Anda di halaman 1dari 27

1

BAB 1 PENDAHULUAN

Dengue Hemorrhagic Fever adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopeni, ruam, limfadenopati, trombositopeni, dan diatesis hemoragik dengan disertai perembesan plasma yang ditandai oleh

hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Penyakit ini tidak dapat dibilang ringan karena dapat menyebabkan syok yang dikenal dengan Dengue Shock Syndrome (Suhendro et al.,2001). Di Indonesia penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dengan kematian 24 orang (41,3%). Selanjutnya sejak saat itu penyakit Demam Berdarah Dengue cenderung menyebar ke seluruh tanah air Indonesia dan mencapai puncaknya pada tahun 1988 dengan insidens rate mencapai 13,45 % per 100.000 penduduk. Keadaan ini erat kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk dan sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transpotasi. Seluruh wilayah Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit Demam Berdarah Dengue karena virus penyebab clan nyamuk penularnya tersebar luas baik di rumah maupun tempat- tempat umum, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Pada saat ini seluruh propinsi di Indonesia sudah terjangkit penyakit ini baik di kota maupun desa terutama yang padat penduduknya dan arus transportasinya lancar. Menurut laporan Ditjen PPM clan PLP penyakit ini telah tersebar di 32 propinsi di Indonesia. Dengue shock syndrome dihubungkan dengan tingkat kematian yang sangat tinggi (sekitar 9,3 %, meningkat menjadi 47%, dalam peristiwa syok yang sangat berat). Pada tahun 1997, negara Kuba dinyatakan mengalami DHF out break. Dinyatakan bahwa tingkat kematian pasien yang memenuhi kriteria diagnosa DHF atau DSS sekitar 6%. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kecepatan penderita DHF mendapatkan pertolongan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok dini, dan penatalaksanaan syok yang tidak adekuat. Sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini obat untuk membasmi virus dan vaksin untuk mencegah penyakit Demam Berdarah Dengue belum tersedia. Cara yang tepat guna untuk menanggulangi penyakit ini secara tuntas

adalah memberantas vektor/nyamuk penular. Vektor Demam Berdarah Dengue mempunyai tempat perkembangbiakan yakni di lingkungan tempat tinggal manusia terutama di dalam stan diluar rumah. Nyamuk Aedes aegypti berkembangbiak di tempat penampungan air seperti bak mandi, drum, tempayan dan barang-barang yang memungkinkan air tergenang seperti kaleng bekas, tempurung kelapa , dan lain-lain yang dibuang sembarangan. Pemberantasan vektor Demam Berdarah Dengue dilaksanakan dengan memberantas sarang nyamuk untuk membasmi jentik nyamuk Aedes aegypti. Kasus ini dipresentasikan karena merupakan kasus yang menarik untuk dipelajari, pasien merupakan pasien baru yang datang dengan keluhan dan gejala klinis yang khas mengarah pada penyakit yang disebabkan karena infeksi virus Dengue dengan perjalanan penyakit yang spesifik melalui penegakan diagnosa yang didukung secara klinis dan laboratoris.

BAB II TiNJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Dengue Hemmorhagic Fever adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopeni, ruam, limfadenopati, trombositopeni, dan diatesis hemoragik dengan disertai perembesan plasma yang ditandai oleh

hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Penyakit ini tidak dapat dibilang ringan karena dapat menyebabkan syok yang dikenal dengan Dengue Shock Syndrome .

2.2 Etiologi Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, family Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotype, yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotype yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotype virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan

serotype yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat. Etiologi dari penyakit ini dapat ditunjukkan dengan menemukan virus pada serum fase akut, biasanya terdapat pada atau sebelum hari ke 5. Ig M serum biasanya positif pada hari ke 7 sampai 2 bulan setelah onset demam, yang menunjukkan adanya infeksi virus akut. Peningkatan titer antibodi dapat dideteksi dengan tes netralisasi atau inhibisi koagulasi (optimal pada 2 minggu). Terjadinya gangguan permeabilitas vaskuler dan syok tergantung oleh banyak faktor, diantaranya : Antibodi Usia

