Anda di halaman 1dari 26

BAB II PEMBAHASAN 2.

1 Konsep Universal Coverage Cakupan universal (disebut juga cakupan semesta atau universal coverage) merupakan sistem kesehatan di mana setiap warga di dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, yang bermutu dan dibutuhkan, dengan biaya yang terjangkau. Cakupan universal mengandung dua elemen inti: (1) Akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warga; dan (2) Perlindungan risiko finansial ketika warga menggunakan pelayanan kesehatan (WHO, 2005). Akses pelayanan kesehatan yang adil menggunakan prinsip keadilan vertikal. Prinsip keadilan vertikal menegaskan, kontribusi warga dalam pembiayaan kesehatan ditentukan berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay), bukan berdasarkan kondisi kesehatan/ kesakitan seorang. Dengan keadilan vertikal, orang berpendapatan lebih rendah membayar biaya yang lebih rendah daripada orang berpendapatan lebih tinggi untuk pelayanan kesehatan dengan kualitas yang sama. Dengan kata lain, biaya tidak boleh menjadi hambatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan (needed care, necessary care). Untuk melindungi warga terhadap risiko finansial dibutuhkan sistem pembiayaan kesehatan pra-upaya (prepaid system), bukan pembayaran pelayanan kesehatan secara langsung (direct payment, out-of-pocket payment, dan fee-for-service). Dalam prepaid system terdapat pihak yang menjamin pembiayaan kesehatan warga sebelum warga sakit dan menggunakan pelayanan kesehatan. Jadi sistem pra-upaya berbeda dengan pembayaran langsung yang tidak menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan sebelum warga sakit dan menggunakan pelayanan kesehatan (WHO, 2005). Gambar 1 menunjukkan peta status cakupan universal pelayanan kesehatan negara-negara di seluruh dunia. Duapuluhdua dari 23 negara maju memiliki sistem pembiayaan pelayanan kesehatan untuk cakupan universal.

Negara tanpa pelayanan kesehatan universal Negara dengan pelayanan kesehatan universal Negara sedang mencoba mengimpelmentasikan pelayanan kesehatan universal

Gambar 1 Peta status cakupan pelayanan kesehatan universal di negara-negara seluruh dunia (Sumber: Truecostblog, 2009)

Satu-satunya negara maju yang tidak memiliki playanan kesehatan

universal adalah AS. Tetapi pada 21 Maret 2010 House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat) AS mengesahkan RUU Reformasi Kesehatan yang diusulkan Barack Obama dan Partai Demokrat. Dengan undang-undang itu AS akan mengimplementasikan pelayanan kesehatan universal mulai 2014 dengan menggunakan sistem mandat asuransi. Mexico, Afrika Selatan, Thailand, dan Indonesia, merupakan beberapa di antara negara yang sedang mencoba mengimplementasikan pelayanan kesehatan universal (Sreshthaputra dan Indaratna, 2001; Prakongsai et al., 2009). Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang dalam masa transisi menuju sistem pelayanan kesehatan universal. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No.4 / 2004 mewajibkan setiap warga di Indonesia memiliki akses pelayanan kesehatan komprehensif yang dibutuhkan melalui sistem pra-upaya. Sistem pembiayaan kesehatan untuk cakupan universal dapat dibagi menjadi tiga kategori: (1) pembayar tunggal (single payer), (2) pembayar ganda (two-tier), dan (3) sistem mandat asuransi. Tabel 1, 2, dan 3, berturutturut menyajikan daftar negara di dunia, sistem pembiayaan dan tahun dimulainya implementasi sistem pembiyaan pelayanan kesehatan universal. Batas antar sistem tidak selalu jelas (clear-cut). Dalam praktik, pelayanan kesehatan universal dengan sistem pembayar tunggal tidak selalu berarti

bahwa pemerintah merupakan satu-satunya pihak yang menyediakan dan/ atau membiayai pelayanan kesehatan untuk semua warga. Beberapa negara dengan sistem pembayar tunggal, misalnya Inggris, juga memberi kesempatan bagi warganya untuk membeli pelayanan kesehatan tambahan melalui asuransi swasta, karakteristik yang menyerupai sistem pembayar ganda (two-tier). Tetapi yang jelas dalam sistem pembayar tunggal, peran pemerintah sangat dominan sebagai pembayar dan pembeli pelayanan kesehatan bagi warga. Pembayar Tunggal (Single Payer): Pemerintah memberikan asuransi kepada semua warga dan membayar semua pengeluaran kesehatan, meskipun mungkin terdapat copayment dan coinsurance (Tabel 1). Sistem pembayar tunggal merupakan suatu bentuk monopsoni, karena hanya terdapat sebuah pembeli (pemerintah) dan sejumlah penjual pelayanan kesehatan. Biaya kesehatan berasal dari anggaran pemerintah yang diperoleh dari pajak, umum (general taxation) atau pajak khusus (misalnya, payroll tax). Tabel 1 Daftar negara dengan sistem pembayar tunggal untuk cakupan universal pelayanan kesehatan Negara Tahun Sistem Norwegia 1912 Pembayar Tunggal Jepang 1938 Pembayar Tunggal Inggris 1948 Pembayar Tunggal Kuwait 1950 Pembayar Tunggal Swedia 1955 Pembayar Tunggal Bahrain 1957 Pembayar Tunggal Brunei 1958 Pembayar Tunggal Kanada 1966 Pembayar Tunggal Italia 1978 Pembayar Tunggal Portugal 1979 Pembayar Tunggal Siprus 1980 Pembayar Tunggal Spanyol 1986 Pembayar Tunggal Eslandia 1990 Pembayar Tunggal Taiwan 1995 Pembayar Tunggal Sumber: Truecostblog, 2009

