Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur saya panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ilmu kesehatan jiwa yang berjudul Gangguan Strees Pasca trauma ini tepat pada waktunya. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Dr. Evalina asnawi,SpKJ selaku dosen pembimbing saya, yang membantu memberikan informasi sehingga makalah ini dapat terbentuk. Referat ini disusun dan dibuat berdasarkan materi materi yang diambil dari sumber yang dipercayai. Materi materi bertujuan agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan dokter muda dalam mempelajari secara lebih mendalam mengenai stress pasca trauma. Adapun referat ini masih jauh dari kesempurnaan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini. Akhir kata, semoga referat ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian. Terima kasih.

Jakarta, 21 September 2013

Penulis

DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN II.1 II.2 II.3 II.4 II.5 II.5 II.6 Defenisi stress pasca trauma Epidemiologi ... 5 6 7 10 15 15 16 .................................................................... 1 2 3

...

Etiologi . Gambaran klinis dan diagnosa

Perjalanan penyakit dan prognosa ............................................ Diagnosa banding ................................. Penatalaksanaan .....

BAB III PENUTUP KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA . . 20 22

BAB I PENDAHULUAN
Gangguan Stress Pasca traumatik merupakan gangguan mental pada seseorang yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam kehidupan atau suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwanya. Sebagai contoh peristiwa perang, perkosaan atau penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana alam seperti : gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh. Orang yang mengalami sebagai saksi hidup kemungkinan akan mengalami gangguan stress. Supaya pasien dapat diklasifikasikan sebagai penderita gangguan stress pasca traumatik, mereka harus mengalami suatu stress emosional yang besar yang akan traumatik bagi setiap orang. Gangguan stress pascatraumatik terdiri dari : Pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan ( waking thought ). Penghindaran yang yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan penumpukan responsivitas pada penderita tersebut. Kesadaran berlebihan ( hyperararousal ) yang persisten.

Gejala penyerta yang sering dari gangguan stress pasca traumatik adalah depresi, kecemasan dan kesulitan kognitif (sebagai contohnya, pemusatan perhatian yang buruk). Di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat (DSM IV), lama gejala minimal untuk gangguan stress pasca traumatik adalah satu bulan. Trauma untuk pria biasanya akibat pengalaman peperangan dan trauma untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Gangguan sangat mungkin terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami gangguan ekonomi atau menarik diri secara sosial. Gangguan Stress Pasca Trauma termasuk dalam gangguan cemas.

Gangguan cemas disebabkan oleh situasi atau obyek yang sebenarnya tidak membahayakan yang mengakibatkan situasi atau obyek tersebut dihindari secara khusus atau dihadapi dengan perasaan terancam. Perasaan tersebut tidak berkurang walaupun mengetahui bahwa orang lain menganggap tidak berbahaya atau mengancam. Gejala kecemasan patologis antara lain rasa was-was yang berlebihan, ketakutan, penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan, kesukaran konsentrasi dan berfikir, gejala-gejala somatik seperti tremor, panas dingin, berkeringat, sesak napas, jantung berdebar, serta dapat pula ditemui gejala gangguan persepsi seperti depersonalisasi, derealisasi dan mungkin terdapat gejala yang lain.

BAB II GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA


Definisi Gangguan Stress Pasca Trauma / Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan murung, sedih, kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan yang menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai dengan waham dan bila sudah berat dapat menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan sosial. Gangguan Stress Pasca trauma adalah gangguan cemas yang terdiri dari : 1. Pengalaman trauma yang muncul kembali dalam mimpi atau pikiran-pikiran waktu terjaga. 2. Emosi yang tumpul dalam kehidupan atau hubungan interpersonal 3. Terdapat gejala-gejala otonom yang tidak stabil, depresi dan gangguan kognitif (seperti kesukaran konsentrasi). Gangguan tersebut timbul apabila mengalami stress emosional / trauma psikologik yang besar yang berada di luar batas - batas pengalaman manusia yang lazim. Gangguan stress pasca traumatik dapat terjadi dengan segera, hal ini dapat dilihat langsung pada bencana alam, pengalaman seseorang terhadap reaksi dari trauma tersebut merespon kejadian yang baru dialaminya di luar control dirinya, menangis, hilang ingatan sesaat, menjerit-jerit, histeria dan sebagainya. Gangguan stress pasca trauma juga dapat disebabkan oleh stress ringan yang pada awalnya, akan tetapi stress berlangsung secara kontinu, stress tersebut berlangsung sampai berminggu-minggu, bulan dan bahkan

tahunan.

EPIDEMIOLOGI Prevalensi gangguan stress pasca trauma seumur hidup PTSD diperkirakan sekitar 8 persen populasi umum walaupun tambahan 5 hingga 15 persen dapat mengalami bentuk subklinis gangguan ini. Sebagai contoh peristiwa perang, perkosaan atau penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana alam seperti : gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh. Walaupun gangguan stress pasca trauma dapat tampak pada setiap usia,gangguan ini paling menonjol pada dewasa muda, karena sifat situasi yang mencetuskannya. Tetapi, anak-anak dapat mengalami gangguan stress pasca trauma. Trauma untuk pria biasanya akibat pengalaman peperangan dan trauma untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Gangguan sangat mungkin terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami gangguan ekonomi atau menarik diri secara sosial. Penelitian terhadap korban yang selamat dalam kamp NAZI menemukan bahwa 97% dari korban masih terganggu dengan kecemasan sampai 20 tahun setelah ia dibebaskan dari kamp tersebut. Banyak dari mereka yang membayangkan trauma hukuman mati di dalam mimpi mereka dan merasa takut bahwa sesuatu dapat terjadi pada pasangan atau anak-anak saat tidak terlihat (Krystal, 1968). Suatu survei yang menyangkut veteran Vietnam disebutkan bahwa 15% dari veteran tersebut mengalami gangguan stress paca trauma sejak kepulangan mereka (Centers Disease Control, 1988), sementara penelitian lain menyebutkan bahwa reaksi stress terhadap horor perang juga ditemukan pada Perang Dunia I yang disebut dengan shell shock sindrom dan combat fatigue pada Perang Dunia II.

ETIOLOGI Stressor adalah penyebab utama dalam perkembangan gangguan stresss pasca trauma. Tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stress pasca trauma setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stressor diperlukan, namun stressor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis individual, faktor psikososial sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah trauma. Penelitian terakhir pada gangguan stress pasca trauma sangat menekankan pada respon subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stresor itu sendiri. Walaupun gejala gangguan stress pasca trauma pernah dianggap secara langsung sebanding dengan beratnya stresor, penelitian empiris telah membuktikan sebaliknya. Jika dihadapkan dengan trauma yang berat, sebagian orang tidak akan mengalami gangguan stress pasca trauma. Sebaliknya peristiwa yang mungkin tampaknya biasa atau kurang berbahaya bagi kebanyakan orang mungkin dapat menyebabkan gangguan stress pasca trauma pada beberapa orang karena arti subjektif dari peristiwa tersebut. Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan apakah gangguan akan berkembang yaitu : 1. Adanya trauma masa anak-anak 2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisosial 3. Sistem pendukung yang tidak adekuat 4. Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik 5. Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi 6. Persepsi lokus kontrol eksterna

7. Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai pada taraf ketergantungan.

Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat bertahan hidup dari trauma psikis yang parah telah menemukan aleksitimia yaitu ketidakmampuan untuk mengidentifikasi atau mengungkapakan keadaaan perasaan sebagai ciri yang umum. Jika trauma psikis terjadi pada masa anak- anak, biasanya dihasilkan perhentian perkembangan emosional. Jika trauma terjadi pada masa dewasa, regresi emosional sering kali terjadi. Mereka tidak mampu menenangkan dirinya jika dalam keadaan stress yang umum. Faktor Psikodinamika Model kognitif dari gangguan stress pasca trauma menyatakan bahwa orang yang terkena stress pasca trauma tidak mampu memproses atau merasionalkan trauma yang mencetuskan gangguan. Mereka terus mengalami stress dan berusaha untuk tidak mengalami kembali stress dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial mereka untuk mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode mengakui peristiwa dan menghambatnya secara berganti-ganti. Model perilaku dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa gangguan memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak dibiasakan) adalah dipasangkan, melalui pembiasaan klasik dengan stimulus yang dibiasakan (pengingat fisik atau mental terhadap trauma). Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien mengambangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun stimulus yang tidak dibiasakan. Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan. Penghidupan kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan penggunaan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau
8

