Anda di halaman 1dari 41

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung, diatas tepi bebas palatum molle dengan diameter anterior-posterior 2-4 cm, lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung dan telinga tengah melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah (Neel dan Witte, 1998).

2.1.2 Batas-batas nasofaring Dinding depan (anterior), dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum nasi. Diameter vertikal rata-rata sebesar 2,5 cm sedangkan diameter transversal 1,2 cm. Dinding atas (superior) dan belakang (posterior) sedikit menonjol, dinding atas dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput, dinding belakang dibentuk oleh fasia faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis pertama (tulang atlas) dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas dinding posterior dan atap nasofaring, tetapi kadangkadang kelenjar adenoid ini dapat meluas sampai ke muara tuba eustachius. Pada bagian tengah kelenjar ini yang tepatnya di bagian atas muskulus konstriktor superior terdapat lekukan berbentuk kantong kecil yang disebut bursa faring. Kantong ini sering membentuk kista dan meradang dan dikenal dengan bursitis dari Thornwaldt. Pada usia 2 tahun adenoid

Universitas Sumatera Utara

sering mengalami hipertrofi dan hiperplasia, pertumbuhan ini menjadi lebih cepat pada usia 3-5 tahun dan sering menyebabkan sumbatan pernafasan melalui hidung dan tuba eustachius. Setelah usia 5 tahun besarnya relatif menetap dan akan mengalami involusi setelah masa pubertas, akan tetapi jaringan limfoid masih tetap ada. Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit yang disebut dengan istmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor faring superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior merupakan tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapt pada supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior yang dimulai dari basis oksiput tepat di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis, dan kanalis hypoglosus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial (Gustafson dan Neel, 1989).

2.1.3 Jaringan Lunak yang Membentuk Rongga Nasofaring a. Selaput Lendir (mukosa) Nasofaring Selaput lendir yang meliputi rongga nasofaring permukaannya tidak rata tetapi mempunyai lekukan dan tonjolan. Pada orang dewasa luasnya kurang lebih 50 sentimeter persegi. Selaput lendir ini terdiri dari lapisan epitel, jaringan limfoid dan kelenjar saliva. Aliran limfe dari nasofaring bersifat bilateral dan langsung ke bagian lateral kelenjar limfe retrofaringeal dari Rouviere, kelenjar limfe jugulodigastrik, dan rantai kelenjar limfe

Universitas Sumatera Utara

spinalis. Jaringan epitel mukosa nasofaring bentuknya sangat bervariasi dan terdiri dari epitel skuamosa bertingkat, pseudoepitel bertingkat bersilia dan epitel tak beraturan. Selama masa kehidupan janin terdapat perubahan secara bertahap dari epitel saluran nafas bersilia sampai epitel skuamosa di bagian bawah dan belakang nasofaring. Kira-kira 60% dari seluruh epitel nasofaring merupakan epitel skuamosa bertingkat. Di sekitar koana dan atap nasofaring diliputi oleh epitel bersilia. Dinding lateral dan sebagian atap nasofaring terdiri dari kumpulan epitel skuamosa dan epitel bersilia bercampur dengan pulau-pulau kecil epitel, transisional. Dinding belakang sebagian besar terdiri dari epitel skuamosa. Berbeda dengan selaput lendir saluran nafas lainnya, selaput lendir nasofaring mengandung banyak sekali jaringan limfoid yang terletak didalam dan dibawah epitel yang merupakan kumpulan sel limfosit tipe B dan sedikit tipe T yang membentuk folikel-folikel dan pusat germinal tanpa kapsul. Struktur limfoid ini banyak terdapat di dinding lateral terutama di sekitar muara tuba Eustachius, dinding posterior dan bagian nasofaring di paltum molle. Struktur limfoid ini merupakan lengkung bagian atas dari cincin Waldeyer (Gustafson dan Neel,1989; Chew, 1997). b. Jaringan Submukosa Nasofaring Dinding posterior dibentuk oleh 4 lapisan yaitu (1) mukosa faring, (2) aponeurosis faring, (3) otot konstriktor faringeus superior, (4) fasia bukofaringeal. Otot dinding nasofaring tidaklah lengkap, pada bagian atas dinding lateral hanya terdir atas 2 lapisan yaitu, mukosa dan aponeurosis faring. Daerah dengan struktur otot 2 lapis ini disebut sinus morgagni (Aeckerman dan Del Regato, 1970).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring, dikutip dari Atlas Netter

2.1.4 Pendarahan dan Persarafan Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Pleksus vena terletak dibawah selaput lendir nasofaring dan berhubungan dengan pleksus pterigoid diatas dan vena jugularis interna dibawah. Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal diatas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisium tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1) (Ackerman dan Del Regato, 1970).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2. Perdarahan nasofaring, dikutip dari Atlas Netter

2.1.5 Sistem Limfatik Nasofaring Sistem limfatik dari atap dan dinding posterior nasofaring berjalan ke arah anteroposterior dan bergabung pada garis tengah. Setelah melalui fasia faringeal, aliran limfe dari sisi kanan dan kiri akan menuju ke kelenjar limfe retrofaringeal. Beberapa aliran limfe dari masing-masing sisi akan menuju ke kelenjar yang terletak paling proksimal dari rantai kelenjar spinal dan jugularis interna. Pada dinding lateral, terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya juga berjalan ke arah anteroposterior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, dimana rantai kelenjar ini terletak di bawah otot sternokleidomastoid pada tiap prosesus mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat dengan saraf-saraf kranial terakhir, yaitu saraf IX,X,XI,XII (Cottril, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3. Persarafan nasofaring, dikutip dari Atlas Netter

2.2 Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring (Gustafson dan Neel, 1989). Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan dapat menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher (Gustafson dan Neel, 1989). KNF pertama kali dilaporkan secara terpisah oleh Regaud dan Schminke pada tahun 1921 (Brennan, 2006).

2.2.1 Hubungan struktur anatomi dengan jalan penyebaran tumor

Universitas Sumatera Utara

Tumor ganas mempunyai kemampuan menginvasi dan merusak sistem barier yang ada. Tumor yang tumbuh di garis tengah nasofaring dapat menyebar ke salah satu sisi atau sering bilateral. Jalan yang paling sering dilalui oleh penyebaran tumor yaitu. a. Lumen/ Ruang Nasofaring Jalan ini sering terjadi pada tumor yang sangat besar dan akan masuk dalam orofaring atau kavum nasi. Kadang-kadang dapat masuk ke sinus maksila atau orbita, tetapi sangat jarang masuk ke tuba Eustachius. b. Ruang Retrofaring Walaupun sering melalui jalan anatomis (retroparotidian), kadang-kadang tumor dapat langsung masuk ke ruang retrofaring dengan mengadakan kompresi atau infiltrasi ke ruang retrostiloid atau merusak bagian lateral vertebra servikais pertama (vertebra atlas). c. Ruang Parafaring 1. Ruang kecil prestiloid, tumor yang tumbuh di dinding lateral atau di daerah fossa Rosenmuller dapat menjalar ke ruang kecil ini yang terletak di atasnya dan akan mengenai serabut motorik dan sensorik saraf trigeminus (V). Tumor dapat menginvasi otot pterigoid dan menyebabkan trismus atau menginfiltrasi otot levator sehingga menyebabkan asimetri palatum mole. Tumor juga dapat mengenai palatum durum, kelenjar parotis fisura pterigomaksila dan ke fossa infratemporal. Pada tumor yang sangat besar dapat menginvasi sinus maksila dan frontalis. 2. Ruang kecil retrostiloid, ruang kecil ini berisi selubung karotis dan isinya, kelenjar limfe servikal dalam atas, saraf-saraf kranial terakhir (saraf IX,X,XI,XII) dan cabang saraf simpatis servikalis. Ruang ini disebut juga ruang

retroparotidian yang selain dapat terinvasi melalui jalan anatomis (melalui aliran limfe/ retroparotidian) dapat juga akibat lanjutan invasi langsung yang lebih