Medicare di Kanada, National Health Services (NHS) di Inggris, dan National Health Insurance (NHI) di Taiwan, merupakan contoh sistem pelayanan kesehatan universal dengan pembayar tunggal. Medicare di Kanada untuk sebagian didanai oleh pemerintah nasional, sebagian besar oleh pemerintah provinsi. Pemerintah Inggris menarik pajak umum (general taxation) dari warga yang antara lain digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh NHS. Pemberi pelayanan bisa pemerintah, swasta, atau kombinasi pemerintah dan swasta seperti yang berlangsung di Kanada dan Inggris. National Health Insurance (NHI) di Taiwan dimulai sejak 1995. NHI merupakan skema asuransi sosial wajib dengan pembayar tunggal yang dijalankan oleh pemerintah, yang memusatkan semua dana pelayanan kesehatan. Dana NHI sebagian besar berasal dari premi yang berbasis pajak gaji (payroll tax) dan dana pemerintah. Sistem ini memberkan akses yang sama bagi semua warga, dan cakupan populasi mencapai 99% pada akhir 2004. Sistem Ganda (Two-Tier): Dalam sistem ganda (dual health care system), pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan atau memberikan cakupan asuransi katastrofik atau cakupan minimal untuk semua warga. Kemudian warga melengkapinya dengan membeli pelayanan kesehatan tambahan di sektor swasta, baik melalui asuransi sukarela atau membayar langsung (direct payment) (Tabel 2). Sebagai contoh, sistem pelayanan kesehatan universal di Singapore menggunakan kombinasi tabungan wajib melalui potongan gaji (payroll tax)

yang didanai perusahaan dan pekerja suatu skema asuransi kesehatan nasional, dan subsidi pemerintah. Selain itu banyak warga Singapore yang juga membeli asuransi kesehataan swasta tambahan (biasanya dibayar oleh perusahaan) untuk pelayanan kesehatan yang tidak diliput dalam program pemerintah. Sebagian besar pelayanan kesehatan disediakan oleh sektor swasta.

Tabel 2 Daftar negara dengan sistem pembayar ganda (two-tier) untuk cakupan universal pelayanan kesehatan Negara Tahun New Zealand 1938 Belanda 1966 Denmark 1973 Perancis 1974 Australia 1975 Irlandia 1977 Hong Kong 1993 Singapore 1993 Israel 1995 Sumber: Truecostblog, 2009 Sistem Sistem ganda Sistem ganda Sistem ganda Sistem ganda Sistem ganda Sistem ganda Sistem ganda Sistem ganda Sistem ganda

Dalam sistem pelayanan kesehatan di Singapore, pemerintah dengan aktif meregulasi suplai dan harga pelayanan kesehatan untuk menjaga agar biaya selalu terkontrol. Sistem tersebut sangat baik meskipun tidak mudah untuk direplikasi di negara manapun. Dengan sistem tersebut, jumlah keseluruhan pengeluaran kesehaatan hanya 3% dari PDB tahunan. Dari jumlah tersebut, 66% berasal dari sumber swasta. Hasilnya bagi kesehatan warga sangat menakjubkan. Dewasa ini Singapore memiliki angka kematian bayi nomer dua terendah di seluruh dunia, dan satu di antara negara dengan angka harapan hidup saat kelahiran tertinggi di dunia. WHO menyebut Singapore salah satu sistem pelayanan kesehatan yang paling sukses di dunia, baik dalam arti efisiensi pembiayaan maupun hasil-hasil kesehaatan komunitas yang dicapai.

Mandat Asuransi: Pemerintah memberikan mandat (mewajibkan) agar semua warga memiliki asuransi dari perusahaan asuransi swasta, pemerintah, atau nirlaba (Tabel 3).

Tabel 3 Daftar negara dengan sistem pembayar mandat asuransi untuk cakupan universal pelayanan kesehatan Negara Tahun Sistem Jerman 1941 Mandat Asuransi Belgia 1945 Mandat Asuransi Austria 1967 Mandat Asuransi Luksemburg 1973 Mandat Asuransi Yunani 1983 Mandat Asuransi Korea Selatan 1988 Mandat Asuransi Swis 1994 Mandat Asuransi Indonesia 2004 Mandat Asuransi Amerika Serikat 2014 Mandat Asuransi Sumber: Truecostblog, 2009

