Anda di halaman 1dari 5

VIII.

ROSARIO BUKAN PUNCAK HIDUP DOA

Sesudah menerangkan keberatan fundamental terhadap beberapa propaganda Doa


Rosario, kali ini saya akan mengungkapkan keberatan yang bersifat lebih pastoral dan
bukan dogmatis. Keberatan saya kali ini mengenai pandangan bahwa Doa Rosario
adalah puncak hidup doa. Pandangan ini bisa menimbulkan bahaya bahwa ribuan atau
mungkin jutaan orang kristiani akan terpasang mati dalam tahap hidup doa mereka.
Dengan memahami bahwa Rosario merupakan puncak, maka habislah semangat dan
inisiatif mereka untuk mengembangkan hidup doa dengan lebih jauh.

Doa Rosario dengan mulut (dan sedikit meditasi tentang misteri-misteri Yesus)
dipropagandakan sebagai PUNCAK hidup doa, padahal baru merupakan langkah
pertama. Propaganda palsu tentang kemuliaan Doa Rosario bisa sangat merugikan
perkembangan hidup kristiani orang banyak. Mari kita membayangkan keadaan suatu
daerah terpencil di mana sudah dibangun sebuah SD. Ada anak pintar di sana yang
sangat ingin dan mampu belajar terus sampai universitas. Tetapi, ketika anak pintar itu
bertanya apakah di luar daerah terpencil itu masih ada sekolah lanjutan, kepala
kampung yang tidak suka generasi muda keluar dari kampungnya, menjawab bahwa di
luar kampung tidak ada sekolah lanjutan. Katanya, "Pendidikan SD di kampung ini
sudah merupakan puncak." Informasi palsu ini berakibat fatal, yakni masyarakat dan
generasi muda di tempat itu tidak pernah keluar dari kebudayaan Zaman Batu.

Maklumlah, dalam hidup doa Kristen yang benar, Rosario belum merupakan puncak
dinamika rohani. Biasanya manusia muda mulai berdoa dengan mengucapkan rumus-
rumus doa tertentu. Orangtua biasanya amat senang jika anak kecil mereka sudah
mampu membuat tanda salib, kemudian mengucapkan doa Salam Mania, Bapa kami,
Kemuliaan. Selain itu, orangtua amat bangga jika anak muda itu sudah mampu
menghafal serta mengucapkan seluruh Syahadat Para Rasul. Orangtua sudah merasa
puas dan menganggap bahwa pembinaan hidup doa terhadap anak muda itu sudah
sukses dan selesai pada tahap itu.

Saya membayangkan tahapan doa seperti ini: Dengan berkata-kata, sudah ada kontak
amat tipis antara anak dan Allah. Sesudah tahap doa pada masa kecil, biasanya
menyusul tahap pada tingkat SD. Pada tahap ini, anak sudah mampu membaca serta
mengucapkan doa lebih panjang yang terdapat dalam Madah Bakti, Puji Syukur atau
buku-buku doa lainnya. Ada yang mulai membaca bagian tertentu dari Kitab Suci dan
mungkin sudah muncul dalam diri anak muda itu perasaan dan pikiran tertentu yang
berhubungan dengan Allah dan khususnya dengan Yesus dan Maria. Kini, persatuan
dengan Allah terjadi tidak hanya lewat beberapa kata tetapi pikiran dan perasaannya
sudah mulai bersatu dengan Allah meskipun ada sejumlah pikiran yang sudah
dirumuskan dan disiapkan orang lain. Di sana-sini, orang muda juga dilatih untuk
merumuskan sendiri doa mereka, misalnya, doa sebelum dan sesudah makan atau doa
umat dengan ujud-ujud yang dirumuskan mereka. Saya memiliki kesan bahwa jemaat
Kristen-Protestan pada umumnya lebih pandai berdoa secara spontan daripada umat
Kristen-Katolik yang sering cukup monoton dan hanya mengulangi doa tradisional.

