolipid pada permukaan sel. Pada sel yang permukaannya licin,
komponen hidrofilik berberat molekul rendah dapat berinteraksi dengan membran
luar melalui porin yang aqueous. Molekul lipopolisakarida (LPS) rnencegah kontak
antara antimikroba yang sangat hidrofobik dengan fosfolipid dan bertindak sebagai
barier masuknya antimikroba yang hidrofobik pada sel Gram negatif. Pada
permukaan sel yang kasar, tidak adanya sisi spesifik, adanya polisakarida dan sel
yang mengandung EDTA menyebabkan bagian fosfolipid pada permukaan sel
rnampu menjorok keluar. Akibatnya antimikroba yang benifat hidrofobik mampu
berinteraksi dengan fosfolipid pada membran.
Komponen yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan dan bersifat polar
antara lain senyawa dari golongan fenolik. Mekanisme komponen antirnikroba fenolik
pada umumnya adalah akan berinteraksi dengan protein yang ada pada dinding sel
atau sitoplasma melalui ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik (Spencer et al.,
1988). Mekanisme lainnya ekstrak polar lengkuas dalam rnenghambat pertumbuhan
bakteri kemungkinan adalah mengganggu aktivitas enzim dalam sel. Hal ini diperkuat
dari penelitian yang dilakukan oleh Wendakoon dan Sakaguchi (1995) yang
menyatakan bahwa ekstrak air dan ekstrak etanol dari cengkeh, kayumanis dan saga
yang bersifat polar akan rnenghambat enzim dekarboksilase khususnya histidin, lisin
dan omitin dekarboksilase dari bakteri E. aerogenes.
Pengaruh suhu ekstraksi terhbdap aktivitas antimikroba
Efektivitas antimikroba ekstrak yang diperoleh dengan cara ekstraksi pada
suhu yang berbeda yaitu pada suhu kamar (30'~) dan suhu 6 0 ' ~ dapat dilihat pada
Gambar 24 dan 25. Hasilnya menunjukkan bahwa ekstraksi pada suhu kamar
menghasilkan ekstrek polar yang lebih efektii daya antimikrobanya dibandlngkan
dengan ekstrak polar dari ekstraksi dengan suhu 60C untuk semua mikroba uji.
Meskipun seknamya rendemen ekstrak yang d wl k a n pada prosas pada suhu
6 0 ' ~ secHkii diatas proses di suhu kamar.
Gambar 24. PengaNh suhu ekstraksi (30 dan 60C) ekstrak polar lengkuas terhadap
aktivitas antimikroba.
Gambar 25. Zona hambat ekstrak polar lengkuas pada 8. cereus. (1) ekstrak metanol
dingin = suhu 3 0 ' ~ dan (2) ekatrak metanol panas = suhu 60' ~. Foto
berlatar belakang hitam.
Penumnan aktivitas antimikroba rata-rata ekstrak polar yang diperoleh
dengan ekstraksi pada suhu 6 0 ' ~ adalah 11.4 % dibandingkan dengan ekstraksi
pada suhu 30' ~. Oleh karena itu lebih baik ekstraksi dilakukan pada suhu 30C
karena aktivitas antirnikroba ekstraknya lebih tinggi daripada yang dilakukan pada
suhu 60' ~. disarnping prosesnya lebih ekonornis.
Aktivitas antirnikroba terhadap bakteri uji rnemberikan hasil setiap jenis
mikroba rnernpunyai kepekaan yang berbeda-satu dengan lainnya tergantung dari
jenis mikroba dan jenis ekstrak yang diujikan. Pada awalnya perhitungan aktivitas
antimikroba didasarkan pada berat setiap ekstrak yang terbentuk. Aktivitas
antimikroba rata-rata dari 5 jenis bakteri uji untuk minyak atsiri, ekstrak heksana dan
ekstrak rnetanol adalah 160, 170 dan 195 rnmlg ekstrak.
Untuk rnengambil kesirnpulan yang lebih proporsional dari ketiga ekstrak
tersebut rnaka dilakukan perhitungan aktivitas antimikroba ekstrak yang telah
dikonvenikan pada setiap gram bubuk lengkuas yang digunakan. Hal ini juga akan
rnemberi informasi rnengenai kontribusi aktivitas antirnikroba dari setiap jenis ekstrak
terhadap bubuk lengkuas. Anali'sis antimikroba rnernperlihatkan bahwa ekstrak polar
lebih efektif dibandingkan dengan ekstrak nonpolar. Sedangkan minyak atsiri
rnernberikan aktivitas antimikroba yang rendah dibandingkan dengan kedua ekstrak
tersebut (Gambar 26).
Aktivitas antirnikroba berdasarkan berat setiap ekstrak maupun berat bubuk
lengkuas terlihat bahwa ekstrak polar mempunyai aktivitas antimikroba yang tertinggi.
Pada ekstrak polar terdapat senyawa flavonoid yang tergolong glikosida (Houghton
dan Rarnan, 1998). Narnun karena ekstrak nonpolar dan rninyak atsiri juga
rnernpunyai aktvitas antirnikroba rnaka senyawa asarn lemak dan terpenoid yang
terdapat pada ekstrak heksana maupun terpenoid yang terdapat pada minyak atsiri
juga berkontribusi terhadap aktivitas antimikroba dari rimpang lengkuas.
Minyak atsiri Eksfak polar Ekslmk nonpolar
Jerris ekstrak
Gambar 26. Pengaruh minyak atsiri, ekstrak polar dan ekstrak nonpolar lengkuas
terhadap aktivitas antimikroba.
Pengaruh ekstrak Iengkuas terhadap pole pertumbuhan kapang
Pengaruh setiap ekstrak lengkuas terhadap kapang uji yaitu A. flavus dan
R. oligosponrs dapat dilihat pada Gambar 27 dan Lampiran 2526. Hasilnya
menunjukkan bahwa kapang relatif peka terhadap ekstrak nonpolar yaitu dapat lebih
dihambat pertumbuhannya pada media yang mengandung minyak atsiri dan ekstrak
heksana dibandingkan dengan ekstrak polar yang berupa ekstrak metanol.
Pada Garnbar 27 juga terlihat bahwa ekstrak antirnikroba lengkuas
mempengaruhi pertumbuhan kapang R. oligosporus dengan menghambat koloni
yang terbentuk sebelum 48 jam. Pada jam ke 30 saat pengaruh eksfrak lengkuas
terlihat dengan jelas, NPR kapang akibat minyak atsiri, ekstrak nonpolar dan ekstrak
polar masing-masing adalah 0,54;0,72 dan 0.96. Pada jam ke 48, ekstrak lengkuas
sudah tidak efektif lagi karena koloni sudah beradaptasi dengan baik dan set dapat
turnbuh dengan nonnal.
-
R. oIigosporus
T OO
E m
2 80
3
n-70
E E
Z E *
gag "
L - 4)
s 2
30
t 20
1 0
0
0 6 12 1 8 24 39 36 42 48
Waktu pertumbuhan koloni (jam)
A. flavus
+Minyak alsiri
-&-Ekshak polar
0 6 12 1 8 24 30 36 42 48
Waktu perturnbuhan koloni (jam)
Gambar 27. Pengaruh ekstrak lengkuas ferhadap pola pertumbuhan
R. oligosporus dan A. flavus.
Lain halnya dengan A. flavus yang merupakan kapang yang febih peka
karena hingga jam ke 48 perturnbuhan koloninya rnasih terharnbat oleh ekstrak
lengkuas dibandingkan kontrol masing-masing dengan NPR 0,46; 0.62 dan 0,91
akibat dari pengaruh minyak atsiri, ekstrak nonpolar dan ekstrak polar. Kemungkinan
pengharnbatan perturnbuhan kapang karena dinding sel kapang dengan mudah
dapat ditembus oleh senyawa nonpolar dibandingkan senyawa polar.
Penelitian yang serupa dengan menggunakan minyak atsiri dari lengkuas
jenis putih menunjukkan bahwa kapang rnemang lebih peka terhadap minyak atsiri
dibandingkan dengan bakteri (Janssen dan Scheffer, 1985). Garg dan Tripathi (1977)
yang menguji ketahanan kapang Aspergillus furnigatus, A. mellus, A. niger, Culvalaria
oryzae, Helminfhosporiurn sp., Mucor racernosurn, Penicilliurn notaturn, Trichodema
viride, Tricophyton mentagrophytes dan Tricophyton rubrum juga rnendapatkan
bahwa kapang-kapang tersebut dapat dihambat perturnbuhannya dengan baik oleh
minyak atsiri lengkuas.
Pengaruh antirnikroba rempah-rempah terhadap A. flavus juga diteliti oleh
Mahmoud (1994). hasilnya menunjukkan A. flavus dapat dihambat dengan baik oleh
geraniol, nerol, sitronelol, sinamataldehida dan timol. Daya harnbat kornponen
minyak atsiri agaknya tergantung dari st ~kt ur kornponen penyusunnya dan terutama
karena adanya nukleus aromatik dan OH fenolik yang mampu rnembentuk ikatan
hidrogen dengan sisi aktif enzim target (Mahmoud, 1994). Selain itu eugenol dari
cengkeh dan timol dari thyme akan rnenghambat pertumbuhan A. flavus pada
konsentrasi rnasing-masing 0.5 dan 0.4 rnglml (Hitokoto et al., 1980). Komponen
yang mempunyai nukleus arornatik dan gugus OH pada rninyak atsiri lengkuas
adalah a-terpineol dan a-terpineol telah terbukti bersifat antimikroba terhadap
Propionibacteriurn acnes, S. aureus dan S. epidermidis (Raman et at.. 1995).
Penghambatan beberapa ekstrak polar dari berbagai jenis rempah golongan
Zingiberaceae lainnya seperti kunyit dan Ferula sp. yang biasa digunakan untuk
bumbu kari yang diekstrak dengan etanol 950 gll juga pemah dilakukan oleh
Thyagaraja dan Hosono (1996) terhadap kapang R. azygospoms, P. commune,
M. dimorphosphorus dan F. soiani. Pengujian ekstrak polar dilakukan menggunakan
rnetode kertas cakrarn dengan konsentrasi 10 rng/ml dan ditetesi 60 pllkertas
cakram. Hasilnya hanya Femla sp. yang efektif menghambat kapang dengan zona
harnbat 5-30 rnm dan dengan rnakin banyaknya volume bahan yang diuji, maka
diameter penghambatan juga sernakin besar. Pada penelitian Thyagaraja dan
Hosono (1996) juga terbukti bahwa ekstrak nonpolar lebih efektif daya hambatnya
dibandingkan ekstrak polar pada kapang R. azygospoms. P. commune,
M. dimorphosphorus. dan F. solani.
d. Ekstak kloroform dan ekstrak metanol-air hasil separasi ekstrak polar
Aktivitas antirnikroba ekstrak lengkuas menunjukkan bahwa walaupun ekstrak
polar yang berupa ekstrak metanol rnernpunyai aktivitas tertinggi bila ditinjau dari
bubuk lengkuas sebagai bahan baku, namun sebenamya ekstrak nonpolar pun yang
berupa eksfrak heksana rnernpunyai aktivitas yang cukup tinggi. Berdasarkan ha1
tersebut rnaka ingin diketahui aktivitas ekstrak yang bersifat relatif nonpolar dan
dipisahkan dengan ekstrak yang benar-benar polar dari ekstrak rnetanol. Langkah
selanjutnya adalah rnelakukan separasi lebih lanjut terhadap ekstrak polar dengan
rnenggunakan pelarut yang lebih polar dalam ha1 ini adalah air dan pelarut yang
relatif nonpolar yaitu kloroform.
