Oleh: Hadiyan
Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Jakarta
Tahun Baru Islam 1430 Hijriyah tiba. Sebagian umat Islam acapkali memeringatinya dengan
Peringatan Satu Muharram. Peringatan ini tradisi baru dalam kebudayaan Islam. Rasulullah
saw dan generasi terdahulu (salaf al-shalih) tidak pernah menyelenggarakannya. Kurang jelas
siapa yang memulai tradisi peringatan Muharram ini (dan kapan?). Yang terang, Khalifah
Umar bin Khaththablah yang menjadikan bulan Muharram sebagai bulan pertama Hijriyah.
Yang penting dicatat, penamaan “Hijriyah” itu merujuk kepada peristiwa monumental hijrah
Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah. Hijrah Nabi saw sendiri terjadi pada bulan Rabi’ul
Awal menurut kebanyakan ahli sejarah. Sementara penentuan Muharram sebagai bulan
pertama, tidak lepas dari saran ‘Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib kepada Umar.
Alasan keduanya, menurut al-Maqrizi, karena hitungan tahun di Arab dimulai dengan bulan
Lepas dari itu, peristiwa hijrah memang monumental. Ini misalnya terekam dalam kata-kata
Umar: “Peristiwa hijrah menandai terpisahnya antara yang hak dan yang batil, karena itu
buatlah penanggalan sejarah dengan peristiwa tersebut.” (Abu Thurab, 1984, h.39).
Kekuatan sosial-politik
Dakwah Muhammad saw merupakan gerakan dakwah keagamaan. Orientasinya bersifat
sosial. Artinya, hendak menjadikan suatu masyarakat yang belum islami menjadi masyarakat
islami (islamic society), atau masyarakat yang adil berdasarkan etika, meminjam Fazlur
Rahman. Masyarakat islami ini ditegakkan di atas prinsip pengesaan Allah (tawhid). Filosof
Masyarakat islami atas dasar tauhid ini tidak dapat diwujudkan di Makkah. Tokoh Makkah
seperti Umayyah bin Abi Shalt, misalnya, menentang keras bila dia harus disamakan (sebagai
hamba Allah) dengan Bilal, budak beliannya. Baginya, dia adalah tuan (konototatif dengan
Tuhan) yang dapat berbuat apa saja kepada budak-hambanya. Bukan Umayyah saja, tokoh
lainnya seperti Walid bin Mughirah, Abu Sufyan bin Harb, Akhnas bin Syurayq, dll. ada
dalam barisan penentang Islam. Pada akhirnya, terjadi benturan psikologis-politis antara
nilai-nilai Islam dan nilai-nilai jahiliyah yang established saat itu. Inilah yang melatar-
Peristiwa hijrah ke Madinah (622 M/ 1 H) menandai era baru gerakan dakwah Islam. Bila
pada fase Makkah, umat Islam mengalami ketertindasan, maka di Madinah mereka mulai
menandai kebangkitan kaum muslimin ini. Dengan cepat sekali, kata Harun Nasution, Islam
berubah bentuknya dari hanya agama, menjadi agama dan negara (Ahmad Sukardja, 1995,
h.v). Mereka hidup dalam sebuah kesatuan sosial-politik (ummat) yang sangat kuat (QS.59:8-
10). Dalam hal ini, keberadaan beberapa suku Arab pagan dan Umat Yahudi yang terikat
dalam Piagam Madinah, tentu tidak dapat diabaikan (meski kemudian banyak yang
membelot!).
Umat Islam paska kebangkitannya sangat diperhitungkan oleh komunitas Quraisy Makkah.
Betapapun, mereka mengkhawatirkan Islam suatu saat akan “merebut” Makkah (dengan
Kabahnya) sebagai kota metropolis kegiatan sosial-politik-ekonomi di Jazirah Arabia saat itu.
Pada tahun ke-tujuh paska hijrah, Nabi saw mulai “menunjukkan” kekuatan Islam. Bersama
kurang lebih 1.400 kaum muslimin, beliau berangkat ke Makkah melaksanakan umrah.
