Anda di halaman 1dari 9

TEKNOLOGI PENGOLAHAN URIN DAN TINJA MANUSIA MENJADI PUPUK

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sanitasi Masyarakat

Disusun Oleh : Ahmad Naufal Sariyang Yogi A. Khanata Jati S. Rizky Ariyanto 21080110120018 21080110141017 21080110141018 21080110141050

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2013

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagioleh tubuh yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harusdikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (faeces), air seni (urine), dan CO2 sebagai hasil dari proses pernapasan. Saat ini akses masyarakat terhadap sarana sanitasi khususnya jamban,masih jauh dari harapan. Berbagai kampanye dan program telah banyak dilakukan, terakhir dengan pemberlakuan program Sanitasi Total BerbasisMasyarakat (STBM). Berbagai upaya tersebut sebetulnya bermuara padaterpenuhinya akses sanitasi masyarakat, khususnya jamban. Namun aksestersebut selain berbicara kuantitas yang terpenting adalah kualitas.Berdasarkan hasil penelitian yang ada, seorang yang

normaldiperkirakan menghasilkan tinja rata-rata sehari 970 gram dan menghasilkanair seni 970 gram. Jadi bila penduduk Indonesia dewasa saat ini 200 jutamaka setiap hari tinja yang dikeluarkan sekitar 194.000 juta gram (194.000ton). Maka bila pengelolaan tinja tidak baik, jelas penyakit akan mudah tersebar. Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat darisegi kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusiamerupakan masalah yang pokok untuk sedini mungkin diatasi. Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan tinja disertai dengancepatnya pertambahan penduduk, jelas akan mempercepat penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan melalui tinja. Karena kotoran manusia(faeces) adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks.Penyebaran penyakit yang bersumber pada faeces dapat melalui berbagaimacam jalan atau cara.

B. Tujuan Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui pemanfaatan urine dan tinja manusia sebagai bahan dasar pupuk.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengolahan Urine Menjadi Pupuk Urine atau air seni merupakan cairan sisa eksresi yang di hasilkan oleh ginjal yang dkeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Eksresi urine dilakuan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah untuk menjaga homeostatis cairan tubuh. Urine terdiri dari air dengan bahan terlarut berupa sisa metabolisme urea, garam terlarut, material organik. Urine mengandung urea dalam kadar yang tinggi dan berbagai senyawa yang berlebih berlebih bepotensi menjadi racun yang merupakan sumber nitrogen yang baik bagi tumbuhan dan data mempercepat proses pembentukan kompos. Nutrisi yang terkandung dalam urine terdapat dari makan makanan yang di eksresi oleh ginjal beupa nutrisi yang tidak digunakan oleh tubuh tetapi banyak kegunaan bagi hayati hidup seperti tumbuhan. Urine mengandung tingkat siknifikan nitrogen , fosfor dan kalium (NPK rasio sekitar 11-1-2.5, mirip dengan pupuk komersial ). Diungkapkan oleh Sundberg, 1995, Dranger, 1997, Amerika memproduksi sekitar 90 juta gallon urine sehari, mengandug 7 juta pound nitrogen. jumlah urin yang diproduksi per orang dan hari tergantung pada jumlah cairan minuman seseorang, tetapi biasanya terletak dalam kisaran 0,8-1,5 L per hari untuk orang dewasa dan sekitar setengah sebanyak untuk anak-anak, masing-masing (WHO 2006). Rata-rata, orang dewasa memproduksi sekitar 500 L (550 kg) urin per tahun, sehingga sekitar 4 kg N, 0,5 kg P dan 1 kg K per orang per tahun (JOENSSON et al. 2004). Urine karena itu dapat dianggap sebagai nitrogen pupuk cair kaya. Karena N comparably tinggi dan kandungan bahan organik rendah itu sering dianjurkan untuk melengkapi aplikasi urine dengan sumber bahan gizi dan organik lainnya. Mengandung cukup nutrisi untuk membuahi 50% - 100% dari tanaman yang dibutuhkan untuk member makan satu orang dewasa. Tingkat nitrogen yang tinggi dalam urine yang menguntungkan bagi pertumbukan tanaman, meskipun ini sebenarnya dapat menimbulkan bahaya lingkungan utama ketika kita menyiram urine ke toilet dalam system air public. Sehingga diperlukan system sanitasi air kotor sehingga tidak terkontaminasi dengan feses. Sisa nitrogen yang sering di buang melalui saluran air alami dimana nitrogen