Pemisahan komponen ekstrak metanol akan menghasilkan ekstrak klorofonn
yang diperoleh dengan rnenguapkan pelarut klorofonn dengan vakum rotavapor
pada suhu 40% dan rnenghasilkan rendemen 3,55% serta akan menghasilkan
ekstrak metanol-air yang diperoleh dengan rnenguapkan pelarut air dengan vakurn
mtavapor pada suhu 70% dan menghasilkan rendemen 69.64%. Pada ekstrak
klorofom dipeMrakan terdapat aglikon steroidal dari ekstrak rnetanol yang bersifat
relatif nonpolar sehingga dapat larut dalarn klorofom, sedangkan pada ekstrak
metanol-air terdapat gula, asam amino dan glikosida dari ekstrak metanol yang relatif
polar sehingga terlarut dalam ekstrak metanol-air.
Pengujian aktivitas antirnikroba ekstrak klorofom dan ekstrak rnetanol-air
menghasilkan ekstrak kloroform yang lebih efektif daya antimikrobanya dibandingkan
dengan ekstrak metanol-air pada semua bakteri uji (Garnbar 28 dan Larnpiran 27-29).
Hal ini rnemberikan indikasi bahwa senyawa antimikroba yang berada dalarn ekstrak
rnetanol sebagian besar bersifat relatif nonpolar karena polaritas kloroform yang jauh
lebih rendah dibandingkan dengan air seperti terlihat pada Lampiran 30. Pada
Larnpiran 30 terlihat bahwa kloroform mempunyai tetapan dielektrik dan indeks
poiaritas diantara rnetanol dan heksana. yang artinya bersifat relatif nonpolar.
Sehingga, kornponen yang larut dalarn ktoroform adalah komponen yang
kepolarannya relatif nonpolar.
rn 40-
a rn
9 a 35-
s -
5 g 30-
e x 25-
e
= E YO-
= 5.
metand-air ldwoform
Jenis ekst rak
Garnbar 28. Pengaruh ekstrak klorofom dan ekstrak metanol-air hasil separasi
ekstrak polar terhadap aktivitas antirnikroba.
Pada Gambar 28 juga terlihat bahwa jenis bakteri Gram positif sepetii
B. cemus dan S. aureus memberikan zona hambat yang lebih besar dibandingkan
dengan bakteri Gram negatif yaitu P. aenrginosa dan V. choleme. Hal ini
memperkuat dugaan bahwa aktivitas antimikroba terdapat dalam ekstrak yang refatif
nonpolar seperti telah diketahui bahwa bakteri Gram positif relatif lebih peka terhadap
ekstrak nonpolar karena lapisan peptidoglikannya bersifat hidrofobik yang mudah
ditembus oleh senyawa nonpolar.
Pada kapang pengaruh ekstrak klorofom dan ekstrak metanol-air tidak
banyak memberikan perbedaan pengaruh penghambatan pertumbuhan, walaupun
terdapat kecenderungan bahwa ekstrak klorofom lebih efektif menghambat
perturnbuhan kapang dibandingkan dengan ekstrak rnetanol-air pada kedua kapang
uji (Garnbar 29 dan Lampiran 31-32). Hal ini sesuai dengan pengamatan terdahulu
bahwa kapang febih diharnbat perturnbuhannya oleh ekstrak nonpolar daripada
ekstrak polar.
Berdasarkan hasil pengukuran aktivitas antimikroba pada beberapa ekstrak
lengkuas, terlihat bahwa ekstrak kloroform mempunyai aktivitas tertinggi bila
dibandingkan minyak atsiri. ekstrak nonpolar maupun ekstrak polar. Ekstrak kloroforrn
yang berasal dari ekstrak polar mempunyai aktivitas lebih dari 18.5 kali lipat ekstrak
polamya yang dapat terlihat dari wta-rata aktivitas ekstrak polar pada bakteri sekitar
195 mm/g ekstrak dibandingkan dengan sekitar 3614 mmlg ekstrak untuk ekstrak
klorofom. Oleh karena itu dapat disirnpulkan bahwa ekstrak kloroform merupakan
ekstrak teraktif dari ekstraksi bertingkat yang teiah dilakukan.
I
Waktu pertumbuhan kolonl (/am)
I
0 8 12 18 24 30 16 42 48
Waktu pertumbuhan kolonl (jam)
Gambar 29. Pengaruh ekstrak kloroform dan ekstrak rnetanol-air hasil separasi
ekstrak polar terhadap pola perturnbuhan R. oligospoms dan A. flavus.
C. STABILITAS AKTlVlTAS ANTIMIKROBA EKSTRAK LENGKUAS
Berdasarkan penelitian pada tahap penentuan ekstrak teraktif lengkuas,
ekstrak klorofom dari ekstrak polar mempunyai aktivitas antimikroba per gram
ekstrak yang terbesar. Berdasarkan ha1 tenebut maka ekstrak kloroform dieksplorasi
sifat-sifatnya agar diketahui kemungkinan penggunaannya. Pengamatan sifat ekstrak
kloroform yang dilakukan meliputi daya hambatnya terhadap bakteri dan kapang.
ekstraksi dengan pelarut teknis. sifat pertumbuhannya pada kondisi pH yang
beragam serta stabilitasnya terhadap pemanasan.
1. Penentuan MIC Bakteri dan Kapang
Penentuan MIC perlu dilakukan untuk mengetahui sampai batas mana
ekstrak kloroform dapat efektif berperan sebagai komponen antimikroba. Penetapan
MIC ekstrak kloroform ditentukan dengan metode pertumbuhan pada agar padat.
Pada metode ini selain penga~h dari komponen antimikroba itu sendiri, hasil
peligukurannya juga dipengaruhi oleh tebal tipisnya medium yang akan
mempengaruhi ketersediaan nutrisi agar mikroba dapat tumbuh lebih merata dan
5 banyaknya kultur yang diuji. Pada penelitian ini jumlah medium dalam cawan petri
seragam dan jumlah kultur yang diuji adalah 2 pI dengan konsentrasi 10~kol oni l ~l .
Hasil penetapan MIC ekstrak kloroform seperti terlihat pada Gambar 30 dan
Lampiran 33 menunjukkan bahwa B. cereus adalah bakteri yang paling peka
terhadap antimikroba yang ada pada lengkuas dengan nilai MIC 1,O mglml (0.1%)
dan P. aeruginosa adalah bakteri yang paling tahan terhadap ekstrak kloroform
dengan nilai MIC 7.5 mglml. Nilai MIC untuk kapang R. oligosporus dan A-flavus
masing-masing 2.0 dan 3,5 mglml. Kekuatan daya antimikroba ekstrak kloroform
tehadap kapang relatif sama dibandingkan dengan bakteri, karena nilai MIC kapang
R. ol i gospo~s (2.0 mgiml) dan A.flavus (3.5 mglml) setara dengan nilai MIC
.I3
S. au~us (2,5 mglml), V. cholerae (3.0 mglml) dan S. typhimurium (3.5 mglml).
Aktivitas antimikroba dari ekstrak kloroform yang berupa residu kering jauh
lebih tinggi bila dibandingkan dengan ekstrak aqueous lengkuas yang pelarutnya
tidak dihilangkan. Hal ini dapat dilihat dari MIC ekstrak kloroform yang nilainya 9 kali
lipat dibandingkan dengan MIC untuk ekstrak aqueous lengkuas untuk bakteri
6. cereus. MIC ekstrak kloroform terhadap 6. cereus adalah 1.0 mg ekstraklml
medium sedangkan nilai MIC ekstrak aqueous terhadap 6. cereus adalah 9.0 mg
ekstraklml medium.
Jenis mikroba
Gambar 30. Nilai MIC ekstrak kloroform lengkuas terhadap berbagai jenis bakteri
dan kapang.
Penelitian Hedy (1980) yang menguji kekuatan daya antirnikroba ekstrak
dietil eter lengkuas yang bersifat kurang polar dibandingkan dengan ekstrak
kloroform lengkuas rnenunjukkan hasil bahwa untuk kapang Micmsporurn gypseurn,
Micrvspomrn canis dan Trichophyton violaceurn nilai MIC ekstrak dietil eter adalah
16.10 dan 12 rng/ml. Sebagai pembanding digunakan clotrimazol 0.37 mg yang
rnernberikan zona harnbat yang sama dengan ekstrak dietil eter 22 mg rnenggunakan
metode kertas cakram. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa ekstrak dietil
eter lengkuas kurang kuat dibandingkan dengan ekstrak kloroform lengkuas atau
kapang Microsporum gypseurn, Microsporum canis dan Trichophyton violaceurn jauh
lebih tahan dibandingkan dengan R oligospoms maupun A. flavus.
Penelitian Moniharapon (1998) terhadap ekstrak etil asetat biji atung
rnenunjukkan nilai MIC untuk bakteri S. aureus, S. typhimurium dan P. aeruginosa
masing-masing adalah 0.75; 0,75 dan 0.70% (vh) atau setara dengan 7,5; 7.5 dan
7.0 rnglrnl. Untuk bakteri P. aemginosa efektivitas antirnikroba ekstrak etil asetat
atung setara dengan ekstrak kloroform lengkuas, narnun untuk S. aureus dan
S. typhirnuriurn, ekstrak kloroform lengkuas rnernberikan efektivitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ekstrak etil asetat atung.
2. Pengaruh Kemurnian Pelarut Terhadap Aktivitas Antimikroba Ekstrak
Penggunaan yang lebih ekonornis untuk rnernperoleh ekstrak kloroforrn perlu
dipikirkan, oleh karena itu ditakukan perbandingan antara aktivitas antirnikroba
ekstrak yang diekstrak dengan pelarut teknis dibandingkan dengan pelarut pro
analisis yang selarna ini digunakan. Hasilnya dapat dilihat pada Garnbar 31 dan
Larnpiran 34.