Lama-kelamaan, ada orang tertentu yang mulai sedikit mampu merenungkan hal-hal
rohani, dengan atau malah tanpa bantuan sebuah kutipan yang sudah disiapkan terlebih
dahulu. Kesempatan untuk ini sebenarnya harus diberikan dalam Doa Rosario, sesudah
suatu misteri disebut dan dihidangkan agar direnungkan sebentar oleh umat. Pun dalam
Tata Perayaan Ekaristi ada saat-saat di mana umat dianjurkan untuk hening sebentar.
Juga pada permulaan ibadat hari Jumat Agung, selama imam tengkurap, diberi
kesempatan untuk "berdoa dalam batin". Maaf bila saya mendapat kesan bahwa
kesempatan untuk hening sebentar - sama dengan upacara "mengheningkan cipta"
pada hari-hari raya nasional - lewat begitu saja dan umat/para hadirin menunggu saat
"kapan akan terjadi apa-apa lagi", tanda bahwa "waktu "kosong" itu sudah selesai. Yang
sebenarnya dimaksudkan ialah bahwa kita selama beberapa saat mampu bersatu
dengan Tuhan lewat aktivitas otak, kehendak dan perasaan kita, tetapi kesan saya
bahwa harapan Gereja amat sering belum menjadi kenyataan.

Namun, di lain pihak, sering muncul suatu kelompok kecil, misalnya Kelompok Doa atau
Kelompok Sharing Kitab Suci di mana para peserta dilatih untuk sebentar merenungkan
apa yang mereka baca atau dengar, kemudian mengungkapkan dengan kata-kata
mereka sendiri apa yang tadi direnungkan dalam batin. Mereka sendiri mulai berpikir
tentang hidangan rohani tadi dan semakin mampu untuk mengungkapkan kata atau
kalimat mana yang sungguh menyentuh hati mereka. Mereka juga mulai mampu
menjelaskan apa sebabnya kalimat atau kata-kata itu penting bagi mereka. Meskipun
cukup banyak anggota umat Kristen-Katolik sudah lebih maju daripada hanya menghafal
dan mengucapkan doa-doa tradisional seperti anak kecil tadi, namun bagi cukup banyak
orang muda, kemampuan untuk berdoa dan bermeditasi, baru mulai diperoleh ketika
mereka masuk biara atau seminari.

Thomas Green, SJ menulis sebuah buku bagi mereka yang sudah pada ambang pintu
hidup doa, pada tahap meditasi. Buku itu berjudul: "Bimbingan Doa" atau judul asli:
Opening to God, St. Paul Press, Manila, Philippines 1977. Sejumlah orang yang telah
membaca dan mempergunakan buku itu, mengungkapkan keluhan ini kepada Romo
Thomas: "Anda berhenti justru pada titik di mana Anda mulai menyentuh pengalamanku.
Dalam Kata Penutup aku menemukan diriku, dan Anda berhenti!" Romo Thomas
menjawab: "Tentu saja aku tidak heran. Buku pertama itu dimaksudkan untuk orang
yang baru mulai, tetapi kini muncul yang kedua bagi mereka yang sudah melewati titik
awal atau permulaan hidup doa. Bagi mereka yang merasa bahwa atas salah satu cara,
hidup doa mereka tidak lagi berkembang dan senantiasa tinggal berputar dalam
lingkaran meditasi dan kontemplasi biasa, buku yang kedua ditulis, yakni Bila Sumber
Mengering, Kanisius, 1989.

Pada hal. 15 dst., pada bagian pendahuluan, Thomas Green, SJ memberi keterangan
singkat tentang seluruh isi bukunya dan tentang tahap perkembangan hidup doa.
Berdoa itu umumnya berarti aktivitas manusiawi, tetapi perkembangan hidup doa justru
berarti bahwa manusia semakin pasif sedangkan peran Allah semakin besar. Manusia
berangsur-angsur di-ilahikan. Pada tahap pertama, meditasi, doa berarti sesuatu yang
KAMI lakukan, usaha KAMI adalah menganalisa injil, dan menerapkannya pada situasi
hidup kami dan membuat berbagai niat tentang bagaimana melayani Kristus dengan
lebih baik. Semua itu baik sekali pada tahap itu, tetapi jalan itu masih kurang jauh.
Khususnya orang kurang diberi kesempatan mengalami bahwa doa itu menjadi semakin
kurang usaha kami, dan semakin menjadi karya Tuhan dalam diri kami.

Hal ini diterangkannya dengan mengomentari suatu kutipan masyhur dari St. Teresia
dari Avila, di mana la membandingkan jiwa dengan sebuah taman di mana bertumbuh
pelbagai bunga yang diairi. Bunga-bunga adalah keutamaan seperti iman, harap dan
cinta dan air yang menghidupinya adalah doa, atau lebih tepat, rasa bakti (yang oleh
Ignasius disebut konsolasi, hiburan) di dalam doa. Boleh dikatakan juga bahwa rasa
bakti itu adalah kesadaran akan persatuan kita dengan Tuhan. Lantas Teresia
menerangkan bahwa air itu bisa diperoleh atas empat cara. Pertama-tama air itu dengan
susah ditimba dari sebuah sumur; cara yang kedua, air itu diperoleh dengan sebuah
pompa yang menghasilkan jauh lebih banyak air dan dengan kurang susah. Tetapi air itu
kemudian bisa diperoleh atas cara yang ketiga yang lebih gampang lagi, yakni dengan
menggali sebuah saluran dan bunga-bunga di taman diairi dengan air yang berlimpah-
limpah. Dan cara yang keempat, ialah bila air hujan turun dengan deras. Dengan
lambang ini Teresia menerangkan bahwa peran manusia dalam hidup doa semakin
dikurangi dan peran Allah semakin besar.

Pada tahap yang pertama, meditasi dan kontemplasi - yang sudah jauh melampaui
tahap doa Rosario - manusia memaksa otaknya untuk memikirkan dan merenungkan
misteri iman. Selama setengah jam, otak diarahkan kepada Allah dan pada akhir
meditasi/kontemplasi, selama beberapa menit ada suasana doa, di mana manusia
bersatu dengan Allah dan misalnya, meminta berkat Allah agar ia hari ini boleh
melaksanakan niat-niat suci yang muncul selama meditasinya. Orang sudah mulai
sedikit mengenali Allah, tetapi kesadaran akan kesatuan dengan Allah, konsolasi,
menuntut banyak aktivitas tetapi hasilnya sedikit, seperti air yang ditimba dengan ember
saja.

Pada tahap kedua, lebih banyak air diterima, dan usaha manusia kurang berat karena
manusia dibantu sebuah pompa dan merenungkan. Lambat laun, orang yang setia
berdoa akan masuk ke tahap kedua dalam doa. Ini ditandai dengan pergerakan dari
kenal menjadi cinta. Seperti manusia yang mencinta, orang yang berdoa lambat laun
berpindah dari otak menuju hati sebagai pusat hubungan dengan Tuhan. Berdoa
menjadi lebih bersifat afeksi dan bukan lagi refleksi. Jadi, perasaan dan penghayatan
batin mulai memainkan peran besar. Tetapi Teresia itu adalah wanita yang amat praktis:
la menandaskan berulang kali bahwa perasaan indah, mesra di dalam doa, pengalaman
akan Tuhan, yang begitu banyak dicari orang modern itu hanya air saja, hanya sarana.
Maksud tujuan air itu ialah keutamaan, bunga-bunga di dalam taman. Pertanda hidup
orang yang balk itu bukannya kelimpahan hiburan, melainkan perkembangan dalam
keutamaan.

Tetapi pada tahap ketiga terjadi "kecelakaan" bahwa sumber itu semakin kering dan
akhirnya air habis. Tiada lagi konsolasi. Manusia bisa panik, sangkanya bahwa ia sudah
ditinggalkan Allah. la tidak merasa mampu lagi bermeditasi, afeksinya, perasaannya
sudah mati. Ia merasa diri kersang, kosong, dalam malam gelap, tanpa titik terang.
Manusia mendapat kesan bahwa ia hidup di padang gurun dan bahwa la sudah
ditinggalkan Allah, seperti terungkap dalam doa Yesus: Eloi Eloi, lama sabakhtani?

Tetapi justru pada tahap yang ketiga, peran Allah lebih besar daripada usaha manusia.
Sebabnya, justru pada saat manusia hampir putus asa, lahir suatu kesatuan baru
dengan Allah yang dikerjakan Allah sendiri. Manusia semakin di-ilahikan. Otak,
perasaan, niat-niat manusia semakin kurang penting dan dominan. Pada tahap ini, kita
akan beranggapan bahwa kehilangan gambaran Allah yang kita ciptakan itu, sama
dengan kehilangan Tuhan sendiri dan kita akan tergoda untuk meninggalkan doa
sebagai usaha yang tak ada gunanya.
Mungkin ada pembaca yang ingat akan sebuah cerita sangat bagus yang muncul di
sejumlah mailing-list, yakni cerita dari Margaret Fishback tentang `Jejak-jejak Kaki di
Tepi Pantai". Ketika dia tidak mengerti mengapa justru pada saat dia sangat
membutuhkan Tuhan di tepi pantai ia merasa diri sendirian, ditinggalkan. Tetapi Tuhan
berbisik: "Anak-Ku yang Kukasihi, Aku mengasihi engkau dan tak akan pernah
meninggalkan engkau pada saat sulit dan penuh bahaya sekalipun. Ketika engkau
melihat hanya ada satu pasang jejak, itu adalah ketika Aku menggendong engkau."

