Anda di halaman 1dari 100

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Dilihat dari perkembangan berbagai aspek di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, zaman ini disebut zaman modern. Modernisasi merupakan suatu proses perubahan sosial dimana masyarakat yang sedang

memperbaharui dirinya berusaha mendapatkan ciri-ciri atau karakteristik yang dimiliki masyarakat modern (Maryati, Kun dan Juju Suryawati, 2006). Modernisasi biasanya mengubah gaya hidup menjadi lebih praktis. Kebiasaan makan berlebihan, kurang olah raga, merokok, dan kurang istirahat cenderung dimiliki oleh masyarakat saat ini, khususnya di daerah perkotaan (Dalimartha, Setiawan, 2008). Gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa, dan negara yang ditandai oleh penduduk yang berperilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia (Syarfrudin dan Hamidah, 2009). Indonesia sehat diwujudkan melalui pembangunan tiga pilar utama, yaitu perilaku sehat, lingkungan sehat dan bersih, dan pelayanan kesehatan (Azis, Iwan, 2010). Perilaku hidup sehat dan kemampuan masyarakat untuk memilih dan

mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, salah satu upaya kesehatan pokok adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat (Syarfrudin dan Hamidah, 2009). Namun, apabila seseorang tidak menjaga kesehatannya maka orang tersebut akan jatuh sakit. Saat mengalami sakit, seseorang juga akan mengalami gangguan dalam menjalankan kegiatannya sehari-hari. Saat seseorang jatuh sakit, ia akan menunjukkan berbagai perilaku sakit. Beberapa diantaranya ialah ia tidak memegang tanggung jawab selama sakit, bebas dari tugas dan peran sosial, berupaya mencapai kondisi sehat secepat mungkin, dan bersama dengan keluarga mencari bantuan segera (Asmani, 2008). Secara signifikan penyakit tidak menular terus meningkat dan menjadi salah satu penyebab kematian di Indonesia, terlepas dari beberapa penyakit di atas. Proporsi angka kematian akibat penyakit tidak menular (PTM) meningkat dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 49,9% pada tahun 2001 dan 59,5% pada tahun 2007. Penyebab kematian tertinggi dari seluruh penyebab kematian adalah stroke (15,4%), disusul hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif (Sedyaningsih, Endang, 2011). Penyakit yang lebih dikenal sebagai tekanan darah tinggi merupakan faktor resiko utama dari perkembangan penyakit jantung dan stroke. Penyakit hipertensi juga disebut sebagai the silent diseases karena tidak terdapat tandatanda atau gejala yang dapat dilihat dari luar. Perkembangan hipertensi

berjalan

secara

perlahan,

tetapi

secara

potensial

sangat

berbahaya

(Dalimartha, Setiawan, 2008). Gaya hidup sering merupakan faktor resiko penting bagi timbulnya hipertensi pada seseorang. Gaya hidup modern dengan pola makan dan gaya hidup tertentu, cenderung mengakibatkan terjadinya hipertensi. Beberapa diantaranya adalah konsumsi lemak dan garam tinggi, kegemukan, merokok, minum minuman mengandung alkohol, dan stres emosional (Anies, 2006). Menurut International Journal of Epidemiology tahun 2004 tentang Exposure Over The Life Course To An Urban Environment And Its Relation With Obesity, Diabetes, And Hypertension In Rural And Urban Cameroon membuktikan bahwa ada hubungan antara BMI (body mass index) pada penduduk di desa dengan penduduk yang baru menetap di kota selama 2 tahun. Selain itu juga memiliki glikemia puasa, tekanan darah sistole dan diastole yang lebih tinggi. Hubungan antara lingkungan hidup di perkotaan dengan hipertensi yaitu pada lingkungan tempat tinggal dan aktivitas fisik. Untuk mengatasi persoalan tersebut, dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk mengontrol diri dan lingkungannya. Usaha untuk mengenal cara-cara hidup sehat dari segala aspek kehidupan dan lingkungan akan memperkecil resiko serangan hipertensi (Dalimartha, Setiawan, 2008). Gaya hidup sehat wajib diikuti oleh penderita prehipertensi dan hipertensi. Dengan

melaksanakan gaya hidup yang sehat dapat menurunkan tekanan darah,

mencegah atau menunda terjadinya hipertensi, meningkatkan efektivitas obat anti-hipertensi, dan menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler (Cahyono, Suharyo, 2008). Apabila penyakit ini tidak terkontrol maka akan menyebabkan komplikasi pada tubuh penderita hipertensi. Komplikasi yang sering timbul ialah stroke, penyakit jantung, dan gagal ginjal (Gunawan, Lany, 2007). Dalam jurnal Sorot tahun 2012 tentang prevalensi hipertensi dan determinannya di Indonesia disebutkan bahwa penyakit hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peluang 7 kali lebih besar terkena stroke, 6 kali lebih besar terkena congestive heart failure, dan 3 kali lebih besar terkena serangan jantung. Dilihat dari angka kejadian komplikasi pada penyakit hipertensi, peluang untuk terjadinya stroke paling besar di antara penyakit congestive heart failure dan serangan jantung. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pasien hipertensi yang melakukan kontrol di Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus yaitu Klinik Jantung dan Klinik Penyakit Dalam didapatkan 10 orang suka makan jeroan, makan makanan yang bersantan, makan roti/kue yang mengandung mentega dan makan makanan yang diawetkan, 9 orang suka mengkonsumsi ikan asin, soft drink dan keju, 3 orang merupakan perokok aktif, 7 orang mengalami obesitas, 5 orang sering mengalami stres emosional dan 4 diantaranya pernah mengalami keluhan merasa baal dan lemah pada salah satu bagian tubuhnya.

Berdasarkan hasil prevelensi yang didapat tentang penyakit tidak menular dan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus maka peneliti melakukan penelitian yang tentang Hubungan Gaya Hidup pada Pasien Hipertensi dengan Resiko Terjadinya Stroke di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu: bagaimana hubungan gaya hidup pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung .

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Diharapkan penelitian ini berguna untuk mengetahui hubungan gaya hidup pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi. b. Mengidentifikasi gaya hidup: konsumsi lemak pada pasien hipertensi. c. Mengidentifikasi gaya hidup: konsumsi natrium pada pasien hipertensi.

d. Mengidentifikasi gaya hidup: merokok pada pasien hipertensi. e. Mengidentifikasi gaya hidup: stres emosional pada pasien hipertensi. f. Mengidentifikasi gaya hidup: konsumsi alkohol pada pasien hipertensi. g. Mengidentifikasi gaya hidup: obesitas pada pasien hipertensi. h. Mengidentifikasi resiko terjadinya stroke pada pasien hipertensi. i. Mengidentifikasi hubungan gaya hidup: konsumsi lemak pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. j. Mengidentifikasi hubungan gaya hidup: konsumsi natrium pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. k. Mengidentifikasi hubungan gaya hidup: merokok pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. l. Mengidentifikasi hubungan gaya hidup: stres emosional pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. m. Mengidentifikasi hubungan gaya hidup: konsumsi alkohol pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke n. Mengidentifikasi hubungan gaya hidup: obesitas pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke.

D. Manfaat Berdasarkan hasil penelitian tentang Hubungan Gaya Hidup pada Pasien Hipertensi dengan Resiko Terjadinya Stroke di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang hubungan gaya hidup pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung dan memperkuat teori tentang hubungan gaya hidup pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. 2. Manfaat praktis a. Bagi peneliti 1) Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan dan wawasan peneliti dalam mengaplikasikan Asuhan Keperawatan Sistem Kardiovaskular dan Persyarafan. 2) Penelitian ini sebagai sarana pembelajaran bagi peneliti untuk membuat sebuah penelitian. b. Bagi STIKes St. Borromeus 1) Penelitian ini diharapkan menambah bahan literatur bagi bagian perpustakaan di Stikes St. Borromeus.

