Anda di halaman 1dari 18

KERAGAAN KESESUAIAN LAHAN DAN ESTIMASI RESPON PRODUKSI KELAPA SAWIT PLASMA

I G Putu Wigena, H. Siregar, dan Sudradjat ABSTRAK Potensi dan produksi kelapa sawit sangat ditentukan oleh tingkat kesesuaian lahan dan perilaku petani dalam mengelola perkebunan. Untuk itu, telah dilakukan penelitian keragaan kesesuaian lahan dan estimasi respon produksi kelapa sawit plasma dari bulan Januari-Desember 2007 di Kebun Kelapa sawit plasma Sei Pagar, Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Tingkat kesesuaian lahan diestimasi dengan metode Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian yang dikembangkan oleh Hardjowigeno et al dan Djaenudin et al., respon produksi diestimasi dengan metode Fungsi Produksi Nerlove. Hasil penelitian menujukkan sebanyak 75% kebun kelapa sawit Sei Pagar memiliki tingkat kesesuaian lahan S2-f (cukup sesuai, retensi hara sebagai pembatas) dengan produksi rata-rata 23,04 ton tandan buah segar/hektar/tahun. 25% memiliki tingkat kesesuaian lahan S2-f,n (cukup sesuai retensi dan ketersediaan hara sebagai pembatas) dengan produksi rata-rata 22,0 ton tandan buah segar/hektar/tahun . Luas tanam kelapa sawit respon terhadap harga tandan buah segar, kebijakan pemerintah dan teknologi pengelolaan. Peningkatan harga tandan buah segar 1 satuan meningkatkan luas tanam 0,063 satuan. Produktivitas kelapa sawit respon terhadap harga pupuk SP-36, pupuk KCl dan produktivitas tahun sebelumnya. Peningkatan harga pupuk SP-36 dan KCl sebesar 1satuan menurunkan produktivitas masing-masing sebesar 0,12 dan 0,17 satuan. Produksi kelapa sawit responsif terhadap harga tandan buah segar, harga pupuk SP-36 dan harga pupuk KCl. Peningkatan harga tandan buah segar sebesar 1% meningkatkan produksi TBS sebesar 0,62% dalam jangka pendek dan 3,49 dalam jangka panjang. Peningkatan harga pupuk SP-36 dan KCl sebesar 1% menurunkan produksi TBS masing-masing sebesar 0,13% dan 0,20% dalam jangka pendek dan sebesar 0,75% dan 1,11% dalam jangka panjang. Kondisi ini mengindikasikan peningkatan produksi lebih diutamakan melalui intensifikasi diikuti dengan ekstensifikasi mengingat perilaku respon petani dalam menambah luas lahan berlangsung lambat. PENDAHULUAN Sub-sektor perkebunan memegang peranan penting bagi perekonomian Indonesia dengan pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) selama periode 20002004 sebesar 15,63% dari PDB pertanian atau 2,46% dari PDB nasional. Selain itu, sub sektor ini juga sebagai salah satu sumber devisa nonmigas, sebagai sumber kesempatan kerja bagi jutaan penduduk, lapangan investasi bagi investor

255

I G Putu Wigena et al

nasional maupun internasional, mendorong pertumbuhan berbagai sektor perekonomian lainnya melalui kaitan ke depan dan ke belakang (Hadi et al., 2007). Dari semua komoditas perkebunan, kelapa sawit dan karet merupakan komoditas unggulan yang pembudidayaannya berkembang sangat pesat sejak dekade 1990-an terutama di luar Pulau Jawa. Sebagai gambaran, penanaman kelapa sawit pada tahun 1990 tercatat seluas 1,1 juta hektar, tahun 1995 seluas 2,0 juta hektar, dan pada tahun 2007 berkembang menjadi sekitar 6,78 juta hektar dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) sebanyak 17,37 juta ton. Sedangkan kontribusi export CPO dan produk turunan lainnya pada tahun 2007 sebanyak 11,8 juta ton dengan nilai US $ 7,8 miliar (Deptan, 2008). Sementara perkembangan luas tanam karet juga relatif cepat dari tahun ke tahunnya dimana pada tahun 2003 tercatat seluas 2 344 007 hektar dan tahun 2005 menjadi 2 525 194 hektar. Dengan luasan areal tersebut, nilai ekspor karet pada tahun 2005 mencapai US $ 3 283 695 (Hadi et al, 2007). Seiring dengan laju pertumbuhan luas tanam tersebut maka penyerapan tenaga kerja, khususnya yang berprofesi di bidang pertanian juga meningkat tajam. Dengan asumsi bahwa setiap 2 hektar kebun kelapa sawit memerlukan tenaga kerja sekitar 35 orang, 1 unit pabrik kelapa sawit (PKS) memerlukan 136 maka sampai dengan tahun 2005 penyerapan tenaga kerja oleh sub sektor perkebunan kelapa sawit sekitar 2,1 juta ( Wahyono dan Djafar, 2004). Penyerapan tenaga kerja ini terus meningkat dan pada tahun 2007 sub sektor perkebunan kelapa sawit mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 3,3 juta jiwa (Deptan, 2008). Pengembangan kelapa sawit ditempuh melalui program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), Perkebunan Rakyat (PR) dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Dari luas areal, sampai tahun 2007 perkebunan kelapa sawit rakyat (PR) menempati urutan pertama dengan luasan sekitar 2,565 juta hektar dengan rata-rata pertumbuhan luas sekitar 25,2% (Deptan, 2008). Perkebunan plasma merupakan perkebunan rakyat yang dalam pengembangannya ditumpangkan kepada PBSN maupun PBN, sedangkan dana ditalangi oleh pemerintah melalui perbankan dalam bentuk kredit. Program ini dimulai sejak tahun 1977 dengan dikeluarkannya pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang meliputi PIR-Lokal, PIR-Khusus dan PIR Berbantuan/NESS. Tahun 1986, program transmigrasi dikaitkan dengan program perkebunan dengan direalisasikannya pola PIR-Transmigrasi dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani transmigrasi (Ditjenbun, 1992). Kecenderungan yang sama juga terjadi pada perkebunan karet dimana dari sekitar 2 525 194 hektar