Pada Garnbar 31 terlihat bahwa penggunaan pelarut teknis rnenghasilkan
rendernen sekitar 0,74%(b/b), sedangkan pelarut pro analisis menghasilkan
rendernen 0,81% (b/b). Narnun perbedaan aktivitas antirnikroba pada ekstrak
kloroforrn yang diuji tidak jauh berbeda antara kedua ekstrak tersebut. Pada
penggunaan praktis. pel g~t teknis dapat menggantikan pelarut pro analisis karena
aktivitas antimikroba ekstrak kloroforrn dengan pelarut teknis hanya lebih kecil 7.8%
dibandingkan pelarut pro analisis sementara rendernen yang dihasilkan sekitar 8.6%
lebih kecii dibandingkan pernakaian pelarut pro analisis. Rendemen yang lebih
rendah pada penggunaan pelarut teknis dapat disebabkan adanya impuritis bahan
yang akan rnernpengaruhi efisiensi ekstraksi, sedangkan aktivitas antimikroba yang
lebih rendah kernungkinan disebabkan tidak sernua jenis komponen antirnikroba
dapat terekstrak dengan baik. Narnun secara ekonomis ha1 ini memberikan
kompensasi yang mernadai karena harga pelamt pro analisis untuk proses ekstraksi
rata-rata 6 kali dari harga pelarut teknis. Selanjutnya pengujian sifat dan stabilitas
antirnikroba ekstrak kloroform menggunakan ekstrak yang diperoleh menggunakan
pelarut teknis.
Rendemen (%) Zona harnbat (cm)
Parameter
Garnbar 31. Pengaruh kemumian pelarut terhadap zona harnbat B.cereus dan
rendemen ekstrak kloroform yang dihasilkan.
3. Sifat dan Stabilitas Ekstrak Kloroforrn
Penelitian rnengenai pengaruh penambahan antirnikroba pada pertumbuhan
mikroba, pengaruh pH dan pemanasan terhadap aktivitas antirnikroba diperlukan
karena ketiga faktor tersebut sangat penting diketahui untuk tujuan aplikasi
antimikroba.
a. Pengaruh ekstrak kloroform terhadap pola pertumbuhan B. cereus
Pengujian sifat antirnikroba setanjutnya menggunakan 13. cereus karena telah
terbukti bahwa bakteri ini adalah bakteri yang paling peka terhadap antimikroba yang
terdapat pada lengkuas. Penghitungan MIC 5. cereus dilakukan rnenggunakan
103
metode kontak pada medium NB selarna 24 jam yang diamati pada selang waktu
tertentu seperti dapat dilihat hasilnya pada Gambar 32 dan Lampiran 35.
Pengamatan pola perturnbuhan B cereus dihentikan pada jam ke 24 karena pada
waktu itu kurva pertumbuhan 6. cemus sudah mernasuki fase kematian. Farag et al.
(3989) yang rneneliti MIC beberapa minyak esensial menentukan batas pengamatan
antara 24 - 62 jam tergantung dari jenis bakterinya.
0 2 4 8 12 24
Waktu kontak (Jam)
Gambar 32. Pola pertumbuhan 6. cereus dengan penambahan ekstrak kloroform
hingga konsentrasi 2 mglml.
Pada Gambar 32 terlihat bahwa nilai MIC dari ekstrak kloroform terhadap
B. cereus adalah 1.5 mglml karena pada konsentrasi tersebut ekstrak kloroforrn
mampu membunuh semua populasi mikroba yang ada pada pengarnatan jam ke 24.
Sebagai perbandingan, Farag et al. (1989) rnenemukan bahwa rninyak atsiri dari
kunyit dan cengkeh mempunyai MIC untuk bakteri 6. subtilis 0,5 rng/mt medium.
Sedangkan Pratiwi (1992) menentukan minyak atsiri lengkuas rnerah mempunyai
nilai MIC 1.7 mglml terhadap B. subtilis. Dengan dernikian terlihat bahwa minyak
atsiri kunyit dan cengkeh relatif lebih kuat dibandingkan minyak atsiri lengkuas.
namun untuk ekstrak kloroform belum dapat dibandingkan langsung karena bakteri
ujinya adalah B. cereus.
Pola pertumbuhan 5. cereus pada medium tanpa penambahan ekstrak
kloroform menunjukkan pola pertumbuhan eksponensial dimulai pada jam ke 0
hingga jam ke 8, pada jam ke 8 hingga jam ke 12 bakteri mulai memasuki fase
stasioner dan setelah jam ke 12 terjadi penurunan aktivitas pertumbuhan B. cereus.
Pada medium yang ditambahkan dengan ekstrak lengkuas pada konsentrasi
dibawah MIC yaitu 0.5 -1,O mg/ml, terjadi fase adaptasi hingga jam ke 4, selanjutnya
akan memasuki fase eksponensial hingga jam ke 8. Hal ini menunjukkan bahwa
ekstrak kloroform lengkuas pada konsentrasi dibawah MIC telah mernpengaruhi
pertumbuhan B. ceeus dengan memperpanjang fase adaptasi.
Pertumbuhan B. ceeus akibat penambahan ekstrak kloroform pada MIC
(1,5 mg/ml) dan pada konsentrasi ekstrak kloroform diatas MIC (2.0 mglml),
memperlihatkan pola pertumbuhan yang serupa yaitu mengalami penurunan
pertumbuhan yang menuju kematian dan ha1 ini dicapai pada jam ke 8. ULtee et al.
(1998) yang meneliti pengaruh penambahan karvakrol yang terdapat pada oregano
terhadap 8. cereus menyatakan bahwa karvakrol pada konsentrasi 0.75 mmoln atau
lebih akan menghentikan perturnbuhan B. cereus. Pada konsentrasi yang lebih
rendah, karvakrol akan merrnperpanjang fase adaptasi dan menurunkan laju
pertumbuhan serta menurunkan densitas B. cereus. Hal ini menunjukkan pola
penghambatan terhadap 8. cereus yang serupa akibat karvakrol maupun ekstrak
kloroform lengkuas. Pada konsentrasi antimikroba yang rendah. B cereus masih
mampu memulihkan din dari pengaruh antimikroba sehingga hanya berpengaruh
pada fase adaptasinya. Pada konsentrasi antimikroba yang lebih tinggi, karakteristik
komponen lipofilik membran terganggu sehingga mikroba tidak dapat lagi bertahan
dari pengaruh antimikroba.
Penghambatan perturnbuhan bakteri B. cereus hingga lebih dari 99,9% oleh
senyawa lainnya seperti asam hidroksi sinarnat (kafeat, ferulat dan p-kumarat) tejadi
pada konsentrasi 0.5 mglml yang dicapai setelah 9 jam inkubasi (Herald dan
Davidson. 1983). Hal ini menunjukkan bahwa senyawa asam kekuatannya sekitar
3 kali lipat ekstrak kloroform yang masih berisi campuran berbagai jenis senyawa
tunggal.
b. Pengaruh pH medium
Pengujian untuk melihat pengaruh pH medium terhadap aktivitas antimikroba
ekstrak kloroform pada 8. cereus dilakukan pada medium dengan keasaman
tertentu yaitu yang diatur nilai pHnya dati 4-9 dengan selang nilai 1. Konsentrasi
ekstrak kloroform yang ditambahkan adalah konsentrasi dibawah MIC untuk
9. cereus yaitu 1.25 mglml. Sebagai kontrol digunakan medium yang diatur pHnya
dari 4-9 tanpa penarnbahan ekstrak kloroform. Hasil pengamatan yang dinyatakan
dengan log Nfflog No dapat dilihat pada Gambar 33 dan 34 dan Lampiran 36.
Penggunaan konsentrasi ekstrak kloroform pada penelitian ini dengan
konsentrasi dibawah MIC dimaksudkan agar pengaruhnya pada pertumbuhan
B. cereus dapat teramati karena pada konsentrasi dibawah MIC, ekstrak lengkuas
hanya mempengaruhi fase adaptasi pertumbuhan rnikroba. Selain itu aplikasi
konsentrasi dibawah konsentrasi MIC akan memberikan respon fisiologis dan
morfologis (Chopra dan Linton, 1986) dan sel dapat mengalami perubahan
hidrofobisitas dari perrnukaan sel dan penurunan jumlah eksopolisakarida (Mc-
Kenney et al.. 1994).
1
Waktu kontak Uam)
/-pH 5 +pH 6 - - - &- pH 7 8 +pH 9 1
Gambar 33. Pengaruh pH medium (5-9) terhadap pola pertumbuhan 6. cereus (log
Ntnog No) pada medium tanpa ekstrak kloroform.
0 6 12 18 24
Waktu kontak (jam)
/ - - 0- - p~5 - pH6 +pH7 -%+pH8 -++pH91
Garnbar 34. Pengailrh pH medium (5-9) terhadap pola pertumbuhan B. cereus (log
Nfflog No) pada medium yang diberi ekstrak kloroform pada konsentrasi
1.25 rng/ml.
Pada Gambar 34 terlihat bahwa efektivitas antimikroba ekstrak kloroform
lengkuas sangat dipengaruhi oleh nilai pH. Efektivitas terbesar diperoleh pada
penggunaan pH 5 yang menghambat pertumbuhan B. cereus hingga nilai
log Nfflog No: 0,32 hingga pengamatan jam ke 24. Sedangkan pada kondisi pH
lainnya penghambatan yang diberikan tidak sebesar pada pH 5. Pada pH 9 juga
terlihat penghambatan yang agak besar hanya pada jam ke 6, sedangkan pada pH 6
dan 8 penghambatan pertumbuhan B. cereus karena ekstrak kloroform terendah.
Pada pH 7, ekstrak kloroform masih memberikan pengaruh penghambatan bila
dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Secara umum B. cereus tumbuh pada
kisaran pH 4.9 hingga 9.3 dengan pH optimum 7.0 -7.5 (Adam dan Moss, 1995).
Secara umum pH dapat mempengaruhi aktivitas antimikroba dengan cara
mempengaruhi senyawa antimikroba karena beberapa senyawa antimikroba bersifat
asam dan basa Iemah sehingga dapat lebih aktif pada kondisi tidak terionisasi dan
aktivitasnya tergantung dari pKa dan pH medium. Selain itu pH juga dapat
menyebabkan perubahan pada distribusi muatan pada dennukaan set bakteri
sehingga lebih sesuai dengan muatan pada senyawa antimikroba (Bloomfield, 1991).
Menurut Hugo dan Russell (1981) aktivitas antimikroba komponen fenolik
akan semakin meningkat pada kondisi media yang semakin asam. Selain itu Siliker
(1 980) juga menyatakan bahwa aktivitas antimikroba pada pH rendah akan semakin
tinggi dibandingkan aktivitasnya pada pH netral terhadap bakten. Demikian juga
halnya dengan Al Khayat dan Blank (1985) yang menyatakan bahwa eugenol lebih
efektif menghambat germinasi spora 8. subtilis pada pH rendah.