Universitas Sumatera Utara

dalam ruang parafaring. Dari ruang ini pula tumor dapat menyebabkan erosi dasar tengkorak. d. Intrakranial Perluasan tumor ke intrakranial biasanya melalui foramen laserum dan ovale atau melalui sinus kavernosus dan ganglion gaseri dan mengenai saraf kranial otot bola mata, yaitu saraf III,IV,VI (penyebarab secara petrosfenoid) tetapi dapat juga melalui erosi dasar kanalis karotis dan melalui arteri karotis interna masuk ke dalam sinus kavernosus, juga dapat akibat tumor mendestruksi sinus sfenoid. e. Tumor menyebar langsung ke sinus etmoid, selanjutnya mengenai sinus frontalis, maksila, dan rongga orbita. f. Metastasis jauh Metastasis jauh dapat melalui aliran darah atau sistem limfatik dan mengenai hati, tulang, dan paru (Gustafson dan Neel, 1989).

2.2.2 Patologi Karsinoma Nasofaring a. Maskroskopis Secara makroskopis pertumbuhan tumor dapat dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu,

1. Bentuk Ulseratif Bentuk ini paling sering dijumpai pada dinding posterior atau di daerah fossa Rosenmuller. Kadang-kadang terdapat di dinding lateral di depan tuba Eustachius dan di atap nasofaring. Lesi ini biasanya kecil disertai jaringan nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Penjalaran ke intrakranial sangat mudah terjadi melalui daerah lemah foramen laserum dan ovale. Penjalaran secara petrosfenoid ini akan mengenai ganglion Gaseri dan sinus kavernosus

Universitas Sumatera Utara

beserta saraf-saraf kranial di sekitarnya. Tumor cepat membesar, meluas dan merusak foramen-foramen di basis kranii dan masuk kedalam fossa kranii media. 2. Bentuk noduler/ lobuler Bentuk ini paling sering timbul didaerah tuba Eustachius, sehingga cepat menyebabkan sumbatan tuba. Tumor ini biasanya berbentuk seperti anggur atau polipoid tanpa ada ulserasi kecil dibandingkan dengan besarnya tumor yang terlihat. Tumor ini mula-mula mengadakan infiltrasi di sekitar tuba Eustachius dan meluas masuk ke dalam ruang maksilofaring dan mengadakan kompresi cabang mandibular saraf trigeminus (V2), tumor dapat menjalar ke bawah mendesak palatum mole dan mudah menyebar ke daerah petrosfenoid di basis kranii. Walaupun saraf-saraf kranial berada di sekitar tumor dan pertumbuhan tumor sangat cepat, tetapi kompresi saraf-saraf kranial baru timbul setelah terjadi erosi basis kranii dan masuk ke dalam fossa serebri media. Pada stadium lanjut tumor dapat mengadakan invasi ke dalam rongga orbita melalui fissura orbita inferior dan melalui sinus etmoid masuk ke sinus maksila.

3. Bentuk eksofitik Bentuk ini biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak terdapat ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan permukaannya licin. Tumor ini tumbuh dari atap dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor dapat mendorong palatum mole ke bawah, tumbuh ke arah koana dan masuk ke kavum nasi. Tumor bentuk ini cepat mencapai sinus maksila dan rongga orbita sehingga menyebabkan eksophtalmus unilateral atau menonjol ke luar nares anterior. Di daerah tuba Eustachius tumor lebih cenderung, tumbuh secara submukosa ke arah basis kranii (Ackerman dan Del Regato, 1970).

Universitas Sumatera Utara

b. Mikroskopis (Histopatologi) Menurut WHO (1979) KNF diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu: 1. Tipe I. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi Tampilannya mirip dengan karsinoma sel skuamosa pada traktus

aerodigestif. Ditandai dengan adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa atau sebagian sel mengalami keratinisasi (diskeratosis), adanya stratifikasi dari sel terutama pada sel yang terletak di permukaan atau suatu rongga kistik, dan adanya jembatan intersel (intercellular bridges). Sebanyak 25% KNF merupakan karsinoma tipe I di Amerika Serikat, namun hanya 1-2% di populasi endemik (Neel dan Witte, 1989; Lin et al, 2003).

2. Tipe 2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi Menunjukkan sekuensi maturasi yang karakteristik untuk epitel skuamosa, namun secara mikroskopis tidak terdapat pembentukan keratin. Ditandai dengan masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun teratur/ berjajar, dan sering terlihat bentuk pleksiform yang mungkin terlihat sebagai sel tumor yang jernih/ terang yang disebabkan adanya glikogen dalam sitoplasma sel, serta tidak terdapat musin atau defferensiasi dari kelenjar (Lin et al, 2003).

3. Tipe 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi Sesuai pada reklasifikasi WHO (1991). Ditandai dengan susunan sel tumor yang berbentuk sinsitial, batas sel yang satu dan lainnya sulit dibedakan, sel tumor berbentuk spindel dan beberapa sel mempunyai nukleolus (inti) yang hiperkromatik dan sel ini sering bersifat dominan, sel tumor tidak memproduksi musin. KNF WHO tipe 3 ditemukan sebanyak 95% pada semua kasus di daerah endemik, namun

Universitas Sumatera Utara

dipopulasi risiko rendah seperti pada populasi kulit putih Amerika Utara hanya ditemukan sebanyak 60% (Neel dan Witte, 1998; Lin et al, 2003; Zimmermann et al,2006). Kebanyakan kasus KNF pada anak-anak dan remaja adalah KNF WHO tipe 3, hanya beberapa yang tipe 2. pada KNF WHO tipe 2 dan 3 ditemui titer VEB yang tinggi, tetapi tipe 1 tidak mempunyai hubungan dengan titer VEB. Pada KNF tipe 2 dan 3 dapat disertai dengan infiltrasi sel-sel radang seperti limfosit, sel plasma dan eosinofil yang sangat banyak sehingga muncul terminologi limfoepitelioma (Brennan, 2006).

Tabel 2.1. Karakteristik jenis histopatologi WHO dari berbagai peneliti


Peneliti Munir Tahun dan Tempat 2007, RSUP HAM Medan Hasil penelitain WHO tipe III terbanyak dijumpai sebesar 54,545% WHO tipe III terbanyak dijumpai

Fachiroh et al

2006, Jokjakarta

Takashita et al

1999, Jepang dan Rio de Janeiro 2001, Taiwan

WHO tipe II terbanyak dijumpai

Chien et al

WHO tipe III sebesar 78,4%

2.2.3 Epidemiologi KNF merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang paling banyak ditemukan di Indonesia dan menduduki urutan pertama dari seluruh keganasan pada pria

