Anda di halaman 1dari 6

1

Cerpen Islami : Sketsa Rembulan Jingga

SKETSA REMBULAN JINGGA


Oleh : Wahyu Yuliadi

Sebentar lagi bis besar yang terparkir di Terminal Kampung Rambutan ini akan membawaku pulang, melintasi jalan raya-jalan raya sepanjang jalur menuju kota Purwokerto. Udara AC yang berhembus membuat tubuhku kedinginan meskipun aku telah memakai jaket. Tapi lebih baik kedinginan seperti ini daripada naik bis non-AC yang membuatku sumuk, belum lagi biasanya disitu banyak orang merokok. Aku tak tahan dengan asap rokok. Hampir jam delapan. Kukeluarkan ponselku, tidak ada pesan baru. Sudah satu jam lebih sms yang kutunggu-tunggu belum juga sampai. Mungkin nanti. Tunggu saja. Atau mungkin disini sinyalnya kurang bagus? Kucoba mengirim sms ke mba Dina, mengatakan kalau aku dalam perjalanan pulang ke Purwokerto, dan besok pagi aku sempatkan mampir ke rumahnya di Perumahan Berkoh Indah. Terkirim. Lima menit kemudian kudapatkan balasannya : OK, mba Dina tunggu ya.Berarti sinyalnya bagus. Pukul delapan lewat sepuluh menit, bis yang saya tumpangi berangkat, pelan-pelan keluar dari terminal, seperti gajah yang berjalan lamban keluar kandang. Setelah berhasil keluar, bis-ku terus melaju melintasi jalan raya, menembus gelap malam, berputar balik di Jalan Baru, lalu masuk jalan tol. Sms yang kutunggu belum juga ada. Di kota Jakarta yang padat ini, aku mengontrak rumah bersama seorang temanku. Kecil memang, tapi harga sewanya terjangkau dan cukup nyaman untuk ditinggali berdua. Setahun sudah aku tinggal disitu bersama Wahyu, temanku yang kukenal sejak kuliah dulu. "Jadi hari Jum'at ini mau pulang?" tanya Wahyu dua hari yang lalu. "Iya yu. sudah kangen sama mbok.nanti kalau Sabtu Wawan kesini, bilangin aja buku yang mau dipinjem ambil aja" "oke Di. aku boleh nitip kripik tempe asli purwokerto nda?" "yo wes gampang, sip. tenang ae.." Tentang Wahyu, dia memang teman yang baik hati dan pengertian. Buatku yang sudah lama tinggal dengannya, Wahyu adalah teman dalam suka dan duka. Fisiknya memang kecil, tapi sangat percaya diri, tidak gampang down atau putus asa. n1cks collections
CP: enikkirei.multiply.com enikkirei.multiply.com (blog) or n1ck_201@yahoo.com (e(e-mail)

Cerpen Islami : Sketsa Rembulan Jingga


Wahyu jugalah yang membuatku kenal dengan orang-orang di daerah sini. Cara bergaulnya yang supel membuat banyak orang kenal dengannya. Karena aku paling sering bersama Wahyu, aku jadi kecipratan ikut banyak kenal orang sekitar. Aku jadi kenal dengan mas Azik yang biasa mengisi pengajian remaja, dengan Dody ketua karang taruna, dengan Nia yang mengajar TK Islam, dan banyak orang lain yang tinggal di daerahku, profesi mereka beragam, dari pegawai negeri sampai penjual mie ayam. Aku juga jadi kenal dengan seseorang yang sering kujumpai saat aku berangkat dan pulang kantor, seseorang yang selalu menyapaku dengan senyumnya. Sofi. Bis malam yang kutumpangi kini melewati daerah UKI Cawang. Saat ini pukul 20.40, pedagang kaki lima masih semangat mangkal di trotoar, malam-malam begini mereka masih setia menunggu barangkali ada orang yang tertarik dengan dagangannya. Jakarta memang tempat mencari rupiah. Melalui kaca kulihat mereka menjual aneka sepatu kulit yang kelihatannya masih bagus, bermacam-macam tas wanita, CD-CD lagu populer, pakaian, dan ada juga perkakas berat seperti tang, palu, dan obeng. Sms yang benar-benar kutunggu belum ada juga. Kutaruh ponselku di saku jaket. Aku merasa gelisah, kenapa belum juga sms itu datang. Dinginnya AC tak lagi terasa, tertelan oleh rasa gundahku sendiri. Setelah beberapa lama, akhirnya bisa juga bis besar ini melewati macetnya jalan di dekat UKI, lalu kembali masuk ke jalan tol. "Kenal Nila kan Di? yang rumahnya di gang Abah, sebelah warung bu Meideh." tanya Sofi sebulan yang lalu. Kami bertemu tak terduga di suatu sore, saat kami sama-sama pulang kerja. "mm. yang mana ya? Apa yang agak tinggi itu yah?" aku pura-pura menebak-nebak. Padahal aku tahu Nila. "iya. Kantornya cukup dekat denganku. Biasanya kami bareng, tapi hari ini sepertinya dia ngga masuk." "oh." jawabku singkat sebelum aku mengucapkan sampai jumpa di dekat rumahnya. Kontrakanku masih agak jauh masuk ke dalam gang. Begitulah beberapa kali perbincanganku dengan Sofi, biasanya di sore hari saat aku pulang kerja, itu juga kalau aku tidak ada kerjaan lemburan. Kalau ada kerjaan tambahan pasti aku pulang malam. Di pagi hari Sofi berangkat agak siang, tapi sering ia terlihat duduk di kursi teras di depan rumahnya. Kalau aku tidak buru-buru biasanya kami sempat mengobrol sebentar. Dibatasi oleh pagar coklat yang mengelilingi taman bunganya, kami seperti sama-sama menikmati sejuknya embun pagi n1cks collections
CP: enikkirei.multiply.com enikkirei.multiply.com (blog) or n1ck_201@yahoo.com (e(e-mail)

Cerpen Islami : Sketsa Rembulan Jingga


yang menetes dari daun jambu. Pernah suatu kali ia menawari aku kue nastar, katanya kemarin ia buat sendiri. Rasanya manis. Bis besar yang kutumpangi melesat tanpa hambatan di jalan tol di daerah Cikarang. Di sebelah kanan dan kiriku terhampar tanah luas, diantaranya berdiri pabrik-pabrik, bentuknya hanya gedunggedung satu lantai yang punya halaman dan pekarangan sangat luas. Di jembatan penyeberangan banyak terpampang reklame produk elektronik dan ucapan selamat datang di kawasan industri Jababeka. Mobil-mobil sedan berwarna silver dan biru 'terbang' meninggalkan bis-ku. Dari balik awan tipis yang melapisi angkasa, bulan bulat sempurna menampakkan keindahannya. Sepertinya, rembulan yang berkilau itu selalu mengiringi kemanapun aku pergi. Aku bosan menunggu sms, kucoba saja untuk tidur, memejamkan mata sambil bersandar di kursi. Sekarang jam sembilan lewat dua puluh menit. Kucoba menghalau perasaan gelisahku. Mungkin memang tidak malam ini. Malam yang pekat, mungkinkah kau menyimpan satu rahasia? Jangan biarkan aku gelisah sendirian. Temani aku dengan sepimu. Tenangkan aku dengan gulitamu. Biarkan dinginmu merasuk menyegarkan jiwaku. Bulan yang cantik, nyanyikan aku sebuah lagu pengantar tidur. "Jadi sebaiknya gimana?" Wahyu diam sejenak, sepertinya berpikir sesuatu. Aku menunggu jawabannya sambil berbaring menatap langit-langit kamar. "Kalo kamu udah mantap, ya udah nikah aja Di. toh kamu udah punya kerjaan tetap. Kakakmu udah berkeluarga semua" Aku diam. Masih melihat langit-langit. "Tapi gajiku ngga seberapa yu. apa dia bakal mau?" "Di. rizki itu udah ada yang ngatur. Kayak ga pernah mbahas surat AnNur aja. Inget, jika mereka miskin, Allah akan mengayakan mereka dengan karunia-Nya" Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri. Hari-hari yang kulalui besoknya, lebih banyak kugunakan untuk merenung. Lamunan-lamunan panjang itu, kadang tak berujung dan tak berbuah kesimpulan. Namun, semakin aku berfikir, makin aku mempunyai sebuah kemauan. Angin musim hujan telah meniup semua keraguan dan menghembuskan semua ketakutan yang ada dalam hatiku. "Sofi, ada seseorang yang ingin menikah denganmu." Ucapku melalui telepon disuatu malam. Ia terdiam sejenak. Sepertinya kaget. n1cks collections
CP: enikkirei.multiply.com enikkirei.multiply.com (blog) or n1ck_201@yahoo.com (e(e-mail)