256

Keragaan Kesesuaian Lahan dan Estimasi

luas areal tanam pada tahun 2005, 85% merupakan karet rakyat, 8% Perkebunan Swasta Nasional dan hanya 7% Perkebunan Besar Negara (Anwar, 2006). Memperhatikan peranan kelapa sawit dalam perekonomian regional maupun nasional, pemerintah telah merespon kondisi perkebunan kelapa sawit sistem PIR dengan membentuk Program Nasional yaitu Program Revitalisasi Perkebunan (Kelapa Sawit, Karet dan Kakao). Untuk kelapa sawit, pelaksanaan program ini mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 dengan sasaran seluas 1 550 000 hektar terdiri dari perluasan areal kebun 1 375 000 hektar, peremajaan 125 000 hektar dan rehabilitasi tanaman seluas 50 000 hektar. Untuk komoditas karet, sasaran program adalah peremajaan tanaman seluas 250 000 hektar dan rehabilitasi tanaman seluas 50 000 hektar (Ditjenbun, 2007). Kebijakan pemerintah dalam pengembangan komoditas kelapa sawit dan karet tersebut mengisyaratkan perlunya dukungan pengelolaan yang tepat agar produktivitasnya optimal, menguntungkan petani serta seminim mungkin mencemari lingkungan. Berdasarkan aspek budidaya, kesesuaian lahan, kebijakan pemerintah serta kecenderungan harga yang terus meningkat, merangsang petani untuk meningkatkan luas tanam kelapa sawit dan karet yang berujung pada pola produksi yang ditawarkan petani. Persaingan ini menjadi menarik untuk diteliti sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan paket pengembangan kelapa sawit maupun karet. Estimasi produksi kelapa sawit pada tingkat kesesuaian lahan tertentu berdarsarkan dinamika harga output, input, teknologi dan kebijakan pemerintah merupakan aspek yang diteliti dalam penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui pola penawaran produksi kelapa sawit. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan selama 1 tahun, dari bulan Januari 2007 sampai Januari 2008. Lokasi penelitian di areal perkebunan sawit plasma Sei Pagar, Kabupaten Kampar Provinsi Riau, yang masih termasuk bimbingan P.T Perkebunan Nusantara V dan instansi terkait Pemerintah Daerah Provinsi Riau. Perkebunan plasma ini merupakan daerah PIR-Trans kelapa sawit sejak tahun 1985/86, dengan penempatan sebanyak 3000 kk trans asal Jawa (60%) dan trans lokal (40%). Selain itu, ada juga penempatan trans umum dan trans lokal sejak tahun 1987, yang saat ini mengembangkan komoditas karet. Pilihan komoditas karet karena kecenderungan harga karet melonjak tajam sejak krisis

257

I G Putu Wigena et al

ekonomi, sementara pemasarannya sudah lancar melalui koperasi karet. Jadi kedua komoditas ini (kelapa sawit dan karet) memiliki daya saing yang

sama-sama tinggi di lokasi penelitian.


Jenis dan Sumber Data Selama penelitian, dilakukan rekaman data biofisik dan ekonomi baik data primer maupun sekunder. Untuk data biofisik primer meliputi karakteristik sumberdaya lahan diperoleh dengan survei lapangan, diikuti dengan pengambilan contoh tanah komposit dan contoh tanah ring. Contoh tanah komposit dan ring ini dianalisis di Laboratorium Kimia Tanah Balai Penelitian Tanah Bogor untuk ditetapkan sifat-sifat kimia (komposit) dan sifat-sifat fisika (ring). Hasil analisis dijadikan acuan dalam mengevaluasi tingkat kesesuaian lahan. Data biofisik sekunder meliputi kondisi iklim bersumber dari stasiun iklim di lokasi seperti Bandara Udara dan stasiun iklim Simpang Tiga. Bahan-bahan untuk membuat peta kesesuaian lahan adalah: Peta SRTM berupa peta digital 3 dimensi untuk melihat kondisi lereng lokasi penelitian dalam formula Digital Elevation Model (DEM). Peta Land Unit yang memuat satuan peta tanah lokasi penelitian serta karateristiknya. Citra ETM7 merupakan peta Landsat yang memuat vegetasi permukaan tanah (Land cover). Peta Rupabumi yang memuat kondisi garis kontur lokasi penelitian.

Data Ekonomi primer diperoleh melalui melakukan wawancara terstruktur dengan ketua KUD, ketua kelompok tani dan petani. Data ekonomi sekunder meliputi perkembangan produksi dan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dan harga karet selama 25 tahun terakhir, perkembangan harga sarana produksi (pupuk dan pestisida) selama 25 tahun terakhir, perkembangan upah tenaga kerja pada tahun yang sama serta perkembangan policy dan teknologi pengelolaan perkebunan. Analisis Data Data terkumpul dianalisis untuk menjawab tujuan penelitian, dimana untuk kesesuaian lahan diestimasi dengan Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian yang dikembangkan oleh Hardjowigeno et al. (1999) dan Djaenudin et al. (2003).

