Anda di halaman 1dari 7

MENGHADAPI SANGGAH DAN SANGGAH BANDING Oleh: Fatimah Widyaiswara Muda BDK Malang Sanggah merupakan materi yang

paling sering ditanyakan para peserta diklat kepada penulis. Ada sebuah pertanyaan yang ingin penulis bagi disini. Pertanyaan tersebut adalah bagaimana jika ada sanggah banding yang pada saat penyampaiannya tidak melampirkan jaminan sanggah banding, tetapi jaminan sanggah bandingnya disampaikan kemudian?. Yang terjadi pada satker tersebut sangat mungkin juga terjadi pada satker lain dan perlu kehati-hatian panitia dalam menyelesaikannya. Untuk menjawabnya, mari kita melihat kembali apa yang dimaksud dengan sanggah dan mengapa bisa terjadi. Di dalam proses pengadaan barang/jasa kita mengenal istilah sanggah dan sanggah banding. Pasal 80 Perpres 54 tahun 2010 menyebutkan bahwa peserta pemilihan Penyedia Barang/Jasa yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya dapat mengajukan sanggahan secara tertulis apabila menemukan: 1. penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang diatur dalam Peraturan Presiden ini dan yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan Barang/Jasa; 2. adanya rekayasa yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat; dan/atau 3. adanya penyalahgunaan wewenang oleh ULP dan/atau Pejabat yang berwenang lainnya. Seorang peserta lelang mempunyai hak untuk melakukan sanggah sebanyak dua kali. Sanggahan pertama ditujukan kepada panitia dan harus dijawab oleh panitia. Jika peserta merasa tidak puas maka mereka bisa melakukan sanggah banding yang ditujukan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. Sanggah pertama dilakukan peserta dalam waktu 5 hari kerja setelah pengumuman pemenang. Sanggah banding dilakukan peserta paling lambat 5 hari kerja setelah jawaban sanggah pertama diterima. Pada saat peserta melakukan sanggahan banding, maka peserta juga diwajibkan untuk menyerahkan jaminan sanggah banding sebesar 2 permil (dua perseribu) dari harga perkiraan sendiri (HPS). HPS adalah batas tertinggi penawaran yang besarannya sudah disampaikan pada saat pengumuman lelang. Lebih jelasnya mengenai proses sanggah penulis gambarkan sebagai berikut: GAMBAR 1. PROSES SANGGAH

GAMBAR 2. PROSES SANGGAH BANDING

Sebelumnya penulis telah menjelaskan bahwa sanggah bisa dilakukan jika terjadi salah satu atau berberapa sebab sesuai dengan Pasal 80 Perpres 54 tahun 2010 di atas. Artinya jika terjadi penyelewengan, rekayasa, ataupun penyalahgunaan wewenang.

Beberapa kasus di lapangan menunjukkan bahwa beberapa sanggahan yang dilayangkan kepada panitia bukan terjadi karena salah satu atau gabungan dari ketiga hal ini. Peserta seringkali melakukan sanggah hanya karena mereka merasa tidak puas dan kecewa hanya karena kalah. Sehubungan dengan hal itu maka penyedia melakukan sanggah dengan tanpa memberikan bukti serta paparan yang jelas mengenai adanya tindakan penyimpangan prosedur, rekayasa maupun penyalahgunaan wewenang panitia. Selain materi sanggah yang tidak sesuai, dalam beberapa kasus panitia menjumpai penyedia menyampaikan sanggah tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku di dalam Perpres 54 tahun 2010. Kembali pada permasalahan di atas, penulis akan mencoba menjawab pertanyaan di atas dengan cara membuat gambaran mengenai bagaimana proses itu terjadi. Penulis akan membuat perumpamaan untuk nama satker dan nama CV penyedia dengan huruf alfabet untuk memudahkan penjelasan. Proses kejadiannya penulis gambarkan sebagai berikut: GAMBAR 3: PROSES PENGADAAN PEKERJAAN KONSTRUKSI KANTOR X

Sebuah kantor, sebut saja kantor X, mengadakan pelelangan untuk pengadaan pekerjaan konstruksi senilai 500 juta. Lelang dilaksanakan secara manual dan diumumkan secara luas melalui website dan surat kabar. Dalam prosesnya akhirnya ditetapkanlah CV A sebagai pemenang dengan harga penawaran 400 juta dan dua CV, masing-masing adalah CV B dan CV C, sebagai pemenang cadangan. Pengumuman pemenang dilakukan pada Sabtu 30 Juli. Selanjutnya kejadian yang terjadi pada masa sanggah penulis gambarkan sebagai berikut:

GAMBAR 4. GAMBARAN PROSES SANGGAH PADA KANTOR X

Masa sanggah dimulai Senin 1 Agustus karena hari kerja kantor X adalah 6 hari. Dalam masa sanggah ada sebuah CV lain yang tidak masuk sebagai pemenang maupun cadangan pemenang, yaitu CV D yang merasa tidak puas dengan hasil lelang. CV D menyampaikan sanggahan kepada panitia pada Jumat 5 Agustus. Karena materi sanggah tidak terlalu rumit, maka panitia bisa memberikan jawaban sanggah pada Sabtu 6 Agustus. Masa sanggah banding sesuai ketentuan adalah lima hari sejak jawaban atas sanggah yang pertama diterima penyedia. Jadi, masa sanggah mulai Senin 8 Agustus sampai dengan Jumat 12 Agustus. Pada Jumat 12 Agustus CV D memberikan tembusan materi sanggah banding yang ditujukan kepada Menteri/Pimpinan tanpa memberikan jaminan sanggah banding. Selanjutnya pada Selasa 16 Agustus, CV D menyerahkan jaminan sanggah banding sebesar 1 juta tertanggal 15 Agustus yang berlaku mundur mulai 8 Agustus. Dari contoh kasus kantor X diatas, ada dua masalah yang perlu penulis bahas lebih lanjut yaitu: 1. apa yang harus dilakukan panitia ketika menerima tembusan sanggah banding yang tidak dilampiri jaminan sanggah banding yang sesuai? 2. apakah proses pengadaan akan berhenti dengan diterimanya sanggah banding tersebut? Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu membuka kembali Perpres 54 tahun 2010. Menjawab pertanyaan pertama, kita bisa melihat pada pasal 82 angka 6 yang menyebutkan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi

memberikan jawaban atas semua sanggahan banding kepada penyanggah banding paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah surat sanggahan banding diterima. Jadi,

menghadapi sanggah banding ini yang perlu dilakukan panitia adalah tidak ada, mengapa? Karena sudah jelas bahwa tugas panitia selesai setelah menjawab sanggah yang pertama. Artinya ketika panitia sudah memberikan jawaban atas sanggah yang pertama dalam waktu lima hari sejak diterimanya surat sanggah, maka sejak itulah tugasnya selesai. Jika peserta masih tidak puas dengan jawaban panitia, maka mereka boleh melakukan sanggah banding yang ditujukan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi. Jadi, Institusilah yang akan menjawab surat sanggah banding ini. Menjawab pertanyaan kedua apakah proses pengadaan harus berhenti? Di dalam Pasal 82 angka 1 sampai 4 ada ketentuan mengenai sanggah banding yang berbunyi sebagai berikut: 1. penyedia barang/jasa yang tidak puas dengan jawaban sanggahan dari ULP dapat mengajukan sanggahan banding kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala

Daerah/Pimpinan Institusi paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya jawaban sanggahan 2. penyedia barang/jasa yang mengajukan sanggahan banding wajib menyerahkan

Jaminan Sanggahan Banding yang berlaku 20 (dua puluh) hari kerja sejak pengajuan Sanggahan Banding 3. jaminan sanggahan banding ditetapkan sebesar 2 permil (dua perseribu) dari total HPS atau paling tinggi sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 4. sanggahan banding menghentikan proses pelelangan/seleksi. Jika kita kembali pada contoh kasus di atas, masa sanggah banding berakhir pada tanggal 12 Agustus, peserta menyampaikan surat sanggah banding masih dalam masa sanggah banding, artinya secara waktu penyampaian masih diterima. Akan tetapi ketika menyampaikan surat sanggahan banding peserta tidak melampirkan jaminan sanggah banding. Pada poin 2 di atas terdapat kalimat wajib menyerahkan jaminan sanggah yang berlaku 20 (dua puluh) hari kerja sejak pengajuan sanggahan banding. Yang terjadi kemudian adalah peserta menyampaikan jaminan sanggah banding, yaitu tanggal 16 Agustus, tetapi sekali lagi ini menyalahi ketentuan prosedur pengajuan jaminan sanggah yang seharusnya diberikan tanggal 12 Agustus bersamaan dengan penyampaian surat sanggahan banding. Dari sini penulis dikatakan bahwa apa yang dilakukan peserta salah dan pengajuan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai sanggah banding. Karena tidak dapat diterima sebagai sebuah sanggah banding, maka hal ini hanya bisa dianggap sebagai sebuah pengaduan. Pengertian pengaduan menurut Perpres 54 pasal 117 angka 1 disebutkan bahwa pengaduan adalah laporan yang disampaikan oleh masyarakat jika menemukan indikasi penyimpangan prosedur, KKN dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan/atau pelanggaran persaingan yang sehat. Karena tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah sanggah banding, maka proses pengadaan tetap bisa nilai

dilanjutkan ke proses selanjutnya yaitu pembuatan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ) oleh Pejabat Pembuat Komitmen. Dari contoh kasus di atas kita bisa mengambil pelajaran bahwa panitia tidak bisa menghindari sanggah. Walaupun panitia sudah bekerja sebaik dan seteliti mungkin, belum tentu semua calon penyedia bisa menerima keputusan panitia. Sanggah adalah hak penyedia lelang untuk menyampaikan keberatan atas hasil lelang. Selain itu sanggah adalah alat kontrol bagi panitia agar bekerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jadi, sangat penting bagi panitia memahami aturan Perpres 54 tahun 2010 yang termasuk didalamnya mengatur mengenai sanggah. Sanggah bukan merupakan tolok ukur kinerja panitia, tetapi sanggah adalah mekanisme kontrol agar panitia siap menghadapi segala kemungkinan. Walaupun sanggah bukan tolok ukur kinerja panitia, tetapi kemampuan panitia akan diuji ketika dia berhasil menghadapi sanggah dengan baik. Seorang panitia yang sangat memahami prosedur tentu akan lebih percaya diri ketika memutuskan hasil lelang. Jika panitia yakin bahwa keputusan yang diambilnya sudah sesuai, tidak ada penyelewengan, rekayasa maupun penyalahgunaan wewenang, maka bisa dipastikan panitia juga akan siap menghadapi kemungkinan terjadinya sanggah. Sebagai penutup, dapat penulis sampaikan bahwa jika seorang panitia merasa yakin bahwa setiap keputusan yang diambil itu sudah benar dan sesuai aturan, maka dia tidak perlu takut untuk menghadapi sanggah.

REFERENSI: Peraturan Presiden No. 54 tahun 2010

Anda mungkin juga menyukai