Penetitian mengenai pengaruh pH juga dilakukan oleh Faith et al. (1992) yang
menyatakan bahwa isoeugenol dalam konsentrasi 100 ppm akan meningkatkan
aktivitas penghambatannya terhadap L. monocytogenes bila pH diturunkan dari 7
menjadi 5.8. Selain itu Ultee et al. (1998) juga menunjukkan bahwa aktivitas
antimikroba karvakrol tertinggi tejadi berturut-turut pada pH 43; 8.5; 5,5 dan 6.5,
sedangkan pengaruh terkecil tejadi pada pH 7. Komponen aromatik pada lengkuas
sebagaimana eugenol dan isoeugenol antara lain adalah asetoksikavikol asetat.
Mekanisme penghambatan pertumbuhan bakteri B. cereus oleh komponen
antirnikroba yang terdapat pada ekstrak kloroform diperkirakan karena adanya
interaksi antara komponen yang bersifat lipofilik dengan fosfolipid membran sel
sehingga perrneabilitas sel akan meningkat dan sel mengalami kebocoran material
seluler seperti yang dikemukakan oleh Thompson (1996). Senyawa antimikroba pada
ekstrak kloroform kemungkinan juga terdapat dalam bentuk fenolik yang mernpunyai
pKa sekitar 10 (Ultee et al.. 1998). sehingga pada pH percobaan ini terdapat dalam
bentuk tidak terdisosiasi yang mernpunyai hidrofobisitas tinggi.
Kernungkinan lainnya dari pengaruh pH terhadap efektivitas senyawa
antimikroba adalah karena terjadi sinergisme antara kornponen antirnikroba dengan
komponen pengatur keasarnan. Substitusi antara bagian komponen antimikroba
dengan asarn klorida sebagai halogen yang digunakan untuk pengaturan pH
menyebabkan perusakan membran sel lebih efektif. Hal ini dapat disebabkan karena
reaksinya dengan enzim atau karena adanya ion Na atau ion CI rnengharuskan sel
rnengeluarkan energi ekstra untuk mengeluarkan ion-ion tersebut sehingga energi
untuk transpor komponen nutrisi dalam membran menjadi sangat terbatas (Shelef
dan Seiter, 1993).
Pengamatan pada asam hidroksi sinamat seperti yang dilakukan oleh Herald
dan Davidson (1983) memberikan hasil yang agak lain. Peningkatan penghambatan
perturnbuhan rnikroba tejadi dengan semakin turunnya nilai pH untuk E. coli dan
S. aureus (pH 5. 6 dan 7) namun tidak untuk 8. cereus (pH 6, 6.5 dan 7). Pada pH 6;
6.5; dan 7 dosis 1 rnglrnl asam hidroksi sinamat tidak banyak memberikan perbedaan
aktivitas penghambatan terhadap 5. cereus. Hasil penelitian ini juga memberikan
garnbaran bahwa B. cereus merupakan bakteri yang sangat peka terhadap asam
hidroksi sinamat karena B. cereus pada selang pH 6-7 dapat dihambat dengan daya
hambat lebih dari 99,9% pada waktu kontak 9 jam. Perbedaan ketahanan antara
bakteri kokus Gram positif (S. aureus) dan bakteri batang Gram negatif (E. colf)
dengan bakteri batang Gram positif (B. cereus) disebabkan karena kondisi genetik
tersebut. Pada umumnya bakteri kokus lebih tahan dibandingkan dengan bakteri
batang. Onuorah et al. (1987) yang meneliti pengaruh pH terhadap E.coli dan
S. aureus menyatakan bahwa pH 3 dan 4 merupakan pH yang paling efektif untuk
menurunkan siklus eksponensial pertumbuhan bakteri tersebut.
c. Pengaruh pemanasan
Pengaruh pemanasan ekstrak kloroform terhadap stabilitas aktivitas
antimikrobanya dilihat pada kondisi pemanasan suhu 80. 100, dan 121' ~.
Pemanasan dilakukan selama 30 menit untuk suhu 80 dan 100' ~ serta 7 5 menit
untuk suhu 121C. Pemanasan pada suhu 121C dilakukan hanya selama 15 menit
karena mengacu pada proses sterilisasi medium yang baku. Hasil pengamatan pada
pH 7 untuk ketiga suhu tersebut dapat dilihat pada Gambar 35 dan Lampiran 37.
Pemanasan ekstrak kloroform memperlihatkan bahwa semakin tinggi suhu
pemanasan maka pengaruh terhadap aktivitas antimikrobanya semakin tinggi.
Ekstrak kloroform yang dipanaskan pada suhu 121' ~ selama 15 menit dapat
menahan laju pertumbuhan bakteri B. cereus pada waktu kontak 6 jam, sedangkan
pemanasan 8 0 ' ~ selama 30 menit pengaruhnya baru terlihat setelah jam ke 12.
Pada sernua perlakuan, setelah kontak selama 24 jam. pengaruh pemanasan sudah
tidak ada. Dengan demikian ekstrak kloroform bersifat tahan terhadap pemanasan
yang telah dilakukan.
0 0 4 1
0 6 12 18 24
Waktu kontak (jam)
Gambar 35. Pengaruh pemanasan (80,100, dan 12I0C selama 30.30. dan 15 menit)
ekstrak kloroform terhadap pola pertumbuhan 5. cereus (log Nfflog No).
Ketahanan senyawa antimikroba sangat bervariasi dari mulai yang peka
hingga sangat tahan terhadap pengaruh pemanasan. Senyawa yang berberat
molekul rendah seperti yang banyak terdapat pada rernpah-rempah umumnya
bersifat kurang stabil dan mudah menguap dengan adanya pemanasan. Ewald et al.
(1999) yang meneliti penga~h pemanasan kuersetin dan kaemferol dari golongan
flavonoid menyatakan bahwa pemanasan pada suhu 6 0 ' ~ selama 2 jam akan
menurunkan jumlahnya masing-masing sebesar 48 dan 68%.
Pengaruh pemanasan terhadap efektivitas senyawa antimikroba juga pernah
dilakukan oleh Shashikant et al. (1981) yang memanaskan ekstrak bawang putih dan
dijelaskan bahwa aktivitas antimikrobanya tetap stabil selama 48 jam bila disimpan
pada suhu 37-C dan hanya stabil selama 36 jam bila suhu penyimpanan dinaikan
menjadi 58%. Molins et al. (1984) juga telah mensterilisasi tetra sodium pirofosfat
dan menambahkannya dalam jumlah 0.5 %(b/b) pada medium T~ypticase Soy Agar.
Hasilnya adalah pemanasan dengan otoklaf (12I0C, 15 menit) akan menurunkan
efektivitas daya hambat fosfat pada perturnbuhan S. typhirnuriurn dan P. aeruginosa
hingga lebih dari 50 940 selama inkubasi 24 jam.
Senyawa antimikroba yang bersifat tahan panas antara lain adalah
bakteriosin. Pemanasan bakteriosin yang dihasilkan oleh Lactobacillus sp. pada
suhu 9 8 ' ~ selama 30 menit dan 12l0c selama 15 menit temyata tidak merubah
aktivitas antimikrobanya (Djaafar et al.. 1996). Djaafar et al., 1996 juga mensitir hasil
penelitian Bhunia et al. (1988) dan Bar et al. (1978) yang menerangkan bahwa
bakteriosin yang dihasilkan oleh Pediococcus acidilactici stabil pada pemanasan 90
dan l 2l oc, sedangkan bakteriosin dari LacfobaciJlus bulgaficus stabil terhadap
pengaruh pemanasan 1 0 0 ~ ~ selarna t jam.
Dengan rnernbandingkan hasil penelitian yang diiakukan terhadap ekstrak
bawang putih ataupun tetra sodium pirofosfat yang relatif tidak tahan panas dan
bakteriosin yang tahan panas maka senyawa antimikroba pada ekstrak kloroform
lengkuas dapat dinyatakan sebagai senyawa yang tahan panas. Pemanasan pada
suhu 12I0C selama 15 menit maupun IOO'C selama 30 menit tidak mempengaruhi
aktivitas antimikroba ekstrak kloroform lengkuas pada waktu kontak 24 jam.
D. FRAKSlNASl DAN IDENTlFlKASl KOMPONEN AKTlF EKSTRAK
KLOROFORM LENGKUAS
Ekstrak kloroform yang terdapat dalam bentuk residu kering telah terbukti
mempunyai aktivitas antimikroba terbesar diantara ekstrak-ekstrak yang dihasilkan
dari proses ekstraksi bubuk lengkuas. Oleh karena itu ekstrak kloroform diteliti lebih
lanjut untuk mengetahui fraksi aktifnya dengan cara fraksinasi dengan kromatografi
kolom. Selain itu dilakukan juga ekstraksi dengan pelarut kloroform untuk
mengekstrak komponen antimikroba secara langsung yang dilanjutkan dengan
proses pengendapan. Selanjutnya dari kedua jenis bahan tersebut diperbandingkan
aktivitas antimikrobanya, dan fraksi aktif diidentifikasi senyawa antimikrobanya.
Bagan dari proses fraksinasi ekstrak antimikroba lengkuas dapat dilihat pada Gambar
36. ldentifikasi fraksi aktif dilakukan menggunakan spektrofotometer IR,
spektrofotometer UV-Vis, GC-MS dan DbMS.
ekstrak kloroform ekstraksi bertingkat ekstrak kloroform ekstraksi langsung
fraksinasi dengan kolom kromatografi
1
fraksinasi dengan pengendapan
1
fraksi aktif fraksi aktif
4
analisis
4 ..
analisis
kromatografi cair kine rja tinggi kromatografi cair kinerja tinggi
4
separasi
kromatografi cair kine rja tinggi
I
.t
fraksi
Gambar 36. Bagan proses fraksinasi dan separasi antimikroba dari ekstrak lengkuas.
1. Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom
Fraksinasi ekstrak kloroform menggunakan kolom kromatografi diawali
dengan penentuan pelarut yang akan digunakan untuk rnelewatkan ekstrak kloroform
dalam kolom. Metode yang digunakan adalah separasi ekstrak kforoform
menggunakan kolom kromatografi dengan pelarut yang berbeda tingkat
kepotarannya dengan teknik pergantian pelarut rnulti step dengan rnenggunakan 4
jenis pelarut secara berturut-turut. Selain itu dilakukan juga pengujian 2 jenis pelarut
yang mempunyai kepolaran yang berbeda dengan beberapa perbandingan volume
untuk mengelusi ekstrak kloroform menggunakan kromatografi lapis tipis.
