Anda di halaman 1dari 0

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kecacingan merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi
peternakan ruminansia kecil di Indonesia. Cacing parasit yang penting pada
domba adalah Haemonchus contortus yang menyebabkan haemonchosis.
Infeksi cacing penghisap darah ini menyebabkan penurunan bobot badan, diare,
kekurusan dan kadang-kadang kematian ternak (Soulsby 1986). Sigi lapang di
beberapa daerah di Propinsi Jawa Barat, menunjukkan bahwa umumnya seekor
hewan dapat terinfeksi oleh 3-4 macam spesies yang didominasi oleh cacing
H. contortus dan Trichostrongylus spp. dengan rata-rata prevalensi sebesar 67%
(Kusumamihardja dan Zalizar 1992). Kerugian akibat infeksi nematoda termasuk
H. contortus pada kambing diperkirakan mencapai Rp 7.000.000.000/tahun
(Rachmat et al. 1998) serta diperkirakan terus meningkat bila tidak dilakukan
upaya pengendalian dengan sungguh-sungguh.
Haemonchosis dapat dikendalikan dengan berbagai cara. Penggunaan
obat anti cacing (anthelmintika) untuk membunuh/mengusir cacing dalam tubuh
hewan, merupakan cara yang umum digunakan. Keuntungan metode ini dapat
dengan cepat menekan infeksi dan mengurangi efek patofisiologisnya. Meskipun
demikian, penggunaan anthelmintika yang sama dalam jangka panjang beresiko
menyebabkan resistensi cacing terhadap obat dan adanya residu pada organ.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, penggunaan antelmintika ini harus
dipadukan dengan manajemen beternak yang baik untuk mengurangi
kemungkinan kontak antara ternak dengan larva infektif. Alternatif lain dalam
pengendalian haemonchosis yaitu dengan pengendalian biologis menggunakan
agen hayati, serta pengembangan vaksin dan seleksi ras ternak yang tahan
terhadap parasit (Patra 2007; Waller dan Larsen 1994; Waller et al. 2006).
Upaya pengendalian haemonchosis pada peternakan domba di
Indonesia, sulit dilaksanakan karena hewan dipelihara dengan pola peternakan
tradisional yang kurang memperhatikan manejemen pemeliharaan dan
kesehatan hewan. Saat ini penanggulangan umumnya dilakukan dengan
pemberian anthelmintika, namun berbagai studi menemukan adanya resistensi
akibat pemakaian dalam jangka panjang dengan dosis yang kurang tepat dari
antelmintika kelompok benzimidazol (Satrija dan Beriajaya, 1998; Haryuningtyas


2

et al. 2001). Untuk itu perlu dicari suatu cara penanggulangan penyakit cacing H.
contortus yang lebih efektif dan efisien.
Penelitian penggunaan Duddingtonia flagrans sebagai pengendali hayati
parasit cacing nematoda pada ternak sudah banyak dilakukan di beberapa
negara. Cendawan ini bekerja dengan cara menangkap larva infektif (L
3
) di
lapangan sehingga akan menurunkan tingkat kontaminasi larva di lapangan.
Pemberian konidiaspora D. flagrans pada domba dapat menurunkan tingkat
kontaminasi larva H.contortus di lapangan sebesar 70-90% (Larsen 2000;
Chandrawathani et al. 2004; Waller 1997). Uji coba pengendalian hayati
haemonchosis dengan menggunakan cendawan D. flagrans, juga sudah
dilakukan di Indonesia sejak tahun 2000 dengan tingkat reduksi larva sebesar
70% (Beriajaya et al. 2001; Ahmad et al. 2002).
Dalam bidang peternakan khamir Saccharomyces cerevisiae digunakan
secara komersial sebagai probiotik dan imunostimulan untuk ternak (Agarwal et
al. 2000; Kompiang 2002; Fox 2002; Thanardkit et al. 2002). Penelitian
pendahuluan menunjukkan bahwa pemberian S. cerevisiae dalam tape sebagai
pakan pada cacing tanah (Lumbricus sp.) berdampak pada penurunan
kemampuan produksi kokon (telur) cacing tanah. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Pitojo (1995), yang dapat memperlihatkan penurunan kemampuan
reproduksi kelinci jantan pasca pemberian ragi Saccharomyces sp. Fenomena ini
membuka peluang kemungkinan penggunaan Saccharomyces cerevisiae untuk
menurunkan kemampuan reproduksi cacing parasit.
Penggunaan kapang D. flagrans dan khamir S. cerevisiae secara
simultan diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pengendalian hayati
H. contortus. Peningkatan efektivitas tersebut dapat dicapai melalui reduksi
jumlah larva oleh kapang nematofagus D. flagrans di lapangan, dan pada saat
yang sama terjadi pula penurunan kemampuan reproduksi cacing dewasa di
dalam tubuh domba. Oleh karena itu perlu dipelajari interaksi yang mungkin
terjadi antara kapang dan khamir tersebut.
Studi ini dilakukan melalui rangkaian empat tahap percobaan. Pada tahap
pertama, karakter isolat lokal S. cerevisiae yang akan digunakan sebagai
kandidat pengendali hayati terhadap H. contortus dipelajari dengan menguji
pengaruh berbagai medium, temperatur, kebutuhan terhadap cahaya, cairan
rumen dan waktu simpan bahan terhadap pertumbuhan isolat coba. Tahap
kedua mempelajari kandungan enzim dan atraktan yang dimiliki oleh cendawan


3

D. flagrans dan S. cerevisiae yang mungkin berperan dalam mekanisme
pengendalian H. contortus. Pada tahap ketiga diuji kemampuan membunuh
secara in vitro dan interaksi yang terjadi antara kedua cendawan pada medium
agar dan tinja. Percobaan dilakukan untuk menguji daya reduksi terhadap L
3.
Untuk lebih meyakinkan isolat tersebut dapat digunakan sebagai pengendali
hayati, maka pada tahap keempat dilakukan uji kemampuan isolat tersebut
sebagai pengendali biologis terhadap H. contortus. Di dalam tahap ini dilakukan
juga pengamatan terhadap perubahan organ reproduksi, fekunditas, produksi
dan daya tetas telur, dan populasi cacing dewasa.

Tujuan Penelitian
1. Mempelajari sifat-sifat isolat lokal S. cerevisiae sebagai cendawan
kandidat pengendali biologis H. contortus.
2. Mengevaluasi kemampuan masing-masing cendawan D. flagrans dan
S. cerevisiae dan interaksinya dalam mereduksi jumlah larva stadium 3
(L
3
)

H. contortus secara in vitro.
3. Mempelajari mekanisme penurunan jumlah larva oleh D. flagrans dengan
S. cerevisiae dan interaksinya pada uji in vitro dan in vivo.
4. Mempelajari perubahan patologis organ reproduksi cacing dewasa
setelah pemberian cendawan D. flagrans dan S. cerevisiae.

Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil studi ini dapat digunakan sebagai acuan dalam
penggunaan kapang D. flagrans dan khamir S. cerevisiae sebagai agen
pengendali hayati cacing H. contortus pada peternakan domba.

Anda mungkin juga menyukai