Anda di halaman 1dari 6

KETIKA KUASA-NYA BERKATA Kala itu, masih kuingat jelas sosoknya yang begitu mempesona, indahnya langit pun

tak bisa menandingi pesonanya yang begitu rupawan. Mata dan hatinya bagai aliran sungai Nil yang suci. Gelak tawanya menghapuskan segala lara yang ku rasa. Kuat, tegar, pantang menyerah itulah bagian diriku yang dididiknya. Dan tidak akan pernah habis kata-kataku menggambarkan sosoknya yang begitu aku banggakan. Aku beruntung, Allah SWT, memberikanku karunia yang luar biasa karena aku bisa menjadi bagian hidupnya. Tak ada penyesalan, walau awalnya begitu berat. Sungguh tak aku terima di awalnya. Bagaimana tidak, aku mengira dia akan terus mengikuti perkembanganku, memberikanku arahan, menghapus kekhawatiranku akan kehidupan dunia yang begitu tabuh untuk remaja sepertiku. Namun semua tak seindah khayalan dan mimpi-mimpiku. Aku harus merelakan penopang jiwaku, tangisanku cukup mewakili betapa aku sangat kehilangannya. Untuk anak-anak sebayaku yang saat itu masih menginjak usia 15 tahun, arti sebuah kehilangan tak bisa aku jabarkan, aku hanya kebingungan melihat orang-orang di sekelilingku menangis, histeris, dan menatapku dengan tatapan penuh iba. Namun sekali lagi aku belum mampu mengartikannya, sampai dekapan lembut itu memelukku dengan erat, bahkan sangat erat seakan melindungiku dari rasa sakit yang akan menimpaku. Kulihat matanya yang sayu, dan wajahnya yang lesu dengan deraian air mata yang jatuh bak tetesan hujan dari langit. Air mata itu jatuh dengan sangat deras hingga membasahi pipiku, membuatku ketakutan karena mungkin saja sesuatu telah terjadi di sini. Kunaikkan pandanganku dari wajah ibuku itu sembari kuarahkan penglihatanku pada beberapa orang yang ada di sekelilingku, hingga persinggahan mataku mengarah ke kakak kakakku.

Mereka semua ada dalam ruangan yang sama denganku, hingga kusadari seseorang tidak ada di antara kami. Ya, dimana ayahku. Degup jantungku

berdetak sangat kencang seperti ingin meledakkan degupan degupan jantung itu, kuayunkan langkahku ke sebuah tempat tepat pada ujung ruangan di depan kamarku. Lagi lagi aku tak menemukannya aku mulai tak dapat menahan persaanku. Air mataku mulai menetes. Aku terdiam pilu, aku lupa aku telah

kehilangan beliau sore itu. Aku melupakan bahwa ayahku sudah tak bersamaku lagi, Aku melupakan ayahku telah meninggalkanku selamanya. Aku menangis dengan nafas terengah engah. Aku mau Ayahku kembali ya Allah ucapku penuh harap saat itu. Benar kata pepatah live must go on, sebesar apapun cobaan yang terjadi dalam hidupku aku harus kuat, aku tak ingin kelihatan lemah di hadapan ibu dan kakak kakakku, walau sebenarnya perasaan dan kenyataannya sangat bertolak belakang. Namun aku juga tak mau membuat ayahku disana meninggalkan kami dalam keadaan bersedih. Tetap ku yakinkan diri ini bahwa ayah tetap mengawasiku, dan Ayah akan selalu menjagaku. Sepeninggal ayah, begitu banyak perubahan perubahan yang terjadi di kehidupanku, aku mulai belajar dewasa dan bertanggung jawab atas diriku sendiri. Kasihan ibu dan kakak-kakakku pikirku saat itu. Sepeninggalan ayah, mereka harus bekerja keras untuk menutupi kehidupan kami. Belum lagi masalah-masalah internal keluarga yang harus mereka selesaikan. Walau beban mental aku hadapi saat itu aku tetap harus terbiasa dengan keadaan seperti Itu, apa lagi di tahun pertama kusekolah tanpa sosok ayah, melihat remaja-remaja sebayaku yang diantar kedua orang tua mereka mendaftar sma, cukup menarik perhatianku, dulu aku seperti mereka, namun tidak seperti sekarang ini. Kulihat kertas-kertas pendaftaran yang kupegang, dahulu ayah dan ibuku yang memengangkannya, sementara tangan ini hanya memegang jemari mereka dengan erat. Berulang kali kuhela nafasku agar air mataku tak jatuh saat itu, sebenarnya aku sangat ikhlas dengan keadaanku sekarang. Namun di sisi yang lain, aku merasa ini tidaklah adil untukku. Kenapa harus ayahku ? lontahku dengan suara agak tercekik Masih teringat saat kuisi formulir pendaftaran itu, di saat jemari tanganku bergetar saat kutulis namanya dengan tanda Alm, aku terdiam sejenak berat rasanya kutuliskan kata itu, tiba-tiba seseorang mengagetkanku hingga membuyarkan lamunanku. Dan untuk kedua kalinya tanganku berhenti sejenak dan bergetar saat kutulis pendidikan terakhir ayah dan ibuku. Ya, tanganku bergetar saat ku tulis pendidikan terakhir ayahku yang hanya lulusan SD dan

ibuku tidak lulus SD. Tapi, itu tidak membuatku malu dan berkecil hati lantas memaki ayah dan ibuku karena pendidikan terakhir mereka, justru mengobarkan api semangatku dan sangat bangga terhadap mereka. Karena meskipun mereka bukanlah orang orang yang berpendidikan tinggi tapi sangat sadar dan mementingkan pendidikan. Meskipun kami hanya sebuah keluarga sederhana dan berekonomi pas pasan, tapi mereka mampu menyekolahkan kami setinggi tingginya. Dan ketika mereka bermimpi kelak salah satu di antara kami akan menjadi dokter, berkat usaha dan doa mereka mimpi itu terwujud. Salah satu kakakku dokter, walaupun ayahku tidak sempat melihatnya memakai toga itu, tapi kami yakin di alam sana beliau bangga dengan keberhasilan anak anaknya. Mereka banting tulang hanya untuk menyekolahkan kami, dan dihari hari menjelang kepergianyapun, beliau masih sempat bekerja dan melengkapi semua kebutuhan kami. Dan ibuku meski beliau tidak tamat SD, tapi beliau sangat mendukung kami untuk bermimpi besar, mendorong kami untuk meraih mimpi itu. Tak jarang aku mendapati mereka sholat lail. Ayah dan ibuku adalah orang tua terbaik sedunia. Semoga kelak kita dipertemukan di JannahNya. Aamiin. Kujalani ujian masuk SMA dengan penuh semangat dan berharap aku akan lulus dengan nilai yang bisa membuatku duduk di kelas akselerasi. Kulangkahkan kakiku dengan pasti dan penuh harap menuju papan pengumuman. Kubaca dengan teliti setiap nomor yang tertera di papan pengumuman, berharap terselip nomor ujianku. Tiga kali aku membaca pengumumannya, dan mencari cari nomor ujianku, hatiku mulai gelisah. Akankah aku tidak lulus? Pikiran itu tiba tiba muncul di benakku. Sekali lagi kupastikan, kumembaca dengan sangat teliti dan pelan. Napasku berhenti sejenak, kakikuku langkahkan mendekati papan pengumuman, kuambil kartu ujianku, kucocokkan dengan nomor yang tertera di papan. Dan ternyata hasilnya sama. Aku lulus dan masuk kelas akselerasi. Perjalanan hidupku telah dimulai, masa depanku ditentukan hari ini. Mimpi mimpiku aku tulis dan kuabadikan di selembar kertas putih dengan tinta hitam. Kuletakkan kertas didepan keningku, sehingga mudah ku baca dan selalu ku ingat. Di deretan mimpi mimpi kuada dua baris yang sengaja kutulis dengan