Seni doa dalam pertumbuhan kita, ternyata menjadi seni "membuang-buang waktu
dengan tenang" cukup menjadi tanah hat di tangan tukang periuk. Ini mungkin mudah
bunyinya, terIalu mudah untuk menjadi nyata tetapi sesungguhnya inilah hal yang paling
sulit untuk kita pelajari. Jauh lebih mudah untuk menjalankan novena berturut-turut, atau
untuk bekerja bagi Kerajaan Allah atau bahkan untuk terus bermeditasi. Dalam segala
aktivitas ini, manusia mengarahkan langkahnya di dalam tangan sendiri.

Dan to let go semuanya itu, menyerahkan semuanya kepada Tuhan, inilah kesulitan
mahabesar. Orang Italia memiliki ungkapan "dolce far niente"; sweet to do nothing,
tetapi di hadapan Allah pengalaman pertama bahwa sikap ini sama sekali tidak manis,
tidak "dolce": Pengarang-pengarang termasyhur tentang perkembangan hidup doa
memilih pelbagai istilah dan pelbagai contoh, tetapi semua istilah ini secara spontan
membuat kita takut. Misalnya, "sumber kering" bagi Teresia, "malam gelap" bagi
Yohanes Salib, "doa iman" bagi Boase, "Mega Alpa". Namun, semua pengarang besar
tentang doa yang kami kutip, mengakui bahwa akan tiba waktunya pikiran, angan-angan
dan perasaan kita menjadi kering dan tidak bisa memberi bantuan apa-apa.

Khususnya pada tahap perkembangan yang keempat dari hidup doa, ialah air datang
dari atas, dari surga bagaikan hujan deras, manusia hampir pasif saja dan Allah
mengambil alih peran utama. Tahap tertinggi dalam hidup doa barangkali disinggung St.
Paulus dalam kutipannya yang amat indah tentang peran Roh Kudus: Roma 8:15,26:
"Oleh Rob itu kita berseru: ya Abba, ya Bapa! Demikian juga Rob membantu kita dalam
kelemahan kita; sebab kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Rob
sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. "
Thomas Green, SJ menegaskan bahwa pada tahap ini manusia tidak perlu lagi
"berenang", artinya: menggerakkan kaki dan tangan untuk mencapai suatu titik tertentu
melainkan perlu ia berani mengapung, artinya: berani mempercayakan diri kepada
Samudera Ilahi. Sayang sekali bahwa dalam umat Kristen-Katolik jumlah swimmers jauh
lebih besar daripada jumlah floaters. Kenapa? Entah karena mereka tidak tahu bahwa
ada teknik lain untuk tidak tenggelam daripada berenang atau sering juga oleh karena
mereka tidak BERANI mengapung: jangan-jangan air laut masuk mulut, masuk mata.
Dan lebih-lebih kecemasan: arus samudera akan membawa saya kemana jika bukan
saya sendiri menentukan arahku?

KESIMPULAN

Dalam perkembangan hidup doa, Rosario mendapat tempat yang terhormat dan
penting. Namun, menjadi kesan kami bahwa di seluruh dunia (saya bekerja dua tahun di
Belanda, empat tahun di Italia, setengah tahun di Jerman, 40 tahun di Indonesia) bahwa
kebanyakan umat Kristen-Katolik kurang menyadari dinamika dalam hidup doa. Apa
sebabnya? Sayang bahwa dari mimbar, segi ini terlalu jarang diterangkan, sehingga
kami sebagai pastor sering cukup mirip dengan kepala kampung terasing tadi: SD lokal
adalah puncak pendidikan. Atau mirip dengan orangtua dari permulaan keterangan
terlalu panjang ini.

Mari kita mencoba menghitung dengan jujur berapa kali kita sebagai pewarta,
berkhotbah tentang Rosario dan berapa kali dari mimbar kita mengomentari Roma
8:15,26 dan membuka mata umat bagi suatu perjalanan rohani yang tak terduga dan tak
kunjung habis.

Untunglah di Indonesia sudah ada cukup banyak biara Karmel; untunglah Romo
Johannes Indrakusuma hidup di bumi Indonesia; untunglah ada majalah Rohani dsb.
Semoga misi khusus mereka untuk memperkenalkan dinamika dalam hidup rohani,
dalam hidup doa, tidak dihalangi oleh gerakan yang saya kritik di atas yang bisa saja
membekukan umat Katolik Indonesia serta mendorong suatu gerakan kaki di tempat
saja.

Anda mungkin juga menyukai