Anda di halaman 1dari 32

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menyebabkan episode wheezing, apneu, sesak nafas dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang bersifat reversibel baik secara spontan ataupun dengan terapi(3). Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang(4). Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi

berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya(5). 2. Etiologi dan Faktor Risiko(1,6) Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: 1. Faktor genetik (a) Hiperreaktivitas (b) Atopi/Alergi bronkus (c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik (d) Jenis Kelamin (e) Ras/Etnik 2. Faktor lingkungan (a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,

alternaria/jamur) (b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)

(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur) (d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll) (e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll) (f) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif (g) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan (h) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas tertentu (i) Perubahan cuaca

Exercised induced asthma merupakan obstruksi jalan napas yang berhubungan dengan exercised tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma bronkial. Beberapa literatur menyebutnya sebagai exercised induced

bronchospasm (EIB). Exercised induced asthma harus dibedakan antara penderita asma dengan atlit. Pada EIB, didapatkan berespons terhadap bronkodilator dan metakolin, serta berhubungan dengan eosinofil. Sedangkan EIB pada atlit, tidak ditemukan respon tersebut. Latihan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya EIB adalah latihan fisik yang mengakibatkan tercapainya 90-95% predictable maximum heart rate.(7) Pada saat dilakukan latihan fisik, terjadi hiperventilasi karena meningkatnya kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran napas berusaha lebih untuk menjaga kelembaban dan suhu udara yang masuk kedalam alveolus tetap optimal. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan osmolaritas dari permukaaan saluran napas dimana terjadinya aktivasi sel mast dan sel epitel kolumnar. Aktivasi ini menyebabkan keluarnya proinflamatory mediator berupa histamin, leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya bronkospasme pada exercised induced asthma. Pada EIB atlit, tidak terjadi pengeluaran mediator inflamasi maupun peningkatan eosinofil, neutrofil, atau sel epitel kolumnar sehingga tidak berespon terhadap steroid inhalasi.(7) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: (1,6)

Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap rokok.

Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian 2 agonist. Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang, alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal refluks).

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut(1): Hiperaktivitas bronkus Faktor Genetik Sensitisasi Faktor Lingkungan inflamasi Gejala Asma obstruksi

Pemicu (inducer)

Pemacu (enhancer)

Pencetus (trigger)

Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta penyakit yang terkait dengan penyakit asma sangat banyak. Gen MHC manusia yang terletak pada kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan sampai saat ini masih merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam kaitannya dengan asma. HLA-DR merupakan MHC (major histocompatibility complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak pada kromosom 6 daerah 6p21.31(1). 3. Epidemiologi Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah

dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2004) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi(2). Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan angka kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat nasional Amerika Serikat pada tahun 2008, terdapat 8,65 juta anak-anak dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di Amerika Serikat dianggap sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat (867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1 juta kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun dilaporkan 164 kematian anak akibat asma pada tahun 2008(6).

4. Patogenesis Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik(8). Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas,

sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif(8). Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat(8). Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas

mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit(8).

Gambar 1. Patogenesis Asma Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid(8). Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus(1).

Faktor Risiko Inflamasi

Faktor Risiko

Hiperaktivitas Bronkus
6

Obstruksi Bronkus Gejala

Faktor Risiko

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi(1).

Gambar 2. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus(1).

5. Patofisiologi Asma 5.1 Obstruksi saluran respiratori Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Namun, dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler(9). Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot

diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas(9).

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik 5.2 Hiperaktivitas saluran respiratori Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang

menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut(9). Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8g% didapatkan penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.

Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya(9). 5.3 Otot polos saluran respiratori
9

Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus. Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik(9). Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis(9). Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas(9).

5.4 Hipersekresi mukus Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator(9). Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal

10

datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis(9). Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease(9).

6. Diagnosis Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan batruk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/atau atopi pada pasien atau keluarga (lihat alur diagnosis di lampiran 1)(5,10). Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.(4) 1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20% 2. Kenaikan 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator. 3. Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus. 6.1 Anamnesis Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala

11

yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata(11). 6.2. Pemeriksaan fisik Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat ditemukan(11). Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem dinding bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol(11).

6.3. Pemeriksaan Penunjang Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2 (hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal(11). Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan(11).