258

Keragaan Kesesuaian Lahan dan Estimasi

Untuk respon petani diestimasi dengan analisis model penawaran produksi kelapa sawit dari Fungsi Produksi Nerlove. Kesesuaian lahan untuk kelapa sawit diperoleh dengan Over-lay peta tanah, peta lereng, peta rupabumi, peta penggunaan lahan (vegetasi), dan peta bahan induk (Gambar 1) . SRTM CITRA ETM7 CITRA ETM7 PETA RUPABUMI SCAN GEOREPLIKASI ANALISIS VISUAL DAN ON SCREEN DIGITIZING

- Peta garis pantai, sungai, jalan, pemukiman, fasilitas umum lainnya - Peta tanah, peta tutupan lahan (land cover)
- Observasi lapang - Analisis contoh tanah, air, limbah PKS, daun kelapa sawit REANALISIS LAND EVALUATION PETA KESESUAIAN LAHAN Gambar 1. Tahapan Kegiatan Pembuatan Peta Kesuaian Lahan. Peta Rupabumi di scan untuk melihat kondisi lereng, kemudian dilakukan georatifikasi (penyamaan posisi geografi) semua peta dasar ke dalam 1 sistem/unit yang sama, dalam hal ini sistem UTM (Universal Transfer Mercator). Langkah selanjutnya adalah melakukan tumpang tindih (overlay) semua peta dasar, diikuti dengan analisis visual pada screen (screen digitizing) yang menghasilkan gambaran garis pantai, sungai, jalan, pemukiman, peta tanah, peta tutupan lahan dan penggunaan lainnya. Hasil analisis awal ini diikuti dengan observasi lapang untuk melihat kondisi aktual di lapangan, dilakukan pengambilan contoh tanah, air, daun tanaman dan limbah cair pabrik kelapa sawit (PKS). Tindakan selanjutnya adalah melakukan analisis ulang (reanalisis) untuk mencocokkan hasil analisis awal dengan hasil observasi lapangan antara lain posisi geografi, bentuk alur sungai, batas-batas satuan lahan.

259

I G Putu Wigena et al

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kelapa sawit diestimasi dengan Model Otoregresif yaitu model distribusi yang memiliki lag variabel terikat sebagai variabel bebas (penjelas) (Sumodiningrat, 1998). Ada beberapa macam model otoregresif, tetapi yang dipakai dalam penelitian ini adalah Model Penyesuaian Parsial yang dikembangkan oleh Nerlove (Nerloves Partial Adjusment Model)(Koutsoyiannis, 1977). Berkaitan dengan komoditas kelapa sawit, model ini berdasarkan pada asumsi bahwa petani akan menyesuaikan tingkat produksi dengan tingkat harga yang diterima, dalam artian petani akan meningkatkan produksi jika harga meningkat dan sebaliknya petani akan menurunkan produksi jika harga komoditas yang dipasarkan menurun. Namun demikian, penurunan atau peningkatan produksi ini mengacu pada adanya beda kala (lag) antara dua periode yaitu harga pada tahun sebelumnya dan saat sekarang. Respon petani terjadi setelah beda kala sebagai dampak dari perubahan harga-harga input dan output serta kebijakan pemerintah. Dalam bentuknya yang paling sederhana, produksi kelapa sawit merupakan respon dari luas areal dikalikan dengan produktivitas. Respon luas areal yang diinginkan (A*) dipengaruhi oleh tingkat harga komoditas sehingga persamaannya menjadi: A*t = B0 + B1Pt + Ut ........................................................................... (1) Dimana: A*t Pt = Areal panen yang diinginkan pada tahun t = Harga TBS pada tahun t.

Luas areal yang diinginkan tidak bisa diamati secara langsung sehingga untuk mengatasinya didasarkan pada suatu hipotesis yang merupakan perilaku penyesuaian parsial dalam bentuk persamaan: At At-1 = (A*t At-1) + Vt ............................. (2) Perubahan areal yang sebenarnya terjadi merupakan proporsi tertentu dari perubahan yang diinginkan. Proporsi tertentu tersebut disebut koefisien penyesuaian parsial (Partial Adjusment Coefficient, ) yang bernilai di antara dua nilai ekstrim yaitu 0 dan 1, dimana: = 0, berarti tidak terjadi perubahan apapun dalam luasan areal tanam =1, berarti areal tanam yang diharapkan sama dengan yang dicapai sehingga penyesuaiannya terjadi seketika. Aplikasi dari respon luas areal kelapa sawit berupa persamaan regresi linier berganda sebagai berikut (Sukiyono, 1995):

260

Keragaan Kesesuaian Lahan dan Estimasi

LPSt = a0 + a1HGTBSt + a2HGKRTt + a3UPTKt + A4DUMMYt + A5TRENDt+ a6LAGHGKRTt + A7LAGLPS + 1 ..................................(3) Dimana: LPSt = Luas areal perkebunan sawit pada tahun t HGTBSt = Harga riil TBS di tingkat petani pada tahun t HGKRTt = Harga riil karet di tingkat petani pada tahun t = Upah tenaga kerja riil/hari UPTKt DUMMYt = Kebijakan pemerintah dalam komoditas kelapa sawit TRENDt = Teknologi pengelolaan perkebunan kelapa sawit LAGHGKRTt = Harga karet tahun sebelumnya LAGLPS = Luas areal tanam kelapa sawit tahun sebelumnya 1 = Peubah pengganggu. Tanda koefisien regresi yang diharapkan untuk persamaan respon areal adalah: a1, a4,a5,a7 >0; a2, a3, a6 < 0 Produktivitas kelapa sawit dapat dirumuskan dalam persamaan regresi linier berganda sebagai berikut: PSt = b0 + b1 HGTBSt + b2 HGPUt + b3 HGPSt + b4 HGPKt + b5HGPMt + b6 LAGPS + 2 ............................................................................... (4) Dimana: PSt = Produktivitas kelapa sawit pada tahun t HGTBSt = Harga riil TBS pada tahun t HGPUt = Harga riil pupuk Urea pada tahun t HGPSt = Harga riil pupuk SP-36 pada tahun t HGPKt = Harga riil pupuk KCl pada tahun t HGPMt = Harga riil pupuk majemuk pada tahun t LAGPS = Produktivitas kelapa sawit tahun sebelumnya 2 = Peubah pengganggu Tanda koefisien regresi yang diharapkan untuk persamaan produktivitas kelapa sawit adalah: b1, b6> 0; b5, b2, b3, b4, b5 < 0 Dari persamaan tersebut dapat dibuat persamaan identitas produksi kelapa sawit sebagai berikut: PRt = At * PSt ..............................................................................(5) PRt = Produksi kelapa sawit pada tahun t.

