Anda di halaman 1dari 19

KRIMINALISASI SENGKETA TANAH WARGA DENGAN PIHAK PERKEBUNAN SAWIT PT CONDONG GARUT

DISUSUN OLEH:
RENI RITMADANTI (2401210023) ANI CANTINI (2401212510) EHA SUPRIATIN (2401210135) DEDEH KURNIASIH (2401210126) HANI HANURAWATI (2401210140)

STUDI KASUS
Ratusan warga Desa Tegal Gede Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut mendatangi kantor DPRD II Kabupaten Garut. Mereka meminta perlindungan kepada DPRD terkait masalah kriminalisasi sengketa tanah warga dengan pihak Perkebunan sawit PT Condong.

Namun mereka tidak bisa bertemu anggota DPRD Garut karena sedang melakukan kunjungan kerja ke daerah. Kemudian mereka menuju kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut lalu ke Kantor Badan Pertanahan (BPN) Kabupaten Garut.

Warga menilai, peradilan atas kasus dengan terdakwa warga Desa Tegal Gede, Yayat Ruhiyat dan Endi Rohendi, tak lebih merupakan sikap arogan PT Condong. Namun kedatangan ratusan warga tersebut tidak bisa diterima anggota DPRD Garut yang sedang melakukan kunjungan kerja ke daerah. Warga pun hanya bisa berorasi menyampaikan aspirasnyai dan mengacungkan spanduk. Massa pun bertolak menuju kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut di Jalan Ahmad Yani, dan Kantor Pertanahan Kabupaten Garut, Jalan Pramuka. "Mengapa PT Condong bisa mengkriminalisasikan dua warga dengan dakwaan penyerobotan tanah dan perusakan pohon. Itu tanah milik warga sendiri. Legalitas sertifikatnya pun ada. Kokbisa disebut menyerobot lahan PT Condong," kata pendamping warga, Asep Maulana Hasanudin.

Dia menuding PT Condong lah yang melakukan penyerobotan atas lahan warga. Bahkan saat Kantor Pertanahan Kabupaten Garut berdialog dengan perwakilan warga, sertifikat tanah yang dimiliki warga diakui keabsahannya. "Ada data lama dengan temuan baru. Kita akan kaji lagi batasbatas tanah sesuai titik kordinatnya, apakah tanah itu milik warga atau PT Condong," terang Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Garut, Dadan. Namun, Kantor Pertanahan Kabupaten Garut enggan berkomentar terkait kasus klaim tanah tersebut yang dimenangkan PT Condong. Padahal, Kantor Pertanahan Kabupaten Garut sendiri sudah mengeluarkan sertifikat kepemilikan tanah atas nama warga.

Warga pun melanjutkan aksi unjuk rasa di depan kantor Kejari Garut Jalan Ahmad Yani dan ditemui Kepala Seksi Pidana Umum, Zen Yusri Munggaran. Dia berkilah bila yang diproses hukum atas dua warga Desa Tegal Gede bukan masalah tanah melainkan soal perusakan tanaman. Akan tetapi seperti halnya Dadan, Zen juga tak bisa menjawab ketika ditanyakan tuduhan terhadap warga yang melakukan perusakan tanaman yang ada di atas tanah miliknya sendiri, maupun tanah sengketa.

"Bagaimana bisa dituduh merusak tanaman. Sedangkan tanahnya sendiri masih dalam status sengketa ? Apalagi jika milik sendiri," kata Andre Rahmadani, pendamping warga.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Masalah tersebut bukan sekadar insiden, tapi (lagi-lagi) tragedi. Celakanya, tragedi semacam ini bukan hanya sekali-dua, tapi berulang-ulang seakan tak ada bosannya. Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya merupakan konflik laten. Dari berbagai kasus yang terjadi, bangkit dan menajamnya sengketa tanah tidaklah terjadi seketika, namun tumbuh dan terbentuk dari benih-benih yang sekian lama memang telah terendap. Pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal. Keterlibatan secara komunal inilah yang memungkinkan sengketa tanah merebak menjadi kerusuhan massal yang menelan banyak korban. Tatkala kerusuhan meledak, rakyat lah yang kerap menanggung akibat yang paling berat.

Pada konteks kasus-kasus sengketa tanah ini, kiranya bukan sekadar desas-desus jika ada cerita, negara justru kerap bersekongkol dengan para pemilik modal. Rakyat cukup diberi ilusi semua demi negeri ini, demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi repeh rapih toto tengtrem kerto raharjo. Mereka yang menolak ilusi tersebut, gampang saja solusinya tinggal memberinya shocktherapy dengan teror,intimidasi, dan tindakan refresi.

Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan itu dan juga merujuk pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan Pertanahan Nasional (BPN) semestinya dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah mereka. Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan solusi jitu dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah bersertifikat lebih dari satu, pada kasus Meruya yang belakangan sedang mencuat, misalnya. Bahkan, pada beberapa kasus, sertifikat yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi salah prosedur).

Dari hal tersebut setidaknya ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya yaitu: a. Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum yang lemah. b. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik.

c. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja.Ironisnya ketika masyarakt miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan gampanya mereka dikalahkan haknya di pengadilan tatkala muncul sengketa.

Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-masalah agraria. Adalah sudah selayaknya terlepas dari berbagai kekurangan yang tersimpan di dalam instrumen-instrumen hukum itu jika kewenangan tersebut dimplementasikan, dengan prinsipprinsip yang tidak melawan hukum itu sendiri tentunya.

REKOMENDASI
Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan pemerintah yang kerap berujung pada dirugikannya salah satu pihak dirasakan perlu dilakukan penyelesaian sengketa alternatif (PSA). Saat ini di Indonesia belum ada langkah PSA, selama ini permasalahan sengketa pertanahan selalu di selesaikan di pengadilan dimana biasanya dalam proses pengadilan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya cukup mahal dan tidak bisa langsung di eksekusi. Sehingga sebelum berkas perkara masuk ke pengadilan perlu dibuat mekanisme PSA. Diantaranya membuat lembaga mediasi dan membuat arbitrase pertanahan, dimana lembaga mediasi bertugas mempertemukan pihak-pihak bersengketa, sedangkan arbitrase mempunyai tugas untuk melakukan penyelesaian di luar pengadilan tetapi berkas berada di pengadilan

Penerapan Metode RRA dan PRA Participatory Rural Appraisal (PRA) atau Pemahaman Partisipatif Kondisi Pedesaan (PRA) adalah pendekatan dan metode yang memungkinkan masyarakat secara bersama-sama menganalisis masalah kehidupan dalam rangka merumuskan perencanaan dan kebijakan secara nyata. Metode dan pendekatan ini semakin meluas dan diakui kegunaannya ketika paradigma pembangunan berkelanjutan mulai dipakai sebagai landasan pembangunan di negara-negara sedang berkembang. Dalam paradigma pembangunan berkelanjutan, manusia ditempatkan sebagai inti dalam proses pembangunan. Manusia dalam proses pembangunan tidak hanya sebagai penonton tetapi mereka harus secara aktif ikut serta dalam perencanaa, pelaksanaan, pengawasan dan menikmati hasil pembangunan. Metode dan pendekatan yang tampaknya sesuai dengan tuntutan paradigma itu adalah metode dan pendekatan yang partisipatif

Metode PRA mulai menyebar dengan cepat pada tahun 1990-an yang merupakan bentuk pengembangan dari metode Pemahaman Cepat Kondisi Pedesaan (PCKP) atau Rapid Rural Appraisal (RPA) yang menyebar pada tahun 1980an. Kedua metode tersebut saling berhubungan etar dan masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya dan bisa saling melengkapi. Namun dalam perkembangannya, metode PRA banyak digunakan dalam proses pelaksanaan program pembangunan secara partisipatif, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasannya.

TUJUAN PENERAPAN METODE PRA Pada intinya PRA adalah sekelompok pendekatan atau metode yang memungkinkan masyarakat desa untuk saling berbagi, meningkatkan, dan menganalisis pengetahuan mereka tentang kondisi dan kehidupan desa, serta membuat rencana dan tindakan nyata (Chambers, 1996). Beberapa prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam metode PRA anatar lain adalah : saliang belajar dan berbagi pengalaman, keterlibatan semua anggota kelompok dan informasi, orang luar sebagai fasilitator, konsep triangulasi, serta optimalisasi hasil, orientasi praktis dan keberlanjutan program (Rochdyanto, 2000). Metode tersebut dipandang telah memiliki teknis-teknis yang dijabarkan cukup operasional dengan konsep bahwa keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam seluruh kegiatan. Pendekatan PRA memang bercita-cita menjadikan masyarakatmenjadi peneliti, perencana, dan pelaksana pembangunan dan bukan sekedar obyek pembangunan.

Tekanan aspek penelitian bukan pada validitas data yang diperoleh, namun pada nilai praktis untuk pengembangan program itu sendiri. Penerapan pendekatan dan teknik PRA dapat memberi peluang yang lebih besar dan lebih terarah untuk melibatkan masyarakat. Selain itu melalui pendekatan PRA akan dapat dicapai kesesuaian dan ketepatgunaan program dengan kebutuhan masyarakat sehingga keberlanjutan (sustainability) program dapat terjamin.

Sekian terimakasih

Anda mungkin juga menyukai