Anda di halaman 1dari 2

MAU KEMBALI KE KONFRONTASI?

Jangan ah
Wimar Witoelar - DJAKARTA Magazine

Kata orang, “Sticks and stones may break my bones, but words will never hurt me.”
Dalam kenyataan, kalau anak kecil kata-kataan, lama- lama suka ada yang nangis
atau main pukul. Sekarang banyak teman-teman senang mengejek Malaysia dengan
memplesetkan namanya menjadi “maling” atau sejenisnya, dan menyatakan bahwa mereka
adalah bangsa kerdil. Padahal menurut saya bangsa yang kerdil adalah bangsa yang
mudah tersinggung.

Semasa kecil, ada juga anak yang mudah tersinggung, dan kurang bisa
menyalurkannya, maka dia membalas dengan pukulan. Anak yang pinter mencari jalan
untuk membuat pihak lawannya takluk tanpa melayangkan tinju atau melempar batu.
Makanya kalau sekarang ada yang hobby tiap hari mengejek Negara tetangga di milis,
di facebook, di twitter, dalam demo panas-panasan, rasanya ingin juga ada yang
mengatakan: “hey kids! cool down the malaysian bashing. it is soooo back-to-60s
narrow nationalistic confrontation days.”

Pada tanggal 20 January 1963, Menteri Luar Negeri RI Subandrio mengumumkan bahwa
Indonesia akan menempuh jalan Konfrontasi melawan Malaysia. Pada tanggal 27 Juli
tahun yang sama, Presiden Sukarno menyerukan “Ganyang Malaysia”. Muncul
demonstrasi mendukung penuh emosi, pendaftar sukarelawan, poster, lagu semua
kecuali halaman Facebook karena belum ada internet. Orang yang semangat perang
maju sebagai sukarelawan, termasuk mahasiswa. Tentara Indonesia, Malaysia dan
Inggris terlibat dalam operasi militer. Terus?

Dutabesar Malaya (belum menjadi Malaysia) diusir dari Jakarta. Gedung Kedutaan
Besar Inggris di Jakarta dibakar. Ratusan orang menghancurkan Kedutaan Singapura
di Jakarta dan rumah diplomatnya. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan gedung
KBRI diserang.
Konflik berlanjut dan pada akhirnya menghasilkan korban, paling banyak di pihak
Indonesia berjumlah 590 killed, 222 cedera dan 771 ditangkap. Dua anggota Marinir
Indonesia yang waktu itu dikenal sebagai KKO yang melakukan pemboman MacDonald di
Singapore dihukum mati di tiang gantungan, mengabaikan himbaua Presiden Suharto.

Pada tanggal 11 Maret 1966 Sukarno menyerahkan kekuasaan kepada Suharto dan pada
tanggal 28 Mei 1966 pemerintah Malaysia dan Indonesia menyatakan bahwa konflik
sudah berakhir. Perjanjian pedamaian ditandatangani pada tanggal 11 Agustus dan
diratifikasi dua hari sesudahnya.

Phew…… Apakah kita ingin kembali pada zaman konfrontasi? Jangan ah. Dulu sih hidup
susah dan banyak orang mau perang melawan Malaysia sebab Presiden Sukarno
memberikan pengarahan bahwa penderitaan kita disebabkan oleh Malaysia. Sekarang
hidup masih susah, tapi kita sudah lebih dewasa dan tahu bahwa penderitaan bukan
disebabkan oleh pihak luar. Yang ada adalah kejengkelan. Jengkel bahwa batik, reog
Ponorogo, tari pendet di klaim Malaysia. Walaupun dijelaskan bahwa iklan swasta di
saluran televise swasta bukan karya pemerintah Malaysia, orang menganggap itu
tanggung jawab pemerintah. Oke lah, tapi kalau memang demikian, apa harus terus
dipanas-panaskan sampai marah, demo dan bahkan ada yang mau perang?

Banyak kejengkelan kita pada Malaysia. Saya tidak tahu mengapa baru diangkat
sekarang, persamaan antara lagu kebangsaan Malaysia dengan lagu ‘Terang Bulan’.
Pada waktu pertama dinyanyikan di Malaya (lagu ini adalah adaptasi dari lagu
Kesultanan Perak), persamaan lagu ini sudah menjadi olok-olokan, sampai pemerintah
Indonesia menghentikan penggunaan lagu ‘Terang Bulan’ tersebut. Keterangan ini
diberikan dalam website Malaysia: ‘The anthem was previously known in Malaya and
Indonesia as a popular song entitled "Terang Bulan" (Moonlight), which has since
been banned from being performed.’
Wikipedia menjelaskan bahwa lagu ‘Terang Bulan’ sendiri menggunakan melodi ciptaan
Pierre-Jean de Béranger (1780-1857), dan banyak dinyanyikan di wilayah milik
Perancis di Lautan Hindia seperti kepulauan Seychelles. Kemudian banyak
dinyanyikan di Malaya dan diberi nama ‘Terang Bulan.’
Banyak lagu yang mempunyai persamaan dan disuarakan di berbagai Negara. Lagu
perjuangan ‘Dari Barat sampai ke Timur’ atau “Dari Sabang sampai Merauke’ sangat
mirip lagu nasional Perancis ‘La Marseillaise.’ Semasa kecil saya suka marah kalau
diperdengarkan persamaan lagu Indonesia Raya dengan salah satu lagu penyemangat
mahasiswa Universitas Yale di Amerika Serikat. Bagi saya, kalau sudah ada
konsenses bahwa suatu lagu menjadi milik public, maka asal-usulnya tidak perlu
dipersoalkan, sebab seni dan kebudayaan harus bisa menembus batas waktu, tempat
dan kepemilikan. Tidak ada yang mempersoalkan bahwa sendratari Ramayana dan
Mahabharata digelar di Negara luar India termasuk Indonesia. Juga tidak ada
masalah serius dengan tarian ballet yang dibanggakan oleh puluhan gedung kesenian
di Negara berbeda-beda.

Anak kecil memang sering berebut mainan, dan suka marah kalau mainannya dipakai
orang, tapi setelah orang tidak memperhatikan, mainan itu dibiarkan.

Jadi, apakah harus dibiarkan, pembajakan harta seni kita oleh Malaysia? Ya tidak
lah. Seni yang bisa di copyright, mari kita copyright. Lagu, tarian, gaya lukisan
yang sudah menjadi milik budaya umum, dipertahankan dengan menanamkan ‘brand’
Indonesia untuk dikenal seluruh dunia. Persepsi adalah realitas. Kalau orang sudah
menganggap bahwa batik itu Indonesia, maka sama juga seperti kita melihat sashimi
adalah Jepang, rock and roll adalah Amerika, dan spaghetti adalah Italia.
Pengakuan dunia tidak akan berubah dengan cara meronta-meronta melawan pihak lain,
sebab yang menjadi korban adalah harga diri kita sendiri. Kita tidak mau
mempermurah nama Indonesia menjadi bangsa yang tidak ‘eksis’ kecuali dengan marah-
marah.

Anda mungkin juga menyukai