Pendugaan model produksi kelapa sawit dilakukan dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak Program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.0.

261

I G Putu Wigena et al

HASIL DAN PEMBAHASAN Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan sangat berkaitan dengan karakter jenis tanah yang terbentuk di lokasi penelitian seperti disajikan pada Tabel 1. Secara garis besar, bahan induk tanah dilokasi penelitian ada 2 jenis yaitu bahan endapan (aluvium) oleh aktivitas sungai besar (Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan) dan bahan organik busukan dari kayu-kayu hutan dalam kondisi anaerob. Pada fisiografi (bentuk wilayah) yang relatif datar, kedua bahan induk ini membentuk tanah dengan sifat-sifat berbeda. Tabel 1. Klasifikasi dan Karakteristik Tanah Lokasi Penelitian Sei Pagar, 2007.
Bentuk wilayah Datar agak berombak Klasifikasi tanah Humic Dystrudepts Karateristik tanah Dalam, drainase sedang, masam, tekstur sedang, bahan organik tinggi, retensi hara tinggi, ketersediaan hara rendah Dalam, drainase sedang, masam, tekstur sedang, bahan organik rendah, retensi hara tinggi, ketersediaan hara rendah Dalam, drainase agak terhambat, saprik, masam-sangat masam, retensi hara tinggi Agak dalam, drainase agak terhambat, saprik, masam-sangat masam, retensi hara tinggi.

Bahan induk Aluvium

Typic Dystrudepts

Bahan organik

Datar - agak cekung (kubah) Typic Haplosaprists

Terric Haplosaprists

Bahan induk aluvium membentuk tanah Inceptisols, dimana pada daerah peralihan dengan gambut mendapat pengkayaan bahan organik membentuk tanah Humic Dystrudepts dengan kedalaman efektif dalam, drainase sedang, kadar bahan organik tinggi, reaksi tanah masam, KTK rendah sehingga retensi hara tinggi dan ketersediaan hara rendah. Bahan induk aluvium pada daerah yang berjauhan dengan gambut, tidak mendapat pengkayaan bahan organik membentuk tanah Typic Dystrudepts dengan kedalaman efektif dalam, kadar bahan organik rendah, drainase sedang, reaksi masam, KTK rendah sehingga retensi unsur hara tinggi dan ketersediaan hara rendah.

262

Keragaan Kesesuaian Lahan dan Estimasi

Bahan induk bahan organik membentuk 2 jenis tanah gambut yaitu Typic Halosaprists dengan kedalaman efektif dalam (> 100 cm), drainase agak terhambat (daerah cekungan), kematangan gambut sudah lanjut (saprik), reaksi tanah masam-sangat masam, KTK rendah sehingga retensi unsur hara tinggi tetapi ketersediaan hara rendah. Tanah gambut yang lainnya yaitu Terric Haplosaprist dengan kedalaman efektif agak dalam (50-100 cm), drainase agak terhambat (daerah cekungan), kematangan gambut lanjut (saprik), reaksi tanah masam-sangat masam, KTK rendah sehingga retensi unsur hara tinggi tetapi ketersediaan hara rendah. Kesesuaian lahan diperoleh dengan mengkombinasikan karakteristik tanah ini dengan prasyarat pertumbuhan kelapa sawit berdasarkan metode Hardjowigeno et al. (1999) dan Djaenudin et al. (2003)(Tabel 2). Untuk areal perkebunan kelapa sawit plasma, seluruh areal kebun termasuk kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai). Sebagian besar (75%) termasuk tanah gambut jenis Typic Troposaprists dan Terric Troposaprists dengan kelas kesesuaian S2-f (cukup sesuai dengan penghambat retensi unsur hara) karena pH tanah rendah. Rata-rata produksi kelapa sawit pada lahan dengan tingkat kesesuaian S2-f ini adalah 23,04 ton TBS/ha/tahun. Kondisi ini mungkin ditopang oleh sifat fisik tanah relatif baik untuk pertanian karena adanya pengkayaan liat dan unsur hara dari endapan Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Pada kondisi seperti di lokasi penelitian, kedalaman gambut untuk kesesuaian lahan kelas S2 bagi kelapa sawit tidak hanya 60-140 cm tetapi lebih dalam lagi yaitu 140-200 cm (Ritung et al, 2007). Produktivitas lahan seperti ini cukup baik untuk penggunaan perkebunan kelapa sawit seperti dilaporkan oleh Juwanto (2007) pada penggunaan tanah gambut untuk kebun kelapa sawit, produktivitasnya dipengaruhi oleh kedalaman air tanah dan kematangan gambut. Peneliti lain melaporkan bahwa produktivitas kelapa sawit pada lahan gambut Hemic Troposaprist agak dalam dan dalam dipengaruhi oleh lingkar batang dan produksi aktual TBS (Koedadiri et al., 2007). Sedangkan Winarna (2007) melaporkan bahwa tanah gambut saprik seperti di lokasi penelitian paling potensial untuk digunakan sebagai kebun kelapa sawit dengan produktivitas ratarata 25,45 ton TBS/ha/tahun dibandingkan dengan gambut hemik dan fibrik dengan produktivitas masing-masing 23,20 dan 20,80 ton TBS/ha/tahun. Sekitar 25% termasuk kelas kesesuaian S2-f,n (cukup sesuai dengan faktor penghambat retensi hara tinggi dan ketersediaan hara rendah) berkaitan dengan pH dan KTK tanah rendah. Jenis tanah dengan kesesuaian ini adalah Humic Dystrudepts dan Typic Dystrudepts. Rata-rata produksi kelapa sawit pada lahan dengan tingkat kesesuaian ini adalah 22,0 ton TBS/ha/tahun. Kondisi ini