Fraksinasi dilakukan menggunakan teknik pergantian pelarut multi step yang
dimulai dari pelarut heksana yang nonpolar, campuran antara heksana dan dietil eter
(1:2, v/v), dietil eter dan metanol yang bersifat polar. Dietil eter dipilih karena
rnempunyai koefisien kepolaran yang tidak jauh berbeda dengan kloroforrn yaitu 4,3
untuk dietil eter dan 4.8 untuk kloroform. Jurnlah pelarut yang digunakan masing-
masing adalah 150 ml didasarkan pada perkiraan bahwa jumlah volume kolom yang
dilalui oleh sampei sekitar 141 ml, dengan demikian diharapkan sampel dengan sifat
kepolaran yang sama dengan pelarut yang digunakan sudah dapat tertarik keluar
dari tabung fraksinasi.
Pengujian aktivitas antimikroba fraksi yang diperoleh dilakukan terhadap
bakteri V. cholerae yang mewakili bakteri Gram negatif, S. aureus yang mewakili
bakteri Gram positif dan 6. cereus untuk jenis bakteri pembentuk spora. Hasil
pengujian tersebut dapat dilihat pada Garnbar 37 dan Lampiran 38. Pada Gambar 37
tersebut terlihat bahwa komponen antimikroba terdapat pada fraksi heksana-dietil
eter dan fraksi dietil eter. Bakteri uji yang peka terhadap fraksi ini adalah S. aureus
dan B. cereus, karena dapat dihambat pertumbuhannya dengan kornponen
antimikroba yang terdapat dalam dua fraksi, sedangkan V. cholerae hanya peka
temadap satu fraksi saja. Fraksi heksana-dietil eter lebih berpengaruh pada
- - duf??US dibandingkan pada 6. c e ~ u s , sedangkan fraksi dietil eter pengamhnya
lebih terlihat pada B cemus dibandingkan pada S aureus. Pada pengujian ini juga
terlihat bahwa aktivitas antimikroba pada fraksi dietil eter lebih tinggi (25800 mml g
fraksi) dibandingkan dengan ekstrak kloroforrnnya (5100 mml g ekstrak) temadap
8. cereus, dan terhadap S aureus fraksi heksana-dietil eter juga memberikan
pendek menunjukkan bahwa penggunaan eluen heksana:dietil eter = 12 (vlv),
menghasilkan spot terpisah terbanyak (Tabel 11).
Pemisahan yang baik selain akan menghasilkan spot yang lebih banyak
dibandingkan dengan yang Iainnya juga karena spot yang dihasilkan mempunyai
nilai Rf yang berkisar antara 0.3 hingga 0,8 (Harbome. 1996). Itu pula sebabnya
eluen heksana:dietil eter= 1:2 (vlv) merupakan eluen yang terbaik.
Tabel I I. Nilai Rf dari proses pernilihan pelarut untuk ekstrak kloroform dengan
rnetode kromatografi lapis tipis
Berdasarkan hasil pada pemilihan jenis pelarut yang sesuai dengan metode
fraksinasi dengan kolom kromatografi dengan teknik pergantian pelarut multi step
dan dengan kromatografi lapis tipis maka selanjutnya fraksinasi ekstrak kloroform
dalam kolom kromatografi dilakukan secara berkesinambungan menggunakan
pelarut heksana, campuran heksana-dietil eter dengan perbandingan 1 :2 dan 1 :4,
dietil eter dan rnetanol masing-masing dengan volume sekitar 150, 300,400,600 dan
300 ml tergantung dari pola kromatogram yang dihasilkan yaitu saat mana
absorbansi mencapai minimal dilakukan pergantian pelarut. Setiap fraksi yang
dirnonitor nilai absorbansinya menuju satu puncak dikoleksi dan berhasil dipisahkan
8 buah fraksi (Gambar 38 dan Lampiran 39). Nilai absorbansi dimonitor pada dua
panjang gelombang yaitu pada 254 nm yang merupakan serapan senyawa organik
pada umumnya, dan pada 280 nm untuk serapan senyawa fenolik.
panjang geFombang 254 nm
K6 K8
panjang gelombang 280 nm
~~ ~ ~~ ~~. . ~ ~~ ~ ~~ ~ ~~ ~~ ~~ ~~ ~~ ~~~~ .. . ~ .. ~~~ ~~ ~~~~~~~~~~~
1 K2 K6 K8
Gambar 38. Grafik absorbansi setiap fraksi hasil fraksinasi ekstrak kloroform
menggunakan kolom kromatografi.
Pada fraksinasi rnenggunakan kolom kromatografi digunakan silika gel yang
merupakan adsorben polar yang dapat mengadsorbsi komponen polar lebih kuat
dibandingkan komponen nonpolar. Komponen antimikroba nonpolar yang dielusi
dengan pelarut heksana yang bersifat nonpolar menyebabkan komponen ini tidak
ditahan dengan kuat pada kolom dan dikeluarkan tebih dahulu. Pada bagian akhir
fraksinasi dengan kolom kromatografi ini dilewatkan metanol yang bersifat polar.
sehingga dengan demikian diharapkan semua komponen yang relatif nonpolar
sampai yang re[atif polar dapat dikeluarkan secara gradien pada proses separasi ini.
Hasil analisis daya antimikroba fraksi menunjukkan bahwa komponen
antimikroba terdapat pada fraksi K2, K3 dan K4 (Gambar 38) yang menunjukkan
komponen antimikroba lengkuas sifatnya agak nonpolar seperti telah dibuktikan
dengan cara separasi menggunakan teknik pergantian pelarut multi step yang
volume pelarutnya sudah ditentukan diawal. Daya antimikroba pada setiap fraksi
dianalisis dengan konsentrasi 15 rnglml dan setiap fraksi mempunyai aktivitas
berbeda terhadap bakteri uji (Gambar 39 dan Lampiran 40).
Gambar 39. Pengaruh fraksi hasil fraksinasi ' ekstrak kloroform dengan kolom
kromatografi terhadap aktivitas antimikroba.
Bakteri yang dapat mendeteksi adanya aktivitas antimikroba pada fraksi K2,
K3 dan K4 hanyalah 8. cereus, sedangkan S. aufeus dan V. cholerae hanya
rnendeteksi adanya aktivitas antimikroba pada fraksi K3. Hal ini rnernberi indikasi
bahwa fraksi K3 mernpunyai senyawa antirnikroba yang lebih banyak atau lebih kuat
aktivitasnya. Daya harnbat fraksi K3 terbesar adalah pada S. aumus diikuti oleh
8. cereus dan kernudian V. cholerae. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa
bakteri Gram positif lebih peka dibandingkan dengan bakteri Gram negatif, dan
rnernberi dugaan bahwa senyawa antimikroba pada lengkuas bersifat cenderung ke
nonpolar. Fraksi antirnikroba tersebut terdapat dalarn fraksi yang larut dalarn pelarut
heksana:dietil eter = I :2 (vlv).
Suteja dan Agustina (1994) yang rnenggunakan rnetode fraksinasi yang
serupa untuk ekstrak kloroforrn biji lada rnenunjukkan hasil bahwa aktivitas
antirnikroba fraksi biji lada terdapat pada fraksi ke 3,4 dan 5. Penggujian fraksi
dengan konsentrasi 20 mglrnl pada S. aumus rnernberikan zona harnbat rnasing-
rnasing adalah 10, l l dan 1 I rnrn untuk masing-masing fraksi tersebut. Hal ini tidak
berbeda jauh dengan senyawa TCC (triklorodearbnelida) dan lrgasan DP 33 (trikloro
hidroksi difenii eter). Bila dibandingkan dengan penelitian ini dengan pengujian fraksi
K3 dengan konsentrasi 15 rnglrnl terhadap S. aumus yang rnernberikan zona hambat
17.6 mrn rnaka terlihat bahwa fraksi K3 lengkuas lebih kuat daya antirnikrobanya
dibandingkan dengan fraksi K3 biji lada.
2. Fraksinasi dengan Pengendapan
Selain dengan ekstraksi bertingkat, dilakukan juga ekstraksi Iangsung dengan
pelarut kloroforrn yang diikuti dengan proses pengendapan. Fraksinasi dengan
proses pengendapan diawali dengan ekstraksi bubuk lengkuas secara langsung
dengan kloroform. Selanjutnya dilakukan pengendapan pada suhu dingin setelah
ditambah dengan petroleum eter yang mempunyai tetapan dielektrik 1.89 sehingga
bersifat nonpolar (Garnbar 9). Setiap tahapan fraksi yang dihasilkan dilakukan
pengujian terhadap rendemen dan aktivitas antimikrobanya, dan hasilnya dapat
dilihat pada Gambar 40 dan Lampiran 41.
Aktivitas antimikroba hanya terlihat pada bakteri uji B. cereus sedangkan
pada V. choleme dan S. aureus aktivitas antimikroba tidak dapat terdeteksi. Aktivitas
antimikroba tertinggi terdapat pada fraksi II yang memberikan aktivitas antimikroba
18000 mmlg fraksi pada bakteri uji B. cereus dibandingkan pada fraksi t hanya 8178
mm/g fraksi dan pada fraksi Ill sebesar 10822 mmlg fraksi. Rendemen yang
dihasilkan juga menunjukkan bahwa fraksi II mempunyai rendemen yang tertinggi
yaitu 2.8 % dibandingkan hanya 1.1 dan 0.5 % pada fraksi IIt dan I. Fraksi I1
dinamakan fraksi aktif.
I
Tahappengendapan
I
Gambar 40. Pengaruh fraksi kloroform yang diperoleh dengan pengendapan
terhadap aktivitas antimikroba.
Aktivitas antirnikroba pada fraksi aktif yang dihasilkan dari fraksinasi dengan
pengendapan sebesar 18000 mrn/g fraksi terhadap B. cereus Iebih kecil bila
dibandingkan dengan aktivitas antimikroba fraksi aktif yang diperoleh dari fraksinasi
dengan kolom kromatografi, yaitu sebesar 27000 rnrn/g fraksi juga terhadap bakteri
yang sama. Apabila dibandingkan dengan ekstrak klorofom sebelum fraksinasi yang
rnernpunyai aktivitas antirnikroba sebesar 5100 mmlg ekstrak, maka fraksinasi yang
dilakukan baik rnenggunakan metode kolom kromatografi maupun dengan
pengendapan berhasil mendapatkan komponen-komponen aktif yang rnungkin
kemurniannya lebih tinggi karena rnarnpu meningkatkan aktivitas antirnikrobanya
karena aktivitas antimikroba setelah fraksinasi lebih tinggi dibandingkan dengan
sebelum difraksinasi.