Universitas Sumatera Utara

dan urutan ke-4 dari seluruh keganasan pada wanita setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, dan kulit, dapat terjadi pada semua golongan usia, insiden meningkat pada dekade II akhir dan mencapai puncaknya pada usia 40-50 tahun (Hulu et al, 1999; Fachiroh et al, 2004). Perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1 sampai 4:1 (Hadi dan Kusuma, 1999). Prevalensi KNF di Indonesia 3,9 per 100.000 penduduk pertahun (Fachiroh et al, 2004). Di RSUP H. Adam Malik Medan selama tahun 1998-2002 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 penderita baru onkologi kepala dan leher (Lutan,2003). Dari data rekam medik jumlah penderita KNF yang datang berobat dari tahun 2002- Agustus 2007 ditemukan 924 orang laki-laki berjumlah 630 orang dan perempuan 294 orang, dengan rentang usia 1582 tahun. Pada populasi kulit putih Amerika Utara, Eropa, dan Jepang, KNF relatif jarang, dengan insiden 1 tiap 100.000 penduduk. Insiden ini meningkat pada keturunan Afrika, Afrika Utara, Indian, dan Polynesia menjadi 2-4 per 100.000. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina Selatan sebesar 30 per 100.000 orang. Insiden tertinggi ditemukan pada Guangdong dan kota-kota besar sekitarnya, termasuk Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Keturunan generasi pertama emigrasi dari Cina Selatan ke daerah dengan insidensi rendah mengalami penurunan insiden KNF menjadi 15 per 100.000. Sumatera Utara merupakan ras Mongoloid (Marzuki, 2001). Dari data ini menunjukkan kombinasi faktor genetik dan lingkungan berperan terhadap meningkatnya kemungkinan terkena KNF (Neel dan Witte, 1998; Fachiroh et al,2004). KNF terutama mengenai orang dewasa dengan puncaknya pada usia 40-60 tahun. Perbandingan antara pria dan wanita sekitar 3:1 (Thompson, 2005).

Tabel 2.2. Karakteristik umur penderita KNF dari berbagai penelitian

Universitas Sumatera Utara

Peneliti Lutan

Tahun dan Tempat 2003, RSUP HAM Medan

Hasil penelitain Dari 924 kasus (2002-agust 2007) dengan perbandingan 2,1:1 15-82

perempuan: dengan tahun

laki-laki= usia

rentang

Kelompok usia terbanyak 50-59 tahun Lee et al 2003, Hongkong Kelompok usia terbanyak 40-49 tahun (35,2%) Abdi 2005, RSUP HAM Medan Kelompok usia terbanyak 41-50 tahun (44,1%) Kelompok usia terbanyak 30-50 tahun (70,0%)

Henny

2006, RSUP HAM Medan

Suryanto

2006, RSCM Jakarta

Tabel 2.3. Karakteristik Jenis kelamin penderita KNF dari berbagai penelitian
Peneliti Armiyanto Tahun dan Tempat 1993, RSCM Jakarta Hasil penelitain Perbandingan perempuan: lakilaki= 2,3:1 Perbandingan perempuan dan

1996,

RSUP

Adam

Malik

Universitas Sumatera Utara

Adnan

Medan 2001, Taiwan

laki-laki= 3,67:1 Perbandingan perempuan dan laki-laki= 2,6:1 Perbandingan perempuan dan laki-laki= 3:1

Chien et al 2003, Colorado Lin et al

Perbandingan perempuan dan 2004, RSUP HAM Medan Simanjuntak 2006, RSCM Jakarta Suryanto laki-laki= 3:1 Perbandingan perempuan dan laki-laki= 2,3:1

2.2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi a. Faktor Genetik Penyelidikan pertama tentang adanya kelainan genetik pada ras Cina yang dihubungkan dengan kejadian KNF adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA). Disimpulkan dalam penelitian itu bahwa adanya HLA A2 dan HLA Bsin2 pada alel yang sama merupakan faktor resiko terjadinya KNF. Lebih lanjut dilaporkan HLA Aw19, Bw46 dan B17 berhubungan dengan peningkatan kejadian KNF, sedangkan HLA A11 berhubungan dengan kejadian sebaliknya (Hu, 1996). Pada keluarga dengan KNF, haplotipe HLA yang sama ditemukan 21 kali lipat pada penderita dengan keluarga KNF (Zimmermann et al, 2006).

Penelitian

sitogenetika,

genetika

molekuler

dan

penggunaan

teknik

untuk

menganalisis loss of heterozygosity (LOH) melaporkan adanya berbagai defek kromosom

Universitas Sumatera Utara

misalnya kromosom 1,3,9,11,12, dan 14 (Huang, 1998; Pathmanan, 1998). Kelainan kromosom yang paling sering dijumpai adalah kelainan kromosom 3p dengan 3 lokus utama, yaitu 50% pada lokus 3p25, 50% pada 3p14.1-14.3 dan 3p13 (Hu, 1996). Peneliti lain melaporkan kelainan kromosom 3p pada 67-100% kasus KNF. Pada lokasi tersebut kemudian dapai diidentifikasi adanya TSG FHIT. Dilaporkan juga adanya defek pada 3p26, yang ternyata juga merupakan lokasi TSG lainyya. Dengan kekerapan yang lebih rendah dilaporkan juga adanya kelainan pada 11q dan 14q (54% dan 33%). Pada lokasi spesifik 11q13.3-22 dan 11q22-24 sekurang-kurangnya terdapat dua jenis TSGs. Selain itu dilaporkan juga adanya keterlibatan satu jenis ATM (ataxia telangiectasis malformation) yang berlokasi di 14q31 (Huang, 1998). Disamping adanya berbagai delesihomozigot dilaporkan juga adanya proses metilasi abnormal gen p15 dan 16 yang berlokasi di kromosom 9p21. Protein p16 merupakan protein inhibitor siklin/cdk kinase yang secara potensial berperan pada kontrol negatif masuknya sel ke fase S melalui induksi gen p53. Gangguan fungsi gen p16 akan berpengaruh pada fungsi gen p53, yaitu tidak diekspresikannya protein p53 bila ada kerusakan DNA. Akibatnya siklus sel tidak terhenti pada fase G1 sehingga replikasi DNA yang rusak akan berlangsung terus menerus. Selain itu gangguan fungsi gen ini akan mempertahankan keadaan protein rb tidak terfosforilasi, sehingga faktor transkripsi E2F tetap bebas dab akan menggiring sel terus menerus masuk ke fase S (Huang, 1998).

b. Faktor Lingkungan 1. Infeksi Virus Epstein Barr (VEB) Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1964 dalam biakan sel limfoblas dari penderita limfoma Burkitt. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes (Herpesviridae) yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu,