12

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak secara arbitreri PNAA membagi asma anak menjadi 3 derajat penyakit(10,11)

Parameter klinis Kebutuhan obat, dan faal paru 1.Frekuensi serangan 2.Lama serangan 3.Intensitas serangan 4.diantara serangan 5.Tidur dan aktivitas 6.Pemeriksaan fisis diluar serangan 7.Obat pengendali

Asma episodic jarang (asma ringan) 3-4x /1tahun <1 minggu Ringan Tanpa gejala Tidak terganggu <3x/minggu Normal, tidak ditemukan kelainan Tidak perlu

Asma episodic sering (asma sedang) 1x/bulan 1 minggu Sedang Sering ada gejala Sering terganggu >3x/minggu Mungkin terganggu (ditemukan kelainan) Perlu, non steroid/ steroid inhalasi dosis 100-200 g PEF/FEV1 60-80% 30%

Asma persisten (asma berat) 1/bulan Hampirsepanjang tahun, tidak ada remisi Berat Gejala siang dan malam Sangat terganggu Tidak pernah normal Perlu, steroid inhalasi Dosis 400 g/hari PEF/FEV1 < 60% Variabilitas 20-30% 50%

8.Uji faal paru PEF/FEV1 >80% (di luar serangan0 9.Variabilitas faal 20% paru (bila ada serangan)

Tabel 2. Penetuan Derajat Serangan Asma (11)

Parameter klinis, Fungsi paru, Laboraturium Sesak (breathless)

Ringan

Sedang

Berat

Ancaman henti napas

Berjalan Bayi : Menangis keras

Posisi

Bisa berbaring

Berbicara Bayi : Tangis pendek & lemah Kesulitan menetek dan makan Lebih suka Duduk Penggal kalimat Biasanya
13

Istirahat Bayi : Tidak mau minum / makan

Bicara Kesadaran

Kalimat Mungkin

Duduk bertopang lengan Kata-kata Biasanya kebingungan

Sianosis Wheezing

irritable Tidak ada Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi Biasanya tidak

irritable Tidak ada Nyaring, Sepanjang ekspirasi inspirasi Biasanya ya

Penggunaan otot Bantu respiratorik

Irritable Ada Sangat nyaring, Terdengar tanpa stateskop Ya

Nyata Sulit / Tidak terdengar

Retraksi

Dangkal, Retraksi Interkosta

Frekuensi napas

Frekuensi nadi

Sedang, Dalam, ditambah ditambah Retraksi Napas cuping suprasternal hidung Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar: Usia frekuensi napas normal <2 bulan < 60 / menit 2-12 bulan < 50 /menit 1-5 tahun < 40 / menit 6-8 tahun < 30 / menit Normal Takikardi Takikardi Bradikardi Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak : Usia Frekuensi nadi normal 2-12 bulan < 160 / menit 1-2 tahun < 120 / menit 3-8 tahun < 110 / menit Tidak ada <10 mmHg Ada 10-20 mmHg Ada >20 mmHg

Gerakan paradox TorakoAbdominal Dangkal/ Hilang

Pulsus paradoksus

Tidak ada, Tanda kelelahan Otot respiratorik

PEFR atau FEV1 Prabronkodilator Pascabronkodilator

(% dugaan/ >60% >80%

Nilai Nilai terbaik) 40-60% 60-80%

SaO2 % PaO2 PaCO2

>95% Normal <45 mmHg

91-95% >60 mmHg <45 mmHg

<40% <60% Respon < 2 jam 90% < 60 mmHg >45 mmHg

2.7.Tatalaksana Asma Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan jangka panjang (lihat alur tatalaksana di lampiran 2 dan 3)(11,12). Tujuan

14

tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah(10) : 1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk bermain dan berolah raga. 2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah. 3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu) 4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada PEF. 5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan tidak ada serangan. 6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Tujuan tatalaksana saat serangan (5): Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin Mengurangi hipoksemia Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.

Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah perlu tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan atau bila tujuan telah tercapai dan stabil 1 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan penurunan pelan pelan (step down)(10). Syarat step up (13): 1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah dilakukan. 2. Pemberian obat sudah tepat susunan dan caranya. 3. Tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 minggu. 4. Efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) tidak ada. ICS baru boleh dinaikkan.

