Anda di halaman 1dari 6

Hadiyan’s Web Blog

January 21, 2009


Momentum Kebangkitan Hijriyah

Filed under: Uncategorized — hadiyan @ 1:56 am

Oleh: Hadiyan
Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Jakarta

Tahun Baru Islam 1430 Hijriyah tiba. Sebagian umat Islam acapkali memeringatinya dengan

Peringatan Satu Muharram. Peringatan ini tradisi baru dalam kebudayaan Islam. Rasulullah

saw dan generasi terdahulu (salaf al-shalih) tidak pernah menyelenggarakannya. Kurang jelas

siapa yang memulai tradisi peringatan Muharram ini (dan kapan?). Yang terang, Khalifah

Umar bin Khaththablah yang menjadikan bulan Muharram sebagai bulan pertama Hijriyah.

Yang penting dicatat, penamaan “Hijriyah” itu merujuk kepada peristiwa monumental hijrah

Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah. Hijrah Nabi saw sendiri terjadi pada bulan Rabi’ul

Awal menurut kebanyakan ahli sejarah. Sementara penentuan Muharram sebagai bulan

pertama, tidak lepas dari saran ‘Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib kepada Umar.

Alasan keduanya, menurut al-Maqrizi, karena hitungan tahun di Arab dimulai dengan bulan

Muharram (Syibli al-Nu’mani, 1994, h. 395).

Lepas dari itu, peristiwa hijrah memang monumental. Ini misalnya terekam dalam kata-kata

Umar: “Peristiwa hijrah menandai terpisahnya antara yang hak dan yang batil, karena itu

buatlah penanggalan sejarah dengan peristiwa tersebut.” (Abu Thurab, 1984, h.39).

Kekuatan sosial-politik
Dakwah Muhammad saw merupakan gerakan dakwah keagamaan. Orientasinya bersifat

sosial. Artinya, hendak menjadikan suatu masyarakat yang belum islami menjadi masyarakat

islami (islamic society), atau masyarakat yang adil berdasarkan etika, meminjam Fazlur

Rahman. Masyarakat islami ini ditegakkan di atas prinsip pengesaan Allah (tawhid). Filosof

Muhammad Iqbal menegaskan tiga esensi tauhid: persamaan (equality), persaudaraan

(solidarity), dan kemerdekaan (freedom) (Muhammad Iqbal, 1966, h.151).

Masyarakat islami atas dasar tauhid ini tidak dapat diwujudkan di Makkah. Tokoh Makkah

seperti Umayyah bin Abi Shalt, misalnya, menentang keras bila dia harus disamakan (sebagai

hamba Allah) dengan Bilal, budak beliannya. Baginya, dia adalah tuan (konototatif dengan

Tuhan) yang dapat berbuat apa saja kepada budak-hambanya. Bukan Umayyah saja, tokoh

lainnya seperti Walid bin Mughirah, Abu Sufyan bin Harb, Akhnas bin Syurayq, dll. ada

dalam barisan penentang Islam. Pada akhirnya, terjadi benturan psikologis-politis antara

nilai-nilai Islam dan nilai-nilai jahiliyah yang established saat itu. Inilah yang melatar-

belakangi peristiwa hijrah.

Peristiwa hijrah ke Madinah (622 M/ 1 H) menandai era baru gerakan dakwah Islam. Bila

pada fase Makkah, umat Islam mengalami ketertindasan, maka di Madinah mereka mulai

bangkit menyusun langkah-langkahnya sebagai kesatuan sosial-politik. Unsur-unsur pokok

pembentuk negara modern seperti wilayah kedaulatan (Yatsrib/Madinah), penduduk (kaum

mukminin), undang-undang (Alquran dan Sunnah), dan Kepala Negara (Rasulullah)

menandai kebangkitan kaum muslimin ini. Dengan cepat sekali, kata Harun Nasution, Islam

berubah bentuknya dari hanya agama, menjadi agama dan negara (Ahmad Sukardja, 1995,

h.v). Mereka hidup dalam sebuah kesatuan sosial-politik (ummat) yang sangat kuat (QS.59:8-

10). Dalam hal ini, keberadaan beberapa suku Arab pagan dan Umat Yahudi yang terikat
dalam Piagam Madinah, tentu tidak dapat diabaikan (meski kemudian banyak yang

membelot!).

Umat Islam paska kebangkitannya sangat diperhitungkan oleh komunitas Quraisy Makkah.

Betapapun, mereka mengkhawatirkan Islam suatu saat akan “merebut” Makkah (dengan

Kabahnya) sebagai kota metropolis kegiatan sosial-politik-ekonomi di Jazirah Arabia saat itu.

Pada tahun ke-tujuh paska hijrah, Nabi saw mulai “menunjukkan” kekuatan Islam. Bersama

kurang lebih 1.400 kaum muslimin, beliau berangkat ke Makkah melaksanakan umrah.

Peristiwa ini melahirkan Perjanjian Hudaibiyah. Dalam perjanjian tersebut, tersirat manifesto

politik Quraisy terhadap kekuatan politik Madinah. Disepakati pada tahun itu kaum muslimin

menunda umrahnya, tetapi diizinkan masuk ke Makkah pada tahun berikutnya. Larangan

memasuki Makkah bagi kaum muslimin hanya akan merugikan citra Quraisy, sebab Makkah

memang selalu terbuka bagi siapa saja untuk berziarah.