Universitas Sumatera Utara

mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan KNF. Genom DNA VEB mengandung 172 kbp dan memiliki kandungan guanin-plus-sitosin sebesar 59%. VEB dapat bereplikasi pada sel epitel orofaring dan kelenjar parotis, kemudian menyebar lewat ludah dan menular melalui berciuman. Melalui tempat replikasinya di orofaring, VEB dapat menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada sel ini, menetap pada penderita yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit yang berarti (Notopuro et al, 2005). Ada dua jenis infeksi VEB yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA dan protein virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel. Jenis infeksi kedua adalah infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan di dalam sel terinfeksi sebagai episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut menjadi keganasan. Berbagai antigen yang disandi oleh virus dapat diidentifikasi dalam nukleus, sitoplasma dan membran sel terinfeksi. Antigen ini dapat menginduksi respon imun seperti EBNA (Epstein-barr nuclear antigen) yang diekspresikan pada infeksi litik dini tapi juga dapat diekspresikan pada infeksi laten. Protein laten adalah LMP (laten membrane protein) dan VCA (viral capsid antigen). Infeksi VEB mempunyai dampak yang jelas pada sel B. Percobaan invitro membuktikan bahwa virus ini merupakan aktivator proliferasi poliklonal sel B yang tidak tergantung pada sel T, dan mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi immortal dan mengalami transformasi ganas. Walaupun dapat terjadi respon seluler atau respon humoral terhadap antigen yang disandi oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik terhadap antigen tersebutlah yang dapat memperantarai penolakan terhadap tumor tersebut secara invivo. Jadi untuk mengatasi infeksi VEB diperlukan respon imun seluler atau respon sel T. Pada keadaan defisiensi respon imun seluler, dapat mengakibatkan sel yang terinfeksi VEB secara laten mengalami transformasi ganas (Notopuro et al, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2. Faktor Makanan Ho (1971) yang pertama kali menghubungkan ikan yang diasinkan yang merupakan makanan kegemaran penduduk Cina Selatan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya KNF. Teori ini didasarkan atas insiden KNF yang tinggi pada masyarakat nelayan tradisional di Hongkong yang mengkonsumsi ikan yang diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar. Penelitian di Hongkong tahun 1986 menyebutkan bahwa dari 250 penderita KNF dibawah usia 35 tahun, sebagian besar ternyata mengkonsumsi ikan asin semenjak usia dibawah 10 tahun. Kebiasaan makan ikan yang diasinkan ini juga terdapat pada penduduk keturunan Cina yang beremigrasi ke negara lain seperti Malaysia Timur (Kadazans) dan negara Asia Tenggara lainnya. Zat nitrosamin juga didapati pada makanan yang dikonsumsi masyarakat Tunisia, Cina Selatan, Greenland dimana angka kejadian KNF cukup tinggi (Ahmad, 2002). Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa makanan yang mengandung nitrosamin dan nitrit yang dikonsumsi semasa kecil mempunyai resiko untuk terjadinya KNF pada usia dewasa (Ward, 2000).

3. Sosial Ekonomi, Lingkungan dan Kebiasaan Hidup Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya KNF adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF masih belum dapat dijelaskan. Serbuk kayu pada industri mempunyai hubungan yang kuat dengan penderita KNF. Kebiasaan merokok lebih dari 30 batang mempunyai resiko 3 kali lebih besar daripada yang bukan perokok (Yu et al, 1990). KNF juga berhubungan akibat sering kontak dengan bahan karsinogen antara lain bezopyrenen, benzo

Universitas Sumatera Utara

anthrancene, gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan (Ahmad, 2002).

4. Radang Kronis Beberapa peneliti lain melaporkan adanya hubungan yang bermakna antara adanya infeksi kronis di hidung seperti rhinitis, sinusitis, atau polip nasi dan infeksi kronis di telinga tengah dengan timbulnya KNF. Adanya peradangan menahun di nasofaring maka mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF (Ahmad, 2002)

2.2.5 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring Keluhan penderita KNF berhubungan dengan lokasi tumor primer, derajat, dan arah penyebarannya (Soetjipto, 1989). 1. Gejala Dini Menegakkan diagnosis KNF secara dini merupakan hal yang paling penting dalam menurunkan angka kematian akibat penyakit ini. Gejala dini berupa: Gejala Telinga a. Oklusi tuba Eustachius/ kataralis Umumnya keluhan berupa rasa penuh di telinga, telinga berdengung (tinnitus), atau dengan gangguan pendengaran yang biasanya tuli konduktif dan bersifat unilateral. Gejala ini disebabkan karna pertumbuhan atau infiltrasi tumor primer pada otot tuba dan mengganggu mekanisme pembukaan ostia tuba. Tuba

Universitas Sumatera Utara

oklusi dapat menjadi permanen, jika tumor menyebar dan menyumbat muara tuba. b. Gangguan pendengaran Sering bersifat tuli konduktif dan unilateral. Gejala ini disebabkan karena otitis media serosa akibat gangguan fungsi tuba. Tuli saraf mungkin terjadi pada penderita KNF sebagai efek radioterapi dan jarang akibat penyebaran langsung tumor ke saraf VIII. c. Otitis media serosa sampai perforasi membran timpani Penyebabnya adalah sumbatan muara tuba Eustachius oleh massa tumor.

d. Tinnitus Sering dijumpai pada penderita KNF, dapat mengganggu dan sulit diobati. Gejala ini juga disebabkan gangguan fungsi tuba. e. Otalgia Gejala ini jarang ditemukan dan bila ada menunjukkan bahwa tumor telah menginfiltrasi daerah parafaring dan mengerosi dasar tengkorak. Table 2.4. Karakteristik berdasarkan gejala hidung penderita KNF dari berbagai penelitian Peneliti Lee et al Tahun dan Tempat 1997, Hongkong Hasil Penelitian Keluhan penderita 20,0% telinga KNF pada sebesar

Universitas Sumatera Utara

Gejala Hidung a. Epistaksis Umumnya berupa ingus bercampur darah yang dapat terjadi berulang-ulang dan biasanya jumlahnya sedikit. Gejala ini timbul akibat permukaan tumor rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat terjadi perdarahan. b. Obstruksi hidung Gejala ini biasanya menetap dan bertambah berat. Gejala ini akibat pertumbuhan massa tumor menutupi koana. Gejala ini kadang-kadang disertai gangguan penciuman. Bila terjadi obstruksi hidung total menunjukkan stadium yang lanjut dari KNF.

Tabel 2.5. Penelitian sebelumnya tentang karakteristik gejala hidung penderita KNF Peneliti Suryanto Tahun dan Tempat 2006, RSCM Jakarta Hasil Penelitian Keluhan Hidung tersumbat sebesar 60,0% dan

epistaksis sebesar 56,7%

2. Gejala Lanjut a. Limfadenopati servikal Ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe regional yang merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari KNF. Dapat terjadi unilateral atau bilateral. Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere) merupakan tempat pertama penyebaran sel tumor ke kelenjar, tetapi pembesaran kelenjar limfe ini tidak teraba dari luar. Ciri

Universitas Sumatera Utara

yang khas penyebaran KNF ke kelenjar limfe leher yaitu terletak di bawah prosesus mastoid (kelenjar limfe jugulodigastrik), dibawah angulus mandibula, di dalam otot sternocleidomastoid, konsistensi keras, tidak terasa sakit, tidak mudah digerakkan terutama bila sel tumor telah menembus kelenjar dan mengenai jaringan otot dibawahnya. Lebih dari 40% dari seluruh kasus KNF, keluhan adanya tumor di leher ini yang paling sering dijumpai dan yang mendorong penderita untuk datang berobat (Soetjipto, 1989; Ahmad, 2002). b. Gejala Neurologis Sindroma petrosfenoidal, akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii media sehingga mengenai saraf kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV, sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese saraf V. Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menyebabkan kelumpuhan otot levator palpebra dan otot tarsalis superior sehingga menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV, dan IV menyebabkan keluhan diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata, dan saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah yang biasanya unilateral (Neel dan Witte, 1998).

3. Gejala Metastase Jauh Metastase jauh dari KNF dapat secara limfogen atau hematogen, yang dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal, dan limfa. Metastase jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang (48%), paru-paru (27%), hepar (11%) dan kelenjar getah bening supraklavikula (10%). Metastase sejauh ini menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

prognosis yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan (Chiesa dan De Paoli, 2001).

2.2.6 Diagnosis a. Anamnesis Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF. Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering menyebabkan penderita KNF berobat. Gejala hidung, telinga, gangguan neurologi juga sering dikeluhkan penderita KNF (Soetjipto, 1989; Ahmad, 2002).

b. Pemeriksaan 1. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita dewasa yang tidak sensitif, dilakukan dengan menggunakan kaca nasofaring. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah (Ahmad, 2002).

2. Rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter Dua buah kateter dimasukkan masing-masing ke dalam rongga hidung kanan dan kiri. Setelah tampak di orofaring, ujung kateter tersebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar, kemudian disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya. Kedua ujung ini

Universitas Sumatera Utara

ditarik dengan keras agar palatum molle terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas, selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca nasofaring rongga nasofaring tampak dengan jelas (Lore dan Medina, 2005).

3. Endoskopi a. Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy) Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi yaitu 0, 30, dan 70 derajat dengan tang biopsi. Nasofaringoskopi dapat dilakukan dengan cara: Transnasal, teleskop dimasukkan melalui hidung Transoral, teleskop dimasukkan melalui rongga mulut (Wei,2006). b. Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy) Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya yang dilengkapi alat biopsi. Endoskopi fleksibel memungkinkan pemeriksaan yang lebih menyeluruh terhadap nasofaring, meskipun masuknya hanya melalui satu sisi kavum nasi. Biopsi massa tumor dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran. Alat endoskopi fleksibel ini memiliki saluran khusus untuk suction dimana forsep biopsi dapat dimasukkan melaluinya, sehingga biopsi tetap dapat dilakukan dengan pandangan langsung (Wei, 2006).

4. Biopsi Nasofaring a. Dengan anestesi lokal Obat anestesi lokal disemprotkan ke daerah nasofaring dan orofaring. Melalui tuntunan rinoskopi posterior dan dapat juga dibantu dengan kateter, massa tumor

Universitas Sumatera Utara

diambil dengan tang biopsi.

Biopsi dapat juga dilakukan melalui tuntunan

nasofaringoskopi kaku (Wei, 2006). b. Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum Cara ini dapat dilakukan pada hal-hal tertentu, yaitu: a.1. Jika biopsi dengan anestesi lokal tidak mendapatkan hasil yang positif, sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri KNF. a.2. Keadaan umum penderita kurang baik, tidak kooperatif atau faringnya terlalu sensitif, trismus, dan anak-anak.

5. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya (Her, 2001). Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak dengan posisi lateral,

submentovertikal, oksipitosubmental, oksipitofrontal. Foto toraks posisi PA, untuk menilai adanya metastase paru (Wei dan Sham, 2005). CT Scan Nasofaring, pada KNF yang tumbuh secara endofitik/submukosa dapat dideteksi dengan CT Scan (Her, 2001). Pemeriksaan ini dapat pula mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas, dan juga dapat mendeteksi erosi basis kranii dan penjalaran perineural melalui foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial. CT Scan dilakukan tanpa zat kontras atau bila diperlukan dapat digunakan kontras bila terdapat kesulitan dalam

Universitas Sumatera Utara

menentukan batas tumor atau untuk menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah (Wei dan Sham, 2005). Magnetic Resonance Imaging, merupakan sarana pemeriksaan diagnostik terbaru dengan menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk menghasilkan gambar. Berbeda dengan CT Scan, MRI lebih baik dalam memperlihatkan jaringan lunak nasofaring yang superfisial maupun profunda, dan membedakan tumor dari jaringan lunak sekitarnya (Wei dan Sham, 2005). Bone Scintigraphy, jika dicurigai metastase ke tulang, selajutnya diikuti dengan foto lokal pada tulang yang dicurigai pada bone scintigraph (Wei dan Sham,2005).

6. Pemeriksaan patologi anatomi, yang dapat dilakukan berupa: a. Sitologi Sediaan sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa cara seperti melalui kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan penghisap. Akan tetapi pemeriksaan ini hasilnya sering meragukan, sehingga pemeriksaan sitologi ini belum dapat diterima untuk mendiagnosis KNF. b. Biopsi Aspirasi Jarum Halus Sebagian besar KNF ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di leher. Untuk membuktikannya merupakan metastase KNF dilakukan pemeriksaan biopsi aspirasi. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada massa tumor di nasofaring (Wei dan Sham, 2005). c. Histopatologi

Universitas Sumatera Utara

Biopsi nasofaring mutlak dilakukan, tujuannya untuk konfirmasi dalam menentukan subtipe histopatologi. d. Pemeriksaan Imunohistokimia Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi substansi kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang sesuia. Sistem deteksi digunakan untuk identifikasi lokasi antibodi menggunakan penanda molekuler yang dapat dilihat. Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul petanda seperti zat fluororesens atau suatu enzim yang mengkatalis rekasi lebih lanjut membentuk produk berwarna yang dapat dilihat (Sudiana, 2005). e. Pemeriksaan Serologi Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan dalam timbulnya KNF menjadi dasar dari pemeriksaan serologi ini. Antibodi terhadap VEB baik Ig G dan Ig A penderita KNF meningkat sampai 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau orang yang sehat (Notopuro et al, 2005). Titer imunoglobulin A (Ig A) terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul virus (viral capsid antigen/VCA) dan antigen awal (early antigen/EA) tetapi tingkat spesifisitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedangkan IgA VEB anti EA sangat spesifik untuk KNF tetapi kurang sensitif, dan titernya akan menurun mendekati normal pada KNF stadium lanjut. Titer yang tinggi dapat merupakan indikator KNF. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak lanjut penderita paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif (Ahmad, 2002). f. Polimerase Chain Reaction (PCR)

Universitas Sumatera Utara

Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar, sehingga dapat menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen, mendeteksi adanya mutasi, amplifikasi, rekayasa genetika, dan untuk mendeteksi DNA virus atau bakteri (Zachreni, 1999).

2.2.7 Stadium Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium KNF. Di beberapa negara Asia digunakan penentuan stadium yang dikemukakan oleh Ho pada tahun 1978 (Hos System), sementara di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint Commitee on Cancer/ International Union Against Cancer). Cara penentuan stadium KNF yang terbaru adalah menurut AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002, yaitu (Brennan, 2006): Tumor di nasofaring (T) Tx T0 Tis T1 T2 T2a : Tumor primer tidak dapat ditentukan : Tidak ditemukan adanya tumor primer : Carcinoma in situ : Tumor terbatas di nasofaring : Tumor meluas ke jaringan lunak : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau fossa nasalis tanpa

perluasan ke depan parafaring T2b T3 : Dengan perluasan ke parafaring : Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

Universitas Sumatera Utara

T4

: Tumor meluas ke intrakranial dan/atau mengenai saraf kranial, fossa

infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

Kelenjar limfe regional (N) Nx N0 N1 : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan : Tidak ada pembesaran KGB regional : Metastase ke KGB unilateral, ukuran 6cm, terletak di atas fossa

supraklavikula N2 : Metastase ke KGB bilateral, ukuran 6 cm, terletak di atas fossa

supraklavikula N3 N3a N3b : Metastase ke KGB: : Ukuran KGB > 6 cm, diatas fossa supraklavikula : Terletak pada fossa supraklavikula

Metastasis jauh (M) Mx M0 M1 : Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan : Tidak ada metastasis jauh : Ada metastasis jauh

Stadium KNF 0 : T is N0 M0

Universitas Sumatera Utara

I IIa IIb III IVa IVb IVc

: : : : : : :

T1 T2a

N0 N0

M0 M0 M0, M0, M0 N3 N0-3 M0 M1 T2b T3 N0-1 N0-2 M0 M0

T1-2a N1 T1-2b N2 T4 N0-2

Semua T Semua T

Tabel 2.6. Penelitian sebelumnya tentang stadium KNF


Peneliti Amiyanto Tahun dan Tempat 1993, RSCM Jakarta Hasil Penelitian Stadium III-IV (93,3%) dari 30 kasus KNF Stadium III-IV (95,25%) dari 129 kasus KNF Stadium III (50%) dan IV (50%)

Hadi

1999,

RSUD

dr.