15

Syarat step down (13): 1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik. 2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut. 3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis terkecil yang masih dapat mengendalikan asmanya. 4. Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya dan kalau sudah dikoreksi, ICS dapat diturunkan bersama dengan penambahan LABA dan atau LTRA

7.1. Tatalaksana Medikamentosa Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk

meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 8 minggu(10). Obat obat Pereda (Reliever)(12) 1. Bronkodilator a. Short-acting 2 agonist

Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak. Reseptor 2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas(12). Obat ini menstimulasi reseptor 2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast(12). Epinefrin/adrenalin

16

Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada 2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor 1, 2, dan sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi(12). Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada jantung dan CNS(12). 2 agonis selektif(12) Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol. Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. Dosis tebutalin oral Dosis fenoterol : 0,05 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. 0,1 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum

Dosis salbutamol nebulisasi :

5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam). Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai dalam 2 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 6 jam. Serangan ringan : MDI 2 4 semprotan tiap 3 4 jam. Serangan sedang : MDI 6 10 semprotan tiap 1 2 jam. Serangan berat : MDI 10 semprotan. Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada

keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih sering terjadi. Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit. Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu. Efek samping 2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi.

17

b. Methyl xanthine Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan 2 agonist inhalasi, tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi 2 agonist dan anticholinergick(12). Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin. (14) Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia : 1 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam 6 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam 1 9 tahun : 1,2 1,5 mg/kgBB/Jam > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia(12). 2. Anticholinergics Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi 2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam(12). Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6 tahun 8 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak(12).

18

3. Kortikosteroid Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) : Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama. Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan

kortikosteroid hirupan sebagai kontroler. Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya. Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 3 kali sehari selama 3 5 kali sehari(12). Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.(14) Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 8 jam(12). Obat obat Pengontrol(3,13) Obat obat asma pengontrol pada anak anak termasuk inhalasi dan sistemik glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled 2-agonist, theofilin, cromones, dan long acting oral 2-agonist. 1. Inhalasi glukokortikosteroid Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi
19

pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejalagejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan. Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation receptor 2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.

2.

Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)

Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut : LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane; Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap

bronkokonstriktor; Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia; Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator. Ada 2 preparat LTRA : a. Montelukast Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
20

b. Zafirlukast Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari. Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati. 3. Long acting 2 Agonist (LABA) Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat. 4. Teofilin lepas lambat Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada

glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

7.2. Terapi Suportif(12) a. Terapi oksigen

21

Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%). b. Campuran Helium dan oksigen Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.

c. Terapi cairan Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan. 4.7.2. Cara Pemberian Obat(10) UMUR < 2 tahun 2-4 tahun ALAT INHALASI Nebuliser, Aerochamber, babyhaler Nebuliser, Aerochamber, babyhaler Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat perenggang (spacer) Nebuliser MDI dengan spacer Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) Nebuliser MDI (metered dose inhaler) Alat Hirupan Bubuk Autohaler
22

5-8 tahun

>8 tahun

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut (orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik. Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman atau menggunakan botol susu dengan dot susu yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi. 7.4. Prevensi dan Intervensi Dini(13) Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau. Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan Menghindari makanan berpotensi alergen

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11. 2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83. 3. OByrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 2006. 4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18. 5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009. 6. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science (USA);2003. 7. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Lus Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group Report : Exercise-induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy, Millville, NJ, Hershey, Pa, Porto, Portugal, and Colorado Springs, Colo : American Academy of Allergy : 2007 8. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96. 9. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.

24

10. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam : Manajemen Kasus Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi pertama. Jakarta : Yapnas Suddharprana; 2007.h. 97-106. 11. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS, Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005. 12. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32. 13. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46. 14. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 496-500.

25

ILUSTRASI KASUS A. Identitas Pasien Nama No. RM Anak Umur Jenis Kelamin Alamat

: Violasmi : 80.32.22 : Ke 2 dari 2 bersaudara : 9 tahun : Perempuan : Air manis, Padang Selatan

B. Anamnesis (diberikan oleh nenek kandung dari ibu) Seorang anak perempuan berumur 9 tahun di rawat di bangsal anak RSUP Dr. M.Djamil Padang sejak tanggal 16 Oktober 2012 dengan :

1. Keluhan Utama : Sesak napas sejak 1 hari yang lalu.

2. Riwayat Penyakit Sekarang : Sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, disertai bunyi menciut. Sesak dipengaruhi oleh cuaca, makanan yang manis dan berminyak serta minuman dingin. Saat sesak pasien lebih suka duduk, hanya bisa berucap penggalan kalimat Sesak napas terakir 3 bulan yang lalu, dibawa berobat ke bidan dan diberi obat tablet (nama lupa), sesak napas hilang setelah minum obat tersebut Demam 1 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak tinggi, tidak terus menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat. Batuk dan pilek sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk berdahak.