Peristiwa ini melahirkan Perjanjian Hudaibiyah. Dalam perjanjian tersebut, tersirat manifesto
politik Quraisy terhadap kekuatan politik Madinah. Disepakati pada tahun itu kaum muslimin
menunda umrahnya, tetapi diizinkan masuk ke Makkah pada tahun berikutnya. Larangan
memasuki Makkah bagi kaum muslimin hanya akan merugikan citra Quraisy, sebab Makkah
Reformasi sosial-budaya
Apa yang dikhawatirkan kubu Quraisy akhirnya terjadi; Makkah jatuh ke tangan kaum
muslimin pada tahun 630 M/9 H. Dengan kekuatan 10.000 orang, kaum muslimin dapat
merebut Makkah dari tangan Quraisy tanpa perlawanan sama sekali. Perebutan ini bukan
kemauan Nabi, tetapi karena pengkhianatan Abu Sufyan cs terhadap salah satu klausul
Perjanjian Hudaibiyah yang menyatakan tidak boleh saling memerangi. Banu Bakar sebagai
Bagi Muhammad dan kaum muslimin, Makkah bukan sekedar menyemburatkan romantisme
patriotik sebagai tanah air mereka. Akan tetapi Makkah adalah kota simbol kelahiran Agama
Tauhid dimana Ibrahim mengajarkan gagasan keesaan Tuhan (Allah). Dan, gagasan tersebut
telah digantikan dan diselewengkan dengan penganekaan tuhan berhala. Rasulullah dan kaum
Dari sini, penaklukan (baca: pembebasan) kota Makkah tidak harus selalu dibaca melalui
kacamata politik: Islam itu kuat, dan dengan kekuatan itu Islam menginvasi Makkah.
Makkah dari praktik-praktik zalim yang mencederai nilai-nilai asasi kemanusiaan; ada
perbudakan, pembunuhan karakter perempuan, pencitraan Kabah sebagai bukan rumah untuk
“melayani” Allah, tetapi tempat melayani berhala, termasuk politisasi Kabah sebagai sarana
bisnis kaum aristokrat. Ketiakadilan sosial, disekuilibrium ekonomi, dan kebutaan agama
adalah ciri pokok masyarkat Makkah saat itu. Sejarah umat manusia di bawah struktur sosial
masyarakat Makkah, bukan saja tidak islami, tetapi berada di titik nadir.
masyarakat Makkah ditandai oleh kembalinya supremasi ajaran tauhid melalui pembebasan
Makkah dan Kabah. Ketika masuk ke dalam Ka’bah, Rasulullah (ditemani Usamah bin Zayd,
Bilal, dan Utsman bin Thalhah), menghancurkan semua berhala di dalamnya. Inilah simbol
kemenangan agama tauhid dan reformasi segala bentuk kezaliman yang dibungkus atas nama
Tuhan.
Refleksi
Peristiwa hijrah seyogianya menjadi daya tonjok (striking force) psikologis bagi umat Islam
untuk bangkit. Pahit memang, menelan ‘keluhan’ bahwa 14 abad sudah peristiwa hijrah
berlalu, tetapi kaum muslimin tak kunjung bangkit dan maju. Umat Islam mengalami
Hamid Rafiabady dalam bukunya Hijrah: A Turning Point in Islamic Movement, menggagas
konsep hijrah disertai jihad agar umat Islam keluar dari semua persoalannya. Menurutnya,
Islam adalah jalan hidup sempurna yang dapat memandu umat manusia mencari solusi
masalahnya. “For coming out of oppression and slavery it has suggested Hijrat and Jehad,”
Jihad dalam konsepsi Rafiabady jelas dimulai dengan mengubah mental umat, dari mental
kemunduran menjadi mental kemajuan. Semua sifat buruk dan jahat harus diubah dengan
sifat-sifat baik dan membangun: kebodohan harus dihilangkan dengan belajar disiplin,
kemiskinan harus “diperangi” dengan bekerja keras, dan seterusnya. Tanpa perubahan mental
itu, umat Islam –meminjam Abu Hasan Ali al-Nadawi–, akan terus lemah kesadarannya
(dha’ifat al-wa’y) untuk bangkit. “Kemajuan” peradaban Barat, misalnya, disebut al-Nadawi
justeru karena mereka mempunyai kesadaran yang tinggi (qawiyyat al-wa’y) untuk menjadi
Nabi saw melalui momentum hijrah sesungguhnya telah membangun mental kesadaran
kolektif kaum muslimin sebagai umat yang maju. Alquran mengistilahkannya sebagai umat
terbaik (khayru ummat) (QS.3:110). Umat Terbaik yang bervisi membawa umat manusia
kepada kemajuan, menebar kebaikan, menangkal keburukan, dan berakidah tauhid itu,
menjadi ironi kita sandang, manakala kita luput menangkap dan (apalagi) tidak bergerak