Anda di halaman 1dari 3

Ijtihad Latar Belakang Setelah nabi Muhammad SAW wafat, persoalan syari terus bermunculan, baik dalam kaitannya

dengan ibadah mahdloh maupun ibadah ghair mahdloh, di dalam semua lapangan kehidupan, baik ekonomi, politik, kesehatan, rumah tangga, dll. Akan tetapi AL-Quran ataupun hadits belum menjelaskan secara eksplisit hukum masalah tersebut, padahal tetap memerlukan solusi, agar segenap perilaku manusia tidak keluar dari syariat Islam. Definisi Ijtihad berarti menggunakan seluruh kesanggupan berpikir untuk menetapkan suatu keputusan hukum tertentu dengan jalan mengeluarkan hukum dari Alquran dan Sunnah. Kedudukannya sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah Alquran dan Sunnah. Tujuan Ijtihad bertujuan untuk menetapkan hukum sesuatu itu dengan melihat dalil-dalil yang memiliki hubungan tak langsung (implisit) dengan persoalan yang dibahas. Dalil-dalil tersebut dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik pendekatan tertentu, kemudian disimpulkan sehingga sampai kepada penetapan hukum yang dicari. Metode Dilihat dari pelaksanaannya, ijtihad dapat dibagi kepada dua macam: 1. Ijtihad fardhi, adalah ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid. 2. Ijtihad Jamai (ijma), adalah ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid secara berkelompok. Ijtihad bisa menggunakan berbagai macam teknik analisis, yakni dengan pendekatan Qiyas, Istihsan, Mashalihul mursalah, dan Ijmak. Penjelasannya sbb : 1. Qiyas (analogi) adalah menentukan hukum sesuatu yang belum jelas dengan cara membandingkan hukum sesuatu yang telah ada dengan hukum yang akan dicari dengan melihat ciri-ciri persamaamnya (illat). Contoh : bagaimana hukumnya apabila seorang anak mengatakan gila luh kepada orangtuanya. Apakah ia berdosa ? Perbuatan yang diharamkan dilakukan seorang anak kepada orangtua yang secara ekplisit disebutkan di dalam Al-Quran surat 17 ayat 23 adalah mengatakan ah (wala taqul lahuma uff = Dan janganlah kami mengatakan ah kepada kedua orangtuamu ! ).

2. Istihasan (stihsan = minta yang tertbaik) ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum jelas dengan cara memilih satu diantara alternatif yang ada dengan pertimbangan mana yang pal;ing ringan buruknya. 3. Mashalihul mursalah : ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum jelas, dengan dasar penetapannya adalah dampak baik dan buruk bagi orang banyak, akibat perbuatannya itu. Misalnya : Larangan mendirikan bangunan / rumah di kawasan hutan serapan air. Pihak Pemrintah Daerah bnerhak melarang pembuatan rumah tersebut, dengan pertimbangan bahwa, kalau wilayah itu dijadikan lahan pembangunan, maka akan mengakibatkan kekeringan ke wilayah kota yang datar. 4. Ijmak, yaitu menetapkan hukum yang belum jelas melalui kesepakatan pemikiran para ulama. Misalnya, dengan melihat eksistensi PBB yang didominasi oleh Amerika Serikat, apakah negara kita masih perlu menjadi anggota PBB atau lebih baik keluar ? Keputusannya segenap ulama ini dinamakan ijmak. Jadi Ijmak merupakan ijtihad kolektif. Ada dua macam ijmak, yakni keputusannya dihasilkan melalui adu pendapat dan penjelasanpenjelasan (bayan) para ulama dalam suatu forum musyawarah terbuka. Inilah yang disebut dengan Ijmak Bayany . Bisa jadi kesepakatan ini hanya bersikap no coment terhadap lontaran ide, gagasan, hukum yang diketengahkamn oleh seorang ulama. Dalam hal ini para ulama tidak menerima dan tidak menolak dengan jelas melainkan hanya diam (sukut). Disebutlkan Ijmak Sukuti. Hasil ijtihad para mujtahid tidak selalu sama. Terkadang terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Perbedaan pendapat inilah yang menimbulkan lahirnya mazhab-mazhab dalam Islam, di antaranya: mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafii dan mazhab Hambali. Kebenaran hasil ijtihad bersifat dzanniyah (persangkaan kuat kepada benar). Oleh sebab itu, kita tidak dapat menentukan secara mutlak mana yang benar dari hasil ijtihad mereka, karena yang dapat mengukur kebenaran secara mutlak hanyalah Allah. Hal ini diisyaratkan Nabi dalam sabdanya: Seorang hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran, maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mencapai satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim).

Anda mungkin juga menyukai