26

Mual dan muntah tidak ada Buang air kecil jumlah dan warna biasa Buang air besar jumlah, konsistensi dan warna biasa, tidak berlendir dan tidak berdarah.

Riwayat kontak dengan penderita batuk-batuk lama tidak ada Pasien telah dikenal menderita asma sejak usia 3 tahun, jika pasien sesak, biasanya dibawa berobat ke bidan.

Pasien menderita sesak napas dan dibawa berobat ke bidan, dan diberi obat (nama lupa) namun sesak napas pasien semakin bertamah, kemudian pasien dibawa berobat ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang dan di terapi nebulisasi 2x dengan ventolin, setelah itu sesak berkurang, tetapi masih ada.

Pasien memiliki riwayat atopi yaitu alergi terhadap telur berupa bengkak kemerahan di badan yang terasa gatal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien pernah dirawat di Rumah sakit saat berusia 3 tahun karena sesak napas dan infeksi paru. 4. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang menderita sesak napas seperti ini Riwayat atopi dalam keluarga ada (nenek, tante, paman pasien dari pihak ibu) menderita alergi terhadap makanan yaitu telur dan udang, berupa bengkakbengkak merah di badan dan terasa gatal.

5. Riwayat Kehamilan : Tidak diketahui

6. Riwayat Persalinan : Lahir spontan, cukup bulan, ditolong bidan, BBL 3800 gram, PBL 48cm, langsung menangis, tidak ada riwayat kuning atau biru waktu lahir.

7. Riwayat Makanan dan Minuman :

27

- Bayi diketahui - Anak

: ASI, Buah biskuit, Nasi Tim, Susu Formula, Bubur susu : tidak

: makanan utama Daging Ikan Telur Sayur Buah

:2-3 x /hari, menghabiskan 1 porsi : 0x/minggu : 3x/minggu : 0x/minggu (alergi) : 7x/minggu : 7x/minggu

Kesan : kualitas kurang, kuantitas cukup

8. Riwayat Imunisasi : BCG DPT Polio : tidak diketahui ( tanda scar BCG (-)) : tidak diketahui : tidak diketahui

Hepatitis B : tidak diketahui Campak : tidak diketahui

Kesan : imunisasi dasar tidak lengkap

9. Riwayat Keluarga: Pasien anak ke 2 dari 2 bersaudara, tinggal bersama 1 orang kakak laki-laki pasien yang berumur 13 tahun dan nenek kandung pasien dari ibu yang bekerja sebagai petani. Ibu telah meninggal. Ayah pasien telah menikah lagi.

10. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan : - Tengkurap(3 bulan), duduk (6 bulan), berdiri (11 bulan), berjalan (13 bulan), bicara satu kata (12 bulan), membaca dan menulis (7 tahun), prestasi di sekolah biasa. - Perkembangan pubertas : A1 M1 P1 Kesan : Pertumbuhan fisik dan mental normal 11. Riwayat Perumahan dan Lingkungan

28

Tinggal di rumah permanen, sumber air minum dari sumur, jamban di wc, pekarangan cukup luas, sampah dibakar. Kesan : higiene dan sanitasi lingkungan baik C. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum Kesadaran Tekanan darah Frekuensi nadi Frekuensi nafas Suhu Berat badan Tinggi badan BB/U TB/U BB/TB Status Gizi Anemia Sianosis Ikterus Edema : 61 % : 88% : 81 % : Gizi Kurang : tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada : sakit sedang : GCS 15 ( E4M6V5) : 100/60 mmHg : 120 x/menit : 58 x/menit : 36,90C : 17 kg : 117 cm

Kulit Kepala

: Teraba hangat, sianosis (-), ikterik (-), pucat (-), turgor baik. : Bentuk bulat, simetris, Lingkar kepala 51cm (normosefal), Ubunubun besar telah menutup

Rambut Mata

: hitam, tidak mudah dicabut : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, kornea jernih, pupil isokor, diameter 2 mm/2 mm, refleks cahaya +/+ normal.