Reformasi sosial-budaya

Apa yang dikhawatirkan kubu Quraisy akhirnya terjadi; Makkah jatuh ke tangan kaum

muslimin pada tahun 630 M/9 H. Dengan kekuatan 10.000 orang, kaum muslimin dapat

merebut Makkah dari tangan Quraisy tanpa perlawanan sama sekali. Perebutan ini bukan

kemauan Nabi, tetapi karena pengkhianatan Abu Sufyan cs terhadap salah satu klausul

Perjanjian Hudaibiyah yang menyatakan tidak boleh saling memerangi. Banu Bakar sebagai

sekutu Quraisy memerangi Banu Khuza’ah sekutu Muslimin.

Bagi Muhammad dan kaum muslimin, Makkah bukan sekedar menyemburatkan romantisme

patriotik sebagai tanah air mereka. Akan tetapi Makkah adalah kota simbol kelahiran Agama

Tauhid dimana Ibrahim mengajarkan gagasan keesaan Tuhan (Allah). Dan, gagasan tersebut
telah digantikan dan diselewengkan dengan penganekaan tuhan berhala. Rasulullah dan kaum

muslimin mempunyai kewajiban moral mengembalikan gagasan tauhid Ibrahim itu.

Dari sini, penaklukan (baca: pembebasan) kota Makkah tidak harus selalu dibaca melalui

kacamata politik: Islam itu kuat, dan dengan kekuatan itu Islam menginvasi Makkah.

Peristiwa pembebasan Makkah, hemat penulis, merupakan momentum reformasi sosial-

budaya masyarakat Makkah. Di hampir kematangan doktrinalnya, Islam membebaskan

Makkah dari praktik-praktik zalim yang mencederai nilai-nilai asasi kemanusiaan; ada

perbudakan, pembunuhan karakter perempuan, pencitraan Kabah sebagai bukan rumah untuk

“melayani” Allah, tetapi tempat melayani berhala, termasuk politisasi Kabah sebagai sarana

bisnis kaum aristokrat. Ketiakadilan sosial, disekuilibrium ekonomi, dan kebutaan agama

adalah ciri pokok masyarkat Makkah saat itu. Sejarah umat manusia di bawah struktur sosial

masyarakat Makkah, bukan saja tidak islami, tetapi berada di titik nadir.

Bila momentum kebangkitan di Madinah ditandai oleh terbentuknya kesatuan sosial-politik

kaum muslimin berdasarkan prinsip tauhid, maka momentum reformasi sosial-budaya

masyarakat Makkah ditandai oleh kembalinya supremasi ajaran tauhid melalui pembebasan

Makkah dan Kabah. Ketika masuk ke dalam Ka’bah, Rasulullah (ditemani Usamah bin Zayd,

Bilal, dan Utsman bin Thalhah), menghancurkan semua berhala di dalamnya. Inilah simbol

kemenangan agama tauhid dan reformasi segala bentuk kezaliman yang dibungkus atas nama

Tuhan.

Refleksi

Peristiwa hijrah seyogianya menjadi daya tonjok (striking force) psikologis bagi umat Islam

untuk bangkit. Pahit memang, menelan ‘keluhan’ bahwa 14 abad sudah peristiwa hijrah
berlalu, tetapi kaum muslimin tak kunjung bangkit dan maju. Umat Islam mengalami

ketertinggalan dari umat lain, Barat misalnya.

Hamid Rafiabady dalam bukunya Hijrah: A Turning Point in Islamic Movement, menggagas

konsep hijrah disertai jihad agar umat Islam keluar dari semua persoalannya. Menurutnya,

Islam adalah jalan hidup sempurna yang dapat memandu umat manusia mencari solusi

masalahnya. “For coming out of oppression and slavery it has suggested Hijrat and Jehad,”

tegasnya. (Hamid Rafiabady,1995,h.84). Baginya, jihad adalah perjuangan (struggle bukan

qital/fight) memerangi semua hal negatif seperti kebodohan, percekcokan, kemiskinan,

perbuatan bid’ah, dll. yang menjangkit “tubuh” kaum muslimin.

Jihad dalam konsepsi Rafiabady jelas dimulai dengan mengubah mental umat, dari mental

kemunduran menjadi mental kemajuan. Semua sifat buruk dan jahat harus diubah dengan

sifat-sifat baik dan membangun: kebodohan harus dihilangkan dengan belajar disiplin,

kemiskinan harus “diperangi” dengan bekerja keras, dan seterusnya. Tanpa perubahan mental

itu, umat Islam –meminjam Abu Hasan Ali al-Nadawi–, akan terus lemah kesadarannya

(dha’ifat al-wa’y) untuk bangkit. “Kemajuan” peradaban Barat, misalnya, disebut al-Nadawi

justeru karena mereka mempunyai kesadaran yang tinggi (qawiyyat al-wa’y) untuk menjadi

bangsa yang maju.

Nabi saw melalui momentum hijrah sesungguhnya telah membangun mental kesadaran

kolektif kaum muslimin sebagai umat yang maju. Alquran mengistilahkannya sebagai umat

terbaik (khayru ummat) (QS.3:110). Umat Terbaik yang bervisi membawa umat manusia

kepada kemajuan, menebar kebaikan, menangkal keburukan, dan berakidah tauhid itu,

menjadi ironi kita sandang, manakala kita luput menangkap dan (apalagi) tidak bergerak

sejalan spirit kebangkitan momentum hijrah.


HADIYAN, MA

Anda mungkin juga menyukai