Jenis kelamin : Perempuan lebih sering terinfeksi daripada laki-laki Ras : Kaukasia lebih sering terinfeksi Status nutrisi Sequence infeksi : contohnya serotipe 1 diikuti serotipe 2 lebih berbahaya daripada serotipe 4 diikuti serotipe 2 Serotipe : type 2 lebih berbahaya daripada yang lain4 2.3 Epidemiologi Dengue Hemorrhagic Fever diawali dengan terjadinya infeksi virus

dengue yang telah ada di Indonesia sejak abad ke 18, saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai demam lima hari atau demam sendi. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya

merupakan penyakit ringan tanpa menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis yang berat, yaitu diketemukan di Filipina.5 Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DHF di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100000 penduduk (1989 hingga 1995), dan pernah meningkat tajam hingga 35 per 100000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DHF cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. Sampai saat ini DHF telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Insiden meningkat dari 0,005 per 100000 penduduk th 1968 menjadi 6-27 per 100000 penduduk. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April sampai Mei tiap tahun. Saat ini infeksi virus dengue endemis di 112 negara. Lebih kurang 100 juta kasus terjadi tiap tahunnya. Peningkatan kasus tiap tahunnya berkaitan

dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu air jernih (bak mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya). Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue : Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain

Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi, dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.

13

Virus dengue ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegepty yang mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di air liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan lagi kepada manusia saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan

berkembang biak dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu

masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia ke nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit menusia yang yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.

2.4 Patogenesa Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme immunopatologis berperan dalam terjadinya DHF. Dua teori yang banyak dianut pada DBD adalah : Pertama, hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotype virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD yang lebih berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dan membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi

mediator vasoaktif yang kemudian mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis ini dapat dijelaskan sebagai berikut, Sebagai akibat dari infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu,

replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi Hal ini akan mengakibatkan yang selanjutnya akan

mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.

Pelepasan C3a dan C5a akibat

aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang

ekstravaskuler.

Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat

berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit. Penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa (efusi pleura, ascites).

Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue dapat mengalami perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue,

kompleks antigen antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan

menyebabkan perdarahan pada DHF. Agregasi trombosit sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphospat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo Agregasi trombosit ini

endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.

akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya DIC, ditandai dengan oeningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi perdarahan masif pada DHF diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan akibat DIC, kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.
1,5

Secara singkat, patogenesis DHF yaitu virus hanya dapat hidup dalam sel hidup sehingga harus bersaing dengan sel manusia terutama dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan manusia. Sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi: 1. Aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilatoksin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. 2. Agregasi trombosit menurun, apabila kelainan ini berlanjut akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibat mobilisasi sel trombosit muda dari sumsum tulang. 3. Kerusakan sel endotel pembuluh darah akan

merangsang/mengaktivasi faktor pembekuan (Mansjoer dkk, 2000).

Ketiga faktor di atas menyebabkan: 1. Peningkatan permeabilitas kapiler 2. Kelainan hemostasis, yang disebabkan oleh vaskulopati,

trombositopenia, dan koagulopati (Mansjoer dkk, 2000).

2.5 Diagnosa Kriteria WHO 1997 Klinis: 1. demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari. 2. manifestasi perdarahan, termasuk setidak-tidaknya uji tourniquet positif dan bentuk lain (petekie, purpura, epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis atau melena. 3. hepatomegali 4. syok yang ditandai oleh nadi lemah, cepat disertai tekanan nadi menurun (menjadi <20mmHg atau kurang), tekanan darah menurun (tekanan sistolik sampai 80mmHg atau lebih rendah) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari, dan kaki, pasien menjadi gelisah, timbul sianosis di sekitar mulut.

Laboratorium: 1. Trombositopenia (<100.000/uL)

10

2. Hemokonsentrasi (nilai hematokrit lebih 20% dari normal) Dua gejala klinis pertama ditambah 2 gejala laboratories dianggap cukup untuk menegakkan diagnosis kerja DBD (DepKes, 2005). Untuk menunjang diagnosis DBD, dapat digunakan parameter laboratorik, antara lain: Leukosit, awalnya : menurun / normal, pada fase akhir, dapat ditemui limfositosis relative (LPB > 15%), yang pada fase syok akan meningkat Trombositopenia dan hemokonsentrasi selalu ditemui pada DBD Kelainan pembekuan sesuai derajat penyakit Protein plasma menurun Hiponatremia pada kasus berat Serum alanin-aminotransferase sedikit meningkat Isolasi virus terbaik saat viremia (3-5 hari) IgM terdeteksi hari ke-5, meningkat sampai minggu III, menghilang setelah 60-90 hari IgG pada infeksi primer mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder mulai hari ke-2 Uji HI, dengue blot.

Definisi kasus DF/DBD A. Secara Laboratoris 1. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue) : Apabila ditemukan demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut; nyeri kepala, nyeri belakang mata, miagia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan, leukopenia, uji HI >_ 1.280 dan atau IgM anti dengue positif, atau pasien berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed dengue infection. 2. Corfirmed DHF (Pasti DHF) : Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai berikut: deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibodi > 4 kali pada pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus. B. Secara Kinis Kasus DHF 1. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.