Selanjutnya pada fraksi aktif yang diperoleh dengan pengendapan dilakukan
pemisahan komponen dengan kromatografi lapis tipis gel silika untuk memisahkan
lebih lanjut komponen yang ada pada fraksi tersebut. Pernisahan komponen dengan
kromatografi lapis tipis gel silika dilakukan dengan pelarut pengembang
heksana:dietil eter = 1:2 (vlv) dan setelah terpisah. dilakukan pengujian aktivitas
antimikroba terhadap 8. cereus. Hasil pemisahan dengan kromatografi lapis tipis
rnemperlihatkan bahwa fraksi aktif terdiri dari 4 spot yang masing-masing rnernpunyai
aktivitas antirnikroba yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 12. Pada pemisahan
dengan kromatografi lapis tipis gel silika terlihat bahwa ada 2 spot berdekatan yang
rnempunyai aktivitas antimikroba, sedangkan 2 spot lainnya tidak rnernperlihatkan
aktivitas antimikroba.
Selanjutnya spot yang rnempunyai aktivitas antimikroba yang terbesar diuji
kembali untuk rnelihat apakah komponen yang terdapat pada spot tersebut
rnerupakan campuran kornponen, dart dipisahkan dengan berbagai jenis pelarut yang
hasilnya dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 12. Nilai Rf dan aktivjtas antimikroba fraksi pada kromatografi lapis tipis gel
silika
Tabel 13. Nilai Rf dari spot ke 2 kromatografi lapis tipis gel silika yang dielusi
kembali rnenggunakan beberapa campuran pelarut rnenggunakan
krornatografi lapis tipis gel silika
Hasilnya rnenunjukkan bahwa sebenarnya spot yang mengandung aktivjtas
antirnikroba rnasih terdiri dari campuran komponen. Pelarut heksana:dietil eter
=l:l(v/v) rnerupakan pelarut yang lebih sesuai karena dapat memberikan 4 spot
yang terpisah. Hasil pada Tabel 13 ini juga rnemtjuktikan bahwa penggunaan pelarut
sangat rnenentukan proses separasi kornponen antimikroba dari ekstrak lengkuas,
dan kornponen aktif lengkuas selain dapat larut daiarn pelarut klorofom juga larut
dalam pelarut heksana-dietil eter seperti juga telah terbukti pada pemisahan ekstrak
klorofom menggunakan kolom kromatografi dengan pelarut heksana-dietil eter.
3. Fraksinasi Kornponen Antimikroba dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Pada fraksinasi dengan kolom kromatografi, rendemen fraksi aktif yang
berbentuk kristal diperoleh sangat rendah yaitu sekitar 1.74% dari ekstrak klorofom
atau 0.014% dari bubuk lengkuas. Sedangkan dengan fraksinasi langsung
menggunakan kloroform yang dilanjutkan dengan proses pengendapan diperoleh
rendemen yang lebih tinggi yaitu 2.8% dari bubuk lengkuas, walaupun aktivitas
antimikroba pada fraksi yang dihasifkan dari fraksinasi kolom lebih tinggi.
Pada kedua jenis fraksi, baik yang diperoleh melalui kolom kromatografi
maupun dengan pengendapan, terdapat senyawa antimikroba. Pembuktian
menggunakan kromatografi lapis tipis gel silika memberi informasi bahwa komponen
antimikroba yang terdapat pada kedua fraksi tersebut masih berupa kornponen
campuran. Oleh karena itu perlu diadakan fraksinasi kornponen lebih lanjut
menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi secara isokratik.
Fraksinasi dengan kromatografi cair kinerja tinggi menggunakan eluen
metanol:air= 1:l (vlv) secara isokratik memberikan pemisahan komponen yang cukup
baik. Penggunaan pelarut metanol:air= I : 7 (vhr) dengan kolom C18 secara isokratik
juga pemah dilakukan oleh Suradikusumah (?990) yang membuktikan bahwa pelarut
metanol:air= ?:I (vlv) memberikan hasil pemisahan komponen fenolik yang terbaik
menggunakan kromatografi cair kine rja tinggi dengan laju aIiran 2 mll menit.
Hasil dari fraksinasi komponen menggunakan kromatografi cair kine j a tinggi
sistem isokratik dapat dilihat pada Gambar 41 untuk fraksi teraktif (K3) yang
diperoleh dari fraksinasi menggunakan kolom kromatografi, dan Gambar 42 untuk
fraksi teraktif (11) yang diperoleh dengan cara pengendapan. Pada Gambar 41 terlihat
bahwa pemisahan fraksi K3 rnenggunakan kolom kromatografi mernberikan lebih dari
10 puncak yang terpisah dengan baik. Hal ini berarti komponen yang berhasil
dipisahkan dengan kolom kromatografi masih sangat beragam, sedangkan puncak
yang berhasil dipisahkan dari fraksi II yang diperoleh melalui proses pengendapan
lebih sedikit. yaitu dapat dihasilkan lebih dari 5 komponen dan terdapat 5 puncak
utama yang terpisah dengan baik (Garnbar 42).
Proses fraksinasi dengan kolorn kromatografi juga memperlihatkan bahwa
fraksi K3 yang dihasilkan sangat sedikit jumlahnya (14.0 mg) dibandingkan dengan
fraksi II yang diperoleh dari proses pengendapan (2.8 g) dari 100 g bubuk lengkuas.
Oleh sebab itu maka pengujian aktivitas antimikroba lebih lanjut dilakukan terhadap
fraksi yang diperoleh dari fraksinasi dengan pengendapan.
Waktu (menit)
Gambar 41. Pola krornatogram kromatografi cair kineja tinggi sistem isokratik dari
fraksi aktif hasil fraksinasi dengan kolom kromatografi dengan kondisi
analisis seperti terlihat pada Tabel 4.
Gambar 42. Pola kromatograrn krornatografi cair kinerja tinggi sistem isokratik dari
fraksi aktif hasil fraksinasi dengan pengendapan dengan kondisi
analisis seperti terlihat pada Tabel 4.
Hasil dari pengujian aktivitas antimikroba terhadap bakteri V. cholerae,
S. aureus dan 8. cereus dari setiap fraksi yang berhasil dipisahkan dengan
krornatografi cair kinerja tinggi sistem isokratik dapat dilihat pada Gambar 43.
Hasilnya menunjukkan hanya 8. cereus yang dapat mendeteksi adanya aktivitas
antimikroba pada konsentrasi fraksi 15 rng/ml. Hanya pada fraksi 11.3 krornatografi
cair kineja tinggi sistern isokratik, terdapat kornponen yang mempunyai daya
antimikroba terhadap 8. cereus yang ditunjukkan dari zona hambat sebesar 5,l mm
atau dengan aktivitas antimikroba 11300 mmig fraksi (Gambar 43). Fraksi yang
dihasilkan dari pemisahan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi sistern
isokratik memperlihatkan aktivitas antimikroba terhadap 8. cereus yang lebih rendah
(11300 mm/g fraksi) jika dibandingkan dengan sebelum dipisahkan dengan
kromatografi cair kinerja tinggi sistem isokratik (18000 mrnlg fraksi). Perbedaan daya
antimikroba tersebut memberikan indikasi bahwa daya antimikroba masing-masing
komponen yang telah diseparasi dengan kromatografi cair kineja tinggi sistem
isokratik tidak sebesar komponen asalnya dan aktivitas suatu senyawa antimikroba
merupakan sinergi dari beberapa komponen asalnya.
11.1 11.2 11.3 11.4 11.5
Nomor fraksi
Gambar 43. Pengaruh fraksi yang diseparasi dari fraksi aktif kloroform dengan
krornatografi cair kinerja tinggi sistem isokratik terhadap aktivitas
antimi kroba.
Hal ini dapat terjadi antara lain karena kemungkinan komponen antimikroba
pada lengkuas merupakan sinergi antara komponen yang bersifat volatil dan non
volatil. Adanya komponen non volatil pada fraksi juga telah dilihat dengan
menggunakan Dl-MS (Gambar 44). Namun untuk rnenentukan jenis komponen yang
terdapat pada fraksi 11.3 dari lengkuas belum dapat dilakukan karena keterbatasan
spektra standar yang tersedia.
Adanya aktivitas dari komponen non volatil diperkuat dengan pengujian
rnenggunakan ekstrak kloroform yang diuji setelah kertas cakram yang ditetesi
dengan 30 p1 ekstrak (15mglml) dipanaskan dalam oven pada suhu 1 0 0 ~ ~ selama
1 jam, yang hasilnya menunjukkan terhadap 8. cereus zona hambat yang dihasilkan
adalah 3,4 mm pada ekstrak yang dipanaskan dibandingkan 7.6 mm pada pedakuan
kontrol yaitu ekstrak yang tidak dipanaskan. Hal ini menunjukkan bahwa
pengurangan zona harnbat tersebut dapat disebabkan sebagian komponen aktif
sudah terdekomposisi karena panas sehingga aktivitasnya turun dan sebagian lagi
yang bersifat volatil sudah menguap, karena telah dibuktikan bahwa pemanasan
dengan cara sterilisasi dalam medium tidak menumnkan aktivitas antimikroba
(Gambar 35).
-
Waktu (menit)
Gambar 44. Pola kromatogram fraksi 11.3 dengan Dl-MS. Kondisi analisis dapat dilihat
pada Tabel 6.
Aktivitas antirnikroba yang lebih besar pada fraksi yang belum dipisahkan
dengan kromatografi cair kinerja tinggi isokratik dibandingkan dengan fraksi
komponen setelah dipisahkan dengan kromatografi cair kinerja tinggi sistem isokratik
juga menuniukkan bahwa aktivitas antimikroba dari lengkuas rnerupakan sinergi dari
beberapa komponen tunggal. Kemungkinan lainnya adalah komponen yang
mempunyai aktivitas antimikroba tidak semuanya terkoleksi dengan baik karena
menunjukkan puncak yang rendah pada kromatogram hasil pemisahan dengan
kmmatografi cair kinerja tinggi sistem isokratik. Hal ini mengingat bahwa yang
dikoleksi hanya 5 puncak yang terbesar saja sedangkan pada puncak yang kecil
kemungkinan juga mempunyai aktivitas antimikroba.
Berdasarkan hasil analisis aktivitas antimikroba telah diketahui bahwa dari
5 puncak hasil pemisahan dengan kromatografi cair kinerja tinggi sistem isokratik
diketahui hanya puncak ketiga saja yang bersifat sebagai antimikroba, oleh karena
itu maka puncak ketiga tersebut diuji kernurniannya dengan krornatografi cair kinerja
tinggi menggunakan sistem gradien dan dimonitor absorbansinya pada panjang
gelombang 254 nm. asi if pengamatan kromatografi cair kineja tinggi sistem gradien
menunjukkan bahwa pada fraksi 11.3 tersebut terdiri dari enam puncak kecil dan satu
puncak besar yang keluar dengan waktu retensi sekitar 36,9 menit dengan
persentase kemumian sebesar 76% pada panjang gelombang 254 nm (Gambar 45).