263

I G Putu Wigena et al

disebabkan oleh sifat bahan induk tanah berupa endapan batuan masam dan miskin unsur hara. Namun demikian, produktivitas tanah ini cukup baik untuk dipergunakan sebagai perkebunan kelapa sawit. Pahan (2005) menyatakan bahwa tanah mineral masam seperti di lokasi penelitian dengan tingkat kesesuaian sesuai (S2) mempunyai kisaran produktivitas luas yaitu 19-24 ton TBS/ha/tahun. Hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas kelapa sawit di lokasi penelitian 1,92 ton TBS/ha/bulan atau 23,04 ton TBS/ha/tahun. Tabel 2. Land Unit, Karakteristik, Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit dan Sebarannya di Lokasi Penelitian Tahun 2007.
Land Unit Kesesuaian S2-f S2-f S2-f,n Karakteristik Sebaran (ha) Kebun 7750 203 384

D.2.1.2 Pq.2.1 Pfq.1.1

Pfq.2.1 Au.1.3

S2-f S2-f,n

Cukup sesuai dengan pembatas retensi unsur hara karena pH dan KTK rendah (Typic Halosaprists) Cukup sesuai dengan pembatas retensi unsur hara karena pH dan KTK rendah (Terric Halosaprists) Cukup sesuai dengan pembatas ketersediaan unsur hara dan retensi unsur hara karena pH dan KTK rendah (Humic Dystrudepts) Cukup sesuai dengan pembatas retensi unsur hara karena pH dan KTK rendah (Humic Dystrudepts) Cukup sesuai dengan pembatas ketersediaan unsur hara dan retensi unsur hara karena pH dan KTK rendah (Terric Halosaprists)

996 891

Jumlah (hektar) 10231 Keterangan: D.2.1.2. Land unit tanah gambut, datar dan agak dalam (50-100 cm) Pq. 2.1. Land unit sedimen kasar dari batu pasir, datar-agak berombak, tidak tertoreh Pfq.1.1. Land unit sedimen halus-kasar dari batu pasir, datar Au. 1.3. Land unit dataran aluvial, rawa belakang, tergenang

Respon Luas Areal Hasil pendugaan parameter persamaan luas areal disajikan pada Tabel 3, dimana koefesien determinasi (R2) sebesar 0,99 yang menunjukkan bahwa keragaman luas areal dapat dijelaskan oleh keragaman peubah penjelas sebesar 99%. Nilai F hitung sebesar 8452.18, nyata pada taraf 1% mengindikasikan bahwa peubah penjelas dalam model yang dikembangkan bisa menjelaskan secara baik.

264

Keragaan Kesesuaian Lahan dan Estimasi

Tanda parameter dugaan harga tandan buah segar (HGBS) dan peubah beda kala 1 tahun sebelumnya (LAGHGTBS) sesuai harapan yaitu bertanda positif, dengan nilai masing-masing 0,06 dan 0,23 serta berpengaruh nyata pada taraf uji 5% dan 20%. Kenaikan harga TBS sebesar 1satuan menyebabkan kenaikan luas tanam sebesar 0,06 satuan, sedangkan kenaikan luas tanam tahun sebelumnya sebesar 1 satuan meningkatkan luas tanam saat ini sebesar 0,23 satuan. Parameter dugaan lain yang sesuai harapan dan berpengaruh positif adalah kebijakan pemerintah (DUMMY) dan teknologi pengelolaan kebun kelapa sawit (TREND). Parameter kebijakan pemerintah mempunyai nilai sebesar 0,01 dan nyata pada taraf uji 1%. Kebijakan pemerintah, terutama pemerintah daerah umumnya menyangkut aspek kelembagaan, pembinaan teknis, koperasi mempengaruhi sikap petani dalam mengambil keputusan meningkatkan atau menurunkan luas tanam. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah berkaitan dengan kemudahan akses modal kerja, pengadaan sarana produksi (input terutama pupuk dan pestisida), inovasi teknologi dan pemasaran TBS. Jika kebijakan pemerintah mendukung dalam pengelolaan kebun maka petani akan meningkatkan luasa lahan dan sebaliknya. Teknologi pengelolaan baik pada aspek produksi TBS maupun pengolahan TBS mempunyai nilai positif sebesar 0,01 berpengaruh nyata pada taraf uji 1%. Hal ini berarti petani meningkatkan atau menurunkan luas areal sebagai akibat perubahan teknologi. Suatu contoh di lapangan adalah dengan ditemukannya pemanfaatan sisa panen dan hasil sampingan pabrik kelapa sawit sebagai pupuk organik maka respon petani kelihatan sangat nyata dalam meningkatkan luas tanam karena faktor kelangkaan pupuk bisa diatasi. Parameter dugaan upah tenaga kerja (UPTK) mempunyai nilai negatif sebesar -0,004 dan tidak berpengaruh nyata pada taraf uji 20%. Kondisi ini berkaitan dengan sumber tenaga kerja pengelolaan kelapa sawit ada 2 yaitu tenaga kerja upahan dan tenaga kerja dalam keluarga. Jika terjadi kelangkaan tenaga kerja upahan maka porsi tenaga kerja dalam keluarga akan ditingkatkan agar pengelolaan kebun sawit bisa memenuhi standar. Parameter dugaan harga karet (HGKRT) dan mempunyai nilai negatif sebesar -0,001 berpengaruh tidak nyata pada taraf uji 20%. Parameter dugaan lag harga karet (LAGHGKRT) juga bernalai negatif sebesar -0,003 berpengaruh nyata pada taraf uji 20%. Harga hasil komoditas karet sebagai pesaing di lokasi penelitian, tidak mempengaruhi minat petani dalam meningkatkan atau menurunkan luas areal.