Cerpen Islami : Sketsa Rembulan Jingga


"eeh. ini serius Di?" suaranya masih seperti biasanya. "iya serius. Dia ingin menikah denganmu" "mm. siapa Di?" "Aku. Mau ngga nikah denganku?" Seperti antara sadar dan tidak aku mengatakannya. Seperti telah hilang semua rasa takut dalam jiwaku. "Kamu ga perlu ngasih jawaban sekarang." aku buru-buru menambahkan. "okay mmm. gimana kalau aku telfon kamu hari Jumat malem?" kata Sofi. Jumat malam? Wah. Jumat malam kan. gimana ya? "Jumat malem ya? kalau sms aja fi. bisa?" "Oh, baik kalo gitu, Jumat malem ku-sms yah." Bis yang kutumpangi entah sampai dimana. Aku mencoba lagi untuk tidur ketika tiba-tiba kudengar dering sms dari HP-ku. Pohon-pohon yang berderet di kanan-kiri dan jalan raya yang tidak terlalu lebar membuatku mulai merasakan suasana luar-kota Jakarta. Jauh dari keramaian dan hiruk pikuk metropolitan. Bulan bulat sempurna masih setia menemaniku diatas sana. Jantungku berdebar-debar, gelisah yang mendera begitu terasa hingga aku seperti dapat merasakan darah yang mengalir di seluruh tubuhku. Agak gemetar kubuka inbox di ponselku. From:Hendra. "Ass, besok Senin jangan lupa emailkan perkembangan terakhir kegiatan kita. Oya, oleh-olehnya jgn lupa ya." Ah ternyata cuma Hendra. Uuh bikin kaget aja. Ngga tau apa orang lagi nunggu sms penting. biarin, kubalas saja, To : Hendra."insya Allah, jazakallah" Hehe, emang enak dibales gitu doang. Paling-paling dia ngedumel sendiri. Tak Sampai lima menit kemudian kudengar dering sms balasan dari Hendra. Segera saja kubuka, masih sambil nyengir penasaran gimana kira-kira Hendra bakal protes dengan sms jawabanku. Ups, ternyata bukan dari Hendra. Pesan itu datang begitu mengagetkan hingga aku perlu membaca dua kali agar otakku bisa mengolah informasi dalam pesan itu. From:Sofi. "Ass. Di, aku begitu menyukaimu sebagai temanku. Tapi aku tidak bisa menerima permintaanmu. Maaf ya Di, aku masih ingin melanjutkan kuliah ke S1. Saat ini, aku takut kehilanganmu sebagai temanku. Kuharap kau tetap seperti yang kukenal. kamu layak mendapat yg jauh lebih baik dari aku Di.. tak perlu sedih dengan keadaan ini." n1cks collections
CP: enikkirei.multiply.com enikkirei.multiply.com (blog) or n1ck_201@yahoo.com (e(e-mail)