11

2. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa Uji tourniquet positif Petekia, ekimosis, atau purpura Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan Hematemesis atau melena 3. Trombositopenia < 100.00/pl 4. Kebocoran plasma yang ditandai dengan Peningkatan nilai hematrokrit >_ 20 % dari nilai baku sesuai umur dan jenis kelamin. Penurunan nilai hematokrit >_ 20 % setelah pemberian cairan yang adekuat. Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan. Efusi pleura, asites, hipoproteinemi

Kasus DSS (Dengue Shock Syndrome) Definisi kasus DHF ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan : Nadi cepat, lemah, tekanan nadi < 20 mmHg, perfusi perifer menurun Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah.

Klasifikasi Derajat (WHO 1997): I. Demam dengan uji tourniquet positif

II. Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain. III. Ditemukannya kegagalan sirkulasi , yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab dan pasien menjadi gelisah. IV. Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur. DBD derajat III dan IV digolongkan dalam Dengue Shock Syndrome(DSS) (Simadibrata dkk,1999). Kriteria WHO 2009 Diagnosa Presumptive Tinggal atau berpergian pada daerah dengan endemic dengue

12

Demam tinggi mendadadak dan berlangsung terus menerus selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas ditambah 2 dari kriteria dibawah ini: anorexia dan mual rash nyeri pada sendi tanda bahaya lekopeni Rumple leed test positif

Tanda bahaya nyeri perut atau kembung muntah akumulasi cairan perdarahan mukosa Lemah Laboratorium : peningkatan hematokrit dengan penurunan yang nyata dari trombosit Jika tanda klinis positif maka masukkan ke dalam group A, B atau C seperti tercantum dibawah ini. Jika negative, lihat co-existing condition dan kondisi sosialnya. Jika negative berarti termasuk dengue without warning sign dan jika positif masukkan ke dalam group A, B atau C Berikut merupakan beberapa gejala-gejala klinis dan laboratorium yang digunakan untuk ditegakan sebagai dengue fever. Saat ini bagi penegakan diagnosis, criteria WHO 2009 telah dipakai. Group A (Dapat dipulangkan di rumah) Pasien yang tidak memiliki tanda-tanda bahaya dan seseorang yang dapat : Mentoleransi terhadap pemberian cairan oral yang adekuat Dapat mengeluarkan urin setiap 6 jam

Tes laboratorium Darah lengkap hematokrit

Pengobatan Disarankan untuk istirahat total

13

minum yang banyak Paracetamol, maksimal 4 gram sehari untuk orang dewasa dan setengahnya untuk anak-anak.

Pasien dengan hematokrit yang stabil dapat dipulangkan ke rumah. Monitor Catatan harian setiap hari untuk progresivitas penyakit Penurunan dari jumlah sel darah putih Tanda tanda bahaya ( sampai melewati fase kritis) Nasihat untuk segera dibawa ke rumah sakit jika ada perkembangan dari tanda-tanda bahaya Dan nasihat yang tertulis untuk manajemen.

Group B Dirujuk untuk perwatan di Rumah Sakit, yaitu pasien dengan : pasien dengan kondisi seperti kehamilan, keganasan, gagal ginjal, orang tua kondisi social seperti hidup sendirian atau jauh dari rumah sakit Atau: Terdapat tanda-tanda bahaya Dari pemeriksaan laboratorium darah lengkap hematokrit

Pengobatan Obtain reference HCT sebelum terapi cairan Pemberian cairan isotonis seperti NS 0,9 %, Ringer Laktat. Dimulai dari 5-7 ml/kgbb/jam untuk 1-2 jam, kemudian dikurangi 3-5 ml/kgbb/jam untuk 2-4 jam, dan kemudian dikurangi lagi sampai 2-3ml/kgbb/jam atau mengikuti dari respon klinis paisien. Evaluasi satatus klinisnya dan ulangi pemeriksaan hematokrit jika hematokrit tetap sama atau sedikit meningkat , lanjutkan dengan 2-3 ml/kgbb/jam untuk 2-4 jam selanjutnya. Jika memburuk tanda bitalnya dan peningkatan yang nyata dari hematokrit maka naikan cairan 5-10 ml/kgbb/jam untuk 1-2 jam Nilai tanda-tanda klinis, ulangi hematokrit dan review infuse cairan. Kurangi cairan intravena secara bertahap ketika nilai dai kebocoran plasma berkurang yabg merupakan akhir dari fase kritis.

14

Hal ini dapat diindikasi dengan: o o o o o Output urin yang adequate dan atau intake cairan Hematokrit menurun dibawah nilai baseline dan kondisi pasien stabil.