2) Hasil penelitian ini semoga dapat dijadikan dasar untuk menjelaskan lebih spesifik mengenai hubungan gaya hidup pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. c. Bagi mahasiswa Stikes St. Borromeus Diharapkan dapat melanjutkan penelitian ini. d. Bagi Rumah Sakit Santo Borromeus Penelitian ini diharapkan untuk mengetahui hubungan gaya hidup pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

E. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk melihat Hubungan Gaya Hidup pada Pasien Hipertensi dengan Resiko Terjadinya Stroke di Poliklinik Rawat Jalan Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Penelitian ini membahas tentang penyakit hipertensi, karena penyakit ini tidak memiliki gejala dan berkembang secara perlahan namun secara potensial sangat berbahaya (Dalimartha,Setiawan, 2008). Salah satu faktor penyebab yang dapat diubah adalah gaya hidup. Gaya hidup yang kurang baik akan menimbulkan resiko stroke. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pasien hipertensi yang melakukan kontrol di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus yaitu Klinik Jantung dan Klinik Penyakit Dalam,didapatkan

10 orang suka makan jeroan, makan makanan yang bersantan, makan roti/kue yang mengandung mentega, dan makan makanan yang diawetkan, 9 orang suka mengkonsumsi ikan asin, soft drink dan keju, 3 orang merupakan perokok aktif, 7 orang mengalami obesitas, 5 orang sering mengalami stres emosional dan 4 diantaranya pernah mengalami keluhan merasa baal dan lemah pada salah satu bagian tubuhnya. Penelitian dilakukan pada pasien hipertensi usia 25-70 tahun yang sedang kontrol di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung yaitu Klinik Jantung dan Klinik Penyakit Dalam pada bulan Maret hingga Juni 2013. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode

kuantitatif dengan desain penelitian analitik korelasi dan pendekatan cross sectional dan menggunakan instrument penelitian yaitu kuesioner.

10

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Penyakit Hipertensi 1. Pengertian a. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arterial yang langsung terus-menerus (Brashers, Valentina, 2008). b. Klasifikasi hipertensi menurut JNC VII ialah: 1) Normal: sistole <120 mmHg daan diastole <80 mmHg. 2) Prehipertensi: sistole 120-139 mmHg dan diastole 80-89 mmHg. 3) Hipertensi tahap 1: sistole140-159 mmHg dan diastole 90-99 mmHg. 4) Hipertensi tahap 2: sistole >160 mmHg dan diastole >100 mmHg. (Turner,Rick, 2010).

2. Etiologi Berdasarkan penyebabnya, ada dua jenis hipertensi, yaitu: a. Hipertensi primer Hipertensi primer adalah hipertensi yang belum diketahui penyebabnya dengan jelas. Berbagai faktor diduga sebagai penyebab hipertensi primer, seperti bertambahnya umur, stres psikologis, dan

11

faktor keturunan. Sekitar 90% pasien hipertensi masuk dalam kategori ini. 1) Penyebab hipertensi primer: a) Gaya hidup Gaya hidup sering merupakan faktor resiko penting bagi timbulnya hipertensi pada seseorang. Gaya hidup modern dengan pola makan dan gaya hidup tertentu, cenderung mengakibatkan terjadinya hipertensi. Beberapa diantaranya adalah : (Anies, 2006). (1) Konsumsi lemak (a) Pengertian lemak Lemak adalah substansi yang tampak seperti lilin dan tidak larut dalam air. Lemak yang terdapat pada zat makanan kita umumnya terdiri dari gabungan tiga gugus asam lemak dengan gliserol dan dikenal sebagai

trigliserida. Lemak dalam bahan makanan dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu lemak jenuh (saturated fat), lemak tidak jenuh tunggal (mono-unsaturated fat), lemak tidak jenuh majemuk (poly-unsaturated fat). Penggolongan menjadi tiga jenis tersebut penting artinya dalam

12

hubungannya dengan kesehatan jantung dan pembuluh darah (Soeharto, Iman, 2001). (b) Jenis-jenis makanan yang mengandung lemak (1)) Minyak goreng Berfungsi sebagai penghantar panas, penambah cita rasa gurih, dan penambah kalori bahan pangan. Minyak goreng ketika digunakan untuk menggoreng akan mengalami proses hidrolisis gliserol. Gliserol oleh panas akan dihirolisis menjadi akrolein dan air. Dalam beberapa hal hasil hidrolisis ini akan mengalami oksidasi menjadi asam lemak yang teroksidasi yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Lemak dan minyak yang digunakan sebagai minyak goreng adalah: Oleostearin dan minyak yang bersumber pada lemak sapi yang diproses dengan cara rendering pada suhu rendah. Lemak yang dihasilkan dipertahankan pada suhu 320 sehingga berbentuk kristal dan lemak nabati yang dihidrogenasi dengan titik cair 350-400.

13

(2)) Mentega Mentega merupakan emulsi air dalam minyak dengan kira-kira 18% air terdispersi di dalam 80% lemak dengan sejumlah kecil protein yang bertindak sebagai zat pengemulsi. (3)) Margarine Margarine juga merupakan emulsi air dalam minyak. Lemak yang digunakan berasal dari lemak hewani atau nabati seperti lemak babi dan lemak sapi. Sedangkan lemak nabati yang digunakan adalah minyak kelapa, minyak sawit, minyak kedelai, dan minyak biji kapas. (4)) Shortening/mentega putih Merupakan lemak padat yang mempunyai sifat plastis dan kestabilan tertentu. Umumnya berwarna putih. Bahan ini diperoleh dari hasil campuran dua atau lebih lemak atau dengan cara hidrogenasi. Mentega ini dapat digunakan pada pembuatan kue. Fungsinya untuk memperbaiki cita rasa, strukstur, tekstur keempukan, dan memperbesar volume kue atau roti.

14

(5)) Lemak gajih Merupakan lemak yang diperoleh dari jaringan lemak ternah sapi atau kambing. Terdapat pada rongga perut. (Muchtadi, Deddy, 2009) (c) Hubungan lemak dan hipertensi (1)) Asupan lemak jenuh berlebihan dapat meningkatkan berat badan. Semakin besar massa tubuh maka semakin banyak darah yang dibutuhkan untuk menyampaikan oksigen dan zat gizi ke dalam jaringan tubuh. Artinya volume darah di dalam pembuluh darah bertambah sehingga memberikan tekanan yang lebih besar pada dinding pembuluh darah arteri. (2)) Asupan lemak jenuh berlebih mengakibatkan kadar lemak dalam tubuh meningkat, terutama kolesterol. Kolesterol yang berlebih akan menumpuk pada dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan penyumbatan aliran darah yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Asupan lemak yang dianjurkan adalah 27% dari total energi dan <6% adalah jenis lemak jenuh (Ramayulis, Rita, 2010).

15

(2) Konsumsi garam tinggi Sumber utama natrium bagi tubuh adalah garam dapur atau garam meja. Secara normal sekitar 3000-7000 mg natrium atau sekitar 7,5-18 gram garam dikonsumsi setiap orang setiap hari. Sebagian kecil natrium diserap dalam lambung tetapi sebagian besar diserap secara cepat dalam usus kecil. Penyerapan natrium dilakukan menggunakan proses aktif yang memerlukan energi. Natrium ditransportasikan oleh darah ke ginjal untuk disaring dan diekskresikan sehingga kadar dalam darah tetap sesuai dengan kebutuhan tubuh. Sekitar 80-90% dari natrium yang dikonsumsi dikeluarkan lagi oleh ginjal melalui urin. Metabolisme natrium oleh ginjal dikontrol oleh hormon aldosteron yang disekresikan oleh kelenjar adrenal sebagai respon terhadap kadar natrium dalam darah. Adanya batas konsentrasi natrium dalam volume urin maka kadar natrium di dalam darah dan cairan ekstraseluler akan meningkat maka reseptor haus di dalam

hipotalamus bereaksi degan cara menstimulir sensasi haus. Oleh sebab itu orang minum untuk menurunkan

16

konsentrasi natrium. Pengeluaran natrium melalui keringat sekitar 200 mg per liter keringat (Muchtadi, Deddy, 2009).

(a) Makanan yang mengandung natrium tinggi yaitu: (1)) Sumber karbohidrat dari roti, biscuit, serta kue-kue yang dimasak dengan garam dapur dan/atau baking powder dan soda. (2)) Sumber protein hewani dari otak, ginjal, lidah, sarden, daging, ikan, susu, dan telur yang diawetkan dengan garam dapur seperti daging asap, ham, dendeng, abon, keju, ikan asin, ikan kaleng kornet, ebi, udang kering, telur asin, dan telur pindang. (3)) Sumber protein nabati dari keju, kacang tanah, serta semua kacang-kacangan dan hasilnya yang dimasak dengan garam dapur dan natrium lain. (5)) Sayuran yang dimasak dan diawetkan dengan garam dapur dan ikatan natrium lainnya seperti sayuran dalam kaleng, sawi asin, asinan, dan acar. (6)) Buah-buahan yang diawetkan dengan garam dapur dan ikatan natrium lainnya seperti buah kaleng. (7)) Lemak dari margarine dan mentega biasa.