265

I G Putu Wigena et al

Respon Produktivitas Parameter dugaan persamaan produktivitas kelapa sawit menunjukkan koefesien determinasi sebesar 0,98 yang berarti bahwa keragaman produktivitas kelapa sawit dapat dijelaskan oleh peubah-peubah penjelas sebesar 98%. Sedangkan nilai F-hitung sebesar 159,55 nyata pada taraf uji 1% yang menunjukkan peubah-peubah penjelas bisa menjelaskan keragaman produktivitas cukup baik (Tabel 3). Tanda parameter peubah penjelas harga TBS (HGTBS), harga pupuk Urea (HGPU), harga pupuk SP-36 (HGPS), harga pupuk KCl (HGPK), harga pupuk majemuk (HGPM) dan lag produktivitas (LAGPS) sesuai harapan. Tabel 3. Respon Luas Areal dan Produktivitas Kelapa Sawit terhadap Input, Output, Kebijakan Pemerintah dan Teknologi Pengelolaan di Sei Pagar, 2007.
Fungsi Produksi dengan Infinite Lag Model Nerlove The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Dependent Variable Label lps luas areal tanam sawit Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Model 7 0.115189 0.016456 8452.18 Error 16 0.000031 1.947E-6 Corrected Total 23 0.115220 Root MSE 0.00140 R-Square 0.99973 Dependent Mean 8.82163 Adj R-Sq 0.99961 Coeff Var 0.01582 Parameter Estimates Parameter Standard t Value Pr > |t| Variable DF Estimate Error Intercept 1 6.615153 1.266779 5.22 Hgtbs 1 0.062739 0.024520 2.56 Hgkrt 1 0.00173 0.001631 1.06 0.3058 Uptk 1 -0.00495 0.005951 -0.83 0.4174 Dummy 1 0.007010 0.001734 4.04 pemerintah Trend 1 0.007964 0.001686 4.72 Laghgkrt 1 0.00315 0.001830 -1.72 0.1044 Laglps 1 0.229191 0.148867 1.54 sawit Dependent Variable Label Source DF Model 7 : :

Pr > F <.0001

Variable Label <.0001 Intercept 0.0210 harga TBS riil harga karet riil upah tenaga kerja 0.0009 kebijakan 0.0002 teknologi lag harga karet riil 0.1432 lag luas

tanam

: ps : produktivitas kelapa sawit Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F 4.963782 0.709112 159.55 <.0001

266

Keragaan Kesesuaian Lahan dan Estimasi

Error 16 Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var DF Variable

0.071110 0.004444 23 5.034893 0.06667 R-Square 0.98588 3.21462 Adj R-Sq 0.97970 2.07385 Parameter Estimates Parameter Standard t Value Pr < |t|

Label Variable

Estimate Error Intercept 1 5.983876 2.402794 Hgtbs 1 0.366164 1.124266 Hgpu 1 -0.08045 0.372606 -0.22 Hgps 1 -0.11648 0.082011 -1.42 Hgpk 1 -0.17139 0.101520 -1.69 Hgpm 1 -0.36419 0.368430 -0.99 Lagps 1 0.823456 0.108915 kelapa sawit

2.49 0.33 0.8318 0.1747 0.1108 0.3376 7.56

0.0241 Intercept 0.7489 harga TBS riil harga pupuk urea harga pupuk SP36 harga pupuk KCL harga pupuk majemuk <.0001 lag produktivitas

Parameter dugaan harga TBS bertanda positif sebesar 0,37 tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas pada taraf uji 20%. Hal ini dimungkinkan oleh lambatnya perubahan harga TBS yang terjadi sehingga memerlukan waktu relatif lama untuk penyesuaian terhadap perubahan perilaku petani dalam mengelola kelapa sawit. Parameter dugaan lag produktivitas bertanda positif sebesar 0,82 berpengaruh nyata terhadap produktivitas kelapa sawit pada taraf uji 1%. Kondisi ini berarti peningkatan produktivitas kelapa sawit tahun sebelumnya sebesar 1 satuan meningkatkan produktivitas kelapa sawit sebesar 0,82 satuan. Parameter dugaan harga pupuk Urea mempunyai nilai sebesar -0,08 berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas kelapa sawit pada taraf uji 20% yang berarti peningkatan harga pupuk Urea sebagai sumber unsur hara nitrogen tidak menurunkan produktivitas kelapa sawit. Hal ini berkaitan dengan sifat tanaman kelapa sawit yang termasuk tanaman tahunan tidak memerlukan nitrogen terlalu banyak untuk pertumbuhan dan produksi TBS. Parameter dugaan harga pupuk majemuk juga memperlihatkan perilaku yang sama dengan harga pupuk Urea. Parameter harga pupuk majemuk mempunyai nilai sebesar -0,36, tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas kelapa sawit pada taraf uji 20%. Hal ini disebabkan oleh sifat pupuk majemuk sebagai substitusi pupuk lainnya (pupuk Urea, SP-36 dan KCl). Jika harga pupuk majemuk meningkat maka petani akan beralih kepada pupuk Urea, SP36 dan KCl sebagai sumber unsur hara nitrogen, fosfat dan kalium untuk pertumbuhan dan produksi TBS. Berlawanan dengan pupuk Urea dan pupuk majemuk, harga pupuk SP-36 dan KCl berpengaruh nyata terhadap produktivitas kelapa sawit. Peningkatan harga pupuk SP-36 sebesar 1 satuan akan menurunkan produktivitas sebesar