Soetomo,

Surabaya 2006, RSUP HAM Medan

Henny

2.2.8 Diagnosis Banding a. Angifibroma Juvenile, merupakan tumor yang terdiri dari 2 macam jaringan, yaitu jaringan vaskular dan jaringan fibrosa. Pada pemeriksaan radiologis dengan menggunakan foto polos didapatkan gambaran massa jaringan lunak di nasofaring ataupun dapat digunakan pemeriksaan yang lebih sensitif seperti CT Scan, MRI, dan angiografi (Dhingra, 2004).

Universitas Sumatera Utara

b. Limfoma, terlihat licin, eksofitik, sub mucosal, non ulseratif. Limfoma yang terjadi di nasofaring biasanya dapat terdeteksi lebih cepat daripada di daerah lain, karena akibat dari oklusi tuba Eustachius menyebabkan munculnya penyakit otitis media serosa. c. Kordoma, biasanya memiliki komponen intrakranial terutama mengisi sphenoid, mengandung kalsifikasi ireguler dan dapat melibatkan jaringan retrofaringeal. d. Rhabdomyosarkoma, yang biasanya terjadi pada anak-anak dan invasi dasar tengkorak ditemukan pada 1/3 penderita dan biasanya melibatkan sinus kavernosus.

2.2.9 Terapi Terapi standar KNF adalah radioterapi. Keuntungan dengan memberikan radioterapi sebagai regimen tunggal pada kanker stadium I dan II akan memberikan harapan hidup 5 tahun 90-95%, namun kendala yang dihadapi adalah sebagian besar penderita datang dengan stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan sebagian datang dengan keadaan yang sudah jelek (Lin et al, 2003). Disamping itu KNF dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk mengadakan metastase regional maupun jauh. Keberhasilan terapi sangat dipengaruhi oleh stadium. Keterlambatan untuk mendapatkan penanganan yang adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari menggembirakan (Mulyarjo, 2002).

1.

Radioterapi Radioterapi sebagai terapi standar KNF sudah dimulai sejak lama (sekitar tahun

1930-an). Hasil radioterapi untuk KNF stadium dini cukup baik dengan complete response sekitar 80-100% (Kentjono,2003). Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan sebesar 25-65%. Kegagalan radioterapi konvensional dalam memberantas sel kanker di nasofaring maupun anak sebarnya di kelenjar getah bening leher mencapai angka 4080%. Selain itu, paska radioterapi cukup sering dijumpai metastase jauh dan komplikasi

Universitas Sumatera Utara

akibat lokasi tumor yang dekat dengan organ-organ dengan dosis radiasi terbatas seperti batang otak, medulla spinalis, aksis hipofise-hipotalamus, lobus temporalis, mata, telinga tengah dan telinga dalam, dan kelenjar parotis (Kentjono, 2003; Wei dan Sham, 2005). Brachytherapy (Radiasi Internal) Radiasi interna pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis tinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Indikasinya adalah sebagai booster bila masih ditemukan residu dan sebagai pengobatan kasus kambuh (Marzaini, 2002).

2. Kemoterapi Alternatif lain untuk mengobati penderita karsinoma sel skuamosa kepala dan leher yang secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti dengan kemoradioterapi sebagai terapi radikal, terutama pada penderita dengan respon yang baik terhadap kemoterapi induksi. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah diterima oleh kebanyakan ahli onkologi sebagai terapi standar terapi KNF stadium lanjut (Lin et al, 2003). Indikasi pemberian kemoterapi adalah untuk KNF dengan penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastase jauh, dan kasus-kasus residif (Zakifman dan Harryanto, 2002). Dari banyak laporan penelitian, ternyata kemoradioterapi konkuren merupakan yang paling efektif dalam penanganan KNF (Wei dan Sham, 2005). Dibandingkan dengan kemoterapi induksi yang diikuti dengan radioterapi, kemoradioterapi konkomitan lebih disukai (Graf et al, 2006). Menurut Agulnik dan Siu (2005), dosis obat kemoterapi yang paling optimal hanya dapat dicapai dengan kemoterapi neoadjuvan.

Universitas Sumatera Utara

3. Imunoterapi Imunoterapi dilakukan dengan memberikan vaksin anti virus Epstein-Barr pada populasi yang rentan sebelum terinfeksi virus Epstein-Barr untuk mencegah terjadinya KNF (Mauer, 2005). 4. Pembedahan a. Diseksi leher radikal Hal ini dilakukan jika masih ada sisa kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih. Adanya fibrosis dan reaksi jaringan paska radiasi sering menjadi sulit untuk memperkirakan perluasan penyakit pada kelenjar limfe servikal baik secara klinis maupun radiologi (Wei, 2006). b. Nasofaringektomi Ketika tumor di nasofaring yang menetap atau berulang meluas ke dalam rongga paranasofaringeal, atau terlalu besar untuk radiasi interna, maka pilihan selanjutnya adalah operasi. Nasofaringektomi efektif dalam eradikasi penyakitpenyakit terlokalisir. Berbagai pendekatan pernah digunakan untuk mencapai nasofaring. Posisi otak dan korda vertebralis membuat pendekatan secara posterior dan superior menjadi tidak dapat dilakukan. Pendekatan-pendekatan anterior seperti ini, meskipun mengikutsertakan pematahan palatum durum hanya dapat

memperlihatkan dinding posterior nasofaring sedangkan dinding lateral tidak terlihat. Nasofaring dapat dicapai secara inferior dengan teknik transpalatal, transmaksila, dan transservikal. Pendekatan-pendekatan ini berguna untuk tumortumor yang terletak di tengah dan dinding posterior nasofaring. Secara umum selama tumor menetap atau berulang dapat direseksi dengan batas yang jelas, maka hasilnya cukup memuaskan (Wei, 2006). c. Terapi Gen

Universitas Sumatera Utara

Tujuan terapi gen adalah untuk mengenalkan materi genetik baru ke dalam sel kanker yang akan secara selektif membunuh sel kanker tanpa menyebabkan toksik pada sel-sel yang normal. Terapi gen digunakan untuk mengantar sekuensi DNA ke dalam sel dan kemudian DNA bergabung sendiri di dalam gen seluler dan menghasilkan protein yang mempunyai efek terapeutik.