simpati, dan pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu pandangan kognitif tentang gangguan stress pasca trauma adalah bahwa otak mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti. Faktor biologis Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respon biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi dari berberapa sistem di otak berkaitan dengan timbulnya perasaan takut dari seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respon takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan dari suatu peristiwa yang dialami, serta mengoraganisasi suatu respon perilaku yang sesuai. Dalam hal ini amigdala merupakan bagian otak yang berperan besar. Amigdala akan mengaktivasi berberapa neurotransmitter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respon tubuh untuk menghadapi peristiwa tersebut. Dalam waktu berberapa mili detik setelah mengalami peristiwa tersebut, amigdala dengan segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda darurat kepada : 1. Sistem saraf simpatis (katekolamin) 2. System saraf parasimpatis 3. Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA) Akibat dari perangsangan pada system saraf simpatis segera setelah mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Kondisi ini disebut sebagai reaksi fight or flight reaction. Reaksi ini juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot skeletal sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman optimal. Reaksi saraf parasimpatis berupa membatasi reaksi system saraf simpatis pada berberapa jaringan tubuh, namun respon ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respon yang diberikan oleh
9

system saraf simpatis. Aksis HPA juga akan terstimulasi oleh berberapa neuropeptide otak pada waktu orang berhadapan dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico-releasing factor (CRF) dan berberapa neuropeptide regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan mensekresi pengeluaran adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya menstimuasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal. Jika seseorang mengalami tekanan, maka tubuh secara alamiah akan meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol, pengeluaran ke dua zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari berberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol berperan dalam mengentikan aktivasi sistem saraf simpatis dan berberapa sistem tubuh yang bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses terminasi dari respon tubuh yang menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan menimbulkan efek umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut. Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung untuk mengalami gangguan stress pasca trauma, mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptide dan juga katekolamin di otak pada waktu menghadapai peristiwa traumatik. Katekolamin yang meningkat ini akan membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus-menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi dikaitkan dengan terjadinya konsolidasi berlebihan dan ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang dialami. Gambaran Klinis dan Diagnosis Gambaran klinis utama dari gangguan stress pasca trauma adalah pengalaman ulang peristiwa yang menyakitkan, suatu pola menghindar dan kekakuan emosional dan kesadaran yang berlebihan yang hampir tetap. Gangguan mungkin tidak berkembang sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah peristiwa. Pemeriksaaan status mental seringkali mengungkapkan rasa bersalah, penolakan dan penghinaan. Pasien mungkin

10

juga menggambarkan keadaan disosiatif dan serangan panik. Ilusi dan halusinasi mungkin ditemukan. Tes kognitif mungkin mengungkapkan bahwa pasien memiliki gangguan daya ingat dan perhatian. Gejala penyerta dapat berupa agresi, kekerasan , pengendalian impuls yang buruk dan depresi. Berbagai ciri anti sosial mungkin ditemukan termasuk penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol dan obat, perasaan bersalah yang menonjol, insomnia, ilusi dan halusinasi, disosiasi, serangan panik, agresi, kekerasan dan gangguan daya ingat serta gangguan memusatkan perhatian (konsentrasi). DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang (reexperiencing), menghindar dan kesadaran yang berlebihan (hiperarousal) harus berlangsung lebih dari 1 bulan. Bagi pasien yang gejalanya ditemukan kurang dari satu bulan, diagnosis yang tepat mungkin adalah gangguan stress akut. Kriteria diagnostic DSM-IV untuk gangguan stress pasca traumatik yang memungkinkan klinisi menentukan apakah gangguan adalah akut (jika berlangsung kurang dari tiga bulan ) atau kronis (jika gejala berlangsung tiga bulan atau lebih). DSM-IV juga memungkinkan klinisi menentukan bahwa gangguan adalah dengan onset lambat jika onset gejala adalah enam bulan atau lebih setelah peristiwa stress. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stress Pascatraumatik : A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini terdapat : 1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri atau orang lain. 2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor. B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut :

11

1. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian, termasuk angan pikiran atau persepsi. 2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. 3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali (termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman kembali pengalaman, ilusi, halusinasi dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi saat terbangun atau saat terintoksikasi) 4. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. 5. Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh tiga (atau lebih) berikut ini : 1. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan trauma 2. Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma. 3. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma. 4. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna 5. Rentang afek yang terbatas 6. Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek. D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma) yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut : 1. Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur

12

2. Iritabilitas atau ledakan kemarahan 3. Sulit berkonsentrasi 4. Kewaspadaan berlebihan 5. Respon kejut yang berlebihan E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria B, C, D) adalah lebih dari satu bulan F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain. Sebutkan jika : Akut : Jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan Kronis : Jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih

Sebutkan jika : Dengan onset lambat : Onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stressor

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Stress Akut A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini ditemukan : 1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas diri atau orang lain. 2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.

13

B. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan, individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut : 1. Perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas emosi 2. Penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada dalam keadaan tidak sadar) 3. Derelisasi 4. Depersonalisasi 5. Amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma) C. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu cara berikut : bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang rekuren, atau suatu perasaan hidupnya kembali pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengan mengingat kejadian traumatik. D. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (misalnya, pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang). E. Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit tidur, iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon kejut yang berlebihan, dan kegelisahan motorik). F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain, menganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau menggerakan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang pengalaman traumatik. G. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi dalam 4 minggu setelah traumatik H.Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang
14

disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat dan tidak semata-mata suatu eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II dan telah ada sebelumnya. Perjalanan penyakit dan Prognosis Gangguan stress pasca traumatik biasanya berkembang pada suatu waktu setelah trauma, dapat dimulai dari satu minggu atau selama 30 tahun. Gejala dapat berfluktuasi dengan berjalannya waktu dan mungkin paling kuat selama periode stress. Kira-kira 30% pasien pulih secara lengkap, 40% terus menderita gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah atau menjadi buruk. Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), fungsi pramorbid yang baik, dukungan sosial yang kuat dan tidak adanya gangguan psikiatrik, atau berhubungan dengan zat lainnya. Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalamusia pertengahan. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek stresor tertentu. Tersedinya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan,keparahan dan durasi gangguan stress pasca traumatik. Pada umumnya, pasien yang mendapat dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak mengalami gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parah. Diagnosis banding Pertimbangan utama dalam diagnosis PTSD adalah kemungkinan bahwa pasien juga menderita cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organik yang dapat menyebabkan dan memperberat gejala adalah epilepsi, gangguan pengguanaan alkohol, dan gangguan terkait zat lain. Intoksikasi akut atau putus zat juga dapat menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dengan gangguan ini sampai efek zat hilang. Klinisi harus mempertimbangkan diagnosis PTSD pada pasien yang memiliki gangguan nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan anxietas lain, dan gangguan mood. Pada umumnya PTSD dapat dibedakan dengan wawancara pasien mengenai pengalaman traumatik sebelumnya, dan dengan sifat gejala saat ini. Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif,

15

gangguan buatan, dan malingering juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang sulit dibedakan dengan PTSD karena dapat muncul bersamaan atau bahkan penyebabnya dapat berkaitan. Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar hyperaurosal otonom atau riwayat trauma yang dimiliki gangguan PTSD. Sebagian karena publisitas yang didapat dari PTSD klinisi juga harus mempertimbangkan gangguan buatan atau malingering. Gejala PTSD dapat sulit dibedakan juga dengan gejala gangguan panik dan Gangguan Cemas Menyeluruh. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan dengan kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. Kunci untuk membedakan PTSD adalah relasi waktu antara kejadian traumatik dan gejala. Depresi mayor juga sering terjadi bersamaan dengan PTSD. Hal ini perlu dicatat karena akan mempengaruhi terapi PTSD. Penatalaksanaan Pendekatan terapi pada PTSD adalah dukungan, dorongan untuk mendiskusikan peristiwa tersebut, dan edukasi mengenai mekanisme koping (contohnya relaksasi). Penggunaan obat hipnotik-sedatif juga dapat membantu. Ketika pasien mengalami peristiwa traumatik masa lalu dan sekarang memiliki PTSD, penekanan harus pada edukasi mengenai gangguan dan terapinya baik farmakologis maupun psikoterapinya. Farmakoterapi Obat yang biasanya digunakan untuk membantu penderita PTSD meliputi serotonergik antidepresan (SSRI), seperti fluoxetine (Prozac), sertraline (Zoloft), danparoxetine (Paxil), dan obat-obatan yang membantu mengurangi gejala fisik yang terkait dengan penyakit, sepertiprazosin (Minipress) , clonidine (Catapres), guanfacine (TENEX), dan propranolol. Individu dengan PTSD sangat kecil kemungkinannya untuk mengalami kambuh penyakit mereka jika pengobatan antidepresan dilanjutkan setidaknya selama setahun. SSRI adalah kelompok pertama dari obat-obat yang telah menerima persetujuan oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan PTSD. SSRI cenderung

16

membantu penderita PTSD mengubah informasi yang diambil dari lingkungan (rangsangan) dan untuk mengurangi rasa takut. Penelitian juga menunjukkan bahwa kelompok obat-obatan cenderung mengurangi kecemasan, depresi, dan panik. SSRI juga dapat membantu mengurangi agresi, impulsif, dan pikiran bunuh diri yang dapat dikaitkan dengan gangguan ini. Untuk PTSD yang terkait dengan perkelahian, ada semakin banyak bukti bahwa prazosin dapat sangat membantu. Meskipun obat lain sepertiduloxetine (Cymbalta), bupropion (Wellbutrin), danvenlafaxine (Effexor) kadangkadang digunakan untuk mengobati PTSD, ada sedikit penelitian yang telah mempelajari efektivitas mereka dalam mengobati penyakit ini. Obat kurang efektif secara langsung tapi tetap berpotensi bermanfaat lainnya untuk mengelola PTSD termasuk mood stabilizer seperti lamotrigin (Lamictal), tiagabine (Gabitril), natrium divalproex (Depakote), serta sebagai mood stabilizer yang juga antipsikotik, seperti risperidone (Risperdal), olanzapine ( Zyprexa), danquetiapine (Seroquel). Obat-obatan antipsikotik tampaknya paling berguna dalam pengobatan PTSD pada mereka yang menderita agitasi, disosiasi, hypervigilance, kecurigaan intens (paranoid), atau istirahat singkat dalam menjadi berhubungan dengan realitas (reaksi psikotik singkat). Obat-obat antipsikotik juga sedang semakin ditemukan menjadi pilihan pengobatan membantu untuk mengelola PTSD bila digunakan dalam kombinasi dengan SSRI. Benzodiazepin (obat penenang) seperti diazepam (Valium) dan alprazolam (Xanax) sayangnya telah dikaitkan dengan sejumlah masalah efek samping, termasuk gejala withdrawal dan risiko overdosis, dan belum ditemukan secara signifikan efektif untuk membantu individu dengan PTSD. Selektif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) seperti Sertraline dan Paroxetine dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk PTSD karena efektivitas dantingkat keamanannya. SSRI mengurangi gejala PTSD dan efektif memperbaiki gejala PTSD yang khas. Efektivitas Imipramine dan Amitriptilin untuk terapi PTSD secara klinis terkontrol baik. Dosis Imipramine dan Amitriptilin harus sama dengan dosis yang

17

digunakan untuk mengobati gangguan depresif dan lama minum untuk pengobatan adalah 8 minggu. Pasien yang memberikan respon baik, mungkin harus melanjutkan farmakoterapi sedikitnya 1 tahun sebelum dicoba penghentian obat. Obat lain yang dapat berguna dalam terapi PTSD adalah Monoamine Oksidase Inhibitor (MAOI) contohnya Fenelzine, Trazodon, dan Antikonvulsan contohnya Karbamazepine dan Valproat. Hampir tidak ada data positif mengenai penggunaan antipsikotik sehingga penggunaan obat ini, contohnya Haloperidol harus dicadangkan untuk mengatasi agresi dan agitasi berat. Psikoterapi Intevensi psikoterapi PTSD mencakup terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnosis. Banyak klinisi menyarankan psikoterapi dengan waktu terbatas pada korban trauma. Terapi seperti ini memerlukan pendekatan kognitif, memberikan dukungan, dan rasa aman. Sifat psikoterapi jangka pendek dapat meminimalkan resiko ketergantungan dan menjadi kronis. Terapis harus menghadapi penyangkalan pasien mengenai peristiwa traumatik sehingga terapis menyarankan mereka bersantai dan menjauhkan mereka dari sumber stress. Pasien harus disarankan tidur, menggunakan obat jika perlu. Dukungan dari orang sekitar harus diberikan. Pasien harus diminta mengingat kembali dan melakukan abreaksi (mengalami emosi yang berkaitan dengan suatu peristiwa yang dapat membantu pasien) perasaan emosional yang berkaitan dengan peristiwa traumatik dan merencanakan pemulihan masa mendatang. Ketika timbul PTSD , ada 2 pendekatan psikoterapik utama, yang pertama adalah teknik membayangkan terhadap peristiwa tersebut. Pajanan ini bertahap seperti pada desensitisasi sistematik. Pendekatan kedua adalah mengajari pasien metode penatalaksaanaan stress termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk menghadapi stress. Sejumlah data menunjukkan bahwa penatalaksanaan stress lebih cepat daripada teknik pemajanan. Akan tetapi, hasil teknik pemajanan lebih bertahan lama. Terapi psikoterapi yang relatif baru dan kontroversial adalah Eye Movement Desensitization and
18

Reprocessing disini pasien berfokus pada gerakan lateral jari klinisi sambil mempertahankan bayangan mental tentang pengalaman trauma. Keyakinan umum adalah bahwa gejala dapat dipulihkan jika pasien mengingat peristiwa traumatik sambil berada dalam keadaan relaksasi dalam. Disamping teknik terapi individu, terapi kelompok dan keluarga sering dilaporkan efektif pada kasus PTSD. Eye-movement desensitization and reprocessing (EMDR) adalah bentuk terapi kognitif di mana panduan praktisi orang dengan PTSD dalam berbicara tentang trauma yang diderita dan perasaan negatif yang terkait dengan peristiwa, sambil memfokuskan pada jari profesional bergerak cepat. Sementara beberapa penelitian menunjukkan pengobatan ini mungkin efektif, tidak jelas apakah ini adalah setiap lebih efektif daripada terapi kognitif yang dilakukan tanpa menggunakan gerakan mata yang cepat. Keluarga individu PTSD, serta penderita, dapat mengambil manfaat dari konseling keluarga, konseling pasangan, orang tua kelas, dan resolusi konflik pendidikan. Anggota keluarga juga mungkin dapat memberikan sejarah yang relevan tentang dicintai mereka satu (misalnya, tentang emosi dan perilaku, penyalahgunaan narkoba, kebiasaan tidur, dan sosialisasi) bahwa orang dengan penyakit tidak mampu atau tidak ingin berbagi. Langsung menangani masalah tidur yang dapat menjadi bagian dari PTSD telah ditemukan tidak hanya membantu meringankan masalah tersebut tetapi dengan demikian membantu mengurangi gejala PTSD pada umumnya. Secara khusus, melatih cara-cara adaptif mengatasi mimpi buruk (citra terapi latihan), pelatihan dalam teknik relaksasi, self-talk positif, dan skrining untuk masalah tidur lainnya telah ditemukan untuk menjadi sangat membantu dalam mengurangi masalah tidur yang terkait dengan PTSD.

BAB III PENUTUP KESIMPULAN


19

Gangguan Stress Pascatraumatik adalah gangguan cemas yang terdiri dari : 1. Pengalaman tentang trauma melalui mimpi dan pikiran yang dating runtun beruntun 2. Penghindaran terhadap trauma 3. Kesadaran berlebihan yang persisten sifatnya Prevalensi gangguan stress pasca traumatik pada masyarakat umum yaitu 5-6% untuk pria dan 10-12% untuk wanita. Anak-anak dapat mengalami gangguan tersebut. Etiologi dari gangguan stress pasca traumatik antara lain : 1. Stresor 2. Faktor psikodinamik 3. Faktor biologis 4. Stresor merupakan penyebab utama dalam perkembangan gangguan stress pascatrauma. DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang, menghindar, dan kesadaran yang berlebihan harus berlangsung lebih dari satu bulan. Bagi pasien yang gejalanya ditemukan kurang dari satu bulan, diagnosis yang tepat adalah gangguan stress akut. Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan stress pasca traumatik memungkinkan klinisi menentukan apakah gangguan adalah akut (jika gejala berlangsung kurang dari tiga bulan) atau kronis (lebih dari tiga bulan). Manfaat Imipramin dan Amitriptilin, dua obat Trisiklik, dalam pengobatan gangguan stress pascatraumatik didukung oleh sejumlah uji coba klinisi terkontrol baik.

Obat lain yang mungkin berguna dalam pengobatan gangguan stress pasca traumatik adalah Serotonin-Specific Reuptake Inhibitors (SSRI), Mono Amine Oxidase Inhibitors (MAOI), dan anti konvulsan (carbamazepin). Clonidin dan Propanol dianjurkan.

20

Intervensi psikodinamika untuk gangguan stress pascatraumatik adalah terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnosis. Banyak klinisi menganjurkan psikoterapi singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan dan jaminan. Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien ketakutan akan pengalaman ulang trauma. Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti suatu model intervensi krisis dengan dukungan pendidikan, dan perkembangan mekanisme mengatasi dan penerimaan peristiwa. Jika gangguan stress pasca traumatik telah berkembang, dua pendekatan psikoterapi utama dapat diambil. Pertama adalah pemaparan dengan peristiwa traumatik melalui teknik pembayangan (imaginal technique) atau pemaparan invivo. Pemaparan dapat menjadi kuat, seperti pada terapi implosif, atau bertahap, seperti pada desentisasi sistemik. Pendekatan kedua adalah dengan cara mengajarkan kepada pasien metode pelaksanaan stress, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi stress.

DAFTAR PUSTAKA
1. Saddock B.J, Saddock V.A. Posttraumatic disorder. Dalam: Kaplan & Sadocks

21

Synopsis of Psychiatry. Ed 10th. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2007: h 613-22 2. Elvira, SD. Hadisukanto, G. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2010. h 254-64 3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. Edisi 4 th. DSM-IV. Washington DC: American Psychiatry Association. 1994. h 489-94 4. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Edisi Pertama . Jakarta: Departemen kesehatan. 1993. h 187-92 5. John HG. Post traumatic stress disorder (PTSD). September 2012. Diunduh dari : http://www.merckmanuals.com/home/mental_health_disorders/anxiety_disorders/pos ttraumatic_stress_disorder_ptsd.html .
6. Howard S. Crandall MW. Post traumatic disorder what happens in the brain?. 27

desember

2012.

Diunduh

dari

http://www.washacadsci.org/Journal/Journalarticles/V.93-3-Post%20Traumatic %20Stress%20Disorder.%20Sethanne%20Howard%20and%20Mark %20Crandalll.pdf 7. Resller JK. Kristina B. Bradley B. Post traumatic disorder. 23 februari 2011. Diunduh dari : http://www.nature.com/nature/journal/v470/n7335/full/nature09856.html 8. Rigss DS. Post traumatic disorder (PTSD). April 2013 .Diunduh dari : http://www.nmha.org/index.cfm?objectid=C7DF91D3-1372-4D20C8E6CFE1B56A38AB 9. Westgard E. Coming home with posttraumatic disorder. 10 may 2009. Diunduh dari : http://journals.lww.com/ajnonline/fulltext/2009/05000/coming_home_with_posttrau matic_stress_disorder.2.aspx 10. Behrendt A. Posttraumatic disorder and memory problems. 1 may 2005. Diunduh dari : http://ajp.psychiatryonline.org/article.aspx?articleID=177537

22

Anda mungkin juga menyukai