Cerpen Islami : Sketsa Rembulan Jingga


Kututup ponselku. Berbagai pikiran berkelebat dalam kepalaku. Tiba-tiba semua terasa menyesakkan, dan tiba-tiba dingin terasa menusuk sampai tulang-tulangku. Kupejamkan mata dan kueratkan jaketku untuk mengusir rasa dingin dan sepi ini. "yu, kalau misalnya dia ngga nerima gimana?" tanyaku. "maksudmu ditolak?" kata Wahyu, sambil sedikit tertawa. "Tenang aja Di. kalau misalnya ditolak, kamu ngga sendirian kok." "maksudnya?" tanyaku bingung. "Ya. buat laki-laki ditolak itu hal yang wajar. Banyak laki-laki merasakannya." Wahyu berhenti sejenak. "Hidup adalah sebuah pilihan Di. hidup itu kebebasan untuk memilih dan memilah. Tapi kamu juga harus menyadari, kita hidup dengan konsekuensi. Bebas memilih tidak membuat manusia bebas dari konsekuensi " "Jika kamu memilih untuk mengajaknya menikah, konsekuensinya kamu harus menerima resiko terburuk, yaitu ditolak. Cuma ditolak Di.. Lalu, jika kamu memilih untuk tidak berani melamarnya, kamu juga menerima konsekuensi, perasaannya padamu tetap menjadi rahasia, padahal bisa jadi dia menerima loh." "Sebagai laki-laki Di.. sebaiknya kita berani. Laki-laki sejati tidak takut ditolak. Hanya laki-laki penakut yang tak pernah berusaha mewujudkan hasrat hatinya." "Banyak contoh orang ditolak." "Siapa misalnya?" tanyaku penasaran. "Ya saya. sudah tiga kali ditolak hehehe" Wahyu tertawa. Aku jadi tersenyum sendiri mengingat tawa ceria teman satu kontrakanku itu. Rasa sesak dalam dadaku sedikit berkurang. "Mungkin terlalu tinggi kali yu, sampe ditolak 3 kali." kataku polos. "Mungkin Di. tapi untuk yang terakhir, sebelum aku melamarnya, aku sudah bertanya pada tiga orang temanku, apakah standar atau tidak dia denganku. Dan sama seperti perasaanku, mereka juga bilang aku cukup se-level dengannya." "Lalu?" tanyaku. "Ya, begitulah Di.. perempuan juga punya hak untuk tidak menerima. Seperti kita yang juga punya hak untuk memilih." "iya. Bener juga ya yu." n1cks collections
CP: enikkirei.multiply.com enikkirei.multiply.com (blog) or n1ck_201@yahoo.com (e(e-mail)

Cerpen Islami : Sketsa Rembulan Jingga


"Tapi kuharap tidak banyak yang demikian Di. aku melihat beberapa orang laki-laki yang setelah gagal dalam proses membina rumah tangga, entah ditolak atau orangtuanya tidak setuju, tapi sikap mereka menjadi berbeda sama sekali." "Ada yang jadi sensitif, sedikit kasar, banyak juga yang tidak lagi produktif, lebih banyak murung, ya jadi beda lah. makanya aku berharap banyak pada perempuan, sedikit nrimo." Kukeluarkan ponselku, kubalas sms Sofi, mengatakan aku baik-baik saja dan mencoba untuk bersikap sama dengan kemarin, tetap menjadi teman. Aku juga mengabarkan padanya aku dalam perjalanan pulang ke kampung halaman. Sang rembulan cepat berlalu mengusir malam, dan mentari kembali menggeser gulita, bertahta di singgasananya, menciptakan pagi yang benderang. Pukul tujuh aku sampai di depan rumah. Ibu menyambut kepulanganku dengan segelas teh manis hangat. Teh tubruk pekat khas buatan ibu. Semua kegundahan dan rasa sedihku telah kubuang jauh-jauh. Kupasang muka ceria demi sang ibu tercinta. Bunda yang akan selalu kuberikan kehangatan yang kupunya. "Loh kok mukanya dilipet begitu?" tanya ibu. Ternyata ibu masih bisa membaca perasaanku, betapapun telah kupaksa bersikap ceria didepannya. Ah ibu, bundaku yang selalu menyayangiku. Aku menyandarkan kepalaku di pangkuannya. Ibu membelai lembut rambutku. Sebagai anak terakhir, aku memang sering dibilang paling manja. Tapi biarlah, dari dulu memang begitu. Air mataku meleleh membasahi pakaian ibuku. Meskipun manja, biasanya aku tak pernah menangis. Saat ini, kubiarkan saja air mata itu jatuh. Kubiarkan saja. Kurasakan belaian bundaku begitu hangat. "Loh loh loh. kenapa? Kok malah nangis?"

-----------------------end-----------------------

Jakarta, 11 September 05. Teruntuk temen-temanku yang masih ragu dan bimbang .

n1cks collections
CP: enikkirei.multiply.com enikkirei.multiply.com (blog) or n1ck_201@yahoo.com (e(e-mail)

Anda mungkin juga menyukai