Monitor tanda vital dan perfusi perifer ( setiap 1- 4 jam sampai pasien melewati fase kritis ) Urin output ( setiap 4- 6 jam) Hematokrit ( sebelum dan sesudah penggantian cairan, kemudian setiap 6-12 jam) Kadar gula dalam darah Fungsi organ lainnya ( profil ginjal, profil hati, profil faktor koagulasi, sesuai indikasinya) Group C Memerlukan terapi emergency Kriterianya o o o o o o Kebocoran plasma yang berat dengan syok dan atau akumulasi cairan dengan kegagalan napas Perdarahan yang hebat Kegagalan yang berat dari organ

Tes laboratorium Hitung sel darah total Hematokrit Tes untuk fungsi orgam lainnya sesuai indikasi

Pengobatan untuk compensated shock Mulai resusitasi dengan pemberian cairan yaitu solusi kristaloid isotonis 5-10 ml/kg/jam. Setiap 1 jam niulai kondisi pasien. Jika kondisinya membaik: o Cairan iv harus dikurangi secara bertahap sampai 5-7 ml/kg/hr untuk 1-2 jam, kemudian 3-5 ml/kg/hr untuk 2-4 jam kemudian sampai 2-3 ml/kg/jam untuk o o 2-4 jam dan kemudian dikurangi tergantung dari status

hemodinamiknya. Cairan iv dapat dipertahankan sampai 24-48 jam

Jika pasien masih masih tidak stabil Cek hematokrit setelah bolus pertama kali

15

o o o

Jika hematokrit meningkat atau masi tinggi (>50%), ulangi bolus yang kedua dari solusi kristaloid untuk 10-20 ml/kg/jam untuk satu jam Jika ada peningkatan setelah bolus yang kedua, kurangi laju sampai 7-10 ml/kg/jam untuk 1-2 jam dan lanjutkan sampai mengurangi seperti diatas. Jika hematokrit menurun hal ini mengindikasikan perdarahan dan perlu untuk di cross match dan ditransfusi darah sesegera mungkin.

Pengobatan untuk syok hipotensi Berikan cairan iv untuk resusitasi dengan kristaloid atau koloid dengan dosis 20 ml/kg setiap bolus untuk 15 menit.

Jika kondisi pasien membaik o Berikan kristaloid atau koloid dengan dosis 10 ml/kg/jam untuk 1 jam, kemudian kurangi secara bertahap seperti diatas. Jika kondisi pasien masih tidak stabil o o Lihat kembali jadar hematokrit yang diambil sebelum bolus pertama kali Jika hematokrit rendah ( <40% pada anak-anak dan wanita dewasa, < 45% pada laki-laki dewasa) hal ini mengindikasikan perdarahan. Perlu untuk di cross-match dan ditransfusi (liat diatas) o Jika hematokrit tinggi dibandingkan dengan nilai baseline, ganti ke koloid IV dengan dosis 10-20 ml/kg pada bolus yang kedua setiap 30 menit sampai 1 jam. o Nilai setelah bolus yang kedua.:

Berdasarkan kasus ini, pasien harus diopnamekan kerana intakenya berkurang karena gejala mual-muntah yang berterusan selama 4 hari berturutturut. Pasien juga mempunyai gejala pendarahan seperti petekie dan trombosit yang rendah yaitu 33,000. Di rumah sakit pasien diberikan IVFD RL 30 tpm sebagai resusitasi cairan. Injeksi ranitidine 50mg buat mual. Setelah itu pasien telah diberikan injeksi metoclopramide 3x10mg perhari secara intravena untuk mengatasi gejala muntah. Selain itu pasien juga telah diberikan peroral ondasentron 2x20mg dan paracetamol 3x500mg apabila pasien masih mual dan panas.

16

Gambaran Laboratoris Trombositopenia dan hemokonsentrasi dapat terjadi pada kasus DHF. Penurunan jumlah platelet dibawah 100.000 per mm biasanya ditemukan, seringkali sebelum atau bersamaan dengan perubahan hematokrit. Peningkatan konsentrasi hematokrit mengindikasikan plasma-leakage. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit sebesar 20% atau dinyatakan sebagai bukti definitif terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler dan plasma leakage. Hal yang harus diperhatikan bahwa konsentrasi hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan secara dini dan adanya perdarahan. Penurunan nilai trombosit dan peningkatan nilai hematokrit secara cepat terjadi sebelum syok terjadi.6 Pada DHF, jumlah sel darah putih bervariasi pada saat timbulnya penyakit, bervariasi antara leukopenia sampai pada leukositosis ringan. Limfositosos relatif, dengan adanya limfosit atipik, dapat ditemukan sebelum terjadinya syok. Albuminuria ringan kadang diperhatikan. Pada assay faktor pembekuan, faktor fibrinolitik menunjukkan fibrinogen, prothrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. Pada beberapa kasus berat dengan tanda-tanda disfungsi hati, penurunan terjadi pada konsentrasi faktor protrombin yang dipengaruhi vitamin K seperti faktor V,VII, IX, dan X. Partial thromboplastin time dan prothrombin time memanjang. Hasil laboratorium yang biasa ditemukan juga berupa hipoproteinemia (karena hilangnya albumin), hiponatremia, dan peningkatan serum aspartat aminotransferase. Metabolik asidosis seringkali didapatkan pada pasien dengan syok yang memanjang. Urea nitrogen darah meningkat pada syok stadium akhir. Pada pemeriksaan radiologis thorax ditemukan efusi pkeura, banyak terjadi pada sisi kanan, dan meluasnya efusi pleura dihubungkan dengan beratnya derajat penyakit. Pada syok, efusi pelura ditemukan bilateral.