2.2.10 Prognosa a. Faktor usia dan jenis kelamin b. Subtipe histologi c. Stadium tumor d. Genetik

2.3 Virus Epstein-Barr Virus Epstein-Barr (VEB) diidentifikasi pertama kali tahun 1964 oleh Anthony Epstein. Achong dan Yvonne Barr pada cell line dari spesimen Burkits lymphoma dengan menggunakan mikroskop elektron. Kemudian ditemukan Burkit bahwa serum penderita dengan limfoma, mempunyai titer antibodi lebih tinggi terhadap VEB dibandingkan dengan kontrol tanpa limfoma (Thomson et al, 2004). Virus Epstein-Barr (VEB) adalah herpes virus umum yang merupakan penyebab infeksi mononucleosis akut dan salah satu factor etiologi pada karsinoma nasofaring, karsinoma gaster, dan limfoma Burkitt. Genom DNA VEB adalah double-stranded, mengandung 173 kbp dan memiliki kandungan guanine-plus-sitosin sebesar 60%. VEB mempunyai komponen inti, kapsul dan selaput pembungkus. Didalam inti terdapat DNA, dan inti dikelilingi oleh kapsul yang disebut kapsomer. Inti dan kapsul dikelilingi selaput

Universitas Sumatera Utara

pembungkus glikoprotein yang disebut envelope (Zurhausen et al, 1970; Pathmanan dan Raab-Traub, 1999). VEB merupakan virus yang terdapat dimana-mana dan menyebar melalui penularan antar manusia. Infeksi primer oleh virus Epstein-Barr terjadi pada masa kanak-kanak, menimbulkan gejala yang ringan seperti demam dan faringitis dan dapat sembuh dengan sendirinya. Biasanya virus Epstein-Barr setelah menginfeksi akan hidup secara menetap di dalam sel induk (Thomson et al, 2004). Infeksi disertai dengan pembentukan antibodi yang spesifik dan pembentukan imun yang permanen terhadap infeksi ulang, sehingga hanya sedikit yang menjadi sakit (Nilson et al, 1971). Pada Negara-negara yang berkembang, 99,9 % dari anak-anak sudah terinfeksi sejak berusia 3 tahun. Infeksi VEB pada masa kecil ini sangat berhubungan dengan KNF (Anim et al, 1991). Di Negara maju, infeksi primer ini jarang mengenai anak yang berusia lebih muda. Namun demikian 80% sampai 90% dari populasi sudah terinfeksi VEB. Apabila infeksi primer terjadi pada usia dewasa, maka 50% akan terjadi mononucleosis infeksiosa (Biggar et al, 1978; Anim et al,1991).

2.3.1 Gambaran Molekuler Virus Epstein-Barr Berdasarkan struktur dan sifat imunologinya virus Epstein-Barr digolongkan ke dalam keluarga Human Herpes Virus, sub famili Gamma Herpes Virus dan Genus

Lymphokriptovirus. Epstein-Barr Virus (VEB) dimasukkan dalam genus tersebut karena mempunyai kemampuan untuk menginfeksi dan menetap di sel limfosit hostnya serta menginduksi proliferasi sel yang terinfeksi secara laten (Paul, 2001). Struktur VEB adalah toroid, dengan panjang 184 kb, nukleokapsid, protein tegument dan envelop di bagian luarnya. Protein envelop yang paling banyak adalah bp 350/220. Genom VEB berupa DNA berbentuk linier dan double stranded dan dapat mengkode kurang lebih 100 macam protein. Kapsid dibentuk dari kulit protein (C protein) yang ikosahedral. Kapsid ini dikelilingi oleh

Universitas Sumatera Utara

lapisan lipid yang saling berdekatan dan mengandung tiga protein (E1, E2, dan E3). Didalam kapsid terdapat nukleokapsid dengan 162 kapsomer, tiap-tiap kapsomer terdiri dari protein. Tegumen terdapat di luar nukleokapsid merupakan lapisan amorf dengan struktur yang fibrous. Tegumen ini berada diantara nukleokapsid dan envelop. Di luar permukaan envelop mengandung banyak spike yang terdiri dari glikoprotein (Thomson et al, 2004). VEB dapat berbentuk linear pada virion yang matur dan bentuk episomal sirkuler pada sel yang terinfeksi secara laten. Waktu VEB menginfeksi sel, maka DNA sel akan menjadi bentuk episome sirkuler dengan sejumlah pengulangan pada terminal, tergantung dari jumlah pengulangan terminal dalam gen induk. Jika infeksi meluas, maka terjadi infeksi laten tetapi tidak terjadi replikasi (Thompson et al, 2004). 2.3.2 Gambaran virus Epstein-Barr VEB menginfeksi hanya dua bagian tipe sel utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel darah putih jenis limfosit B. Infeksi VEB pertama berkembang di dalam kelenjar saliva. Jumlah virus banyak dilepas ke dalam saliva, dan dapat menyebar dari satu orang ke orang lainnya. Infeksi di dalam sel B mengakibatkan virus berproliferasi. Proses proliferasi sel virus ini dikontrol oleh sistem imun sel T sitotoksik (CTL). Ini dapat mengakibatkan infeksi mononukleosis yang biasanya terjadi pada dewasa muda. Jika respon imun bekerja tidak baik, maka pada individu yang terinfeksi dengan VEB ini merupakan resiko untuk terbentuknya sel kanker (Margaret, 2001). Pengetahuan mengenai siklus hidup VEB penting untuk lebih mengerti dan mengetahui gejala klinis serta diagnostik VEB. Setelah masuk ke dalam tubuh melalui kontak saliva virus Epstein-barr akan menginfeksi sel B dan virus akan mengalami proliferasi dan dapat mempertahankan hidupnya di sel B. VEB seperti golongan virus Herpes lainnya menghasilkan infeksi yang lisis dan juga dapat menetap di dalam tubuh yang terinfeksi dengan menginfeksi secara laten (Damania, 2004).

Universitas Sumatera Utara

VEB menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B melalui reseptor reseptor CR2 (complemen receptor type 2) atau molekul CD21 yang dapat berikatan atau menangkap VEB (Young et al, 1986). Molekul-molekul reseptor untuk setiap jenis virus berbeda-beda yaitu berupa protein atau oligosakarida, dan terdapat pada membrane sel. Ada atau tidaknya reseptor, memainkan peran penting dalam menentukan pathogenesis virus. Pengikatan reseptor dianggap menggambarkan homologi konfigurasi antara struktur permukaan virus dan komponen permukaan sel. VEB dapat dikultur dari darah tepi dan dapat juga dideteksi pada cairan saliva selam bertahun-tahun. VEB akan melakukan replikasi di dalam sel epitel orofaring, kelenjar parotis dan servik uteri (Billaut et al, 1989). Percobaan invitro membuktikan bahwa virus ini merupakan activator proliferasi poliklonal sel B, dan mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi immortal, selanjutnya mengalami transformasi ganas. Walaupun dapat terjadi respon seluler atau respon humoral terhadap antigen yang disandi oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik terhadap antigen tersebut lah yang dapat memperantarai penolakan terhadap tumor ganas tersebut in vivo (Jawetz et al, 1996). Oleh sebab itu, untuk mengatasi infeksi VEB diperlukan respon imun seluler atau respon sel T. Pada keadaan defisiensi respon imun seluler, dapat mengakibatkan sel yang terinfeksi VEB secara laten mengalami transformasi ganas (Abbas dan Lichtman, 2000). VEB dihubungkan dengan beberapa tumor ganas pada manusia dan berhubungan erat serta konsisten dengan KNF (Anim et al, 1991; Vasef et al, 1997; Popat et al, 2000). Pada infeksi primer VEB, diproduksi tiga antibodi yaitu IgG, IgM, IgA untuk melawan Viral Capsid Antigen (VCA) dari VEB, dua antibodi IgG dan IgA diproduksi untuk melawan Early Antigen (EA) D, serta satu antibodi IgG untuk merespon Early Antigen (EA) R (Thompson and Kurzrock, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Pada masa laten, VEB menghasilkan enam protein nuklear antigen (EBNA 1, 2, 3A, 3B, 3C, dan LP), dan tiga Laten membran Protein (LMP1, 2A, 2B), serta dua VEB NonPolyadenylated RNAs (EBERs) (Zheng et al, 2007)

Gambar 2.4. Siklus hidup Epstein-Barr virus (journals.cambridge,2001)