267

I G Putu Wigena et al

0,12 satuan, peningkatan harga pupuk KCl sebesar 1 satuan menurunkan produktivitas kelapa sawit sebesar 0,17 satuan. Kondisi ini berkaitan dengan sifat kelapa sawit yang memerlukan unsur fosfat dan kalium lebih banyak dari pada nitrogen. Penurunan penggunaan pupuk SP-36 yang mengandung fosfat dan pupuk KCl yang mengandung kalium berakibat menurunnya metabolisme tanaman dalam memproduksi TBS secara nyata. Respon Produksi Respon produksi kelapa sawit dihitung berdasarkan elastisitas areal dan produktivitas terhadap peubah harga TBS, upah tenaga kerja, yarga pupuk Urea, harga pupuk SP-36, harga pupuk KCl dan harga pupuk majemuk (Tabel 4). Respon luas areal tanam terhadap harga TBS lebih tinggi dibandingkan dengan upah tenaga kerja dan harga karet baik elastisitas jangka pendek maupun jangka panjang. Terlihat juga elastisitas jangka panjang luas areal tanam terhadap harga TBS, upah tenaga kerja dan harga karet lebih besar dari pada elastisitas jangka pendek. Kondisi ini mengindikasikan jika terjadi peningkatan harga TBS sebesar 1% diikuti oleh peningkatan luas areal tanam sebesar 0,30% dalam jangka pendek dan sebesar 0,39% dalam jangka panjang. Respon TBS terhadap luas areal tanam kelapa sawit baru kelihatan dalam jangka panjang karena insentif harga TBS memerlukan waktu lama dalam merubah perilaku petani dalam meningkatkan luas tanam. Sementara peningkatan upah tenaga kerja dan harga karet tidak mempengaruhi perilaku petani dalam meningkatkan luas tanam. Tabel 4. Nilai Elastisitas Luas Areal dan Produktivitas Kelapa Sawit Plasma terhadap Harga TBS, Upaha Tenaga Kerja, Harga Pupuk Urea, Harga Pupuk SP-36, Harga Pupuk KCl dan Harga Pupuk Majemuk
Peubah Harga TBS Upah Tenaga Kerja Harga Karet Harga Pupuk Urea Harga Pupuk SP-36 Harga Pupuk KCl Harga Pupuk Majemuk Pendek Panjang Pendek Panjang Pendek Panjang Pendek Panjang Pendek Panjang Pendek Panjang Pendek Panjang Areal 0,297 0,385 - 0,008 - 0,014 - 0,003 - 0,004 Elastisitas Produktivitas 0,618 3,492 - 0,104 - 0,588 - 0,132 - 0,748 - 0,196 - I,109 - 0,126 - 0,719

268

Keragaan Kesesuaian Lahan dan Estimasi

Produksi kelapa sawit responsif terhadap harga TBS baik jangka pendek maupun jangka panjang dimana jika terjadi peningkatan harga TBS sebesar 1% produktivitas meningkat 0,62% dalam jangka pendek dan sebesar 3,42% dalam jangka panjang. Seperti halnya luas tanam, respon petani terlihat lebih besar dalam jangka panjang dibandingkan dengan respon jangka pendek karena insentif harga TBS memerlukan waktu untuk merubah perilaku petani menuju kepada pengelolaan kebun yang lebih baik. Hal ini masuk akal karena kelapa sawit termasuk komoditas tanaman tahunan dimana perubahan perilaku petani memerlukan waktu yang lama dalam memutuskan apakah mereka mengelola kebun lebih baik atau tetap saja seperti tahun sebelumnya. Produksi kelapa sawit tidak respon terhadap peubah harga pupuk Urea dan pupuk majemuk dimana jika terjadi peningkatan harga pupuk Urea dan pupuk majemuk petani produktivitas kelapa sawit tidak menurun secara nyata. Pada kasus pupuk Urea, hal ini berkaitan dengan sifat genetik kelapa sawit yang tidak memerlukan nitrogen dalam jumlah banyak dibandingkan dengan keperluan fosfat dan kalium. Peningkatan harga pupuk Urea menyebabkan petani mengurangi penggunaan pupuk Urea tetapi masih dalam dosis yang dibutuhkan tanaman. Pupuk majemuk sifatnya sebagai substitusi dari pupuk Urea, SP-36 dan KCl karena kandungan unsur hara pupuk majemuk sama dengan pupuk Urea, SP-36 dan KCl yaitu sebagai sumber unsure hara nitrogen, fosfat dan kalium. Jika harga pupuk majemuk meningkat maka petani mengalihkan dananya untuk pembelian pupuk Urea, SP-36 dan KCl. Produksi kelapa sawit menunjukkan respon terhadap harga pupuk SP-36 dan pupuk KCl. Peningkatan harga pupuk SP-36 sebesar 1% akan menurunkan produktivitas sebesar 0,13% dalam jangka pendek dan 0,75% dalam jangka panjang. Demikian juga jika harga pupuk KCl meningkat sebesar 1% akan berakibat menurunnya produktivitas kelapa sawit sebesar 0,20% dalam jangka pendek dan sebesar 1,11% dalam jangka panjang. Hal ini berkaitan dengan sifat kelapa sawit yang memerlukan unsure fosfat yang terkandung dalam pupuk SP36 dan kalium dalam pupuk KCl lebih banyak dibandingkan dengan keperluan nitrogen. Kebutuhan akan kalium paling banyak melebihi kebutuhan fosfat untuk pembentukan sel tanaman yang kuat dan memperlancar fotosintesa daun yang berujung pada tingginya hasil TBS. Hasil penelitian perilaku petani kelapa sawit ini mirip dengan hasil penelitian Bafadal (2000) pada tanaman kakao dimana produktivitas kakao tidak respon terhadap harga kakao tetapi respon terhadap pupuk, sedangkan juga luas areal tanam menunjukkan respon terhadap harga kakao. Yang lebih menarik