Dalam pelaksanaan mandat asuransi, pemerintah di sejumlah negara membatasi jumlah perusahaan asuransi. Di beberapa negara lainnya jumlah perusahaan asuransi yang beroperasi tidak dibatasi dan berlangsung dalam mekanisme pasar. Pemerintah melakukan regulasi dan standarisasi, misalnya larangan perusahaan asuransi untuk menolak untuk mengasuransi warga yang telah melangalami penyakit (pre-existing condition). Sebagai contoh, AS selama ini menerapkan sistem pembiayaan kesehatan yang liberal melalui pasar swasta. Pemerintah federal dan negara bagian memberikan skema asuransi kesehatan bagi warga miskin (Medicaid) dan usia lanjut, veteran, dan berpenyakit kronis (Medicare), tetapi kontribusi pemerintah jauh dari memadai bagi warga AS umumnya. Akibatnya, menurut United States Census Bureau, pada 2008 terdapat 46.3 juta orang di AS (15.4% dari populasi) tidak terasuransi. Dengan disahkannya Undang-Undang Reformasi Kesehatan AS yang disebut The Patient Protection and Affordable Care Act pada 21 Maret 2010 yang diusulkan Barack Obama dan Partai Demokrat, diharapkan pelayaanan kesehatan dapat diakses oleh semua warga AS. Undang-Undang itu mewajibkan pelayanan komprehensif bagi warga AS. Reformasi kesehatan di AS tersebut tetap memberi kesempatan kepada asuransi kesehatan swasta dan pemberi pelayanan kesehatan swasta untuk beroperasi, tetapi dengan regulasi lebih ketat, dan dengan subsidi yang lebih besar dari pemerintah agar warga miskin mampu membeli asuransi. Undang-Undang itu melarang praktik buruk perusahaan asuransi swasta selama ini, misalnya menerapkan skrining terhadap penyakit yang tengah terjadi (pre-exisiting condition) dan penambahan premi kepada peserta asuransi yang memiliki kemungkinan besar sakit. 2.2 Dasar hukum (SJSN, BPJS) Ketentuan SJSN dan BPJS di atur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN , Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosil yang bertujuan untuk memberikan jaminan

terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ,sedangkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah: Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (Pasal 1 angka 6) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada pasal 5 adalah: a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pembentukan Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004, batas waktu paling lambat untuk penyesuaian semua ketentuan yang mengatur mengenai BPJS dengan UU No. 40 Tahun 2004 adalah tanggal 19 Oktober 2009, yaitu 5 tahun sejak UU No. 40 Tahun 2004 diundangkan. Batas waktu penetapan UU tentang BPJS yang ditentukan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah. RUU tentang BPJS tidak selesai dirumuskan. DPR RI mengambil inisiatif menyelesaikan masalah ini melalui Program Legislasi Nasional 2010 untuk merancang RUU tentang BPJS. DPR telah menyampaikan RUU tentang BPJS kepada Pemerintah pada 8 Oktober 2010 untuk dibahas bersama Pemerintah. DPR RI dan Pemerintah mengakhiri pembahasan RUU tentang BPJS pada Sidang Paripurna DPR RI tanggal 28 Oktober 2011. RUU tentang BPJS disetujui untuk disahkan menjadi Undang-undang. DPR RI menyampaikan RUU tentang BPJS kepada Presiden pada tanggal 7 November 2011. Pemerintah mengundangkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS pada tanggal 25 November 2011. Transformasi BPJS (ASABRI); dan d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES);

PT ASKES (Persero) Berubah menjadi BPJS Kesehatan dan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014 (Pasal 60 ayat (1) UU BPJS) PT (Persero) JAMSOSTEK Berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014 (Pasal 62 ayat (1) UU BPJS Ketenagakerjaan paling lambat mulai beroperasi pada tanggal 1 Juli 2015, termasuk menerima peserta baru (Pasal 62 ayat (2) huruf d UU BPJS) PT (Persero) ASABRI Menyelesaikan pengalihan program ASABRI dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029 (Pasal 65 ayat (1) UU BPJS) PT TASPEN (Persero) Menyelesaikan pengalihan program THT dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029 (Pasal 65 ayat (1) UU BPJS) Proses selanjutnya adalah pembubaran PT ASKES (Persero) dan PT (Persero) JAMSOSTEK tanpa likuidasi. Sedangkan PT (Persero) ASABRI dan PT TASPEN (Persero) tidak secara tegas ditentukan dalam UU BPJS. BPJS Hanya Dapat Dibubarkan Dengan Undang-Undang Dan Tidak Dapat Dipailitkan Pasal 5 UU SJSN menentukan bahwa BPJS dibentuk dengan UndangUndang. Artinya pembentukan BPJS dilaksanakan berdasarkan persetujuan bersama Presiden dan DPR. Dengan kata lain pembentukan BPJS didasarkan kepada persetujuan bersama Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar dan DPR sebagai wakil rakyat yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Dilihat dari pembentukannya kedudukan BPJS sangat kuat, karena dasar hukum pembentukannya adalah Undang-Undang yang menempati urutan ketiga dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan. Selain itu

dilihat dari statusnya, menurut Pasal 7 UU BPJS, BPJS adalah badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada Presiden dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional. Perlu dikemukakan bahwa menurut Penjelasan Umum UU BPJS, sistem jaminan sosial nasional merupakan program Negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H ayat (1), (2) dan (3), serta Pasal 34 ayat (1) dan(2) UUD Negara RI tahun 1945. a. Hanya Dapat Dibubarkan Dengan Undang-Undang Mengingat pembentukan, status dan peranan BPJS dalam menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai program Negara dalam rangka memenuhi hak setiap orang atas jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UUD Negara RI Tahun 1945, maka Pasal 46 UU BPJS menentukan bahwa BPJS hanya dapat dibubarkan dengan Undang-Undang. Dasar hukum pembubaran BPJS hanya dibenarkan dengan UndangUndang. Alasan dan tata cara pembubarannya juga ditentukan dalam UndangUndang yang bersangkutan. Dengan kata lain pembubaran BPJS hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan bersama Presiden dan DPR yang dituangkan dalam bentuk Undang-Undang. Berbeda dengan BUMN yang pembubarannya cukup ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 79 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN. Khusus BUMN berbentuk PT (Persero), menurut Pasal 80 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2005, pembubarannya dilakukan sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip yang diatur dalam peraturan perundangundangan di bidang perseroan terbatas, yaitu Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Pembubaran PT (Persero)dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan dalam Pasal 142 ayat (1) Undang- Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Peseroan Terbatas. Prosedur perubahan yang harus diikuti diatur dalam Pasal 142 sampai dengan Pasal 152 UU PT.