Diagnosa Definitif Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan cara isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam serum atau jaringan tubuh, dan deteksi antibodi spesifik dalam serum pasien.3 Ada beberapa cara isolasi dikembangkan yaitu : a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.

17

b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LCMK2) dan nyamuk Aedes albopictus. c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebal pada larva. Adanya pertumbuhan virus dengue dapat diketahui dengan melakukan fluorescene antibody technique test secara langsung atau tidak lengsung dengan menggunakan conjugate. Untuk identifikasi virus dipakai fluorescence antibody technique test secara indirek dengan menggunakan antibodi monoklonal.

Diagnosis Serologis Dikenal 5 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue, yaitu : Uji Hemaglutinasi (HI test) Uji Komplemen Fiksasi (CF test) Uji Neutralisasi (NT test) lgM ELISA (Mac Elisa) lgG ELISA

Dasar pemeriksaan serologis adalah membandingkan titer antibodi pada masa akut dengan konvalesen. Pemeriksaan dapat berupa neutralizing test, complement fixation test atau hemagglutination inhibition test, bergantung pada kebutuhannya. Pemeriksaan serologis dapat membantu menegakkan diagnosis klinis. Untuk pemeriksaan serologis dibutuhkan 2 contoh darah yang diambil pada waktu penderita sedang menderita demam akut dan contoh darah pada masa konvalesen yang diambil 1-4 minggu setelah perjalanan penyakit. Dalam praktek susah sekali mendapatkan contoh darah yang kedua karena biasanya penderita setelah sembuh tidak bersedia diambil darahnya. Infeksi virus dengue akan mengakibatkan terbentuknya antibodi. Antibodi yang pertama dibentuk adalah neutralizing antibody (NT), yaitu kira-kira pada hari kelima. Titer antibodi ini naik sangat cepat, kemudian menurun secara lambat untuk waktu yang lama, biasanya seumur hidup. Antibodi ini bersifat spesifik. Setelah pembentukan NT, segera akan timbul hemagglutination inhibituon antibody (HI). Titer naik sejajar dengan NT dan kemudian akan turun secara perlahan-lahan, lebih cepat daripada antibodi NT untuk waktu yang lama, tetapi lebih pendek daripada antibodi NT. Antibodi HI bersifat spesifik terhadap golongan, tetapi tidak terhadap tipe virus. Dengan demikian dalam satu golongan dengan lebih dari satu tipe virus dapat terjadi reaksi silang diantara masing-

18

masing tipe virus. Antibodi yang terakhir timbul adalah complement fixing antibody (CF), yaitu sekitar hari ke-20, titer naik setelah perjalanan penyakit mencapai maksimum dalam waktu 1-2 bulan dan kemudian turun secara cepat dan menghilang setelah 1-2 tahun. 2.6 Diagnosa Banding Pada awal perjalanan penyakit diagnosa banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influena, hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis, dan malaria. Adanya

trombositopenia dan hemokonsentrasi dapat membedakan DBD dengan penyakit lain. Pada demam chikungunya biasanya seluruh anggota keluarga dapat

terkena, dengan penularan mirip influenza. Demam chikungunya mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu ruam makulopapular dan injeksi konjungtiva dan lebih sering didapatkan nyeri sendi. Idiopathic Trombocytopenia Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan

penyakit DBD derajad II, karen didapatkan demam dan perdarahan. Tetapi demam pada ITP cepat menghilang (pada ITP bisa tidak diserti demam), tidak dijumpai leukopenia, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran kekananan pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit cepat kembali dari pada ITP. Perdarahan juga terjadi pada lukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba, dan sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang dapat memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia apalstik sangat anemik, demam dapat timbul karena infeksi sekunder, pada pemeriksaan darah didapkan pansitopenia.