269

I G Putu Wigena et al

adalah nilai elastisitas jangka panjang lebih besar dari nilai elastisitas jangka pendek pada semua peubah penjelas yang diteliti. KESIMPULAN Dari uraian tersebut dapat disimpulkan 1. Sebesar 75% lahan perkebunan plasma Sei Pagar memiliki tingkat kesesuaian lahan S2-f, cukup sesuai dengan faktor pembatas retensi unsur hara tinggi karena pH tanah rendah. Sekitar 25% memiliki kesesuaian lahan S2-f,n, cukup sesuai dengan faktor pembatas retensi unsur hara tinggi dan ketersediaan unsur hara rendah berkaitan dengan pH dan KTK tanah rendah. Rata-rata produksi kelapa sawit pada kedua tingkat kesesuaian lahan tersebut masing-masing 23,04 dan 22,00 ton TBS/ha/tahun. Luas areal tanam kelapa sawit di kebun plasma Sei Pagar respon terhadap harga TBS, kebijakan pemerintah dan teknologi pengelolaan kebun, tetapi tidak respon terhadap harga karet dan upah tenaga kerja. Peningkatan harga TBS sebesar 1 satuan meningkatkan luas areal tanam sebesar 0,063 satuan. Produktivitas kelapa sawit di kebun plasma Sei Pagar respon terhadap harga pupuk SP-36, harga pupuk KCl dan produktivitas satu tahun sebelumnya, tidak respon terhadap harga TBS, harga pupuk Urea dan harga pupuk majemuk. Peningkatan harga pupuk SP-36 sebesar 1 satuan menurunkan produktivitas kelapa sawit sebesar 0,12 satuan dan peningkatan harga pupuk KCl sebesar 1 satuan menurunkan produktivitas sebesar 0.17 satuan. Produksi kelapa sawit di kebun plasma Sei Pagar responsi terhadap harga TBS, harga pupuk SP-36 dan harga pupuk KCl. Peningkatan harga TBS sebesar 1% meningkatkan produksi TBS sebesar 0,62% dalam jangka pendek dan 3,49 dalam jangka panjang. Peningkatan harga pupuk SP-36 dan KCl sebesar 1% menurunkan produksi TBS masing-masing sebesar 0,13% dan 0,20% dalam jangka pendek dan sebesar 0,75% dan 1,11% dalam jangka panjang.

2.

3.

4.

270

Keragaan Kesesuaian Lahan dan Estimasi

DAFTAR PUSTAKA Bafadal, A. 2000. Analisis Produksi dan Respon Penawaran Kakao Rakyat di Sulawasi Tenggara. Thesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anwar, C. 2006. Budidaya Tanaman Karet. Pusat Penelitian Karet Medan. http://www.ipard.com. 6 September 2006. Departemen Pertanian (2008). Komitmen Pemerintah Membangun Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. http://www.indonesia.go.id. 20 Agustus 2008 Ditjenbun. 1992. Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan. Pelaksanaan dan Pelatihan. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Pedoman Umum Program Revitalisasi Perkebunan (kelapa sawit, karet, dan kakao). Departemen Pertanian. Jakarta. Djaenudin, D., Marwan, H., Subagyo, H dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Edisi I. Balai Penlitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hadi, P.U., Supriyati, A.K. Zakaria, T. Nurasa, F.B.M. Dabukke, E. Ariningsih. 2007. Posisi dan Masa Depan Pembangunan Perkebunan Indonesia. Pros. Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogfor. Hal. 23-43. Hardjowigeno, S., Widiatmaka dan A.S. Yogaswara. 1999. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Widiatmaka (Eds.). Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Juwanto. 2007. Pengembangan Model Penilaian Kesesuaian Lahan Gambut untuk Kelapa Sawit (Studi Kasus Wilayah Irigasi Muko-Muko Kanan). http://www.bdpnuib.org, Juni 2007. Koedadiri, A.D., R. Adiwiganda, K. Martoyo. 2007. Produktivitas Kelapa Sawit pada Tanah Hemic Troposaprist.http:// www.iopri.org. Juni 2007. Koutsoyannis,A. 1977. Theory of Econometrics. Second Edition. The Macmillan Press Ltd. United Kingdom. Pahan, I. 2005. Sebuah Pemikiran: Pola Peremajaan Areal Plasma dari Segi Pembinaan Petani, Ketersediaan Modal dan Mengatasi Kesenjangan Pendapatan. Prosiding Seminar Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat: Pemberdayaan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat sebagai Upaya Penguatan Ekonomi Kerakyatan. Pekan Baru, 15-16 April 2005. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Pp. 126-132.

271

I G Putu Wigena et al

Ritung, S., Wahyunto, F. Agus, H. Hidayat. 2007. Guidelines and Suitability Evaluation with A Case Map of Aceh Barat District. Indonesian Soil Research Institut World Agroforestry Centre. Bogor. Sumodiningrat, G. Yogyakarta. 1998. Pengantar Ekonometrika. BPFE-Yogyakarta.

Wahyono, T dan Djafar, M. 2004. Pembangunan Ekonomi Melalui Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 3(12). 176-184. Pusat Penelitian kelapa Sawit. Medan. Winarna. 2007. Lahan Gambut Saprik Paling Potensial untuk Kebun Sawit. http://www.kapanlagi.com. 30 Juni 2007.

272

Anda mungkin juga menyukai