b. Tidak Dapat Dipailitkan BPJS memang dirancang untuk menyelenggarakan SJSN secara berkelanjutan berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat dan keadilan sosial. Asas tersebut berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat manusia, pengelolaan yang efisien dan efektif dan asas yang bersifat idiil dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam menyelenggarakan SJSN, BPJS berdasarkan pada prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesarbesar kepentingan Peserta. UU SJSN menentukan sejumlah rambu-rambu bagi BPJS dalam pengelolaan Dana Jaminan Sosial. Rambu-rambu tersebut adalah sebagai berikut: a. BPJS wajib mengelola dan mengembangkan Dana Jaminan sosial secara b. c. d. e. optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai; BPJS mengelola pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku; Subsidi silang antar program tidak diperkenankan; BPJS menerapkan keterbukaan informasi tentang akumulasi iuran dan hasil pengembangannya; dan BPJS wajib membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktek aktuaria yang lazim dan berlaku umum. Selain itu untuk menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan BPJS, menurut Pasal 48 UU SJSN Pemerintah dapat melakukan tindakantindakan khusus. Mengingat BPJS mengelola dana publik, yaitu dana milik seluruh peserta jaminan sosial dan pengembangannya, maka Pasal 51 UU SJSN menentukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan BPJS dilakukan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Keberadaan BPJS terjamin dari ancaman dipailitkan, karena Pasal 47 UU BPJS menetukan bahwa BPJS tidak dapat dipailitkan berdasarkan perturan perundang-undangan mengenai kepailitan. Peraturan Perundangundangan mengenai kepailitan dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU BPJS tersebut maka BPJS yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, tidak dapat dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.Dengan kata lain ketentuan UndangUndang Nomor 37 tahun 2004 tidak berlaku bagi BPJS yang dilindungi oleh UU BPJS. UU BPJS mengesampingkan ketentuan kepailitan yang diatur dalam UU tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogate lex generalis. UU BPJS sepanjang mengatur mengenai BPJS tidak dapat dipailitkan merupakan lex specialis dari UU tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang yang merupakan lex generalis. 2.3 Tantangan & hambatan dalam Implementasi Universal Coverage Cakupan universal (disebut juga cakupan semesta atau universal coverage) merupakan sistem kesehatan di mana setiap warga di dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, yang bermutu dan dibutuhkan, dengan biaya yang terjangkau. Cakupan universal mengandung dua elemen inti: (1) Akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warga; dan (2) Perlindungan risiko finansial ketika warga menggunakan pelayanan kesehatan (WHO, 2005). Sejak tahun 2004, harapan rakyat Indonesia terhadap pencapaian Universal Health Coverage (UHC) semakin besar dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) yang kemudian diperkuat dengan Undang-Undang No 24 Tahun 2011 BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Sosial). Namun, peran daerah dalam upaya pencapaian Universal Coverage di Indonesia tidak dimunculkan

dengan baik. Dalam pelaksanaannya juga masih banyak daerah yang belum mencakup Universal Coverage karena keterbatasan dana Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menyediakan premi asuransi kesehatan bagi seluruh masyarakatnya. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah membuat komitmen untuk menyediakan jaminan asuransi kesehatan bagi seluruh masyarakat melalui suatu sistem asuransi kesehatan publik yang bersifat wajib.Pemerintah telah mengambil langkah-langkah yang berani dengan menyediakan jaminan asuransi yang mencakup sekitar 76,4 juta warga miskin dan hampir miskin, yang dibiayai melalui anggaran pemerintah. Walaupun demikian, lebih dari setengah jumlah penduduk masih belum memiliki jaminan asuransi kesehatan, dan dampak fiskal dari program pemerintah untuk kaum miskin ini belum sepenuhnya ditelaah atau dirasakan. Selain itu, kelemahan-kelemahan yang signifikan dari efisiensi dan kepemerataan sistem kesehatan yang ada sekarang, jika tidak ditangani akan semakin meningkatkan tekanan biaya dan dapat mengganggu penerapan efektif dari Cakupan Semesta (Universal Coverage) dan peningkatan status kesehatan masyarakat serta perlindungan keuangan yang diinginkan. Apabila Indonesia ingin mencapai Universal Coverage pada tahun 2014, sistem pajak yang diproyeksikan dapat lebih feasible. Namun tantangan dari sisi pasokan sumber daya (jumlah dokter spesialis, RSU dan layanan kesehatan lain) berat. Hal ini karena masih belum meratanya tenaga dan fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia. Akibatnya kalaupun semua penduduk dijamin sebuah system pembiayaan kesehatan, namun mereka yang ada di daerah terpencil tidak akan mampu memanfaatkannya. Ini berarti ada Universal Coverage (semua orang punya jaminan kesehatan) namun hanya akan dimanfaatkan oleh mereka yang dekat dengan fasilitas kesehatan. Dan bagi mereka yang di daerah terpencil, hanya yang cukup kaya yang dapat membiayai perjalanan untuk dapat mencapai fasilitas kesehatan. Dengan demikian akan terdapat equity (keadilan) yang rendah.

Ada beberapa hal yang menjadi hambatan dalam implementasi Universal Coverage di Indonesia, antara lain: Ketersediaan sarana prasarana layanan kesehatan belum tersebar secara merata. Ketersediaan dan standardisasi mutu tenaga medis juga masih sangat terbatas. Mutu layanan kesehatan yang kurang baik Implementasi sistem pelayanan kesehatan universal bervariasi di berbagai negara, tergantung pada sejauh mana keterlibatan pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan dan asuransi kesehatan. Untuk mencapai Universal Coverage pelayanan kesehatan dibutuhkan evolusi dari sistem pembiayaan langsung (out-pocket payment) ke sistem pembiayaan pra-upaya (pre-paid system). Pengalaman di banyak negara menunjukkan, transisi tersebut dapat memerlukan waktu dari beberapa tahun hingga beberapa dekade.
Persen cakupan pelayanan kesehatan

100% Cakupan Universal


Pembiayaan berbasis pajak Asuransi kesehatan sosial Campuran pembiayaan berbasis pajak dan aneka jenis asuransi kesehatan

Cakupan tahap antara Tanpa perlindungan pembiayaan


Out-of-pocket

Asuransi kesehatan komunitas, asuransi kesehatan swasta, asuransi kesehatan sosial Pembiayaan berbasis pajak Out-of-pocket

0% Sistem pembiayaan

Gambar Transisi menuju Universal Coverage (Sumber: WHO, 2005)

Hingga kini Indonesia belum mencapai Universal Coverage sejak diberlakukannya Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

No.4/2004. Banyak kalangan memperkirakan SJSN baru bisa dilaksanakan 2015, tetapi Direktur Utama PT Askes I Gede Subawa memperkirakan SJSN dapat dilaksanakan 2013 (Suara Karya, 10 Juli 2010). Sejumlah faktor yang mempengaruhi kecepatan transisi menuju Universal Coverage (WHO, 2005) : Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi meningkatkan kemampuan warga dalam memberikan kontribusi kepada skema pembiayaan kesehatan Pertumbuhan sektor formal memudahkan penilaian pendapatan dan pengumpulan kontribusi (revenue collection) Ketersediaan tenaga terampil mempengaruhi kemampuan pengelolaan sistem asuransi kesehatan berskala nasional Penerimaan konsep solidaritas oleh masyarakat mempengaruhi kemampuan penghimpunan (pooling) dana/ kontribusi asuransi dan integrasi berbagai skema asuransi kesehatan Efektivitas regulasi pemerintah pada sisi pembiayaan maupun penyediaan pelayanan kesehatan dalam sistem asuransi/ pra-upaya Tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap pemerintah mempengaruhi partisipasi. Indonesia saat ini berada pada tahap transisi menuju Universal Coverage. Dimana pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan primer di puskesmas dan pelayanan sekunder di rumah sakit pemerintah. Tetapi warga harus membayar biaya yang disebut user-charge atau co-payment ketika menggunakan pelayanan puskesmas. Tanpa perlindungan asuransi, sebagian besar warga di Indonesia harus membayar langsung hampir seluruh biaya (full cost) pelayanan spesialistik, rawat inap, obat, tindakan bedah, dan prosedur diagnostik, baik di rumah sakit pemerintah, rumahsakit swasta maupun praktik dokter swasta. Ketiadaan sistem pembiayaan pra-upaya ini menyebabkan sekunder. sebagian besar warga Indonesia berisiko mengalami pengeluaran kesehatan katastrofik ketika menggunakan pelayanan kesehatan

Sebagian warga yang bekerja di sektor formal memiliki asuransi kesehatan. Pegawai negeri, pensiunan, veteran, anggota TNI, dan keluarganya, mendapat perlindungan pembiayaan melalui skema Askes yang dikelola oleh PT Askes, dengan dana dari potongan gaji. PT Akses saat ini mengelola sekitar Rp 6,6 triliun premi dari peserta wajib yaitu pegawai negeri sipil (PNS), veteran, pensiunan, setiap tahunnya (Suara Karya, 10 Juli 2010). Sebagian pekerja di perusahaan swasta memiliki asuransi kesehatan wajib yang dikelola oleh PT Jamsostek, dengan potongan gaji pekerja dan kontribusi perusahaan. Pekerja di perusahaan swasta lainnya membeli polis asuransi kesehatan swasta, dengan potongan gaji pekerja dan kontribusi perusahaan. Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah Indonesia menjalankan skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk keluarga miskin dengan dana yang berasal dari APBN. Pada 2010 disediakan dana sebesar Rp 5.1 trilyun untuk skema Jamkesmas. Jamkesmas dikelola oleh Kementerian Kesehatan (Indo Pos, 7 November 2010). Selain itu telah dikembangkan skema Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) pada 186 dari seluruh 490 kabupaten/ kota di Indonesia (Suara Karya, 16 Juli 2010), dengan tujuan untuk membiayai pelayanan kesehatan keluarga miskin yang belum terliput oleh Jamkesmas. Dana Jamkesda berasal dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/ Kota. Sebagian besar (185) manajemen Jamkesda dilakukan oleh PT Askes. PT Askes pada tahun 2010 mengelola Rp 750 milyar dana program Jamkesda. Meskipun demikian, sebagian besar warga Indonesia yang hampir miskin, hampir tidak miskin, maupun tidak miskin tidak kaya, tidak terasuransi karena tidak memenuhi kategori miskin. Berbagai faktor penghambat, yaitu sebagai beirkut: 1. Pihak Pengambil Kebijakan belum merasa perlu untuk menggunakan penelitian. Keputusan yang diambil lebih banyak berdasarkan pertimbangan pragmatis sesaat. 2. Prinsip Evidence Based Policy belum dipergunakan. Demikian pula pihak perusahaan asuransi kesehatan.