17

(8)) Minuman ringan (9)) Bumbu seperti garam dapur, baking powder, soda kue, vetsin, kecap, terasi, kaldu instan, saus tomat, petis dan tauco. (Ramayulis, Rita, 2010)

(b) Hubungan natrium dan hipertensi Ion natrium mengakibatkan retensi air sehingga volume darah bertambah dan menyebabkan daya tahan pembuluh darah meningkat. Juga memperkuat efek vasokontriksi nordrenalin. Secara statistik ternyata bahwa pada

kelompok penduduk yang menggonsumsi terlalu banyak garam lebih banyak hipertensi daripada orang-orang yang memakan sedikit garam (Tjay,Tan dan Kirana Raharja, 2007). Menurut jurnal The New England Of Journal pada tahun 2007 yang berjudul Mechanisms Of Disease : Sodium And Potassium menyatakan In The Pathogenesis konsumsi Of

Hypertension

bahwa

natrium

sebanyak 50-100 mmol per hari tidak berdampak pada kenaikan tekanan darah. Namun apabila konsumsi per hari meningkat hingga 50 mmol maka ditemukan peningkatan

18

tekanan darah dengan sistolik meningkat sebesar 5 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 3 mmHg. (3) Kegemukan dan makan secara berlebihan (a) Pengertian kegemukan Kegemukan atau obesitas adalah suatu keadaan dimana terdapatnya penimbunan lemak berlebihan yang diperlukan untuk fungsi tubuh manusia. Obesitas ini merupakan faktor resiko untuk terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif misalnya diabetes mellitus,

hipertensi, penyakit jantung koroner dan berbagai jenis penyakit kanker. Selain itu keluhan obesitas biasanya karena faktor genetik atau keturunan, suku bangsa, gangguan emosi, atau bisa juga karena gangguan hormon (Harmanto, Ning, 2006). Obesitas didefinisikan sebagai indeks massa tubuh (IMT) >30 kg/m2 (Davey, Patrick, 2005).

19

(b) Kegemukan dan hipertensi Berat badan berlebihan menyebabkan

bertambahnya volume darah dan perluasan sistem sirkulasi. Bila bobot ekstra dihilangkan tekanan darah dapat turun kurang lebih 0,7/0,5 mmHg setiap kg penurunan. Dianjurkan BMI antara 18,5-24,9 kg/m2 (Tjay,Tan dan Kirana Raharja, 2007). Menurut jurnal Obesity Research tahun 2000 yang berjudul Body Mass Index and the Prevalence of Hypertension and Dyslipidemia lebih dari satusetengah dari populasi orang dewasa memiliki

kelebihan berat badan dengan BMI (Body Mass Index) sebesar 25-29,9 atau obesitas dengan BMI (Body Mass Index) sebesar 30. Prevalensi tekanan darah tinggi dan rata-rata tingkat sistolik dan tekanan darah diastolik meningkat saat BMI (Body Mass Index) meningkat di usia lebih muda dari 60 tahun. Prevalensi kolesterol darah tinggi dan kadar rata-rata kolesterol adalah lebih tinggi pada tingkat BMI (Body Mass Index) lebih dari 25 daripada di bawah 25 tetapi tidak tidak meningkatkan konsisten

20

dengan meningkatnya BMI (Body Mass Index) di atas 25. (4) Merokok Menghisap rokok berarti menghisap nikotin dan karbon monoksida. Nikotin akan masuk ke dalam aliran darah dan segera mencapai otak. Otak akan memberikan sinyal kepada kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon adrenalin. Hormon adrenalin akan menyempitkan

pembuluh darah sehingga terjadi tekanan yang lebih tinggi. Gas karbon monoksida dapat menyebabkan pembuluh darah tegang dan kondisi kejang otot sehingga tekanan darah pun naik. Dengan merokok 2 batang saja, tekanan darah sistolik dan diastolik akan meningkat sebesar 10 mmHg. Peningkatan tekanan darah akan menetap hingga 30 menit setelah berhenti mengisap rokok. Saat efek nikotin perlahan menghilang, tekanan darah pun akan menurun perlahan. Namun, pada perokok berat, tekanan darah akan selalu berada pada level tinggi (Ramayulis, Rita, 2010)

21

(5) Minum minuman yang mengandung alkohol Pengaruh alkohol secara kronis meningkatkan tekanan darah. Pengaruh tadi lebih banyak pada sitole

(Joewana,Satya, 2003). (6) Stres emosional Stres adalah respon alami dari tubuh dan jiwa saat seseorang mengalami tekanan dari lingkungan. Stres berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan

kekhawatiran yang terus-menerus. Akibatnya, tubuh akan melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan lebih kuat sehingga tekanan darah akan meningkat (Ramayulis, Rita, 2010).

b. Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh beberapa proses patologik yang dapat dikenali, biasanya yang terkait dengan fisiologi ginjal (Graber, Mark,dkk, 2006). Bila faktor penyebab dapat diatasi, tekanan darah dapat kembali normal. Pada bentuk sekunder dari hipertensi, penyakit parenkim dan penyakit renovaskular adalah faktor penyebab yang paling umum. Kontrasepsi oral telah dihubungkan dengan hipertensi ringan yang

22

berhubungan dengan peningkatan substrat rennin dan peningkatan kadar angiotensin II dan aldosteron. Tabel 2. 1 Jenis dan Penyebab Hipertensi (Tambayong, Jan, 2000) Jenis Hipertensi Penyebab Hipertensi Berhubungan dengan obesitas,

hiperkolesterolemia, arterosklerosis, Hipertensi esensial, idiopatik, atau diet tinggi garam, diabetes, stres, primer kepribadian tipe A, riwayat keluarga, merokok, kurang olah raga Renovaskular Penyakit parenkim, mis.,

glomerunefritis akut dan menahun Penyempitan (stenosis) arteri renalis akibat arterosklerosis atau fibrolblas bawaan Hipertensi sekunder Penyakit atau sindrom Chusing Dapat disebabkan akibat peningkatan penyakit

glukokortikoid

adrenal atau disfunsi hipofisis Aldosteronisme Peningkatan sekresi aldosteron akibat

23

tumor adrenal Feokromositoma Tumor berakibat medulla adrenal yang sekresi

peningkatan

katekolamin adrenal Koarsio aorta Konstriksi aorta bawaan pada tingkat dukstus arteriosus dengan

peningkatan tekanan darah di atas konstriksi dan penurunan tekanan di bawah konstriksi.

3. Insiden Insiden hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi hipertensi ringan sebesar 2% pada usia 25 tahun atau kurang, meningkat menjadi 25% pada usia 50 tahun dan 50% pada usia 70 tahun (Davey, Patrick, 2005).

24

4. Penatalaksanaan Tujuan tiap program penanganan bagi setiap pasien adalah mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas penyerta dengan mencapai dan mempertahankan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Efektivitas setiap program ditentukan derajat hipertensi, komplikasi, biaya perawatan, dan kualitas hidup sehubungan dengan terapi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendekatan nonfarmakologis, termasuk penurunan berat badan, pembatasan alkohol, natrium, dan tembakau, latihan dan relaksasi merupakan intervensi wajib yang harus dilakukan pada setiap terapi antihipertensi. Apabila penderita hipertensi ringan berada dalam resiko tinggi (pria perokok) atau bila tekanan darah diastoliknya menetap di atas 85 atau 95 mmHg dan sistoliknya di atas 130 sampai 139 mmHg, maka perlu dimulai terapi obat-obatan. Algoritma penanganan yang dikeluarkan oleh Joint National Committeeon Detection, Evaluation, And Treatment of High Blood Pressure memungkinkan dokter untuk memilih kelompok obat yang memiliki efektivitas tertinggi, efek samping paling kecil, dan penerimaan serta kepatuhan pasien. Dua kelompok obat tersedia dalam terapi pilihan pertama; diuretika dan penyekat beta. Apabila pasien dengan hipertensi ringan sudah terkontrol selama setahun, terapi dapat diturunkan. Agar pasien mematuhi

25

regimen terapi yang diresepkan, maka harus dicegah pemberian jadwal terapi obat-obatan yang rumit.

5. Komplikasi Pada Hipertensi Resiko yang paling banyak terjadi akibat komplikasi dari penyakit hipertensi ialah stroke sehingga peneliti membatasi untuk membahas hanya tentang penyakit stroke. Komplikasi yang sering timbul ialah stroke, penyakit jantung, dan gagal ginjal (Gunawan, Lany, 2007).

B. Cedera vaskular serebral Cedera vaskular serebral (CVS) yang sering disebut stroke atau peradangan otak adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak. Individu yang terutama berisiko mengalami CVS adalah lansia dengan hipertensi, diabetes, hiperkolesterplemia atau penyakit jantung. Pada CVS, hipoksia serebral menyebabkan cedera dan kematian sel neuron terjadi. Inflamasi yang ditandai dengan pelepasan sitokin proinflamasi, produksi radikal bebas, oksigen, dan pembengkakan derta edema ruang intersitian, terjadi pada kerusakan sel dan menyebabkan situasi yang memburuk. Demikian pula asidosis terjadi akibat saluran ion neuron yang mendeteksi asam. Pada akhirnya kerusakan otak terjadi setelah CVS biasanya memuncak 24 sampai 72 jan setelah kematian sel neuron.