2.7 Penatalaksanaan Dengue Shock Syndrom Penggantian Volume Plasma Segera Pengobatan awal cairan intravena dengan larutan ringer laktat > 20 ml/kgBB dengan tetesan secepatnya (maksimal 30 menit). Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit berikan cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kgBB. Jika masih belum ada perbaikan cairan diganti dengan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Sebaiknya koloid tidak diberikan pada masa perdarahan. Setelah terjadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid dengan tetesan 20

19

ml/kgBB. Apabila setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol %, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kgBB/jam), tetapi apabila terjadi perdarahan masif berikan 20 ml/kgBB. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan cairan dikurangi secara bertahap sesuai dengan keadaan klinis dan kadar hematokrit.

Pemeriksaan Kadar Hematokrit Kadar hematokrit dapat menjadi indikator penggantian volume plasma. Pemberian cairan harus tetap diteruskan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam dan kemudian disesuaikan dengan kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun. Jumlah urin 1 ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikator bahwa keadaan sirkulasi membaik. Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan pada saat terjadi reabsorpsi-plasma dari ekstravaskuler (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan keadaan hipervolemia, dengan akibat terjadi edema paru dan gagal jantung. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorpsi. Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyerat pasien DHF/DSS, maka pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya DIC (disseminated intravascular coagulation). Pada umumnya apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi pada asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat DIC tidak akan terjadi. Sedatif Pada pasien yang gelisah dapat diberikan sedatif untuk menenangkan pasien. Diusahakan jangan memberikan obat yang bersifat hepato-toksik. Kloral hidrat diberikan per oral atau per rectal dengan dosis 12,5-50 mg/kgBB (tidak

20

melebihi 1 gram). Keadaan gelisah sebagai akibat dari keadaan perfusi jaringan yang kurang baik akan menghilang setelah cairan secara adekuat..5 Transfusi Darah Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% ke 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk menaikkan konsentrasi sel darah segar. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan perdarahan masif. Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin dan fibrinogen degradation products (FDP) harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringgannya DIC.

Pemeriksaan hematologis tersebut juga untuk menentukan prognosis.

Penderita DSS yang menderita DIC atau efisiensi faktir koagulan yang multipel dapat diberikan transfusi plasma (FFP) dengan dosis awal 15 ml/KgBB. Monitoring Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah : Nadi, tekanan darah, respirasi dan temperatur harus dicatat setiap 15 30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi. Kadar hematokrit harus diperiksa setiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien stabil. Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah dan tetesan untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi. Jumlah serta frekuensi diuresis Pada pengobatan syok, harus diyakinkan bahwa penggantian volume intrvaskular telah benar-benar teroenuhi dengan baik.

Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kgBB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kg/BB dapat diberikan

21

Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan. 2.8 Komplikasi Ensefalopati Dengue Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepenjangan dengan perdarahan. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia atau perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati, dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID), dilaporkan pula bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah-otak, tetapi sangat jarang dapat menginfeksi jaringan otak, dilaporkan juga keadaan ensefalopati yang

berhubungan dengan kegagalan hati akut. Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau somnolen, dapat disertai kejang, dan dapat terjadi pada DHF/DSS. Apabila pada pasien syok dijumpai penurunan kesadaran, maka untuk memastikan adanya ensefalopati, syok harus diatasi terlebih dahulu. Apabila syok telah teratasi, maka perlu dievaluasi kembali mengenai kesadaran pasien. Pungsi lumbal dikerjakan bila syok telah teratasi dan kesadaran tetap menurun (hati-hati bila jumlah trombosit < 50.000). Pada ensefalopati dengue dapat dijumpai peningkatan kadar transaminasi (SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis pada analisa gas darah dan hiponatremia.

Kelainan Ginjal Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskuler, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml/kgBB/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada

22

keadaan syok berat seringkali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin, dan peningkatan kadar ureum dan kreatin. Edema Paru Edema paru merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan (overload). Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit) pasien akan mengalami distres pernapasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran edema paru pada foto thoraks. 2.9 Prognosa Prognosa penderita dengan infeksi dengue pada umumnya baik. Penderita dengan DSS yang teresusitasi dengan baik dan tidak meninggal akan sembuh tanpa cacat. Prognosa yang lebih buruk didapatkan pada penderita dengan komplikasi encephalopathy.