Waktu (menit)
Gambar 45. Pola kromatogram fraksi 11.3 kromatografi cair kineja tinggi yang
dianalisis dengan kromatografi cair kinerjh tinggi sistem gradien.
Kondisi analisis dapat dilihat pada Tabel 5.
4. ldedifikasi Komponen Antimikroba
Usaha untuk mengetahui identitas komponen antimikroba fraksi dilakukan
dengan analisis menggunakan spektrofotometer IR dan UV-Vis. Selain itu juga
dilakukan analisis menggunakan GC-MS dan Dl-MS. Hasil analisis komponen 11.3
menggunakan spektrofotometer IR ditunjukkan pada Gambar 46 dan kemungkinan
gugus fungsional yang terdeteksi pada kornponen tersebut dapat dilihat pada Tabel
14.
Hasil pengamatan spektrum spektrofotorneter UV-Vis yang dilakukan pada
panjang gelombang 200-600 nrn terhadap fraksi 11.3 yang dikoleksi dari hasil
pemisahan kromatografi cair kineja tinggi rnenunjukkan bahwa fraksi tersebut
mempunyai daerah serapan maksirnum pada panjang gelombang 324 nm dengan
intensitas 0,56 untuk pita I. Selain itu terdapat juga pita ke II dengan serapan
maksimurn sekitar 235 nm dengan intensitas 0.25 (Gambar 47).
I CI
Gambar 46. Spektra 1R fraksi 11.3 pada frequensi 400-4600 cm-'
Tabel 14. lntepretasi spektra IR fraksi 11.3
Fnekuensl [cm-'1
3600.0; broad
2933.5; sharp
1730.0; sharp
1600,S; sharp
1390.6; sharp
KemungkiGan gwbs figsiorhal ' '
"
Bonded 0 - H
C - H
C = O
C = C
C - 0
Gambar 47. Spektra UV-Vis fraksi 11.3 pada panjang gelombang 200-400 nm.
Untuk mengetahui jenis senyawa pada fraksi 11.3 yang dianalisis dengan
spektrofotometer IR maupun UV-Vis maka diperlukan penetusuran senyawa tersebut.
Pada awalnya bubuk lengkuas diekstrak dengan pelarut kloroform sehingga senyawa
alkaloid, aglikon dan minyak atsiri dapat terpisah dari ampasnya. Senyawa aglikon
yang mungkin terdapat pada lengkuas antara lain dari golongan flavonoid dan dari
golongan flavonoid terdapat senyawa flavon dan flavonol yang berwama kuning
(Robinson, 1991; Houghton dan Raman, 1998). Senyawa flavonoid yang mempunyai
spektrum serapan pita I antara 310-350 nm dan pita 11 250-280 nm antara lain adalah
senyawa flavon, sedangkan flavonol adalah 330-360 nm untuk pita I dan 250-280
nm untuk pita II (Markham, 1988).
Berdasarkan pustaka tersebut dapat diperkirakan bahwa senyawa pada fraksi
11.3 adalah golongan flavonol. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Harbome (1996)
yang menyatakan pada flavonol adanya gugus OH pada 3' dan 4' rnernberikan
puncak kedua pada pita II benipa bahu. Pergeseran pita ke panjang gelombang yang
lebih rendah dapat disebabkan karena adanya metilasi dan keberadaan pita ke II
yang tidak persis pada kisaran panjang gelombang flavonol, dan rnenggeser pada
posisi panjang gelombang yang lebih rendah dapat disebabkan karena adanya
perbedaan pada pola hidroksjlasi dan perbedaan pada derajat substitusi gugus
hidroksil. Dugaan bahwa senyawa tersebut adalah senyawa flavonol dikuatkan
dengan hasil spektrofotometer IR yang menunjukkan adanya gugus fungsional 0-H,
C-H. C=O, C=C, C-0 sebagai gugus fungsional yang dipunyai oleh flavonol (Gambar
2 dan 3). Sumastuti dan Pramono (1999) juga rnenemukan bahwa pada fraksi non
volatil dari lengkuas terdapat turunan flavonol sebagai kandungan utamanya.
Senyawa golongan flavonol yang terdapat pada Alpinia s p. adalah galangin.
kaemferol dan kuersetin (Gottlieb, 1975). Dari beberapa senyawa tersebut telah
terbukti bahwa kuersetin bersifat bakterisidal (Duke, 1994). Pendugaan terhadap
komponen yang berperan sebagai antimikroba pada lengkuas dapat lebih dipastikan
bila dapat diketahui dengan pasti setiap struktur komponen yang diduga tersebut.
Penentuan struktur kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan spektroskopi
resonansi magnet inti yaitu spektroskopi magnet proton dan spektroskopi magnet
karbon-13. Namun pada penelitian ini haf tersebut tidak dilakukan.
Hasil analisis GC-MS untuk fraksi aktif lengkuas menunjukkan adanya suatu
komponen volatil yang mempunyai waktu retensi sekitar 36 menit. Kromatogram GC-
MS fraksi aktif dari pernisahan menggunakan kolom kromatografi pada Garnbar 48
memperlihatkan adanya tiga puncak yang cukup besar yang menunjukkan ada tiga
macam komponen yang terpisah dengan baik.
Adanya BHT (Butylated Hydroxy Toluen) pada fraksi tersebut kernungkinan
berasal dari pelarut dietil eter yang digunakan pada waktu ekstraksi maupun elusi,
dan keberadaan BHT berfungsi sebagai antioksidan untuk dietil eter. Sedangkan
ptalat berasal dari plastik. Dengan demikian hanya puncak ke dua yang memberikan
indikasi komponen antimikroba dari fraksi volatil. Kornponen tersebut mempunyai
waktu retensi 36.78 menit.
Waktu (menit)
Gambar 48. Pola total ion kromatogram GC-MS dari fraksi aktif yang difraksinasi
dengan kromatografi kolom. Kondisi analisis dapat dilihat pada Tabel 7.
Komponen 1 =BHT, komponen 2= asetoksikavikol asetat, komponen 3=
ptalat.
Hasil analisis komponen dari fraksi aktif yang diperoleh dari proses
pengendapan memberikan lima puncak dengan satu puncak utama yang keluar pada
waktu retensi 36,92 menit (Gambar 49). Pola spektra massa komponen dari fraksi
aktif lengkuas sama dengan pola spektra massa komponen asetoksikavikol asetat
standar (Gambar 50).
Ion fragmen yang terlihat pada spektramassa asetoksikavikol asetat dari
lengkuas dan standar yang dinyatakan dengan mlz (massahnuatan) dan
intensitasnya disajikan pada Tabel 15.
Waktu (menit)
Garnbar 49. Pola total ion kromatogram GC-MS dari fraksi aktif yang difraksinasi
dengan pengendapan. Kondisi analisis dapat dilihat pada Tabel 7.
Komponen l=asam lernak (asam n-andekanoat), komponen
2= asetoksikavikol asetat, komponen 3=isomer asetoksikavikol asetat,
komponen 4= asam lernak.
Gambar 50. Spektra massa fraksi aktif lengkuas (1) dan standar asetoksikavikol
asetat (2).
Tabel 15. Ion fragmen komponen antimikroba pada lengkuas
Dari perbandingan data tersebut dapat diperkirakan bahwa komponen
antimikroba yang terdapat pada lengkuas merah yang teridentifikasi dengan GC-MS
sarna dengan asetoksikavikol asetat standar atau isomer dari asetoksikavikol asetat,
dengan waktu retensi masing-masing adalah 36.78 dan 36.92 rnenit (kolom DB5)
untuk asetoksikavikol asetat dari lengkuas rnerah dan 35,15 menit (kolorn HP5)
untuk standar.
Komponen asetoksikavikol asetat rnempunyai berat molekul 234. Analisis
kornponen tersebut dalam etanol dengan spektrofotometer UV-Vis menunjukkan
panjang gelombang maksimum pada 260 dan 216 nm, sedangkan dengan
spektrofotometer IR menunjukkan frekuensi rnaksirnum terdapat pada
1760,1740,1600,1500 dan 1200-1240 cm-' (Mitsui, 1976). Struktur komponen
asetoksikavikol asetat dapat dilihat pada Gambar 51.
Garnbar 51. Struktur asetoksikavikol asetat (Watanabe et at., 1995).
Sebelumnya Mitsui et al. (1976) juga telah rnengidentifikasi asetoksikavikol
asetat dan asetoksieugenol asetat dari biji lengkuas yang digunakan sebagai anti
luka borok. ldentifikasi diawali dengan rnengekstrak biji lengkuas dengan rnetanol
sehingga diperoleh ekstrak rnetanol yang kemudian diekstrak kernbali dengan
heksana dan eter. Ekstrak eter setelah dicuci dengan NaHCOl 5% difraksinasi
dengan benzen sebagai eluen sehingga diperoleh asetoksikavikol asetat dan
asetoksieugenol asetat. Kondo et al. (3993) juga telah rnengidentifikasi kornponen
asetoksikavikol asetat dari lengkuas yang berasal dari Thailand untuk anti tumor.
Fraksinasi dilakukan rnenggunakan pelarut heksana:metanol:air terhadap ekstrak
metanol. Fraksi aktif berada dalarn lapisan terbawah yang kernudian dirnumikan
dengan kromatografi lapis tipis gel silika dengan pelarut totuen:aseton=3:1 dan
dengan krornatografi cair kine rja tinggi menggunakan pelarut asetonitril:air=35:65(v/v)
sehingga diperoleh asetoksikavikol asetat. Sedangkan Watanabe et al. (1995) juga
rnelakukan purifikasi kornponen lengkuas untuk anti fagositosis rnakrofag. Ekstraksi
bubuk lengkuas dilakukan dengan etil asetat kernudian dipurifikasi pada koiorn silika
dengan eluen heksana, toluen, etil asetat, aseton dan metanol. Selanjutnya fraksi
toluen difraksinasi secara gradien dengan kloroforrn-metanol. Fraksi yang berada
dalarn 100 % kloroform dilewatkan pada kolom sephadex dan dielusi dengan
rnetanol. Selanjutnya fraksi aktif dimumikan dengan krornatografi cair kinerja tinggi
menggunakan pelantt metanol:air=3:2 (vlv). Pada fraksi ini didapat satu puncak dan
diidentifikasi sebagai asetoksikavikol asetat.
Dengan demikian terlihat bahwa komponen asetoksikavikol asetat terdapat
pada beberapa jenis lengkuas (lengkuas putih dan merah dari berbagai daerah)
maupun bagian dari lengkuas (rimpang dan biji). Komponen ini juga dapat diekstrak
dengan rnenggunakan beberapa cara dengan berbagai macam pelarut dengan
tingkat kepolaran pelarut yang mengarah pada nonpolar seperti eter, heksana, toluen
dan kloroform.