dapat mengurangi keseimbangan ekosistem melalui proses eurofikasi, yaitu kelebihan nitrogen yang menyebabkan peningkatan ganggang dan pertumbuhan tanaman air, dan tanaman ini mengalami penguraian dan menghabiskan pasokan oksigen yang dibutuhkan hewan air sehingga menyebabkan kematian. Menghindari kontaminasi tinja merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pemanfaatan urine sebagai zat penutrisi bagi tumbuhan. Urine hamper selalu steril sedangkan feses mengandung pathogen berbahaya. Toilet khusus dengan sanitasi yang di pisahkan antara urine dan feses menjadi salah satu cara pemisahan tetapi pemisahan yang dilakukan dengan sederhana dengan menympan dalam wadah atau botol akan bekerja lebih baik untuk menghindari kontaminasi dan penyimpanan urin tersebut dapat disimpan terrtutup selama beberapa bulan untuk meminimalkan pathogen potensial. Penggunaan urine sebagai nutrisi tambahan bagi perkembangan tumbuhan dilakukan dengan berbaga cara, yaitu : 1. Pengomposan urine Hal ini dilakukan dengan cara menambahkan urine langsung pada tumpukan kompos ( mulsa) yang bertujuan mempercepat penguraian kompos. Rumput, dedauanan dan semak-semak dapat dijadikan sebagai bahan utama yang kaya akan karbon karena ketika dicampur dengan bahan kaya karbon, bakteri aerobic mengubah nitrogen menjadi nitrat yang dapat diserap oleh tanaman. hal ini sangat aman secara sosia dapat diterima untuk siklus kembalinya fungsi zat pada urine ke tanaman. Langkah-langkah yang diambil dalam pembuatan kompos urine ini sangat sederhana yakni urine secara langsung di campurkan dalam mulsa akan mengurangi erugian nitrogen dari konversi ke gas ammonia, urine juga bertindak sebagai starter untuk kompos, mendorong proses dekomposisi. 2. Penyiraman urine cair Hal ini juga termasuk sederhana yakni dengan menyimpan urine dalam keadaan tertutup selama 6 bulan yang bertujuan mengurangi pathogen dan dicairkan dengan penambahan 1:3 bagian air dan dilakukan penyiraman secara langsung urine cair ke tanah pertanian. Selama penyimpanan, pH tinggi (di atas 9), suhu dan amonia merupakan faktor utama untuk menonaktifkan patogen (SCHOENNING 2004). Munculnya pH di atas 9 terjadi secara alami, ketika urea yang terdegradasi menjadi amonium. Pada pH ini, konsentrasi awal fosfat,

magnesium, kalsium dan amonia tidak lagi larut, tapi mengendap membentuk lapisan bawah, yang dapat ditangani sebagai pupuk bersama-sama dengan sisa urin. Namun perhatian khusus harus diberikan pada ventilasi dari koleksi urin dan ruang penyimpanan: Karena pH tinggi, ditambah dengan konsentrasi amonium tinggi urin, ada risiko kehilangan N dalam bentuk amonia ke udara. Selama pengumpulan dan ruang penyimpanan disegel dan kontak dari urin dengan udara dikurangi seminimal mungkin, baik kerugian nutrisi maupun perubahan ketersediaan mereka dapat terjadi (JOENSSON 2004). Urine memiliki kandungan garam yang tinggi sehingga pengenceran sangat diperlukan sehingga tanaman dapat merespon. Penyiraman urin cair ini tidak dianjurkan di terapkan pada daun atau bagian tumbuhan karena hal ini dapat menyebabkan pembakaran daun 3. Pengkristalisasi urine menjadi urea Penemuan urea yang bersumber dari urine telah ditemukan oleh hillaire rouelle seorang kimiawan prancis tahun 1773 dengan cara mendidihkan urine, urea merupakan senyawa organic pertama yang dirumuskan secara sintetis oleh kimiawan jerman Friedrich Wohler. Secara sederhana urine dilakukan dengan cara mendestilasinya menjadi urea.