3. Para akademisi dan peneliti masih belum mempunyai strategi sebagai lembaga pemikir untuk sistem yang sangat kompleks. 4. Belum ada pemikiran untuk mengembangkan sebuah think-tank ataupun sebuah konsorsium yang lengkap antar perguruan tinggi. Berikut beberapa masalah penyelenggaraan jaminan sosial di negaranegara berkembang di abad 20: 1. rendahnya upah pekerja, 2. rendahnya iuran jaminan sosial, 3. rendahnya kepesertaan peserta, 4. rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap program wajib jaminan sosial, 5. masih adanya penundaan pembayaran iuran oleh peserta (contribution evasion), 6. lemahnya penindakan hukum, 7. terbatasnya jumlah pengawas jaminan sosial, 8. terbatasnya anggaran operasional untuk penindakan hukum. 9. ketidak-mampun pelembagaan (building incapacity), 10. terbatasnya kewenangan badan penyelenggara jaminan sosial. Adapun masalah masalah penyelenggaraan sistem jaminan sosial di abad 21 terkait dengan masalah penuaan usia penduduk (ageing population) yang terjadi belakangan ini di Asia yang tumbuh dengan cepat sehingga menjadi perhatian ISSA untuk mengkaji lebih dalam tentang perubahan demografi yang cepat. Banyaknya jumlah penuaan usia penduduk identik dengan kemiskinan sebagai hasil temuan dari penelitian aktuaria (yang disampaikan dalam Konferensi Internasional ke 17 tentang Aktuaria Jaminan Sosial di Berlin dari tanggal 29 Mei-2 Jun 2012), karena : 1. Tidak selamanya penduduk usia senja (the elderly) memiliki jaminan pensiun, 2. Para pensiunan pada umumnya jarang melakukan pekerjaan sambilan guna menambah penghasilan sehingga menjadi bagian dari masalah penuaan usia penduduk dengan penghasilan subsisten,

3. Masih ada para pensiunan dengan penghasilan subsisten mengasuh cucucucunya karena kedua orang tua melakukan migrasi untuk mencari kehidupan baru atau kedua orang tua meninggal, 4. Pengaruh kebijakan publik yang terkait dengan penyesuaian harga barangbarang publik termasuk penyesuaian tarif pajak penghasilan, 5. Faktor-faktor inflasi dan flukstuasi kurs yang berpengaruh secara langsung terhadap manfaat pensiun. Selain adanya masalah penuaan usia penduduk yang diakibatkan perubahan struktur demografi, juga tingginya tingkat pengangguran yang disebabkan oleh dampak krisis ekonomi di atas rata rata 10% khususnya di negara negara maju. Sedangkan masalah masalah di negara-negara berkembang terkait dengan banyaknya pekerja sektor informal, warga rentan miskin dan penduduk miskin permanen yang masih belum tercakup dalam system jaminan sosial. Adapun tantangan yang dihadapi dalam menerapkan Universal Coverage sebagai berikut: a. b. c. d. Perlunya persepsi yang sama dari semua stakeholders terhadap pentingnya program asuransi khususnya asuransi kesehatan, Pemahaman tentang asuransi khususnya asuransi kesehatan masih rendah, Keikutsertaan dalam asuransi kesehatan masih rendah, dan Belum adanya dukungan regulasi sebagai implementasi UU No 40/2004 tentang SJSN Berdasarkan pengalaman-pengalaman global, isu-isu kebijakan penting berikut ini harus menjadi bagian dari kerangka implementasi cakupan jaminan kesehatan menyeluruh: 1. Dibutuhkan pengembangan lebih lanjut pada Data untuk Pengambilan Keputusan (Data for Decision making, DDM) seperti pemutakhiran Data Akuntansi Kesehatan Nasional (NHA), data-data klaim dari programprogram yang ada, dan analisis-analisis biaya, tingkat pemerataan (ekuitas), insiden manfaat untuk menganalisis opsi-opsi kebijakan.

Penting untuk memberikan prioritas bagi pengembangan baseline aktuarial dari program-program asuransi kesehatan yang ada sekarang dan yang diusulkan di masa yang akan datang serta mendapatkan perkiraan-perkiraan yang lebih baik akan respons-respons konsumen maupun pemasok terhadap perubahan-perubahan dalam cakupan asuransi. Analisis ini juga harus menyertakan pengkajian atas Paketpaket Manfaat Dasar (PMD) yang ada, baik dalam hal keekonomisannya maupun perlindungan keuangan terhadap pengeluaran langsung dari kantong sendiri yang berlebihan, untuk memungkinkan adanya pilihanpilihan rasional atas PMD di bawah reformasi Cakupan Semesta; 2. Pengkajian awal berkaitan dengan hambatan-hambatan dari sisi penyediaan pelayanan kesehatan yang berkaitan baik dengan infrastruktur manusia maupun fi sik, menggarisbawahi sejumlah bidang penting di mana inefi siensi masih perlu diperbaiki dan bidang-bidang lainnya yang akan mengalami tekanan yang lebih besar seiring dengan perubahan-perubahan pada aspek demografi, gizi dan epidemiologi; 3. Berdasarkan pengkajian sektor farmasi dan identifi kasi awal atas peluang-peluang potensial dalam ekspansi Asuransi Kesehatan Wajib, Pemerintah Indonesia disarankan untuk mengadakan evaluasi lebih lanjut atas kebijakan-kebijakan sektor farmasi dan atas perubahan-perubahan yang dibutuhkan untuk membantu implementasi reformasi Cakupan Semesta; 4. Desentralisasi yang tengah berjalan dan reformasi Cakupan Semesta perlu didukung dengan penegasan atas peran-peran Depkes di masa yang akan datang berkaitan dengan kesehatan publik dan fungsi-fungsi kepemimpinan serta pembiayaan yang masih dipegangnya dalam kaitannya dengan dengan sistem asuransi publik. Dalam peran kepemimpinannya yang lebih luas, Depkes juga harus memberi prioritas yang tinggi untuk menilai pengaruh kebijakan-kebijakan di sektor-sektor yang lain yang mempengaruhi kesehatan seperti pada sektor air dan pendidikan, termasuk juga mengkaji kebutuhan akan kebijakan-kebijakan