23

BAB IV PEMBAHASAN Pasien datang ke ugd pada tanggal 29 Nopember 2012, hari sabtu dengan keluhan panas, Pasien merupakan rujukan dari Puskemas Tumpang. Panas dirasakan sejak 6 hari sebelum MRS. Panas dirasakan langsung tinggi mendadak secara terus menerus, turun dengan meminum obat penurun panas, namun panasnya kambuh lagi setelah beberapa jam. Kadang-kadang pasien menggigil pada malam hari. Mual (+), muntah (+), sejak 4 hari yang lalu dengan frekuensi 3 kali per hari, muntah biasanya berisi cairan, sehingga menyebabkan nafsu makan pasien menurun sehingga menyebabkan berat badannya menurun kurang lebih 4kg. Sejak sakit pasien hanya makan bubur dan minum air putih. Pasien mengeluh nyeri nyeri di tulang dan sendi sejak & hari sebelum MRS. Pasien mengeluh kemeng di area belakang mata. Muncul bintik bintik kemerahan di kedua kaki sejak 1 hari sebelum MRS. Pasien berobat ke klinik 2 kali pada 4 hari sebelum MRS dan diberi obat obat maag dan paracetamol. Pasien juga berobat ke PKM Tumpang 2 hari sebelum MRS dan mendapatkan terapi infus, obat obatan antara lain vitamin dan sequas liquate, pasien opname di PKM selama 2 hari dan didapatkan hasil lab: thrombosit rendah (40.000) sehingga pasien dirujuk ke RSSA Malang. Pasien tinggal di daerah dekat saluran pembuangan besar. Tidak ada kerabat yang mempunyai keluhan yang sama. Riwayat sering sakit maag (+) sejak kecil, biasanya sakit maag 2x dalam 1 tahun, kali terakhir sakit maag adalah pada bulan augustus tahun 2012. Pasien mengaku mempunyai riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu paling tinggi (150/-), rutin control di puskesmas diberi 1 macam obat (captopril), pasien mengaku tidak mempunyai riwayat DM (-). Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien datang dengan kesadaran compos mentis, tampak sakit sedang, gizi kurang dengan berat badan 60kg dengan tinggi badan 160 cm. Tekanan darah 100/70mmHg, dengan nadi 88x/menit regular regular dan frekuensi nafas sebanyak 19x/menit dan terdapat petekie pada kedua ekstremitas bawah. Dari pemeriksaan

24

tambahan yg dilakukan. Dari hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan 12.60/2500/36.20/33.000 (Hb/leu/hct/ pcv) dengan mcv/mch 86,00/29,90. Hasil serum electrolyte dalam batas normal (139/3,81/110). Faal hati meningkat (SGOT/SGPT : 125/71) dan GDA menurun (77) curiga kerana low intake. Faal ginjal masih dalam batas normal (ur/cr: 9,50/0,77). Hasil imunoseologi anti dengue IgM dan IgG positif. Penegakan diagnosis dan tingkat keparahan dengue fever mempengaruhi cara pemberian pengobatan yang sesuai. Melalui gejala klinis dan laboratorium kita dapat memastikan pasien ini tergolong dalam kelompak A, kelompok B atau kelompok C. Masing-maisng kelompok ini mempunyai cara pengobatan yang berbeda. Pada kasus ini pasien mengalami gejala panas sejak 6 hari sebelum mendapatkan pengobatan di puskesmas. Mengalami gejala mual dan muntah sehingga menyebabkan nafsu makan dan berat badan pasien menurun secara drastik. Pasien juga mengalami gejala nyeri-nyeri pada sendi dan muncul petekie pada eksterimitas bahagian bawah. Pada hasil pemeriksaan lab ternyata trombositnya hanya 33,000 menunjukan adanya tanda-tanda terjadinya plasma leakage. Berdasarkan gejala-gejala klinis ini, pasien tergolong pada category B dimana pasien harus mendapatkan pengobatan dan dirawat inap di puskesmas atau di rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan di atas dapat disimpulkan bahawan pasien terdiagnosa degan AFI hari ke 6 dt DHF grade II dan dyspepsia syndrome. Sebagai langkah monitoring pasien direncanakan untuk melakukan DL serial/12 jam bagi memantau trombositnya. Saat di MRS di RSSA diberikan IVFD RL 20 tpm, diet TKTP 2100kkal/hari, injeksi ranitidine 50mg, injeksi metoclopramide 3x10mg (IV), peroral diberikan omeprazole 2x20mg dan paracetamol 3x500mg. Selama pengobatan pasien

merasakan semakin sehat, gejala mual muntah sudah tidak ada pada hari ke3 pengobatan dan sudah tidak panas lagi. Pasien akhirnya memutuskan untuk pulang paksa kerana merasa sudah sehat. Prognosa pada pasien ini adalah dobia at bonam, karena pasien merespon dengan baik terhadap terapi yang telah direncanakan.