Selain komponen asetoksikavikol asetat, Janssen dan Scheffer (1985) juga
menemukan komponen asetoksieugenol asetat dan hidroksikavikol asetat dalam
jumlah yang sangat kecil. Dari ke tiga komponen tersebut'hanya asetoksikavikol
asetat yang mempunyai daya antimikroba untuk menghambat kapang R. stolonifer,
P. expensum, Trichophyton mentagrophytes, T. rubrum, T. concentricum, dan
A. niger, sedangkan bakteri yang dihambat hanya S. aureus, dan tidak menghambat
C. albicans, P. aefuginosa, 6. subtilis dan E. coli pada pengujian dengan konsentrasi
14 mglml dengan pelarut kloroform. Pada penelitian ini pengujian fraksi 11.3 hanya
dilakukan terhadap 8. cereus dan hasilnya menunjukkan pada konsentrasi 15 mglml.
fraksi mampu menghambat perturnbuhan 6. cereus.
E. PEMBAHASAN UMUM
Pada penelitian ini telah dilakukan ekstraksi dengan berbagai jenis pelarut
yang dilanjutkan dengan proses fraksinasi untuk menentukan ekstrak dan fraksi
lengkuas yang mempunyai aktivitas antimikroba. Pada ekstrak air, penggunaan
lengkuas muda (3 bulan) menunjukkan aktivitas antimikroba yang lebih tinggi
dibandingkan dengan lengkuas tua (12 bulan) dan lengkuas merah lebih efektif
dibandingkan dengan lengkuas putih. Hal ini ditunjukkan dari pengujian MIC terhadap
7 jenis bakteri (E. coli, S. typhimurium, V. cholerae, P. aemginosa, , S. aureus,
B. cereus dan L. rnonocytogenes) yang mernberikan nilai MIC lengkuas muda rnerah
sebesar 9.3 mglml dibandingkan dengan MIC lengkuas tua rnerah 16.9 rnglrnl dan
lengkuas tua putih sebesar 20.6 mg/ml. Pada ekstrak air lengkuas yang diperkirakan
rnengandung senyawa fenolik seperti asarn fenolat, turunan dehidrosinamat dan
flavonoid (Duke, 1994;Houghton dan Raman, 1998) terlihat bahwa secara urnurn
bakteri Gram negatif lebih peka dibandingkan dengan bakteri Gram positif.
Sedangkan terhadap kapang, ekstrak tersebut rnernpunyai kepekaan yang relatif
sarna.
Pada ekstraksi yang menghasilkan rninyak atsiri, ekstrak metanol, dan ekstrak
heksana, terlihat bahwa semua jenis ekstrak tersebut mernpunyai aktivitas
antirnikroba. Efektivitas antimikroba yang terdapat pada ekstrak rnetanols ekstrak
heksana> minyak atsiri Iengkuas yang ditunjukkan dari aktivitas antimikroba sebesar
masing-masing 195, 170 dan 160 mm/g ekstrak yang rnerupakan rata-rata
pengukuran aktivitas antirnikroba dari 5 jenis bakteri (V. cholerae, P. aentginosa,
L. monocyfogenes, S. aureus dan B. cereus). Senyawa antirnikroba yang
diperkirakan terdapat pada ekstrak metanol adalah dari golongan alkaloid, aglikon
dan glikosida diantaranya adalah flavonoid, pada ekstrak heksana terdapat rninyak
atsiri dan asarn lernak serta pada minyak atsiri didominasi oleh senyawa terpenoid
(N~uyen et al., 1994; Robinson, 1995; Houghton dan Raman. 1998). Kornponen
antirnikroba yang berhasil djternukan pada rninyak atsiri lengkuas adalah 1,8-sineol,
p-pinen. a-terpineol, rnirsen dan asetoksikavikol asetat.
Ekstraksi lebih lanjut dari ekstrak rnetanol akan rnenghasilkan ekstrak
kloroform dan ekstrak metanol-air yang efektivitasnya sebagai antimikroba lebih
tinggi pada ekstrak kloroform dibandingkan dengan ekstrak metanol-air dengan
aktivitas sebesar 3614 mmlg ekstrak pada ekstrak kloroform dan <I 8 mmlg ekstrak
untuk ekstrak metanol-air. Senyawa antimikroba yang diperkirakan terdapat pada
ekstrak kloroform adalah dari golongan senyawa alkaloid dan aglikon serta senyawa
antimikroba yang terdapat pada ekstrak metanol-air dari golongan glikosida
(Houhgton dan Raman, t998).
Pengujian aktivitas antimikroba ekstrak-ekstrak tersebut pada bakteri
memberikan gambaran bahwa pada umumnya bakteri Gram negatif mempunyai
kepekaan yang lebih tinggi dibandingkan bakteri Gram positif terhadap senyawa
polar dan demikian juga sebaliknya, bakteri Gram positif lebih peka dibandingkan
dengan bakteri Gram negatif terhadap senyawa nonpolar. Mekanisme
penghambatan senyawa polar terhadap bakteri Gram negatif diperkirakan karena
pada Gram negatif terdapat gugus hidrofilik sehingga lebih mudah rnengikat senyawa
polar. Sebaliknya pada bakteri Gram positif terdapat gugus yang bersifat hidrofobik
sehingga lebih mampu mengikat senyawa nonpolar. Selain itu dinding sel bakteri
Gram positif terdiri dari rnatriks yang terbuka disekeliling mernbran sitoplasma
sehingga dapat dengan mudah ditembus dengan molekul berberat molekul lebih dari
10 kDa (Franklin dan Snow. 1989; Russell, 1991; Gorman, <991).
Penghambatan ekstrak-ekstrak tersebut terhadap pertumbuhan kapang
(R- oligosporus dan A. i7avus) pada umumnya adalah ekstrak yang bersifat nonpolar
lebih mampu rnenghambat perturnbuhan kapang dibandingkan dengan ekstrak polar.
Pengharnbatan kapang oleh ekstrak polar pada umumnya adalah rnemperpanjang
fase adaptasi disamping juga pengurangan diameter pertumbuhan kapang.
Diperkirakan kornponen nonpolar lengkuas yang mengandung gugus OH dapat
membentuk ikatan hidrogen dengan enzim target sehingga berakibat pertumbuhan
kapang terganggu (Mahmoud. T994).
Fraksinasi dari ekstrak kloroform menggunakan kolom kromatografi dan
pengendapan dapat rnenghasilkan fraksi antimikroba dengan aktivitas yang lebih
tinggi (27000mmIg dan 18000 mmlg) dari ekstraknya (3614 mmlg). Namun fraksinasi
lebih lanjut menggunakan kromatografi cair kineja tinggi sistem isokratik akan
menurunkan aktivitas antimikrobanya (11330 mmlg). Rangkuman proses ekstraksi
dan fraksinasi serta aktivitas antimikroba dan rendemen dapat dilihat pada Gambar
52.
Analisis fraksi lengkuas menggunakan spektrofotometer IR, spektrofotometer
UV-Vis, Dl-MS dan GC-MS memberikan gambaran bahwa'komponen non volatil
pada fraksi lengkuas adalah komponen yang mengandung gugus fungsional OH dan
diduga dari golongan flavonol. Sedangkan komponen volatil dari fraksi lengkuas
tersebut adalah asetoksikavikol asetat atau isomemya. Komponen tersebut efektif
untuk menghambat pertumbuhan bakteri B. cereus.
Secara umum diperkirakan bahwa penghambatan pertumbuhan mikroba oleh
komponen antimikroba daii lengkuas karena komponen tersebut setelah dapat
melewati dinding sel bakteri dan berinteraksi dengan enzim periplasma dan setelah
berpenetrasi ke bagian yang kaya lemak pada membran sitoplasma akan berinteraksi
dengan protein membran. Hal ini akan menyebabkan permeabilitas membran
terganggu yang berakibat sistem keseimbangan proton terganggu dan tejadi
kebocoran komponen intraseluler yang bila terjadi terus-menerus sel mikroba akan
mati (Ismaiel dan Pierson. 1990; Juven et al.. 1994; Kim et al.. 1995; Sikkema et al,
1995; Wendakoon dan Sakaguchi, 1995, Haraguchi et al.. 1996).
Bubuk lengkuas
4 + 4
distilasi refkluks heksana ekstraksi klorofcirm
f
minyak atsiri
$.
ekstrak heksana residu
4
ekstrak kloroform
A: 1601', 255" A: 170", 133~'
R: 0,22 R: 530
refluks metanol fraksinasi dengan pengendapan
1
ekstrak metanol fraksi I fraksi II fraksi Il l
A: 195 'I8 212~' A: 8178" A: 18000 2' A: 10822~'
~eteranaan:'
A: aktivitas antimikroba (mml g ekstrak atau fraksi)
R: rendemen (I) terhadap bubuk lengkuas
I): rata-rata dari 5 jenis bakteri uji
2': terhadap B. cereus
+
ekstraksi kloroform-air
ekstrak kloroform ekstrak metanol-air fraksinasi
A: 3614"~ 5103": 118", 170~'
R: 0,81 R: 15,8 4
I
fraksi 11.3
A: 11330
R: 1,02
fraksinasi dengan kolom kromatografi
.f
fraksi K2 fraksi K3 fraksi K4
A; 151 50 *' A: 27000 ') A: 17490~)
R: 0,009 R: 0,014 R: 0,01
Gambar 52. Rangkuman hasil ekstraksi dan fraksinasi ekstrak lengkuas
Hasil penelitian ini dapat mernberi informasi bahwa lengkuas yang selama ini
digunakan untuk pernberi flavor pada makanan tradisional juga dapat digunakan
sebagai sumber senyawa antimikroba yang efektif mengharnbat pertumbuhan
mikroba patogen dan perusak pangan, khususnya terhadap 6. cereus. Studi
stabilitas aktivitas antimikroba lengkuas yang menunjukkan bahwa ekstrak yang
dihasilkan rnasih mernpunyai aktivitas pada kondisi pH 7, namun efektivitas
antimikroba terbaik pada pH 5 dan senyawa antimikroba tersebut bersifat tahan
panas. Saran yang dapat disarnpaikan pada aplikasi penggunaan lengkuas sebagai
saiah satu bumbu pada pangan adalah penggunaan lengkuas yang dikombinasikan
dengan asam.
Ditemukannya senyawa antimikroba yang bersifat non' volatil maupun volatil
pada lengkuas juga rnembuka kemungkinan pernanfaatan lebih Ianjut dari lengkuas
tidak hanya sebagai bahan burnbu tradisional saja melainkan peluang untuk
memanfaatkan lengkuas sebagai bahan baku produk pangan fungsional terbuka
lebar. Studi penggunaan pelarut yang aman untuk pangan dan aplikasi penggunaan
lengkuas sebagai salah satu bumbu yang berkontribusi terhadap keawetan pangan
dapat lebih dikembangkan.

Anda mungkin juga menyukai