26

1. Klasifikasi CVS Ada dua klasifikasi umum CVS yaitu iskemik dan hemoragik. CVS iskemik terjadi akibat penyumbatan aliran darah arteri yang lama ke bagian otak. CVS hemoragik terjadi akibat perdarahan otak. a. Stroke iskemik Penyumbatan arteri yang menyebabkan stroke iskemik dapat terjadi akibat thrombus (bekuan darah serebril) atau embolus (bekuan darah yang berjalan ke otak dari tempat lain di tubuh).

b. Stroke trombotik Stroke trombotik terjadi akibat oklusi aliran darah, biasanya karena aterosklerosis berat. Sering kali individu mengalami satu atau lebih serangan iskemik sementara sebelum stroke trombotik yang

sebenarnya terjadi. Stroke trombotik biasanya berkembang dalam periode 24 jam. Selama periode perkembangan stroke, individu dikatakan mengalami stroke evolution. Pada akhir periode tersebut, individu dikatakan mengalami stroke lengkap. 1) Stroke embolik Stroke embolik berkembang setelah oklusi arteri oleh embolus yang terbentuk di luar otak. Sumber umum embolus yang menyebabkan stroke adalah jantung setelah infark miokardium atau

27

fibrilasi atrium dan embolus yang merusak arteri karotis komunis atau aorta. 2) Stroke hemoragik Stroke hemoragik terjadi apabila pembuluh darah di otak pecah sehingga menyebakan iskemia (penurunan aliran) dan hipoksia di sebelah hilir. Penyebab stroke hemoragik adalah hipertensi,

pecahnya aneurisma, atau malformasi arteriovenosa (hubungan abnormal). Hemoragi dalam otak secara signifikan meningkatkan tekanan intracranial, yang memperburuk cedera otak yang dihasilkan.

2.

Gejala stroke Serangan stroke sering kali datang secara mendadak, tidak terduga sebelumnya. Namun pada beberapa kasus, terutama stroke tipe iskemik, biasanya didahului oleh semacam peringatan yang dikenal sebagai transient ischemic attack (TIA). Gejala TIA mirip dengan strike kecuali durasi waktu. TIA hanya berlangsung selama beberapa menit atau kurang dari 24 jam, dan penderita akan kembali normal seperti sediakala. Sedangkan stroke berlangsung selama 24 jam atau lebih, meninggalkan kecacatan menetap, atau berakhir dengan kematian.

28

Beberapa gejala TIA yang menyerupai gejala stroke adalah: a. Kelemahan pada tungkai atau lengan di sisi kiri atau kanan. b. Kesulitan berbicara sefasih biasanya. c. Kesulitan berjalan akibat kelemahan tungkai atau adanya gangguan keseimbangan. d. Penderita tiba-tiba seperti orang kebingungan tanpa sebab yang jelas. e. Tiba-tiba tidak dapat melihat pada salah satu atau kedua matanya. f. Penderita merasakan nyeri kepala yang sangat kuat.

3.

Resiko terjadinya stroke Ada beberapa faktor resiko stroke yang menyebabkan seseorang lebih rentan terserang stroke disbanding yang lainnya. Faktor resiko tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, yaitu faktor resiko stroke yang tidak dapat diubah, yaitu jenis kelamin, riwayat keluarga, ras, atau etnis. Dan kedua, yaitu hipertensi, kebiasaan merokok, penyakit dan kelainan irama jantung, dan diabetes mellitus tipe 2.

29

a. Faktor resiko yang tidak dapat diubah. 1) Usia Meskipun stroke dapat menyerang segala usia,

diketahui bahwa mereka yang berusia lanjut lebih beresiko terserang penyakit yang berpotensi mematikan dan menimbulkan kecacatan menetap. Setelah mencapai usia 55 tahun, resiko stroke meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 10 tahun. Dua per tiga kasus stroke diidap oleh mereka yang berusia 65 tahun.

2) Jenis kelamin Stroke lebih banyak dijumpai pada laki-laki. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih beresiko terserang stroke dibandingkan wanita.

3) Riwayat keluarga Faktor genetik di dalam keluarga juga merupakan faktor resiko stroke. Beberapa penyakit seperti diabetes mellitus dan hipertensi diketahui dapat diturunkan secara genetic dari seseroang kepada keturunannya. Dua penyakit tersebut merupakan faktor resiko stroke yang masih dapat

30

dikontrol dengan pengobatan yang teratur dan menerapkan pola hidup sehat.

4) Ras atau etnik Insiden dan kematian akibat stroke di Amerika Serikat lebih tinggi pada kelompok ras Afro-Amerika

dibandingkan ras Eropa-Amerika. Namun, di Indonesia pengaruh perbedaan faktor ras terhadap stroke tidak diketahui secara pasti.

b. Faktor resiko stroke yang dapat diubah 1) Hipertensi Tekanan darah yang optimal memungkinkan terjadinya aliran darah yang memasok oksigen, glukosa, hormon, mineral, maupun berbagai nutrisi penting bagi seluruh jaringan tubuh, termasuk otak.pada kondisi tertentu, tekanan darah dapat meningkat melebihi batas normal. Kondisi ini dikenal sebagai hipertensi. Hipertensi yang berlangsung lama dan tidak diobati beresiko menimbulkan berbagai penyakit seperti kegagalan jantung kongestif, kelainan saraf mata, gagal ginjal, maupun stroke.

31

2) Merokok Merokok merupakan kebiasaan sekaligus gaya hidup yang berdampak buruk bagi kesehatan. Asap rokok mengandung beberapa zat berbahaya yang sering disebut oksidator. Zat oksidator ini menimbulkan kerusakan pada dinding arteri. Dinding arteri yang rusak akibat asap rokok akan menjadi lokasi penimbunan lemak, sel trombosit, kolestrol, dan terjadi penebalan lapisan otot polos dinding arteri. Kondisi ini disebut sebagai aterotrombotik. Aterotrombotik menyebabkan diameter rongga arteri menyempit. diameter Selain rongga itu, arteri aterotrombotik menyempit. meyebabkan Selain itu,

aterotrombotik biasanya menyebakan kerapuhan dinding pembuluh darah arteri. Aterotrombotik menyebabkan aliran darah ke beberapa organ tubuh termasuk otak tersumbat dan beresiko menimbulkan stroke.

3) Penyakit jantung Jenis penyakit atau kelainan jantung yang

meningkatkan resiko stroke adalah aritmia jantung. Aritmia meupakan kelainan yang ditandai oleh detak jantung yang tidak teratur. Kelainan detak jantung ini berpotensi

32

menimbulkan suatu bekuan sel trombosit (tromboemboli), yang dapat bermigrasi dari jantung dan menyumbat arteri di otak, menimbulkan stroke tipe iskemik tromboemboli.

4) Diabetes mellitus tipe Diabetes mellitus tipe 2 meningkatkan faktor resiko terjadinya stroke. Hal ini disebakan oleh penyakit metabolisme mengakibatkan kerusakan dinding arteri, baik yang berukuran besar maupun kecil. (Wahyu, Genis, 2010).

C. Hubungan Hipertensi Dan Stroke Stroke dapat terjadi akibat hemoragi tekanan tinggi di otak atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh darah, selain otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronis apabila arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan penebalan sehingga aliran

darah ke daerah otak yang diperdarahi berkurang. (Corwin,Elisabeth, 2009).

33

D. Kerangka Konsep Skema 2.1 Kerangka Konsep Hubungan Gaya Hidup Pada Pasien Hipertensi Dengan Resiko Terjadinya Stroke Di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung

Variabel Independen
Gaya hidup pada pasien hipertensi: 1. Konsumsi lemak 2. Konsumsi natrium 3. Merokok 4. Stres emosional 5. Konsumsi alkohol 6. Obesitas

Variabel Dependen

Resiko terjadinya stroke

34

BAB III METODE PENELITIAN


A. Metode dan Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan menggunakan metode kuantitatif. Metode kuantitatif adalah metode statistik yang bertujuan untuk menggambarkan dan meneliti hubungan antar manusia secara kuantitatif atau data yang bersifat angka (Waluya, Bagja,2007). Desain yang digunakan pada penelitian ini analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional, yaitu desain penelitian analitik yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel dimana variabel independen dan variabel dependen diidentifikasikan dalam satu satuan waktu (Dharma, Kelana, 2011). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, desain analitik korelasi dengan pendekatan adalah cross sectional mengenai Hubungan Gaya Hidup Pada Pasien Hipertensi Dengan Resiko Terjadinya Stroke Di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

B. Variabel Penelitian Variabel adalah karakteristik yang melekat pada populasi, bervariasi antara satu orang dengan yang lainnya dan diteliti dalam suatu penelitian, sedangkan penelitian sendiri pada dasarnya adalah mengukur variabel pada subyek, menggunakan instrument penelitian yang valid dan reliabel.

35

Variabel penelitian dikembangkan dari konsep/hasil penelitian terdahulu sesuai dengan fenomena atau masalah penelitian. Variabel independen disebut yang juga variabel sebab yaitu karakteristik dari subyek yang dengan keberadaannya menyebabkan perubahan pada variabel lain. Dan variabel dependen adalah variabel akibat atau variabel yang akan berubah akibat pengaruh atau perubahan yang terjadi pada variabel independen. (Dharma, Kelana, 2011;50). Dalam penelitian ini yang merupakan variabel independen adalah gaya hidup pada pasien hipertensi yaitu konsumsi lemak, konsumsi natrium,

merokok, stres emosional, konsumsi lemak dan obesitas. Variabel dependen adalah resiko terjadinya stroke di Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung yaitu Klinik Jantung dan Klinik Penyakit Dalam.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi penelitian Populasi penelitian adalah unit dimana suatu hasil penelitian akan diterapkan (digeneralisir) (Dharma, Kelana, 2011;104). Dalam penelitian ini populasi yang diambil adalah klien rawat jalan di Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung dengan batasan klien adalah klien yang menderita hipertensi yang berusia 25-70 tahun yang berobat pada Maret 2013 sebanyak 77 orang.

36

2. Sampel penelitian Sampel penelitian adalah sekelompok individu yang

merupakan bagian dari populasi terjangkau dimana peneliti langsung mengumpulkan data atau melakukan pengamatan/pengukuran pada unit ini (Dharma, Kelana, 2011;104). Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah klien rawat jalan di Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus dengan batasan waktu penelitian dari Mei-Juni 2013 sebanyak 77 responden.

3. Tehnik Sampling Tehnik sampling adalah suatu cara yang ditetapkan peneliti untuk menentukan atau memilih sejumlah sampel dari populasinya. Tehnik sampling digunakan agar hasil penelitian yang dilakukan pada sampel dapat mewakili populasinya. Dan dalam penelitian ini

digunakan metode sampling dengan cara non probability sampling. Prinsip utama dari non probability sampling adalah bahwa setiap subjek dalam populasi mempunyai kesempatan untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel. Dan dalam non probability metode

sampling ini digunakan purposive sampling yaitu suatu

pemilihan sampel yang dilakukan berdasarkan maksud atau tujuan tertentu yang ditentukan oleh peneliti (Dharma, Kelana, 2011).

37

Dalam penelitian ini digunakan tehnik non probability sampling yaitu purposive sampling dengan cara melihat status pasien yang berobat di klinik rawat jalan yaitu klinik jantung dan klinik penyakit dalam., lalu peneliti akan menyesuaikan dengan waktu dan kriteria inklusi yaitu: a. Klien yang rawat jalan di Rumah Sakit Santo Borromeus yaitu klinik jantung dan klinik penyakit dalam. b. Klien dengan penyakit hipertensi. c. Klien yang berusia 25-70 tahun. d. Klien yang bersedia menjadi responden dan mendatangani surat persetujuan. e. Klien dengan keadaan umum baik.

D. Kerangka Kerja Kerangka kerja penelitian merupakan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian yang ditulis dalam bentuk kerangka atau alur penelitian (Alimul,Aziz, 2002;58). Dapat dilihat pada skema 3.1.

38

Skema 3. 1 Kerangka Kerja Hubungan Gaya Hidup Pada Pasien Hipertensi Dengan Resiko Terjadinya Stroke Di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung
Pasien Rawat Jalan Di Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus Pada Klinik Jantung Dan Klinik Penyakit Dalam

E.

Kriteria inklusi 1. Menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Santo Borromeus 2. Memiliki penyakit hipertensi 3. Berusia 25-70 tahun 4. Bersedia menjadi responden dan mendatangani surat persetujuan 5. Memiliki keadaan umum baik.

Kriteria ekslusi 1. Menjalani rawat inap 2. Memiliki hipertensi 3. Berusia di bawah 25 tahun 4. Berusia di atas 70 tahun 5. Tidak bersedia menjadi responden penyakit selain

Pengumpulan data Pelaporan hasil Data diolah

Analisa data Keterangan: Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak diteliti

39

E. Hipotesis Di dalam penelitian ini dapat diambil hipotesa (H1): 1. Ada hubungan antara gaya hidup pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. 2. Ada hubungan antara gaya hidup: konsumsi lemak pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. 3. Ada hubungan antara gaya hidup: konsumsi natrium pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. 4. Ada hubungan antara gaya hidup: merokok pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. 5. Ada hubungan antara gaya hidup: stres emosional pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. 6. Ada hubungan antara gaya hidup: konsumsi alkohol pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. 7. Ada hubungan antara gaya hidup: obesitas pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke.

40

F. Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional Hubungan Gaya Hidup Pada Pasien Hipertensi Dengan Resiko Terjadinya Stroke Di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus
N o Variabel dan Sub Variabel Variabel independen Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

1. Gaya hidup pada pasien hipertensi

Gaya hidup adalah cara hidup, berpikir, dan bertindak yang khas bagi pasienpasien hipertensi di Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus

Responden menjawab pertanyaan yang ditanyakan oleh peneliti sebanyak 33 pernyataan dengan memberi tanda checklist () pada pernyataan yang dianggap benar dan melakukan pengukuran langsung (berat badan dan tinggi badan).

Menggunakan kuesioner nomor 1-33 yang terdiri dari pertanyaan positif dan negatif.

Menggunakan cut off point mean. Buruk: 20 Baik <20

Nominal

a. Konsumsi lemak

Konsumsi lemak yaitu kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak seperti minyak, jeroan, santan, margarine, mentega, es krim, dan makanan yang diawetkan bagi pasien-pasien hipertensi di Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus.

Kuesioner nomor 1,2,3,5,6

Menggunakan cut off point median. Ya= 3.00 Tidak= < 3.00

Nominal

41

N o

Variabel dan Sub Variabel b. Konsumsi natrium

Definisi Operasional Konsumsi natrium yaitu Kebiasaan mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung natrium seperti keju, keripik asin, ikan asin, abon, asinan, soft drink,sambal terasi dan vetsin bagi pasien-pasien hipertensi di Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus

Cara Ukur

Alat Ukur Kuesioner nomor 4,7-15

Hasil Ukur Menggunakan cut off point mean. Ya= 6.9 Tidak= <6.9

Skala Ukur Nominal

c. Merokok

Merokok yaitu kebiasaan menghisap rokok bagi pasienpasien hipertensi di Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus

Kuesioner nomor 16,17,18

Menggunakan cut off point adalah median. Ya= 1.0 Tidak= <1.0

Nominal

d. Stres emosional

Stres yang berkepanjangan dan menyebabkan ketegangan dan kekhawatiran yang terus-menerus bagi pasien-pasien hipertensi di Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus

Kuesioner nomor 19-26

Menggunakan cut off point median. Ya= 6.0 Tidak= <6,0

Nominal

e. Konsumsi alkohol

Mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol bagi pasien-pasien hipertensi di Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus

Kuesioner nomor 27,28,29

Menggunakan cut off point mean. Ya= 0.35 Tidak= <0.35

Nominal

42

N o

Variabel dan Sub Variabel Variabel dependen

Definisi Operasional

Cara Ukur

Alat Ukur

Hasil Ukur

Skala Ukur

2.

Resiko terjadinya stroke

Keadaan yang dimungkinkan untuk menderita penyakit stroke bagi pasienpasien hipertensi di Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit Santo Borromeus

Responden menjawab pertanyaan yang ditanyakan oleh peneliti sebanyak 9 pertanyaan

Menggunakan kuesioner Menggunakan skala Guttman, yaitu : Ya = 1 Tidak = 0 Untuk pernyataan negatif, kategori nilai terbalik. (Djaali, 2007) Kuesioner nomor 30-33

Menggunakan cut off point median Terjadi= 2.0 Tidak terjadi= <2.0

Nominal

G. Metode dan Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data yaitu angket. Angket merupakan pengumpulan data yang dilakukan dengan mengedarkan/mendistribusikan/menyerahkan (kuesioner) bagai bukti dalam penelitian. Metode dan tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini dimulai dengan menentukan klien sesuai dengan kriteria inklusi yaitu klien yang rawat jalan di rumah sakit santo borromeus yaitu klinik jantung dan klinik penyakit dalam, klien dengan penyakit hipertensi, klien yang berusia 2570 tahun, klien yang bersedia menjadi responden dan mendatangani surat persetujuan, klien dengan keadaan umum baik. Setelah itu peneliti memberikan lembar persetujuan (informed consent) untuk kesediaan klien sejumlah pertanyaan

43

menjadi reponden, setelah itu data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada klien yang sebelumnya telah diberi

penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian. Penyebaran dan pengisian kuesioner oleh responden dilakukan dalam sekali waktu kemudian kuesioner yang sudah terisi lalu diambil dan diperiksa kelengkapannya untuk selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis data.

H. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini digunakan instrument penelitian yaitu kuesioner. Kuesioner adalah suatu bentuk atau dokumen yang berisi beberapa item pertanyaan atau pernyataan yang dibuat berdasarkan indikator-indikator suatu variabel. Peneliti menggunakan lembar kuesioner dengan skala Guttmann yaitu ya dan tidak yang berisi pertanyaan positif dan negatif. Untuk pertanyaan positif bernilai satu (1) untuk jawaban ya dan bernilai nol (0) untuk jawaban tidak, dan untuk pertanyaan negatif benilai satu (1) untuk jawaban tidak dan bernilai nol (0) untuk jawaban ya, yang berguna untuk melihat hubungan gaya hidup dengan resiko terjadinya stroke pada pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

44

1. Uji Validitas dan Reliabilitas a. Validitas Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrument dalam pengumpulan data. Instrument harus dapat mengukur apa yang harus diukur (Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini dengan menggunakan program komputer. Penghitungan nilai validitas penelitian ini menggunakan perangkat lunak komputer dengan rumusan Product moment. Jumlah pernyataan dalam kuesioner ini 43 soal. Hasil uji validitas dilakukan pada 30 responden menunjukkan bahwa dari 43 item pernyataan terdapat 10 item yang tidak valid (<0,374), selanjutnya pada 10 item tersebut dihapus, sehingga jumlah soal pada kuesioner sebanyak 33 pernyataan yang dipakai sebagai instrument penelitian. Uji validitas dilakukan pada Minggu ke-3 Maret 2013 selama 4 hari pada 30 responden yang sedang berobat di Klinik Jantung dan Klinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

b. Reliabilitas Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau

pengamatan bila fakta atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan. Alat dan cara

45

mengukur atau mengamati sama-sama memegang peranan yang penting dalam waktu bersamaan (Nursalam, 2003). Hasil

pengukuran dikerjakan dengan sistem komputerisasi dan melihat hasil Spearman Brown. (Uyanto, 2009 : 274). Dalam menggunakan penelitian perangkat ini, hasil pengukuran dengan dikerjakan rumusan

lunak

komputer

Spearman Brown. Instrument penelitian dikatakan reliabel apabila r11> dari 0,7 (derajat hubungan yang baik) (S,Christianus, 2010). Hasil uji reliabilitas instrumen dilakukan terhadap 30 responden dari 43 item soal menunjukkan koefisien alfa 0,7 yaitu 0.857 sehingga dinyatakan reliabel.

I. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian merupakan suatu langkah yang harus ditempuh oleh peneliti dalam melakukan penelitian guna mencari informasi dari jawaban atas permasalahan yang sedang terjadi (Alimul, 2009). Dalam penelitian ini ada tiga tahap yang dilaksanakan yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan penyelesaian. 1. Tahap persiapan, kegiatan yang dilakukan yaitu: a. Mengirimkan surat izin ke Direktur Rumah Sakit Santo Borromeus.

46

b. Setelah mendapatkan surat balasan, peneliti datang ke bagian Sumber Daya Manusia (SDM) Rumah Sakit Santo Borromeus untuk menanyakan prosedur apa saja yang harus dilakukan saat peneliti melakukan pengambilan data. c. Peneliti meminta izin kepada kepala bagian klinik rawat jalan Rumah Sakit Santo Borromeus. d. Peneliti meminta data populasi penderita hipertensi usia 25-70 tahun di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam pada kepala bagian rekam medis rawat inap Rumah Sakit Santo Borromeus. 2. Tahap pelaksanaan yaitu: a. Peneliti datang ke Klinik Jantung dan Klinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus. b. Peneliti melihat lembar rekam medis setiap pasien yang berobat di Klinik Jantung dan Klinik Penyakit Dalam, melihat pasien yang sesuai kriteria inklusi. Selanjutnya peneliti memberikan kuesioner kepada pasien tersebut. Pasien dipilih secara acak dengan cara mengambil semua pasien hipertensi yang memenuhi kriteria inklusi pada saat itu di klinik Jantung maupun di klinik Penyakit Dalam. Apabila pasien tidak mampu untuk membaca kuesioner, maka kuesioner akan dibacakan oleh peneliti.

47

3. Tahap penyelesaian a. Peneliti melakukan penyusunan laporan penelitian dengan melakukan pengolahan dan analisa data. b. Peneliti menarik kesimpulan. c. Peneliti menyajikan pengolahan data. d. Perbaikan hasil penelitian.

J. Pengolahan Data Pengolahan data adalah kegiatan mengubah atau membuat seluruh data yang dikumpulkan menjadi suatu bentuk yang dapat disajikan, dianalisa, dan ditarik kesimpulan. Secara umum kegiatan pengolahan data dapat dibagi dalam beberapa tahapan pokok yaitu: 1. Editing Editing merupakan kegiatan memeriksa kembali kuesioner yang telah diisi pada saat pengumpulan data.Pada penelitian ini, proses editing yang dilakukan yaitu pada kuesioner yang telah dikumpulkan langsung diperiksa kelengkapannya. Bila ada yang kurang lengkap, maka dikembalikan lagi untuk dilengkapi.

48

2. Koding Koding merupakan kegiatan mengubah data ke dalam bentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan kode-kode tertentu.Dalam penelitian ini, kuesioner yang telah diceklis oleh responden diubah ke dalam bentuk angka yaitu nol (0) dan 1 (1).

3. Pemasukan data Setelah data diedit dan dilakukan pemberian kode (coding), selanjutnya peneliti memasukkan data dengan menggunakan perangkat lunak komputer untuk diolah secara statistik. Setelah lembar kuesioner diperiksa dan ceklis telah diubah menjadi angka, maka data tersebut akan diolah dalam program statistik di komputer.

4. Tabulasi data Tabulasi data adalah proses pengolahan data yang bertujuan untuk membuat tabel-tabel yang dapat memberikan gambaran

statistik. Pada penelitian ini peneliti menggunakan tabel untuk menampilkan hasil penelitian. Dalam penelitian ini proses tabulasi data dilakukan dengan memasukan data ke dalam perangkat lunak komputer.

49

K. Teknik Analisis Data 1. Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan tiap variabel yang diukur dalam penelitian. Analisis dilakukan dengan

menggunakan distribusi frekuensi. Distribusi frekuensi Adapun analisis univariat di sini dilakukan dengan rumus (Budiarto, 2001):

Keterangan: P f n = Presentase yang dicari = Frekuensi distribusi = Jumlah responden

Hasil perhitungan presentase akan dijelaskan sebagai berikut: 100% 90-99% 75-89% 51-74% 50% 25-49% : seluruhnya : hampir seluruhnya : sebagian besar : lebih dari setengahnya : setengahnya : kurang dari setengahnya

50

6-24% 1-5% 0%

: sebagian kecil : hampir tidak ada : tidak seorangpun responden

2. Analisis Bivariat Analisa bivariat dilakukan pada dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Budiman, 2011). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu uji Chi-Square pada program komputer. Dalam penelitian ini, hipotesis ditolak jika probabilitas >0,05 (H0 diterima) dan hipotesis diterima jika probabilitas <0,05 (H0 ditolak) (Johar,Arifin, 2009).

L. Etika Penelitian Semua penelitian yang erat kaitannya dengan manusia sebagai obyek harus mempertimbangkan etika. Penelitian yang dilakukan oleh

mahasiswa kesehatan seringkali terdapat masalah etik, oleh karena itu penelitian ini mengacu pada Pedoman Nasional Etika Penelitian Kesehatan (KNEPK-Depkes RI, 2004), antara lain: 1. Menghormati Martabat Subjek Penelitian Penelitian yang dilakukan sudah menjunjung tinggi martabat seseorang (subyek penelitian). Peneliti mempertimbangkan hak-hak

51

subyek untuk mendapatkan informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian (autonomy). Peneliti mempersiapkan formulir persetujuan subyek (informed consent) kepada pasien hipertensi yang rawat jalan di Klinik Rawat Jalan yaitu klinik jantung dan penyakit dalam Rumah Sakit Santo Borromeus. Hal ini dilakukan peneliti sebelum membagikan kuesioner, responden dijelaskan tentang tujuan lalu meminta tanda tangan untuk formulir persetujuan.

2. Asas Kemanfaatan Penelitian yang dilakukan harus mempertimbangkan manfaat dan resiko yang mungkin terjadi. Penelitian boleh dilakukan apabila manfaat yang diperoleh lebih besar daripada resiko/dampak negatif yang akan terjadi. Selain itu, penelitian yang dilakukan tidak boleh membahayakan dan harus menjaga kesejahteraan manusia. Peneliti telah melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian dan telah mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi subyek penelitian.

52

3. Berkeadilan Setiap orang diberlakukan sama berdasar moral, martabat dan hak asasi manusia. Hak dan kewajiban peneliti maupun subyek juga harus seimbang. Prinsip keadilan memiliki konotasi keterbukaan dan adil. Lingkungan penelitian dikondisikan agar memenuhi prinsip keterbukaan yaitu kejelasan prosedur penelitian. Prinsip keadilan menekankan sejauh mana kebijakan penelitian membagikan

keuntungan dan bebas secara merata. Dalam penelitian ini, peneliti akan menjelaskan secara singkat tentang penelitian yang akan dilakukan kepada pasien hipertensi yang rawat jalan di Klinik Rawat Jalan yaitu klinik jantung dan penyakit dalam Rumah Sakit Santo Borromeus sebelum peneliti memberikan lembar kuesioner. Semua responden yang dipilih pada penelitian ini sesuai dengan kriteria inklusi kecuali bagi responden yang menolak.

M. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei- Juni 2013. Tempat penelitian adalah Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Gambaran Umum 1. Gambaran singkat lahan penelitian Terdapat dua subklinik di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Borromeus yaitu: 1. Klinik non spesialis, yang terdiri dari: Klinik Umum, Klinik Tes Alergi, Klinik Kesehatan Keluarga, Klinik JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) dan Klinik Medical Check Up. 2. Klinik spesialis dan sub-spesialis Klinik Kebidanan dan Kandungan, Klinik Gigi dan Mulut, Klinik Neurologi (Saraf), Klinik Psikologi, Klinik Hematologi, Onkologi (Darah,Tumor), Klinik Digestif (Bedah Saluran Cerna), Klinik Nephrology (Ginjal), Klinik Asma (Paru), Klinik Penyakit Anak, Klinik Bedah, Klinik Mata, Klinik Kulit dan Kelamin, Klinik Telinga, Hidung dan Tenggorokan, Klinik Gizi, Klinik Penyakit Dalam, Klinik Jantung, Klining Saluran Kencing (Urologi), Klinik Bedah Anak, Klinik Bedah Tulang, Klinik Saluran Cerna (Gastroentologi) dan Klinik Bedah Thorax.

54

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus karena banyak ditemukan pasien yang mengalami hipertensi dan peneliti mengambil pasien sebanyak 77 pasien yang dilakukan selama bulan Mei-Juni 2013. Karakteristik pasien yang datang adalah pasien yang keadaan ekonomi menengah keatas. Pasien tersebut kontrol 1 bulan sekali dan kebanyakan berasal dari Bandung dan sekitarnya. Kekhasan masyarakat Jawa Barat adalah suka mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak garam seperti ikan asin. Pemahaman para pasien hipertensi yang rawat jalan di Klinik Jantung dan Penyakit Dalam yaitu ratarata mereka sudah mengetahui gaya hidup yang baik bagi penderita hipertensi. 2. Karakteristik pasien Karakteristik pasien dilihat dari jenis kelamin, umur, tekanan darah, teratur kontrol, pekerjaan, dan pendidikan terakhir dari pasien penderita hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung Dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung, disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:

55

a. Menurut jenis kelamin


Tabel 4.1 Distribusi frekuensi pasien menurut jenis kelamin di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Jumlah 29 48 77 % 37,7 62,3 100

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa lebih dari setengah pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung berjenis kelamin perempuan (62,3%).

56

b. Menurut usia
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi pasien menurut usia di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Usia Dewasa awal (18-40 tahun) Dewasa madya (41-59 tahun) Dewasa lanjut (60 tahun-kematian) (Sumber: Hurlock, 2001) Total Jumlah 3 28 46 % 3,9 36,4 59,7

77

100

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa lebih dari setengah pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung berusia 60 tahun keatas yaitu (59,7%).

57

c. Menurut klasifikasi tekanan darah


Tabel 4.3 Distribusi frekuensi pasien menurut klasifikasi tekanan darah di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Tekanan darah Normal (sistole <120 mmHg dan diastole <80 mmHg) Prehipertensi (sistole 120-139 mmHg dan diastole 80-89 mmHg) Hipertensi tahap 1 (sistole140-159 mmHg dan diastole 90-99 mmHg) Hipertensi tahap 2 (sistole >160 mmHg dan diastole >100 mmHg) (JNC VII) Total 77 100 Jumlah 5 % 6,5

47

61,0

24

31,2

1,3

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa lebih dari setengah pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung memiliki tekanan darah berkisar antara sistole 120-139 mmHg dan diastole 80-89 mmHg (prehipertensi) sebanyak 47 orang (61,0%)

58

d. Menurut keteraturan kontrol


Tabel 4.4 Distribusi frekuensi pasien menurut keteraturan kontrol di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Teratur kontrol Teratur Tidak teratur Total Jumlah 58 19 77 % 75,3 24,7 100

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebagian pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung teratur kontrol ke rumah sakit sebanyak (75,3%).

59

e. Menurut pekerjaan
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi pasien menurut pekerjaan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Pekerjaan Swasta PNS Wirausaha Dll (ibu rumah tangga pensiun) Total Jumlah 8 14 8 47 77 % 10,4 18,2 10,4 61,0 100

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa lebih dari setengah pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung adalah ibu rumah tangga atau sudah pensiun (dll) sebanyak (61,0%).

60

f. Menurut pendidikan
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi pasien menurut pendidikan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Pendidikan SD SMP SMA PT Dll Total Jumlah 1 10 37 25 4 77 % 1,3 13,0 48,1 32,5 5,2 100

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa kurang dari setengah pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung memiliki pendidikan terakhir SMA (48,1%).

B. Hasil Penelitian 1. Analisis Univariat Hasil analisis univariat yang meliputi gaya hidup pada pasien hipertensi yaitu konsumsi lemak, konsumsi natrium, merokok, stres emosional, konsumsi alkohol, dan obesitas sebagai variabel bebas (independen) serta resiko terjadinya stroke (sebagai variabel terikat (dependen).

61

a. Variabel Independen 1) Gaya hidup Secara umum, didapatkan gaya hidup pada pasien hipertensi di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam adalah:
Tabel 4.7 Distribusi frekuensi pasien menurut gaya hidup di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Kategori Baik Buruk Total Jumlah 33 44 77 % 42,9 57,1 100

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa lebih dari setengah pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung memiliki gaya hidup buruk sebanyak (57,1%). 2) Konsumsi lemak
Tabel 4.8 Distribusi frekuensi pasien menurut konsumsi lemak di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Kategori Konsumsi lemak Tidak konsumsi lemak Total Jumlah 60 17 77 % 77,9 22,1 100

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa sebagian besar pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung mengkonsumsi lemak (77,9%).

62

3) Konsumsi natrium
Tabel 4.9 Distribusi frekuensi menurut konsumsi natrium di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Kategori Konsumsi natrium Tidak konsumsi natrium Total Jumlah 44 33 77 % 57,1 42,9 100

Tabel 4.9 menunjukkan bahwa lebih dari setengah pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung mengkonsumsi natrium (57,1%).

4) Merokok
Tabel 4.10 Distribusi frekuensi menurut merokok di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Kategori Merokok Tidak merokok Total Jumlah 51 26 77 % 66,2 33,8 100

Tabel 4.10 menunjukkan bahwa lebih dari setengah

pasien

hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung merokok sebanyak (66,2%).

63

5) Stres emosional
Tabel 4.11 Distribusi frekuensi menurut stres emosional di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Kategori Stres emosional Tidak stres emosional Total Jumlah 53 24 77 % 68,8 31,2 100

Tabel 4.11 menunjukkan bahwa lebih dari setengah

pasien

hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung stres emosional sebanyak (68,8%).

6) Konsumsi alkohol Tabel 4.12 Distribusi frekuensi pasien menurut konsumsi alkohol di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Kategori Ya Tidak Total Jumlah 17 60 77 % 22,1 77,9 100

Tabel 4.12 menunjukkan bahwa sebagian besar pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung tidak mengkonsumsi alkohol (77,9%).