25

BAB V KESIMPULAN

Pada kasus ini pasien Ny Siti Mutmainah berusia 29 tahun telah didiagnosa dengan DHF gred II. Pasien datang pada saat demam hari 6 dengan keluhan mual, muntah dan pegal-pegal linu. Pasien juga megeluh munculnya bintik-bintik merah di badannya 1 hari sebelum pasien MRS di RSSA. Pada mulanya pasien dibawa ke puskesmas untuk berobat. Disana pasien melakukan test darah lengkap dan didapatkan trombositnya menurun dan karena itu pasien telah dirujuk ke RSSA. Pasien juga mengaku mempunyai riwayat darah tinggi sejak 1 tahun yang lalu rutin control ke puskemas dan telah diberi 1 macam obat (captopril). Dari pemeriksaan fisik, diadapatkan Tekanan darah 100/70mmHg, dengan nadi 88x/menit regular regular dan frekuensi nafas sebanyak 19x/menit dan terdapat petekie pada kedua ekstremitas bawah. Dari hasil pemeriksaan tambahan yg telah dilakukan, pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan 12.60/2500/36.20/33.000

(Hb/leu/hct/ pcv) dengan mcv/mch 86,00/29,90. Hasil serum electrolyte dalam batas normal (139/3,81/110). Faal hati meningkat (SGOT/SGPT : 125/71) dan GDA menurun (77) curiga kerana low intake. Faal ginjal masih dalam batas normal (ur/cr: 9,50/0,77). Hasil imunoseologi anti dengue IgM dan IgG positif. Saat di MRS di RSSA diberikan IVFD RL 20 tpm, diet TKTP 2100kkal/hari, injeksi ranitidine 50mg, injeksi metoclopramide 3x10mg (IV), peroral diberikan omeprazole 2x20mg dan paracetamol 3x500mg. Sebagai langkah monitoring pasien direncanakan untuk melakukan DL serial/12 jam bagi memantau trombositnya. Selama pengobatan pasien merasakan semakin sehat, gejala mual muntah sudah tidak ada pada hari ke3 pengobatan dan sudah tidak panas lagi. Pasien akhirnya memutuskan untuk pulang paksa kerana merasa sudah sehat. Prognosa pada pasien ini adalah dobia at bonam, karena pasien merespon dengan baik terhadap terapi yang telah direncanakan

26

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control. 3rd ed. Geneva: World Health Organization; 2008. (http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241547871_eng.pdf) diakses pada tanggal 21 Desember 2012. 2. Tomashek K., Dengue Fever & Dengue Hemorrahgic Fever, Centers for Disease Control and Prevention. 2012 (http://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2012/chapter-3-infectiousdiseases-related-to-travel/dengue-fever-and-dengue-hemorrhagicfever.htm) diakses pada tanggal 21 Desember 2012 3. Wibowo A, dr., Demam Berdarah Dengue , 2012. DENKES (http://dinkes.malangkota.go.id/index.php/artikel-kesehatan/160-demamberdarah-dengue) diakses tanggal 21 Desember 2012. 4. Sangkawibha N., Rojanasuphot S., Ahandrik S., Risk factors in dengue shock syndrome: a prospective epidemiologic study in Rayong, Thailand. I. The 1980 outbreak. (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/6496446) diakses tanggal 21 Desember 2012)

5. Djunaedi, D. 2006. Demam Berdarah Dengue (DBD). Malang : Penerbit


Universitas Muhammadiyah Malang. 6. Hadinegoro, Sri Rezeki H. Soegianto, Soegeng. Suroso, Thomas. Waryadi, Suharyono. TATA LAKSANA DEMAM BERDARAH DENGUE DI INDONESIA. Depkes & Kesejahteraan Sosial Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Hidup 2001. Hal 1 33. 7. Hendrawanto. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM Jilid I Edisi Ketiga PERSATUAN AHLI PENYAKIT DALAM INDONESIA.1996 Hal 417 426. 8. Janus, Centrin net.id/ binprog.www.plasa.com.2003

9. Mansjoer, Arif. Triyanti, Kuspuji. Savitri, Rakhmi. Wardani, Wahyu Ika.


Setiowulan, Wiwiek. KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Media AesculapiusFK UI Edisi ketiga Jilid I. 1999. Hal 428 433. 2.

10. Suroso, T. 1984. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di


Indonesia dalam Panitia Symposium Demam Berdarah Dengue (ed) Ujung Pandang : Symposium Demam Berdarah Dengue.

27

11. Kristina, Isminah, Wulandaari, L. 2004. Demam Berdarah Dengue.


(http://www.litbang.depkes.go.id/maskes/052004/demamberdarah1.htm.) diakses pada tanggal 21 Desember 2012

Anda mungkin juga menyukai