tambahan dari sisi permintaan seperti Bantuan Langsung Tunai Bersyarat; 5. Setelah Pemerintah mengambil keputusan-keputusan berkaitan dengan opsi-opsi pembiayaan sebagai bagian dari roadmap menuju Cakupan Semesta, penting untuk mengembangkan, bereksperimen dengan, dan mengevaluasi dampak berbagai alternatif mekanisme pembayaran bagi para penyedia layanan terutama dalam hal biaya, kualitas dan akses; 6. Lingkup struktur administratif yang dibutuhkan untuk melaksanakan reformasi perlu ditetapkan, termasuk menilai biaya-biaya administratifnya dan mengembangkan sistem-sistem untuk menjamin kualitas, menilai efi siensi serta mengevaluasi dampakdampak reformasi; 7. Pengalaman berbagai daerah yang kaya dalam upaya menyediakan cakupan jaminan asuransi kesehatan perlu ditelaah dengan seksama karena eksperimen-eksperimen alamiah ini merupakan sumber informasi yang berharga bagi upaya-upaya Cakupan Semesta di tingkat nasional; dan 8. Upaya mewujudkan Cakupan Semesta kemungkinan besar akan membutuhkan peningkatan pengeluaran pemerintah yang sangat besar, tidak perduli opsi mana pun yang dipilih. Untuk itulah, dibutuhkan adanya perhatian yang tidak terputus untuk mengevaluasi situasi makro Indonesia di masa depan, termasuk prioritas-prioritas yang saling bersaing di tengah krisis keuangan dan ekonomi global yang tengah terjadi, dan penting juga untuk menilai kebutuhan untuk merubah struktur fiskal antar pemerintah yang ada saat ini. 2.4 Deskripsi pelaksanaan Universal Coverage di Thailand. Secara administrative Thailand memiliki 77 Provinsi, 876 kabupaten, 7255 kecamatan dam 68.839 desa dengan total populasi berdasarkan data tahun 2007 sebesar 65 juta jiwa. GNI sebesar USD 4,840. Dengan kondisi ini Thailand juga mengalami masalah dalam distribusi tenaga kesehatan khususnya dokter dan dokter spesialis di daerah pedesaan. Oleh karena itu, pemerintah mengembangkan sistem berdasarkan prinsip person follows

money dengan cara meningkatkan alokasi anggaran ke daerah terpencil dan menguranginya di pusat atau kota-kota besar. Dengan prinsip ini pemerintah bisa menyebarkan tenaga dokter hingga ke pelosok dan menguatkan pelayanan primary health care dan memperbaiki sistem rujukan. Pasien yang tercover UHC harus ke layanan kesehatan primer terlebih dahulu, jika tidak mampu ditangani barulah ke layanan kesehatan rujukan. Jika ingin langsung ke layanan RS maka harus membayar sendiri. Namun untuk layanan emergency, pasien boleh mengakses fasilitas manapun tanpa ada batasan geografis maupun waktu. Awalnya banyak dokter di Thailand menolak untuk ditempatkan di daerah pedesaan, karena telah terbiasa mendapatkan income banyak dari banyaknya pasien yang dilayani di RS-RS di kota. Namun seiring berjalannya waktu dan sistem referal mulai berjalan, maka RS-RS kemudian hanya menangani kasus berat karena yang sederhana telah diatasi di level puskesmas. Quality of life dokter meningkat, pe rpasien dokter bias menghabiskan waktu sampai dengan 20 menit. Selain itu ada additional allowance yang diberikan oleh pemerintah sebesar 10.000 Baht (sekitar USD 300) per bulan kepada dokter yang mau untuk tidak praktek di swasta. Meskipun demikian, saat ini sistem rujukan belum berjalan seperti yang diharapkan. Salah satu strategi yang ditempuh pemerintah untuk meningkatkan kinerja sistem rujukan ini adalah dengan mekanisme asuransi. Thailand memiliki tiga skema utama asuransi kesehatan, yaitu: Civil Servant Medical Benefit Scheme (CSMBS) yang di tahun2008 bernilai 5 juta Baht atau sekitar 8%dari total asuransi kesehatan Social Security Service (SSS) yang bernilai 9.84 juta Baht di tahun yg sama atau sekitar 15,8% dari total anggaran untuk asuransi kesehatan, dan Universal Health Coverage (UHC) yang bernilai 47 juta Baht atau sekitar 7% dari total asuransi kesehatan.