Infeksi Lisis Didalam sel limfosit B, setelah VEB berikatan dengan reseptor CD21, maka VEB

akan masuk ke dalam sel host dan akan mengalami penetrasi secara komplit. Virus akan keluar dari sel yang mati dan akan menginfeksi sel yang lain. Di dalam sel tersebut virus mengalami replikasi dan akan dihasilkan genom virus dengan double strand yang linier, dimana sebelumnya genom virus berbentuk sirkuler. Fase lisis ini ditandai oleh ekspresi dari transkripsi protein virus yaitu salah satunya adalah viral capsid antigen (VCA) (Damania, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Infeksi laten Infeksi laten berasal dari kontak saliva, dimana VEB akan menginfeksi sel limfosit B dan akan menghasilkan sejumlah protein laten yaitu EBNA-1, EBNA-2, EBNA3 dan tiga protein membrane yaitu LMP-1, LMP-2A, dan LMP-2B (Paul, 2001). Infeksi VEB pada sel B dimulai dengan penyerangan virus membran dengan 350/220 bp yang mengandung glikoprotein terhadap komplemen reseptor (molekul CD21) limfosit. Sebagai ko reseptor masuknya EBV ke dalam sel B adalah Major Histocompatibility Complex (MHC) molekul kelas B. Setelah penyerangan ini kompleks CD 21 menjadi cross link, mentrigger sinyal aktifasi yang diduga untuk mempersiapkan sel yang terinfeksi EBV. EBV yang berikatan dengan CD21 segera mengaktifkan tirosin kinase lck dan memobilisasi kalsium. Hal ini akan diikuti oleh meningkatnya sintesis dari mRNA, pembentukan sel blast, adhesi sel homotypik dan ekspresi CD23 ke permukaan sel limfosit kemudian akan dihasilkan interleukin (IL)-6. Genom virus kemudian menjadi tidak mempunyai penutup (uncoating) dan akan menuju nukleus yang merupakan tempat virus bersirkulasi. Sirkulasi dan ekspresi dari W promoter memulai cascade untuk mengekspresikan protein EBNA dan dua protein membran laten (LMP). Gen virus yang diekspresikan ini mempertahankan genom virus tetap hidup di dalam sel limfosit B. Di dalam sel limfosit B EBV akan hidup secara laten untuk kelangsungan hidupnya (latensi II) dan dapat juga hidup secara persisten (latensi I) (Christian et al, 2000).

2.3.3. Epstein-Barr Nuclear Antigen-1 (EBNA-1) EBNA-1 merupakan suatu protein yang berikatan dengan DNA yang dibutuhkan untuk proses proliferasi dan mempertahankan genom VEB yang episome, fungsi ini dicapai melalui pengikatan EBNA-1 dengan Orip (plasmid origin) replikasi virus. EBNA-1 mengandung 641 asam amino, dengan pengulangan untaian protein glisinglisin-alanin (Gly-Gly-Ala). Pengulangan ini merupakan cis acting inhibitor dari MHC klas I

Universitas Sumatera Utara

sehingga keberadaannya akan terbatas dan akan muncul fungsi inhibisi processing antigen melalui jalur ubiquitin-proteasom. Dengan adanya EBNA-1 ini mengakibatkan CD8 inefektif sebagai respons CD+8-T cells yang terjadi terhadap target sel (Thomson et al, 2004). Hubungan antara VEB dan Epstein-Barr dapat dijumpai peningkatan kadar serum titer antibodi IgA terhadap EBV. Sejak IgA spesifik EBV dijumpai peningkatan sejak tiga dekade lalu, penggunaan IgA dan IgG digunakan sebagai seromarker untuk KNF (Chang et al, chang et al 2007). Tabel 2.7. Penelitian sebelumnya tentang EBNA-1 pada penderita karsinoma nasofaring Peneliti Chow Tahun dan Tempat 1997, China Hasil Penelitian EBNA-1 positif pada 154 subjek dari 210 subjek penelitian EBNA-1 positif sebanyak 58 %

Krishna et al

2004, India

dalam serum subjek penelitian EBNA-1 positif sebesar 94,2% Chang et al Yap et al 2007, Taiwan EBNA-1 positif sebanyak 34 orang 2007, Malaysia dari 35 subjek penelitian

2.4 Hubungan Infeksi Virus Epstein-Barr dengan Karsinoma Nasofaring Walaupun telah diketahui adanya hubungan yang erat antara infeksi virus EpsteinBarr dengan karsinoma nasofaring tetapi mekanisme hubungan ini sampai saat ini belum jelas diketahui. Beberapa hipotesis mengatakan bahwa virus Epstein Barr sebagai faktor penyebab, dimungkinkan karena kepekaan seseorang atau adanya interaksi antara faktor lingkungan, genetik dan faktor lainnya yang bekerja secara harmonis dan bersifat sinergis sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.

Universitas Sumatera Utara

Hubungan antara infeksi virus Epstein-Barr dengan karsinoma nasofaring diperkuat dengan meningkatnya konsentrasi antibodi anti VEB pada pasien karsinoma nasofaring jenis IgG terhadap capsid antigen dan antigen awal (early antigen). Juga terjadi peningkatan antibodi anti VEB jenis IgA terhadap kapsid antigen dan antigen awal (Cheng et al, 1991). Pada serum penderita karsinoma nasofaring didapat reaksi IgG/ IgA yang kuat terhadap produk-produk gen laten (EBNA-1) maupun EA (early antigen) atau VCA. Secara umum, setelah terjadi infeksi primer terhadap virus Epstein-Barr pada suatu individu maka

sejumlah antibodi terhadap antigen virus diproduksi oleh tubuh (Servi et al, 2005). Dari hasil hampir semua penelitian menyebutkan bahwa jumlah karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3 menurut pembagian dari WHO (Krisna, 2004). EBNA1 dan LMP1 yang merupakan produk onkogen VEB terbukti menyebabkan transformasi sel epitel faring dan imortalisasi limfosit B. Adanya partikel VEB pada jaringan tumor spesimen biopsi penderita KNF secara konsisten, mendukung hipotesis VEB sebagai faktor etiologi utama pada KNF (Niedobitek, 2000). Pertumbuhan sel menjadi ganas secara umum dapat dipengaruhi dan dicetuskan oleh banyak faktor seperti virus, gen, bahan kimia, dan faktor fisika. Secara garis besar antigen tumor dalam kasus keganasan yang diinduksi oleh virus DNA dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu antigen virus spesifik adalah antigen yang timbul dari bahan atau bagian dari virus itu sendiri dan antigen bentuk baru (newly formed antigen) adalah antigen yang merupakan hasil interaksi antara sifat virus dan sel tuan rumah (host). Menurut sifat biologi virus penyebab tumor dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu virus DNA dan virus RNA. Akibat virus DNA dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu: infeksi virus DNA tersebut terhadap sel yang bersesuaian akan menyebabkan

kematian sel tersebut dan menyebabkan replikasi virus secara utuh, sedangkan infeksi virus terhadap sel yang tidak bersesuaian akan menyebabkan dua kemungkinan yaitu kematian dari virus sehingga sel kembali normal atau terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel

Universitas Sumatera Utara

dan virus akan menyebabkan perubahan sifat sel, perubahan metabolisme sel, pertambahan laju pertumbuhan sel, pembentukan antigen baru yang sifatnya berasal dari virus karena DNA virus akan berinteraksi dengan DNA sel sehingga terjadi transformasi sel menjadi ganas. Hal ini diketahui dari beberapa literatur bahwa pada karsinoma nasofaring dihasilkan agent yang merupakan anti apoptosis, sehingga mencegah kematian sel dan mengakibatkan sel menjadi kanker.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai