Anda di halaman 1dari 3

Formalisasi Syariat Islam di Aceh

Jumat, 2 November 2012 08:37 WIB

Oleh Agustin Hanafi

GENAP satu dasawarsa pelaksanaan syariat Islam di Aceh, namun berbagai tanggapan dan apresiasi kerap muncul di kalangan masyarakat, baik yang bernada positif juga negatif. Segelintir orang masih mempermasalahkan formalisasi syariat Islam dengan dalih melanggar hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi, menganggap hanya perempuan yang menjadi obyek sweeping polisi syariat (WH) di jalan raya karena tidak memakai jilbab, celana sempit atau baju kurang sopan. Ada pelanggar syariat, misalnya, ketika ditegur WH menjawab dengan nada ketus; Mengapa kamu mempermasalahkan saya pakai jilbab atau tidak? Ini adalah urusan saya dengan Tuhan. Bahkan, ada yang mengatakan; Kami sudah lama hidup dalam bingkai syariah, sejak kecil kami hidup dalam lingkungan syariat Islam. Tak perlu ada pelaksanaan syariat yang diatur seperti saat ini, penerapan syariat Islam bukan keinginan rakyat Aceh dan merupakan sesuatu yang dipaksakan adanya oleh pemerintah Jakarta. Selain itu, muncul pula beberapa kasus yang cukup menghebohkan seperti konser waria, aliran sesat, usaha pendangkalan akidah, menjamurnya anak punk, dan lain sebagainya. Bahkan, kasus terkini ancaman bunuh terhadap Kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa, dan pelemparan anggota WH dengan botol miras yang juga terjadi di Langsa. Ini semua adalah bukti sahih adanya sekelompok orang yang tidak menghendaki tegaknya syariat Islam di bumi Aceh ini. Tak bisa dipisahkan Sebenarnya, hujatan terhadap wujud syariat Islam di Aceh tidak memiliki alasan yang kuat, karena secara historis sejak dulu masyarakat Aceh telah menerapkan syariat Islam secara kaffah. Sejak masa kesultanan, syariat Islam telah diterapkan dalam masyarakat dan mencapai puncaknya pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ini bisa dilihat dari adat dan budaya Aceh yang tak bisa dipisahkan dengan syariat, seperti bunyi hadih maja: Hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut (Agama dan adat bagaikan zat dan sifat). Keadaan tersebut terus berlanjut sampai bangsa penjajah datang ke Aceh, kemudian memasuki masa kemerdekaan. Pada masa awal kemerdekaan, Aceh telah menunjukkan hasrat yang sangat kuat untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Karena dalam pandangan masyarakat Aceh melaksanakan syariat Islam adalah kewajiban asasi, dan merupakan bagian dari ajaran agama, tidak bergantung kepada siapa dan keadaan apa pun. Setiap umat Islam wajib berusaha agar dapat melaksanakan syariat secara sempurna dalam kehidupannya.

Pada 1948, Presiden Soekarno mengunjungi Aceh untuk memperoleh dukungan masyarakat dalam memperjuangkan pengakuan independensi Indonesia. Pemimpin Aceh, Daud Beureueh berhasil menghimpun dana untuk pembelian dua pesawat terbang bagi perjuangan RI, memohon kepada Soekarno agar mengizinkan diberlakukan syariat Islam di Aceh. Bung Karno setuju, tetapi tidak bersedia menandatangani surat persetujuan yang disodorkan Daud Beureueh. Akibatnya Daud Beureueh sangat kecewa dan kemudian pada 21 September 1953, pecah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Peristiwa itu terselesaikan dengan jalannya musyawarah, dan berakhir dengan pemberian keistimewaan kepada Aceh dalam tiga bidang, yaitu bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat sebagaimana tertuang dalam Keputusan Perdana Menteri RI Nomor 1/Missi/1959. Lalu, pada era reformasi keluar lagi UU RI Nomor 44 Tahun 1999 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam, UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Ini adalah bukti konkret bahwa masyarakat Aceh menginginkan syariat Islam hidup di bumi Serambi Mekah ini. Akhir-akhir ini, media cetak dan elektronik sangat gencar memberitakan kasus-kasus pelanggaran syariat, wartawan membentuk kelompok gerakan wartawan pembela syariat Islam karena adanya usaha dari pihak tertentu untuk memutarbalikkan fakta dan penggiringan opini publik sehingga masyarakat bersikap sinis terhadap eksistensi syariat Islam di Aceh. Dukungan tersebut datang dari berbagai kalangan, bahkan Wakil Wali Kota Banda Aceh bersama masyarakat turun ke jalan untuk melakukan sweeping terhadap pemuda yang duduk nongkrong bersama pasangannya di tempat tertentu. Melindungi HAM Syariat Islam di Aceh tidak bertentangan dengan HAM sebagaimana yang dituduhkan kelompok tertentu, karena punya qanun dan mekanisme yang jelas. Tujuan hukuman cambuk bukanlah menyakiti atau merendahkan martabat seseorang, akan tetapi hanya memberi rasa malu dan efek jera agar tidak mengulanginya. Bahkan jika dibandingkan dengan hukum cambuk yang diberlakukan di negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India maupun Pakistan, justru di Aceh lebih manusiawi karena mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa perlindungan HAM akan hilang karena pelaksanaan syariat Islam. Syariat Islam tetap melindungi HAM sesuai dengan pengertiannya Semua orang adalah sama di depan hukum, siapapun tidak boleh dihukum kecuali setelah terbukti bersalah di depan pengadilan. Jadi tidak ada penjatuhan hukuman di luar pengadilan. Penerapan Syariat Islam di Aceh tidaklah diskriminatif terhadap kaum perempuan, bahkan laki-laki juga tetap dihukum sekiranya melanggar, bahkan ada yang dicambuk akibat melanggar Qanun Maisir, Khalwat, kemudian ada yang ditegur karena tidak melaksanakan shalat Jumat atau membuka warung di siang hari pada bulan suci

Ramadhan. Sekiranya ada WH memakaikan jilbab pada si pelanggar dan menasehati untuk tidak mengulangi lagi, ini tentu dilakukan sebagai upaya tegas dari polisi untuk mengingatkan masyarakat bahwa syariat Islam di Aceh ini memang ada. Pada konteks lain pelaksanaan syariat Islam di Aceh masih harus menghadapi berbagai tantangan berat yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: Pertama, budaya Barat yang sudah merasuk ke dalam pikiran sebagian umat Islam; Kedua, kalangan sekuler yang sejak dulu tidak menghendaki penerapan syariat Islam di Indonesia, dan; Ketiga, opini publik yang terbentuk melalui media massa tidak memihak kepada penerapan syariat. Pandangan yang menyebutkan kehidupan syariat dalam hal individu tidak harus diatur oleh pemerintah merupakan pandangan kelompok sekuler. Kelompok sekuler menginginkan pemisahan urusan agama dan urusan pemerintah (politik). Sekularisme jelas bertentangan dengan Islam, sebab Islam agama (al-din) sekaligus negara (aldaulah), bahkan juga mengurusi persoalan-persoalan dunia (al-duniyah). Dengan demikian jelas bahwa pandangan pemisahan urusan individu (privat) dan urusan pemerintah merupakan penetrasi pandangan di luar Islam yang telah merasuki sebagian orang Islam itu sendiri. Jangan terpancing Oleh karena itu, masyarakat jangan terpancing dengan isu-isu dan tuduhan yang dilontarkan oleh pihak yang tidak menyukai penerapan syariat Islam di Aceh, dan tidak menginginkan masyarakat Aceh hidup damai, dan tenteram. Dan kalau ada yang melanggar qanun jangan salahkan pihak lain, tapi salahkan diri sendiri, keluarga; Mengapa tidak membekali anaknya ilmu agama sejak dini, karena bagi yang memiliki iman yang kuat tentunya bisa meminimalisir pelanggaran karena manusia punya akal, perasaan, dapat membedakan antara yang baik dengan buruk. Oleh karena itu, tanggung jawab penegakan syariat Islam di bumi Aceh ini bukanlah tugas segelintir orang, akan tetapi tugas semua individu yang dimulai dari pribadi, keluarga, kerabat, dan lain-lain. Kemudian pihak yang mengambil kebijakan perlu melakukan sosialisasi agar pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam tidak keliru. * Dr. H. Agustin Hanafi, MA, Staf Pengajar Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: agustinhanafi77@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai