Anda di halaman 1dari 0

ONTOLOGI DAN EPISTEMOLOGI EZRA POUND

DALAM ABC OF READI NG





Makalah Diajukan
Sebagai Salah Satu Syarat Lulus
Mata Kuliah Filsafat dan Paradigma dalam Ilmu Sastra
Di Universitas Gadjah Mada






Christopher Allen Woodrich
Nomor Siswa: 12/340421/PSA/07414







Pengantar
Ezra Pound (18851972) merupakan seorang penyair asal Amerika yang sangat
berpengaruh dalam gerakan modernisme pada awal abad ke-20. Ia terkenal sebagai seorang
Imagis, yaitu penyair yang mengutamakan keiritan diksi dan ketepatan gambar yang ditawarkan
puisi. Beberapa karyanya yang terkemuka adalah kumpulan puisi Ripostes (1912) dan Hugh
Selwyn Mauberley (1920). Selain menulis puisi, Pound juga merupakan seorang kritikus sastra
dan redaktur di beberapa majalah sastra Amerika. Ia membantu beberapa penulis Amerika,
termasuk T. S. Eliot, Robert Frost dan Ernest Hemingway (yang juga mengutamakan keiritan
kata), menjadi terkenal.
Pound juga memberi kuliah serta menulis beberapa buku dan pamflet mengenai
keberadaan karya sastra dan ciri-ciri karya yang baik; ini termasuk How to Read pada tahun
1931 dan kelanjutannya, ABC of Reading (1934). Biarpun teori yang dimuat tulisan-tulisan tidak
sangat berpengaruh, jelas bahwa tulisan-tulisan Pound berusaha untuk menunjukkan bahwa
karya sastra dapat dikaji secara ilmiah, suatu tujuan yang ia berusaha untuk mencapai dengan
cara menyamakan analisis dan kajian sastra dengan ilmu eksakta (terutama biologi). Ia menolak
kajian yang dilakukan berdasarkan suatu pikiran abstrak dan menuntut agar karya sastra dikaji
seperti suatu hewan atau tanaman.
Mengingat bahwa setiap teori, bahkan yang tidak menjadi dominan sekalipun,
mempunyai dasar ontologi dan epistemologi, maka tulisan ini akan mencari aspek filsafat
tersebut dalam buku Pound yang berjudul ABC of Knowledge, yang merupakan buku akademik
Pound yang paling terkenal. Dengan mengetahui dasar ontologi dan epistemologi Pound,
diharapkan bahwa teorinya dapat lebih mudah dipahami.

Definisi
Setiap pemikiran dipercaya mempunyai suatu filsafat yang mendasarinya, yang bersifat
menyeluruh. Suatu filsafat tidak dapat diterapkan secara berbeda-beda, tergantung situasi
(Suriasumantri, 2010: 20). Tatkala seseorang berbicara tentang cinta, ilmu, alam, agama, dan
seterusnya, pendapat atau pendiriannya akan dipengaruhi oleh filsafat yang ia pegang. Dalam
kata lain, filsafat bersifat menyeluruh dan mendasar: filsafat berlaku untuk segala sesuatu, dan
mendasari segala sesuatu. Filsafat mempunyai tiga konsep dasar, yaitu ontologi (pengertian
tentang apa yang ada), epistemologi (pengertian tentang pengetahuan), serta aksiologi
(pengertian tentang guna); tulisan ini, sebagaimana dinyatakan di awal, hanya akan mengangkat
ontologi dan epistemologi.
Ontologi adalah cabang dari metafisika yang mempertanyakan sifat keberadaan,
eksistensi, dan realitas dan berusaha untuk menjelaskan dan mengelompokkannya (Blackburn,
1994: 261). Bagaimana sesuatu menjadi ada? Bagaimana keadaannya? Bagaimana hubungannya
dengan hal yang lain? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini, serta jawabannya, bersifat
menyeluruh dan dapat digunakan untuk menjelaskan apa pun dari meja atau semut hingga
Tuhan.
Ontologi mempunyai pelbagai jenis pengelompokan, yang menjadi semakin rumit dengan
berjalannya waktu. Dua pendirian ontologis yang cukup mendasar (biarpun memang selalu
dikembangkan dan disesuaikan, atau pula digabungkan dengan yang lain) adalah materialisme
dan idealisme. Materialisme adalah pendirian bahwa segala sesuatu yang ada pada dasarnya
merupakan materi, yang mempunyai rupa fisik (Blackburn, 1994: 225). Sebaliknya, idealisme
merupakan pendirian yang menyatakan bahwa segala sesuatu pada dasarnya bersifat mental
(Blackburn, 1994: 177). Dalam perkembangannya ada pula yang menggabungkan kedua
pendirian ini, dengan menyetarakannya atau menitikberatkan salah satu. Secara sederhana dapat
dirumuskan seperti di bawah.


















Sementara, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempertanyakan sifat pengetahuan.
Ia berusaha untuk menjawab, di antara lain, bagaimana pengetahuan bisa diperoleh dan apa sifat
kebenaran (Blackburn, 1994: 118). Audi (2005: 1) menyebut lima cara manusia mendapatkan
pengetahuan, yaitu melalui persepsi (pengamatan atau pengalaman, empirisme), memori
(ingatan), introspeksi, refleksi (rasio, rasionalisme), dan testimoni (pernyataan dari orang lain).
Dalam kata lain, manusia bisa memperoleh pengetahuan dengan melihat atau mendengar dunia
sekitar, melalui ingatan dari hal yang pernah diketahuinya, dari pemikiran tentang diri sendiri
atau hal-hal abstrak, dan dapat pula diberi tahu sesuatu.
Pertanyaan epistemologis lain yang diangkat di sini ialah mengenai kebenaran. Wellek
dan Warren (1949: 157158) menyebut tiga pengertian kebenaran, yaitu absolutisme, relativisme,
dan perspektivisme. Secara umum, absolutisme adalah pengertian bahwa kebenaran itu mutlak,
tidak dapat diganggu gugat; kebenaran absolut yang tidak pernah berubah (Blackburn, 1994: 3).
Sementara, relativisme adalah pengertian bahwa semua kebenaran (atau sebagian kebenaran) itu
Materialisme Idealisme
Idealisme
materialis
Dualisme
Materialisme
idealis
relatif pada situasi atau keadaan tertentu; kebenaran atau tidaknya sesuatu akan tergantung pada
latar belakang orang yang menyatakan hal tersebut benar atau tidak (Blackburn, 1994: 314).
Perspektivisme, lain lagi, adalah pengertian bahwa sesuatu bisa menjadi benar atau tidak benar
menurut bagaimana manusia melihat atau menilainya (Wellek dan Warren, 1949: 157158).
Dalam filsafat ilmu, yang merupakan bagian dari epistemologi secara umum, ada
pengertian ontologi dan epistemologi yang lebih khusus, yang berkaitan dengan penelitian.
Suriasumantri (2010: 33) mengemukakan beberapa pertanyaan yang menjadi bagian dari filsafat
ilmu dan mendasari penelitian, termasuk pertanyaan ontologis (seperti objek apa yang diteliti?
dan bagaimana objek itu terwujud?) dan pertanyaan epistemologis (seperti bagaimana proses
dan prosedur yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan ilmu? dan apa yang disebut
kebenaran itu sendiri?).
Mengingat bahwa filsafat bersifat menyeluruh dan mendasar, saya berpendapat bahwa
pertanyaan-pertanyaan filsafat ilmu dalam suatu tulisan termasuk ABC of Reading dapat
dibaca dari pernyataan-pernyataan dalam suatu tulisan, dan kemudian pertanyaan-pertanyaan
tersebut dapat digunakan untuk menarik kesimpulan mengenai filsafat penulis pada umumnya.
Ini menjadi semacam rantai reverse engineering pemikiran. Tulisan ini akan menggunakan
metode deduksi untuk memperlihatkan filsafat yang mendasari pikiran Pound, dengan membuat
pernyataan umum terlebih dahulu, lalu membuktikannya dengan contoh pernyataan Pound.

Ontologi Pound
Dalam ABC of Literature Pound menggunakan dasar ontologi materialis, yaitu dengan
menganggap segala sesuatu berupa materi atau berwujud. Ia menjelaskan irama sebagai bentuk
yang diukir dalam waktu (198), sehingga waktu bisa dimengerti sebagai sesuatu yang material,
yang dapat dikenakan ukiran. Pikiran atau ide adalah sesuatu yang dapat dirasakan (113),
sehingga mempunyai wujud material pula. Bahasa, yang Pound memusatkan dalam bukunya,
sama. Pound menjelaskan:
bahasa lisan adalah bunyi yang dibagi menjadi suatu sistem ngorok, desis,
dan seterusnya. Bahasa tertulis bisa terdiri dari sejumlah tanda yang
mencerminkan macam-macam bunyi tersebut. Bunyi atau tanda ini akan kurang-
lebih sesuai dengan suatu benda, tindakan, atau keadaan. bahasa-bahasa tertentu
mulai sebagai gambar kucing, atau sesuatu yang bergerak, atau menjadi, [dst].
(2829)
Dalam kata lain, bahasa sebagai sesuatu yang ada merupakan materi. Bahasa lisan
adalah sederetan bunyi, yaitu gelombong-gelombong udara yang dihasilkan oleh alat pelafalan
manusia. Bahasa tulis juga merupakan materi, yaitu tanda yang dituliskan atau dibentuk, seperti
yang tercetak di halaman ini. Satuan lingual mempunyai sifat material; suku kata, misalnya, bisa
lebih panjang dan lebih pendek, lebih berat dan lebih ringan (199).
Bahasa ini adalah ciptaan manusia dan digunakan sebagai alat komunikasi utama
manusia, yang mempunyai fungsi sosial untuk melestarikan kepentingan material; akibatnya,
sastra tidak berada dalam vacuum (31). Namun, bahasa bukanlah alat komunikasi tunggal.
Beberapa hal lain yang digunakan untuk komunikasi adalah diagram (yang merupakan gambar),
formula matematika (yang merupakan tulisan), plastic arts (yang merupakan benda tiga dimensi),
dan musik (yang juga merupakan bunyi). Kesemua hal ini juga merupakan materi .
Bahasa menjadi alat komunikasi utama manusia karena ia mengandung makna, yang
paling pesat dalam sastra (terutama puisi). Dengan demikian, penulis yang tidak baik adalah
penulis yang tidak mampu menghubungkan satuan lingual dengan referen secara jelas;
sebaliknya, penulis baik adalah orang yang mampu menjelaskan makna dengan baik. Makna
tersebut, menurut Pound, dihasilkan bukan melalui pikiran atau rasio, tetapi melalui tiga proses
materialis yang ia menamakan phanopoeia, melopoeia, dan logopoeia.
Phanopoeia merupakan proses di mana suatu satuan lingual melemparkan suatu gambar
di retina otak (51), yang membuat kita melihat suatu benda material. Melopoeia adalah
penjedahan bunyi dalam satuan lingual yang memicu suatu reaksi emosional (yang barangkali
merupakan signal di antara bagian otak), berdasarkan asosiasinya dengan sesuatu yang pernah
dialami pembaca. Logopoeia, yang terakhir, merupakan pemicuan asosiasi antara satuan lingual
yang digunakannya dengan hal-hal material yang berhubungan dengannya dalam dunia di luar
karya sastra.