CSMBS adalah asuransi kesehatan bagi PNS beserta istri dan dua orang anak, yang dananya berasal dari pemotongan gaji PNS. Sedangkan SSS adalah asuransi untuk karyawan swasta yang dibayarkan oleh perusahaan tempat karyawan bersangkutan bekerja. UHC yang telah diterapkan sejak tahun 2011 meliputi semua warga negara Thailand yang tidak tercover oleh dua skema lainnya. Dengan system ini, masyarakat yang terlindungi asuransi akan mendapat manfaat berupa: 1. layanan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, misalnya layanan keluarga berencana, layanan antenatal hingga post natal termasuk mengikuti perkembangan bayi, vaksinasi, screening untuk risiko tertentu melalui pemeriksaan gula darah serta check up untuk kanker serviks dan payudara, peresepan obat anti viral 2. melahirkan sampai dengan dua orang anak, dengan catatan bayi tidak meninggal 3. layanan kesehatan gigi antara lain ekstraksi, filling, scaling, acrylic dentures 4. diagnosis dan terapi untuk symptom umum seperti demam sampai dengan penyakit kronis yang mahal seperti stroke, kanker, gagal ginjal kronik, operasi katarak, operasi jantung dan lainnya termasuk fisioterapi dan progbosa medis 5. 6. 7. 8. 9. pengobatan yang diatur dengan daftar obat nasional makanan dan fasilitas standar untuk ruang rawat inap layanan rujukan untuk pengobatan lebih lanjut layanan pengobatan tradisional thai rehabilitasi untuk disabilitas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Data kependudukan telah terintegrasi di Departemen Dalam Negeri dan terkoneksi secara online dengan Departemen Kesehatan sehingga kesalahan dalam mendaftarkan penduduk dalam salah satu skema asuransi dapat terhindarkan hingga angka kesalahan ini (misalnya teregristrasi dua kali) kurang dari 1% dari sebelumnya 12%.

Sistem pendataan untuk mendukung Implementasi Universal Health Coverage: RS Pemerintah sebagai salah satu State Enterprise Inti dari penerapan UHC ini adalah adanya dukungan IT dan infrastrukturnya yang baik untuk memungkinkan terkumpulnya data secara akurat dan tepat waktu serta me-link-kannya dengan asuransi, bank dan pihak terkait lainnya. Masyarakat dapat mendaftar melalui kiosk secara online maupun melalui call center. Dukungan IT ini juga memungkinkan diterapkannya e-claim, sehingga saat ini tidak ada lagi paper-based claim. Saat ini cakupan UHC mencapai 99,8%. Dari satu dekade penerapan UHC di Thailand, ada beberapa hal yang dapat diambil sebagai pembelajaran global, yaitu: 1. UHC menjadi agenda nasional untuk menurunkan angka kemiskinan a. UHC membutuhkan komitmen yang kuat dari para politisi, masyarakat sipil dan pemangku pemerintahan.

b. Thailand telah membuktikan bahwa penerapan UHC selama satu decade berkontribusi pada penurunan angka kemiskinan c. Tidak harus menjadi negara kaya untuk menerapkan UHC. d. Ada tiga hal yang terkaitdengan memobilisasi sumber daya tambahan untuk kesehatan, yaitu komitmen politik untuk menggeser investasi dari pelayanan kesehatan sekunder dan tersier di perkotaan ke pelayanan primer di pedesaan, meningkatkan anggaran kesehatan dengan menjaga keamanan dalam negeri dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi 2. Resep keberhasilan penerapan UHC a. Cakupan geografis yang luas, kecukupan tenaga khususnya di layanan kesehatan primer, dukungan pemerintah dan adanya keharusan bagi tenaga kesehatan untuk melayani masyarakat di pedesaan yang diatur sejak 1972. b. Kapasitas dan pengalaman organisasi yang cukup dalam mengelola system pembiayaan kesehatan. c. Kapasitas dalam kebijakan kesehatan dan system penelitian dalam menghasilkan kesehatan. 3. Pentingnya sistem yang baik a. Bagi negara yang sector informalnya sangat besar, pajak umum merupakan sumber pragmatic untuk keuangan UHC dan juga yang sangat progresif dimana orang kaya membayar pajak pendapatan yang proporsinya lebih besar daripada mereka yang lebih miskin. b. Untuk menhontrol biaya, meningkatkan efisiensi dan memastikan ketersediaan keuangan secara jangka panjang, perlu dipertimbangkan pengetahuan dan bukti-bukti ilmiah yang diterjemahkan kedalam kebijakan politik dan reformasi system

pendekatan fixed budget pada pembayaran provider layanan kesehatan. c. Harus dipisahkan antara peran pembayar (asuransi kesehatan) dengan penyedia layanan kesehatan untuk menciptakan akuntabilitas dan responsivitas pada penerima manfaat asuransi ini. d. Paket komprehensif yang terdiri dari rawat jalan, rawat inap, kecelakaan dan gawat darurat, pencegahan dan promosi kesehatan dan layanan berbiaya sangat tinggi tanpa copayment akan mencegah pengeluaran yang katastropik. 4. Desain system yang baik menghasilkan pencapaian yang baik a. Universal Coverage Service meningkatkan keadilan dalam berbagai dimensi, antara lain karena penduduk yang kaya membayar pajak pendapatan dalam proporsi yang lebih besar, bukti empiric menunjukkan bahwa penggunaan layanan rawat jalan dan rawat inap yang prop para masyarakat miskin, serta keadilan dalam subsidi pemerintah dimana manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat miskin, bukan oleh yang kaya. b. Meningkatkan akses pada pelayanan kesehatan dan menurunkan angka kebutuhan layanan kesehatan yang tidak terpenuhi. c. Meningkatkan efisiensi, dimana meskipun pengeluaran pemerintah antara tahun 2001-2011 meningkat akibat peningkatan penggunaan sarana kesehtaan, namun dampaknya terhadap pengeluaran kesehatan (persentase GDP) lebih kecil.

Anda mungkin juga menyukai