huruf kapital. Dua baris yang akan menjadi bara api pengobar semangatku. Kuliah di pulau Jawa di jurusan farmasi dan menyembuhkan banyak insan, Membuat mereka bangga telah memilikiku. Mimpi menjadi seorang farmasis mulai muncul sejak sepeninggal ayah, karena sebelumnya saya begitu berminat dan tertarik untuk menjadi seorang wartawan. Entah apa penyebabnya, tapi mimpi itu tertanam dan terlukis indah dihatiku, dan ukiran itu harus aku pudarkan dengan sebuah mimpi baru. Dan kelak mimpi mimpi ini satu persatu akan aku coret. Yang artinya aku telah menggapainya. Aku jalani masa putih abu abu sambil belajar arti kehidupan, arti persahabatan, dan arti sebuah persaingan. Bersaing untuk tetap bertahan di posisi yang diinginkan. Saling mengerti dan saling menguatkan di saat terjatuh, itulah arti sebuah persahabatan. Masa putih abu abu terlebih mengajarkanku menjadi sosok yang siap menerima kenyataan, tak pandang itu menyenangkan, menjengkelkan, atau bahkan mengecewakan. Satu hal yang tak bisa aku pungkiri, ekonomi keluarga menurun drastis sepeninggalan ayahku. Kebiasaan kebisaanku harus aku hilangkan. Aku harus lebih dewasa dan lebih tegar. Seperti ayah yang tak pernah mengeluh meski capek banting tulang menghidupi dan menyekolahkan kami. Merelakan dirinya memakai pakaian luntur hanya untuk membeli buku penunjang prestasi kami. Yang penuh semangat dan bangga datang ke sekolah sekolah kami menerima rapor. Dan membelikan kami hadiah sebagai balasan atas angka satu yang kami berikan untuknya. Itu dulu ketika dia masih ada disampingku, kini aku tidak mungkin bahkan tidak akan pernah merasakan masa masa itu lagi dengan nyata. Karena dia kini hanya hidup di hati hati kami. Tak akan pernah tergantikan, sampai kapan pun. Akan tetap abadi dan terukir jelas. Tidak terasa beberapa tahun sudah berlalu tanpa Ayah, menghitung hari lagi penentuan nasibku akan terungkap, namun entah mengapa aku ragu saat itu, sebenarnya ku ikuti tes dengan setengah hati, karena terlebih dahulu aku telah mengubur mimpiku untuk menuntut ilmu di pulau Jawa bersama teman temanku

hanya karena masalah ekonomi. Naas apa yang ku takutkan terjadi, walau aku tidak terlalu kecewa dengan haslinya. Namun di satu sisi aku tetap bersyukur karena mimpi untuk menuntut ilmu di pulau Jawa akan terwujud di tahun depan karena Insya Allah ekonomi keluarga akan membaik. Namun itu lagi-lagi cukup membuat beban mental bagi diriku. Allah berkehendak lain, rupanya masih ada kesempatan untuk bisa kuliah di Farmasi dengan universitas yang berstatus negeri. Akhirnya kuikuti tes dengan sepenuh hati dengan harapan kali ini ketika membuka website itu aka nada satu kata yang terdiri dari lima huruf yang akan membuat bibir tersenyum bangga. Tibalah hari itu, dengan segala kepasrahan yang kutujukan pada Yang Maha Kuasa ku tunggu handphoneku berdering, berharap ada kabar gembira dari pulau seberang (karena ku amanahkan kepada orang-orang di seberang sana untuk melihat pengumumnan itu) agar nantinya aku tidak terlalu kecewa ketika hasilnya tidak sesui harapanku. Hpku brdering dan aku mengangkatnya dengan tangan bergetar dan perasaan yang campur aduk, mulutku kaku bungkam seribu bahasa ketika pernyataan itu kudengar, sontak kutidak percaya dengan apa yang telah kudengar. Kuyakinkan diriku dengan melihatnya langsung, kubuka website tersebut dan ternyata benar. Tak sepatah katahpun berani ku lontahkan, aku terkejut bukan main seakan udara disekelilingku menusuk sampai ketulangtulangku. Kupastikan sekali lagi tulisan-tulisan itu dan kubaca pelan pelan kalimat itu selamat anda diterima di Farmasi UIN Alauddin Makassar. Sontak aku sujud syukur pada yang maha Kuasa. Kuyakinkan pada diriku bahwa inilah yang terbaik, lulus di farmasi walau bukan di universitas yang ku inginkan. Dan kupercaya pada janji-Nya bahwa dia akan memberikan yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Dia pasti akan memberi yang terbaik untuk hamba-Nya. Aku ambil kertas impianku, kucoret satu mimpi yang pernah kutulis dengan huruf kapital namun dengan sedikit perubahan.

Akhwat yang agak tomboy ini sangat ingin mendaki gunung Latimojong, hampir setiap kertas kertas yang ditemuinya ditulisi Latimojong, Latimojong, dan Latimojong. Meski mengidap penyakit asma tak mengurungkan niatnya untuk bermimpi kelak berdiri di puncak Latimojong tidak hanya mimpi tapi insya Allah akan berusaha mewujudkannya, aamiin. Dia biasa di sapa rahma yang kata sebagian orang nama rahma pasaran bangat, tapi dia tetap bangga dengan nama itu. Karena itu adalah nama terbaik yang keluarga besarnya berikan. Siti Rahmah adalah nama yang tertera di akta kelahirannya, lahir di Bima NTB pada tanggal 25 Mei 1994, anak bungsu dari H. Syamsuddin dan Hj. Hafsah. Cuek adalah salah satu sifatnya. Tapi, cueknya yang bermanfaat, insya Allah. Satu kalimat yang selalu membuatnya tetap semangat dan terus beraktivitas. Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.

Anda mungkin juga menyukai