B. Pengolahan Tinja (Feses) Menjadi Pupuk Pemanfaatan feses sebagai pupuk bahkan sudah dimulai sejak tahun 1908 di Cina. Saat itu, Dewan Kota Shanghai menjual hak mengumpulkan feses kepada seorang pengusaha Cina seharga 31.000 keping emas. Feses seberat 78.000 ton dikumpulkan dengan prosedur khusus, untuk dibawa ke pedesaan dan dijual sebagai pupuk kepada petani. Pemanfaatan feses juga terjadi di Jepang pada masa itu. Jumlah total yang diaplikasikan di seluruh tanah pertanian Jepang bahkan mencapai 23.850.295 ton, atau rata-rata 1,75 ton per 4.000 meter persegi lahan. Praktik ini juga dilakukan sejak dulu di Vietnam Utara. Petani biasa memanfaatkan feses segar untuk memupuk sawah mereka. Praktik ini memang kurang sehat sebab berisiko menularkan penyakit. Karena itu, tahun 1956 Dinas Kesehatan setempat memulai kampanye penggunaan jamban kering dengan dua penampungan. Pemakaian jamban ini dimaksudkan agar bakteri patogen yang ada dalam feses mati sebelum diaplikasikan sebagai pupuk. Kampanye ini diikuti program pendidikan kesehatan yang dilaksanakan terus menerus dalam jangka panjang.

Pemanfaatan feses sebagai bahan penyubur tanah (lihat Kotak 1) adalah solusi efektif bagi daerah bersumber daya terbatas dan sulit memperoleh input pertanian. Alasan ini juga yang mendorong masyarakat di Lembah Lahaul, Pegunungan Himalaya, India, untuk membuat kompos dari kotoran manusia. Selain lokasi desa yang sangat terpencil, iklim yang tak bersahabat juga membuat petani di sana mengembangkan cara budi daya yang unik. Feses yang sudah menjadi kompos atau humus memberikan beberapa efek positif ketika diaplikasikan ke tanah. Ia adalah bahan pelembab tanah yang aman. Pupuk ini mampu meningkatkan kemampuan tanah mengikat air dan meningkatkan kesehatan tanaman lewat kandungan unsur hara yang dimilikinya. Pupuk feses sedikit berbeda dibanding kompos. Ia berwarna lebih terang dan partikelnya lebih besar. Pupuk feces yang sudah jadi tidak akan menarik datangnya lalat dan menyebabkan polusi karena tidak berbau. Ketidaksuburan tanah merupakan hambatan besar bagi pertanian berkelanjutan di daerah ini. Lapisan humusnya hilang dan unsur hara banyak tercuci akibat tingginya curah salju, salju longsor, tanah longsor, dan erosi. Rumput dan tanaman penutup tanah sulit tumbuh sehingga tidak mungkin memelihara ternak untuk menghasilkan pupuk kandang dalam jumlah cukup bagi pertanian. Tak ada jalan lain, petani harus menggunakan feses sebagai pupuk penyubur tanaman. Sebelum pemanfaatan ini memasyarakat, masalah terbesar yang dihadapi adalah bagaimana menghilangkan rasa jijik. Kini, tantangannya justru penggunaan jamban modern yang semakin populer. Jamban modern diperkenalkan karena jamban tradisional dianggap kurang sehat. Akibatnya petani kini kesulitan mendapat bahan baku sehingga jumlah petani yang mengaplikasikan pupuk feses makin berkurang. Melintas benua, praktik ini juga dilakukan di sejumlah negara di Afrika. Tahun 1988 di Desa Mbebe, Distrik Ileje, Tanzania, dilaksanakan Ileje Food Crop Production, program hasil kerja sama pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Tujuan utamanya adalah mengajarkan metode pertanian efisien sumber daya kepada petani. Pemakaian pupuk organik diperkenalkan guna mendongkrak produksi serealia yang merosot dan dipersalahkan sebagai penyebab tingginya gizi buruk dan tingkat kematian di bawah 5 tahun. Petani yang memiliki ternak membuat pupuk kandang,

sementara yang tidak memiliki menggunakan pupuk hijau seperti orok-orok dan kompos. Salah satu petani lantas mencoba menggunakan feses sebagai pupuk. Ia menguras jambannya yang sudah berumur 3 tahun dan menggunakannya untuk memupuk tanaman jagung. Hasilnya ternyata baik. Petani mencatat kenaikan panen yang signifikan dari penggunaan feses sebagai pupuk. Sejumlah petani yang melihat hasil ini, akhirnya tertarik untuk mencoba. Tahun berikutnya, jumlah petani yang menggunakan feses meningkat. Bahkan petani mulai membeli isi jamban lama sebesar 8001.000 shilling Tanzania (sekitar Rp 10.000) per lubang. Feses pun menjadi sebuah komoditas berharga. Tak hanya di negara Asia dan Afrika, pemanfaatan feses sebagai pupuk ternyata juga dilakukan di negara barat. Penduduk di sana menyebutnya sebagai jamban kompos. Konstruksi jamban yang khusus, memungkinkan dilakukannya panen feses setelah beberapa tahun. Model jamban kompos yang dipakai di Swedia disebut clivus, sementara di Norwegia dinamai komidi putar.

Sejumlah aplikasi lapangan ini tentunya menjadi bukti nyata bahwa feses memang memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan penyubur tanah. Praktik ini ibarat menyempurnakan daur makan di alam. Alam menghasilkan bahan pangan, kita memakannya, dan kotoran kita kembalikan ke alam. Selain itu, faktor murah dan mudah didapat bisa dipertimbangkan sebagai keunggulan pupuk feses dibanding pupuk kimia. Tantangan terbesar dari pemanfaatan feses sebagai pupuk adalah faktor kesehatan. Karena itu, rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengenai teknis penanganan pupuk feses yang aman bisa dijadikan bahan pembelajaran. Selain itu harus dipastikan bahwa bakteri patogen di dalam feses sudah mati. Sejumlah faktor yang bisa mematikan bakteri pathogen. Panduan WHO Mengenai Penanganan Pupuk Feses yang Aman

Jika feses dan bahan organik lain diproses menjadi kompos pada suhu ruang, hasil akhir proses tersebut tidak berbau dan baik dipakai sebagai bahan penyubur tanah. Untuk meminimalkan risiko kesehatan dari penggunaan feses, WHO mengeluarkan sejumlah rekomendasi. Jika sulit mencapai suhu tinggi pada penyimpanan/penimbunan, WHO merekomendasikan waktu simpan yang lebih lama. Penyimpanan selama satu setengah sampai dua tahun dengan suhu 220C akan menghilangkan bakteri

penyebab penyakit dan mengurangi virus serta protozoa parasit sampai di bawah tingkat berisiko. WHO juga merekomendasikan langkah pencegahan untuk mengurangi risiko kesehatan. Ini mencakup pemakaian pelindung pribadi seperti sepatu bot, sarung tangan, masker, dan tidak menggunakan peralatan yang dipakai menangani feses untuk keperluan lain. Selain itu, anak-anak harus dijauhkan dari tempat penyimpanan, pemrosesan, atau lokasi penggunaan pupuk. Pupuk feses sebaiknya diberikan dengan cara aplikasi dekat tanah. Maksudnya, pupuk dimasukkan ke dalam tanah dan kemudian ditimbuni tanah sampai tertutup rapat. Terakhir WHO menyebutkan bahwa kebersihan rumah dan pribadi sangat penting. Selain menerapkan teknologi yang tepat, masyarakat juga perlu melakukan praktik kebersihan yang baik. Jika rekomendasi ini diikuti maka secara umum risiko bagi masyarakat yan mengumpulkan dan mengunakan feses (maupun yan mengonsumsi produk hasil pemupukan) akan dikurangi sampai tingkat aman. Secara garis besar, ada tiga teknik pengolahan feses yang memberikan hasil kurang lebih sama, yaitu : 1. Pengeringan Feses dipisahkan dari urine dan disimpan dalam penampungan sampai mengering. Urine juga bisa dipakai sebagai pupuk cair. Namun sebelum dipakai, urine harus disimpan dalam wadah tertutup selama kurang lebih enam bulan untuk mematikan bakteri patogen yang dikandungnya. 2. Pengomposan Feses (dan urine) disimpan dalam penampungan dan dicampur dengan sampah rumah tangga, sampah kebun, atau bahan organik lain. Campuran ini akan mengalami pembusukan dan terurai. Setelah 68 bulan biasanya sudah bisa dipanen sebagai kompos. 3. Pengomposan dengan tanah Feses (dan urine) disimpan dalam penampungan yang sudah diisi tanah terlebih dulu. Setiap ada tambahan feses segar, tumpukan baru ini ditimbun dengan tanah biasanya juga ditambahkan abu dapur. Setelah 34 bulan biasanya seluruh patogen pada feses sudah mati dan feses siap dipakai sebagai pupuk

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagioleh tubuh yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harusdikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (faeces), air seni (urine), dan CO2 sebagai hasil dari proses pernapasan. Adapun pemanfaatan urine dan tinja sebagai bahan dasar pembuatan pupuk merupakan strategi pengolahan limbah domestic yang sangat efisien. Urine dan tinja manusia dimanfaatkan sehingga menjadi pupuk melalui proses pengomposan.

Anda mungkin juga menyukai