Anda di halaman 1dari 4

Polifarmasi

Kesehatan merupakan asset utama dari setiap orang. Dengan memiliki kesehatan yang baik semua orang memiliki modal yang cukup unuk menjalani berbagai kegiatan dalam mencapai kesuksesan dalam kehidupannya. Namun kesehatan ini tidak selalu mampu dijaga dengan baik, terkadang kita bisa jatuh sakit dan memerlukan pengobatan untuk kesembuhan diri. Dengan teknologi yang sudah maju, berbagai jenis obat sudah banyak tersedia di pasaran, namun, pertimbangan dalam pemberian obat ini sangat penting untuk diperhatikan kaerna justru kesalahan pemberian obat terutama dalam segi jumlah dan dosis membahayakan kesehatan. Istilah yang sering didengungkan mengenai hal ini adalah polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Istilah ini kerap dinilai memiliki makna berlebihan, tidak diperlukan dan sebenarnya sebagian besar dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi kondisi pasien dalam hasil pengobatannya. Polifarmasi juga dinilai sebagai salah satu hal yang mubazir karena dinilai berdampak pada membengkaknya biaya pengobatan sang pasien. Namun, dari semua penilaian negatif tentang polifarmasi, alasan kesehatan dan keamanan mengkonsumsi beberapa obat tersebut tetap menjadi hal krusial bagi konsumen, khususnya pasien. Dengan mengkonsumsi beberapa obat, interaksi antarobat akan terjadi dan tidak dapat dipastikan apakah hal tersebut berdampak baik bagi penyembuhan pasien atau justru memperburuk kondisi pasien. Polifarmasi di Indonesia umumnya terjadi pada pasien berusia lanjut dan pasien anak-anak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang yang sudah berusia lanjut sangat rentan terhadap komplikasi penyakit seperti jantung, hipertensi, diabetes mellitus, gangguan ginjal dan hati, gangguan pengindraan (penglihatan maupun pendengaran), gangguan fungsi kognitif, dan beberapa penyakit lainnya. Dengan beberapa penyakit yang sering menyerang para lansia, sudah tentu pasien lansia ini mendapatkan pengobatan yang lebih kompleks dan banyak jenisnya. Dalam kondisi itulah polifarmasi mungkin terjadi. Namun, jika semua obat yang dikonsumsi pasien lansia tersebut berdampak positif terhadap penyembuhan penyakitnya, maka istilah polifarmasi tidak berlaku. Beberapa interaksi obat yang penting ialah: cerivastatin dengan gemfibrozil (rhabdomyolisis, kreatin-kinase meningkat), azathioprin dengan alopurinol (sifat sitotoksik azathioprin meningkat 3-4 kali), grapefruit juice (menghambat absorbsi karbamazepin, felodipin, dan simvastatin), St Johns wort merangsang metabolisme warfarin, indinavir, dan cyclosporin; cisapride dengan makrolid,

ketokonazol, kinidin, atau

grapefruit

juice

(torsade de pointes dan

kematian

mendadak), coumarin dengan antiplatelet (perdarahan), dsb. Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin. Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah merah dan jaringan tubuh termasuk organ target. Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma. Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat.

Munculnya

efek

obat

sangat

ditentukan

oleh

kecapatan

penyerapan

dan

cara

penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui ambilan (uptake) oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme sehingga bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol. Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat. Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi, kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus.

Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat menjadi lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis normal dapat menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang terlalu besar) pada lansia. Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia lanjut, sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu 1 adrenergic blocker, dapat menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide dan antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya. Banyaknya dampak negative polifarmasi pada usia lanjut ini membuat pemberian obat oleh dokter harus dipertimbangkan dengan baik. Menurut Pillans, ada beberapa langkah yang dapat diterapkan untuk memanajemen polifarmasi, antara lain :

Pencegahan

Hanya mengkonsumsi obat jika ada bukti yang kuat bahwa pasien benar-benar dalam keadaan membutuhkan pengobatan. Hindari mengkonsumsi obat untuk keadaan yang bisa disembuhkan tanpa obat

Review pengobatan secara rutin

Me-review catatan penggunaan obat sangat penting bagi pasien untuk menjalani beberapa pengobatan. Review tersebut meliputi terapi yang sedang dijalani maupun yang akan dijalani, efek samping, interaksi, dosis, formulasi obat, dan berapa lama akan dilakukan.

Pendekatan non-farmasi

Gunakan gaya hidup sehat untuk mengukur kapan perlunya tindakan pengobatan

Komunikasi

Komunikasi dengan tenaga kesehatan penting bagi pasien, terutama mengenai ekspektasi, kesulitan dalam pengobatan dan kemampuan pasien untuk memenuhi aturan pengobatan.

Sederhanakan

Pertimbangkan kemungkinan sekecil apapun untuk dosis yang paling kecil, interval dan pengurangan dosis sepanjang itu tepat.

Dengan

menerapkan

langkah-langkah

tersebut,

diharapkan

dampak

dari

polifarmasi yang merugikan pasien dapat diminimalisasi.

Anda mungkin juga menyukai