Epistemologi Pound
Ada dua aspek dari epistemologi yang ditawarkan Pound dalam ABC of Literature yang
dapat dijelaskan berdasarkan argumentasi dalam buku tersebut, yaitu mengenai cara memperoleh
pengetahuan dan sifat kebenaran. Tampak cukup jelas dari ABC of Literature bahwa Pound
mengutamakan pengalaman untuk memperoleh pengetahuan, biarpun tidak hanya cara itu bisa
digunakan; memori juga berperan. Sementara, rasio dan testimoni tidak menawarkan
pengetahuan yang berguna. Dengan demikian, Pound bisa dikatakan seorang empiris. Sementara,
kebenaran menurut Pound adalah kebenaran yang relatif, yang tidak bersifat absolut tetapi
berbeda-beda untuk setiap orang. Epistemologi tersebut akan dijelaskan di bawah.
Sifat empiris Pound terlihat sepanjang buku, mulai dari awal saat ia mulai menekankan
bahwa kita tidak dapat mengetahui apa-apa tanpa melihatnya. Ini dapat dipahami sebagai
pengalaman (dan bukan penglihatan belaka) ketika Pound mulai membahas musik: untuk
memahami musik, Pound berpendapat bahwa kita harus mendengarnya. Dengan demikian, hasil
pengamatan (alias, pengalaman) manusia adalah yang diandalkan dalam pencarian pengetahuan,
titik mula untuk mencari pengetahuan. Ini dapat digunakan secara terus menerus melalui memori.
Menurut Pound, pengetahuan manusia yang sesungguhnya tidak bisa diperoleh dari rasio
saja. Pound menyatakan bahwa ilmu tidak berarti menciptakan sejumlah satuan abstrak yang
berkaitan dengan jumlah hal yang hendak Anda cari (18), dan membaca hasil abstraksi
seseorang tidak akan memberi kita pengetahuan yang dapat digunakan. Kalau kita belum pernah
mengamati sesuatu, yang kita peroleh dari membaca hal tersebut hanyalah gambaran umum,
yang tidak sempurna; sementara, abstraksi bisa dipahami dengan baik apabila kita sudah
mengamati objek yang dijelaskan. Benar-tidaknya abstraksi atau gambaran umum pun hanya
bisa diketahui apabila kita sudah mengamati objeknya. Dengan demikian, mendengar pernyataan
dari orang lain juga tidak cukup untuk memperoleh pengetahuan.
Pound menggunakan contoh dari pelbagai bidang untuk mendukung pendiriannya,
biarpun ia tidak mendukung contoh tersebut dengan statistik atau rujukan. Dari bidang sejarah ia
mengangkat masalah Galileo dan ilmuwan lain pada abad ke-17: Pound berpendapat bahwa ilmu
astronomi berkembang jauh lebih pesat setelah ilmuwan berhenti menciptakan abstraksi teoretis
dan mulai melihat (mengamati) keberadaan alam semesta. Dari bidang seni visual, Pound
mengangkat masalah galeri seni, di mana lebih banyak orang melihat karya seni daripada
membaca tentangnya, dan dengan demikian mencari dan mendapatkan pengetahuan dari
usaha melihat.
Pengertian empirisme Pound paling nampak dalam perumpamaan sunfish, di antara
halaman 17 dan 18:
Seorang mahasiswa strata dua yang dilengkapi dengan gelar cum laude dan
ijazah menemukan Agassiz untuk mendapatkan ajaran terakhir, sebagai pelengkap.
Orang hebat itu menyerahkan seekor ikan kecil dan menyuruh mahasiswa tersebut
mendeskripsikannya.
Mahasiswa: Itu hanya seekor sunfish.
Agassiz: Aku tahu. Mendeskripsikannya!
Setelah beberapa menit mahasiswa itu kembali dengan sebuah deskripsi dari
Ichthus Heliodiplodokus, atau istilah apa yang digunakan untuk menyembunyikan
ikan sunfish dari pengertian umum, keluarga Heliichtherinkus, dst., sebagaimana
ditemukan dalam buku pelajaran.
Sekali lagi Agassiz menyuruh mahasiswa itu mendeskripsikan ikan itu.
Mahasiswa terus menghasilkan esai setebal empat halaman. Sekali lagi
Agassiz menyuruh dia melihat ikan sunfish. Setelah tiga minggu ikan tersebut sudah
membusuk, tetapi mahasiswa mulai memahaminya.
Perumpamaan ini, menurut Pound, harus dipahami oleh setiap orang yang hendak
berpikir modern (alias, berlaku secara universal). Dari perumpamaan di atas, dapat disimpulkan
beberapa hal tentang dunia empirik menurut Pound. Pertama, mengingat bahwa mahasiswa itu
memerlukan waktu tiga minggu untuk pengamatan yang memadai, bisa disimpulkan bahwa
Pound berpendapat bahwa pengamatan yang menghasilkan pengetahuan bukanlah sesuatu yang
dilakukan dengan cepat atau instan; harus ada usaha keras untuk menghasilkan pengetahuan
yang barangkali membawa kebenaran. Kedua, yang menjadi paling penting dalam suatu kajian
bukanlah istilah-istilah (seperti Ichthus Heliodiplodokus) yang digunakan, karena istilah ilmiah
sebenarnya merupakan abstraksi untuk menyembunyikan [objek] dari pengertian umum; yang
harus diutamakan adalah pengetahuan yang dihasilkan. Dengan demikian, perumpamaan sunfish
ini dapat dinilai sebagai promosi empirisme dan pengutukan rasionalisme dan abstraksi.
Metode yang ditawarkan Pound berangkat dari ilmu biologi, yang menggunakan
mikroskop untuk melihat suatu objek secara mendetail, dengan objek kajian dibatasi dengan kaca
mikroskop supaya tidak dicampurkan. Seperti halnya ilmu biologi, Pound berpendapat bahwa
kajian ilmu sastra (terutama puisi) harus dimulai dengan melihat (membaca) karya dengan teliti
secara langsung, bukan berdasarkan kajian orang lain yang dibacanya. Peneliti harus membatasi
objek dengan kaca mikroskop atau menentukan specimen, yang berupa satuan karya. Karya-
karya yang diamati dengan sangat mendalam ini kemudian dibandingkan berdasarkan apa yang
kelihatan untuk mencari hal yang baik atau kurang dari karya-karya tersebut berdasarkan hasil
pengamatan peneliti.
Bilamana metode ini digunakan dalam kajian sastra Indonesia, barangkali prakteknya
akan sebagai berikut. Peneliti akan menentukan objek kajian (specimen) dulu, misalkan Aku
karya Chairil Anwar dan Hendak Jadi Orang Besar? karya Bung Usman. Kedua (atau lebih)
karya tersebut dibaca berulang kali, dengan mengamati segala sesuatu yang membentuknya:
gambar apa yang disampaikan oleh karya itu; bentuk, rima dan irama; diksi; dan seterusnya.
Seperti halnya penjelasan ikan sunfish di atas, ini tidak boleh dilakukan sepintas saja, tetapi
layaknya setelah pengamatan yang sudah cukup lama. Setelah dinilai bahwa segala sesuatu yang
ditawarkan karya-karya itu sudah diketahui, aspek-aspek karya tersebut dibandingkan dan, dari
hasil perbandingan, dinilai kelebihan dan kekurangannya.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa metode Pound dapat digunakan untuk mencari
pengetahuan di Indonesia; dengan demikian, epistemologi Pound dimungkinkan berlaku secara
universal, seperti selayaknya suatu filsafat. Namun, ini mengajukan pertanyaan epistemologis
lain: seperti apa pengetahuan yang dapat diperoleh dari kajian semacam itu? Menurut kajian ini,
Pound menitikberatkan relativisme dan menolak absolutisme.
Pound menyatakan bahwa tidak ada kepastian dalam pengetahuan yang dapat diperoleh,
dan kebenaran untuk dua orang selalu akan berbeda; ini karena memang setiap orang berbeda.
Kalau saya membaca suatu karya sastra dan benar-benar melihat (mengalaminya) sehingga
menemukan suatu kebenaran dari karya sastra tersebut, hasil tersebut tidak akan sama dengan
apa yang ditemukan pembaca lain, mengingat latar belakang dan kemampuan kami masing-
masing.
Relativisme ini tidak hanya ditemukan dalam hasil penelitian, tetapi juga dalam dunia
nyata. Pengetahuan manusia, misalnya, tidak dan tidak bisa dimasukkan ke dalam satu bahasa,
karena setiap manusia dan suku-bangsa (mengingat bahwa bahasa sebagai satuan bermakna
merupakan suatu konstruksi sosial) berbeda-beda, sehingga bahasa disesuaikan dengan
kepentingan mereka (34). Bahkan dalam satu bahasa pun makna tidak absolut: menurut Pound,
tidak ada batas pada sifat yang dapat ditafsirkan dari suatu kata atau jenis kata. Secara diakronik,
sistem bahasa pun dapat berubah.
Sebagai akibat dari relativisme tersebut, pengajaran harus dilakukan bukan secara absolut,
apalagi mengingat bahwa ajaran yang abstrak tidak mampu membawa pengertian yang memadai
tentang suatu karya sastra. Seorang guru, menurut Pound, harus mengutamakan orang yang
hendak belajar karena memang mereka yang akan dapat menggunakannya. Dari hal tersebut,
relativisme yang dianut Pound tidak menutupi kemungkinan untuk seseorang menduduki posisi
yang lebih penting atau lebih baik daripada yang lain. Ada murid yang bodoh dan malas, yang
tidak selayaknya diberi pendidikan tinggi, dan ada murid yang cerdas dan rajin yang selayaknya
mendapatkan pendidikan yang terbaik. Kalau diekstrapolasi, begitu pula sastrawan: ada penulis
yang menghasilkan karya yang tidak bermutu, dan ada yang menghasilkan karya yang luar biasa.
Relativisme dari Pound juga terbawa ke dalam metode penelitian sastra. Perbandingan
antara penulis-penulis harus dilakukan dengan orang-orang yang berada dalam genre dan periode
yang serupa (biarpun tidak sama), misalnya penyair Angkatan 45 dengan penyair Angkatan 45
lain. Memang ada penulis yang hasil karyanya kurang bagus, tetapi ini harus dibuktikan dengan
kajian empirik (dengan melihat karya) dan dengan orang yang mempunyai beberapa kesamaan.
Kanon karya baik yang sudah ditentukan sebelumnya tidak boleh diterima secara bulat: kita
harus membaca (mengalami) karya-karya itu untuk menentukan kanon tersendiri, dan menyadari
bahwa karya baru akan mempengaruhi kedudukan karya yang ada.
Pound menulis bahwa tidak begitu penting di mana Anda mulai kajian subjek, asalkan
Anda meneruskan sehingga kembali ke titik mula (29). Seperti halnya membuat meja, yang
penting hasil kajian bisa berdiri dengan baik, alias valid. Karena kebenaran yang dapat diperoleh,
dan bahkan karya sendiri, relatif, maka kajian boleh dimulai dari gaya bahasa (di tingkat bunyi,
kata, atau kalimat, misalnya), dari pencitraan, dari rima dan irama, dan seterusnya. Yang penting
ialah pengetahuan diperoleh melalui pengamatan (pengalaman) dan semuanya disinggung,
sebelum kembali ke topik semula. Pound pun menggunakan metode serupa itu dalam ABC of
Reading: ia membahas teori dulu dari pelbagai aspek sebelum kembali ke pembahasan karya.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa Ezra Pound, seorang penyair sekaligus kritikus
sastra, mendasarkan pandangan dunianya pada suatu filsafat yang berontologi materialisme
murni, dengan epistemologi yang menitikberatkan empirisme relativistik. Biarpun ini tidak
dinyatakan secara langsung, hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai aspek teorinya, termasuk
metode ideogrammik yang mematerialiskan unsur abstrak serta perumpamaan sunfish yang
menekankan perlunya untuk melihat (alias mengalami) sesuatu untuk memahaminya. Bahkan hal
yang bisa dianggap bersifat mental atau ideal, misalkan pikiran, digambarkan Pound dengan
bahasa yang materialis.
Implikasinya terbawa hingga gerakan sastra yang dipelopori Pound. Hemat saya,
Imagisme Pound yang mengutamakan kepadatan dan keiritan bahasa dalam berpuisi
berangkat dari usaha untuk menjaga materi supaya bisa digunakan untuk kepentingan lain.
Perlunya menghemat kata ini juga supaya pengetahuan baru (yang berguna untuk pembaca) lebih
mudah diperoleh, dan dengan demikian dapat lebih cepat mempengaruhi pembaca. Hubungan
filsafat Pound dengan Imagisme ini dapat dijelaskan dalam tulisan lain.








Rujukan
Audi, Robert. Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge. 2005.
Taylor & Francis e-Library: London.
Blackburn, Simon. The Oxford Dictionary of Philosophy. 1994. Oxford University Press: Oxford.
"Ezra Pound". Encyclopdia Britannica. Encyclopdia Britannica Online.
Encyclopdia Britannica Inc., 2012. Web. 21 Dec. 2012
<http://www.britannica.com/EBchecked/topic/473055/Ezra-Pound>. Diarsipkan di
<http://www.webcitation.org/6D4hg4P1t>.
Pound, Ezra. ABC of Reading. 1991. Faber and Faber: London.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. 2010. Pustaka Sinar Harapan:
Jakarta.
Wellek, Ren, and Austin Warren. Theory of Literature. 1st ed. 1949. Harcourt, Brace, and
Company: New York.

Anda mungkin juga menyukai