Telinga

: Tidak ditemukan kelainan

29

Hidung (+). Mulut

: Bentuk simetris, deviasi septum (-), sekret (-), nafas cuping hidung

: Bibir dan mukosa basah, sianosis (-), lidah kotor (-).

Tenggorokan : Tonsil T1-T1, hiperemis, detritus tidak ada, muara kripti melebar, pseudo membran tidak ada. Faring hiperemis Leher Dada Paru-paru: Inspeksi : Normochest, retraksi epigastrium dan interkostal (+), Simetris kiri dan kanan ( dalam keadaan statis dan dinamis) Palpasi Perkusi Auskultasi Jantung: Inspeksi Palpasi Perkusi : Iktus cordis tidak terlihat : Iktus cordis teraba 1 jari medial LMC sinistra RIC V : Batas jantung atas: RIC II, kanan: LSD, kiri: 1 jari medial LMCS RIC V Auskultasi Perut Inspeksi Palpasi : Bunyi jantung murni, irama teratur, bising tidak ada. : fremitus kiri = kanan : sonor : bronkial, ronkhi tidak ada,wheezing ada. : JVP 5 2 cm H2O, kelenjar getah bening tidak membesar. :

: Tidak membuncit, distensi tidak ada : Turgor baik, Hepar teraba - konsistensi kenyal, pinggir tajam, lien tidak teraba.

Perkusi

: Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal Punggung : tidak ada kelainan.

Alat Kelamin Luar : Tak ada kelainan, Status pubertas A1M1P1 Anggota Gerak : Atas : Akral hangat, refilling kapiler baik, edem (-), sianosis (-), refleks

fisiologis (Bisep dan Trisep) ++/++ (normal)

30

Bawah

: Akral hangat, refilling kapiler baik, edema (-), sianosis (-), refleks

fisiologis (KPR dan APR) ++/++ (normal), refleks patologis (Babinski dan Babinski grup) -/D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Tanggal 16 Oktober 2012 Darah : Hb Leukosit Hitung Jenis Urine : warna Protein Reduksi Bilirubin : 13 gr% : 18200/mm3 : 0/3/1/86/11/ sedimen : leukosit eritrosit epitel silinder kristal :::::-

: kuning muda :::-

Urobilinogen : -

Feses (makroskopis): warna : kuning kecokelatan mikroskopis Konsistensi Darah Lendir : lunak ::-

: eritrosit :leukosit:amuba :telur cacing: parasit lain: -

Sisa makanan : E. Diagnosis Kerja :

Asma episodik jarang serangan sedang Tonsilofaringitis akut Gizi Kurang F. Diagnosis Banding G. Rencana Pemeriksaan 1. Pemeriksaan fungsi paru : Peak expiratory flow rate (PEFR) atau Arus Puncak Ekspirasi (APE) dan Spirometri G. Terapi : 1. Dietetik/ Nutrisi : Kebutuhan kalori pasien perhari: dari RDA usia 9 tahun : 60-80kal/kgBB/hari RDA absolut : RDA x BB pasien => 60-80 x 17 kg= 1020-1360 kkal/hari
31

RDA ideal : RDA x BB ideal => 60-80 x 29kg = 1740-2320kkal/hari Pada pasien ini karena menderita gizi kurang, terapi nutrisi yang diberikan dari RDA ideal, yaitu mulai dari 1740 sampai 2320 kkal/hari. Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah ML 1600 kkal/hari Selain dari ML, kebutuhan kalori pada pasien ini juga berasal dari IVFD D5% 2 kolf => 200kkal Kebutuhan kalori total terpenuhi 2. Farmakologis - O2 2 liter/menit IVFD D5% 4 tetes/menit (makro) Kebutuhan cairan : BB>15 kg = 65cc/kgbb/hari 1105cc/kgbb/hari, diberikan IV 2 kolf Nebulisasi ventolin 2/3 Ambroxol 3x 2/3 cth Dexamethason 3x 2,5 mg iv Amoxicillin 3x 250mg tiap 4 jam

3. Edukasi Hindari faktor pencetus serangan asma seperti makanan yang mengandung pemanis dan pewarna buatan, aktivitas fisik yang berlebihan Nutrisi sehari hari harus memenuhi kebutuhan kalori perhari. Yaitu sekitar 2000kkal dengan porsi makanan :

32

Anda mungkin juga menyukai