64

7) Obesitas
Tabel 4.13 Distribusi frekuensi pasien menurut Obesitas di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Kategori Obesitas Tidak obesitas Total Jumlah 7 70 77 % 9,1 90,9 100

Tabel 4.13 menunjukkan bahwa hampir seluruh pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung tidak obesitas sebanyak (90,9%).

b. Variabel Dependen 1) Resiko terjadinya stroke


Tabel 4.14 Distribusi pasien menurut resiko terjadinya stroke di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Kategori Ada resiko stroke Tidak ada resiko stroke Total Jumlah 47 30 77 % 61,0 39,0 100

Tabel 4.14 menunjukkan bahwa lebih dari setengah hipertensi

pasien

yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan

Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung memiliki resiko stroke sebanyak (61,0%).

65

2. Analisis Bivariat a. Hubungan Gaya Hidup Pada Pasien Hipertensi Dengan Resiko Terjadinya Stroke
Tabel 4.15 Analisis Hubungan Antara Gaya Hidup dengan Resiko Terjadi Stroke Pada Pasien Hipertensi Yang Sedang Rawat Jalan Di Poliklinik Jantung Dan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Resiko stroke Tidak Terjadi terjadi F % F % 10 30,3 23 69,7 37 84,1 7 15,9 47 61.0 30 39.0

Gaya hidup Baik Buruk Total

Total F 33 44 77 % 100 100 100

P-value

0,000

Berdasarkan data pada tabel 4.15 menunjukkan bahwa hubungan antara gaya hidup pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung, dari 33 pasien yang memiliki gaya hidup baik, sebanyak 10 orang (30,3%) memiliki resiko terjadinya stroke. Untuk gaya hidup buruk, dari 44 pasien, sebanyak 37 orang (84,1%) memiliki resiko terjadinya stroke. Secara statistik didapatkan bahwa semakin baik gaya hidup pada pasien hipertensi, maka resiko terjadinya stroke pun menurun. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,000 (<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, hal ini

66

memperlihatkan bahwa ada hubungan antara gaya hidup dengan resiko terjadinya stroke pada pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

b. Hubungan Gaya Hidup: Konsumsi Lemak Pada Pasien Hipertensi Dengan Resiko Terjadinya Stroke
Tabel 4.16 Analisis Hubungan Antara Konsumsi Lemak dengan Resiko Terjadi Stroke Pada Pasien Hipertensi Yang Sedang Rawat Jalan Di Poliklinik Jantung Dan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Konsumsi lemak Ya Tidak Total Resiko stroke Ya Tidak F % F % 40 66,7 20 33,3 7 41,2 10 58,8 47 61,0 30 39,0 Total F 60 17 77 % 100 100 100 Pvalue 0,105

Berdasarkan data pada tabel 4.16 menunjukkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,105 (>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak, hal ini memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi lemak pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Secara statistik didapatkan data yang

67

signifikan yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi lemak pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke, walaupun dari 60 pasien yang mengkonsumsi lemak, terdapat 40 pasien (66,7%) yang memiliki resiko stroke sedangkan bagi 17 pasien yang tidak mengkonsumsi lemak, terdapat 7 orang (41,2%) yang memiliki resiko terjadinya stroke.

c. Hubungan Gaya Hidup: Konsumsi Natrium Pada Pasien Hipertensi Dengan Resiko Terjadinya Stroke
Tabel 4.17 Analisis Hubungan Antara Konsumsi Natrium Pada PasienHipertensi dengan Resiko Terjadi Stroke Yang Sedang Rawat Jalan Di Poliklinik Jantung Dan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Konsumsi natrium Ya Tidak Total Resiko stroke Ya Tidak F % F % 37 84,1 7 15,9 10 30,3 23 69,7 47 61,0 30 39,0 Total F 44 33 77 % 100 100 100 Pvalue 0.000

Berdasarkan data pada tabel 4.17 menunjukkan bahwa hubungan antara konsumsi natrium pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung, dari 44 pasien yang mengkonsumsi natrium, sebanyak 37 pasien yang memiliki resiko

68

stroke (84,1%), sedangkan dari 33 pasien yang tidak mengkonsumsi natrium, sebanyak 10 orang (30,3%) yang memiliki resiko stroke. Secara statistik didapatkan bahwa semakin sedikit pasien hipertensi mengkonsumsi natrium, resiko terhadap stroke pun menurun. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,00 (<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, hal ini memperlihatkan bahwa ada hubungan antara konsumsi natrium dengan resiko terjadinya stroke pada pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

d. Hubungan Gaya Hidup: Merokok Pada Pasien Hipertensi Dengan Resiko Terjadinya Stroke
Tabel 4.18 Analisis Hubungan Antara Merokok dengan Resiko Terjadi Stroke Pada Pasien Hipertensi Yang Sedang Rawat Jalan Di Poliklinik Jantung Dan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Resiko stroke Ya Tidak F % F % 37 72,5 14 27,5 10 38,5 16 61,5 47 61,0 30 39,0 Total F 51 26 77 % 100 100 100 Pvalue

Merokok Ya Tidak Total

0,008

Berdasarkan data pada tabel 4.18 menunjukkan bahwa hubungan antara merokok pada pasien hipertensi dengan resiko

69

terjadinya stroke di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung dengan resiko terjadinya stroke, dari 51 pasien yang merokok, sebanyak 37 yang memiliki resiko stroke (72,5%), sedangkan dari 26 pasien yang tidak merokok, sebanyak 10 orang (38,5%) yang memiliki resiko terjadinya stroke. Secara statistik didapatkan bahwa pasien hipertensi yang merokok memiliki resiko stroke yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien hipertensi yang tidak merokok. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,008 (<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, hal ini memperlihatkan bahwa ada hubungan antara merokok pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

70

e. Hubungan Gaya Hidup: Stres Emosional Pada Pasien Hipertensi Dengan Resiko Terjadinya Stroke
Tabel 4.19 Analisis Hubungan Antara Stres Emosional dengan Resiko Terjadi Stroke Pada Pasien Hipertensi Yang Sedang Rawat Jalan Di Poliklinik Jantung Dan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Stres Emosional Ya Tidak Total Resiko stroke Ya Tidak F % F % 34 64,2 19 35,8 13 54,2 11 45,8 47 61,0 30 39,0 Total F 53 24 77 % 100 100 100 Pvalue 0,562

Berdasarkan data pada tabel 4.19 menunjukkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,562 (>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak, hal ini memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan antara stres emosional pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Secara statistik didapatkan data yang signifikan yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara stres emosional pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke walaupun dari 53 pasien, sebanyak 34 orang (64,2%) yang memiliki resiko stroke sedangkan bagi 24 pasien yang tidak

71

mengalami stres emosional didapatkan sebanyak 13 orang (54,2%) yang memiliki resiko stroke.

f. Hubungan Gaya Hidup: Akohol Pada Pasien Hipertensi Dengan Resiko Terjadinya Stroke
Tabel 4.20 Analisis Hubungan Antara Alkohol dengan Resiko Terjadi Stroke Pada Pasien Hipertensi Yang Sedang Rawat Jalan Di Poliklinik Jantung Dan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Resiko stroke Ya Tidak F % F % 10 58,8 7 41,2 37 61,7 23 38,3 47 61,0 30 39,0 Total F 17 60 77 % 100 100 100

Alkohol Ya Tidak Total

P-value

0,888

Berdasarkan data pada tabel 4.20 menunjukkan bahwa hubungan antara konsumsi alkohol pada pasien hipertensi pada pasien hipertensi di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung dengan resiko terjadinya stroke, dari 17 pasien yang mengkonsumsi alkohol, sebanyak 10 orang (55,8%) yang memiliki resiko stroke, sedangkan dari 60 pasien yang tidak mengkonsumsi alkohol terdapat 37 orang (61,7%) yang memiliki resiko stroke. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value 1,000 (>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak, hal ini

72

memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi alkohol dengan resiko terjadinya stroke pada pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Dimungkinkan penyebab resiko stroke pada pasien hipertensi bukan berasal dari alkohol namun dari konsumsi natrium dan merokok.

g. Hubungan Gaya Hidup: Obesitas Pada Pasien Hipertensi Dengan Resiko Terjadinya Stroke
Tabel 4.21 Analisis Hubungan Antara Obesitas dengan Resiko Terjadi Stroke Pada Pasien Hipertensi Yang Sedang Rawat Jalan Di Poliklinik Jantung Dan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung (n=77) Resiko stroke Ya Tidak F % F % 2 28,6 5 71,4 45 42,7 25 35,7 47 61,0 30 39,0 Total F 7 70 77 % 100 100 100 Pvalue 0,103

Obesitas Ya Tidak Total

Berdasarkan data pada tabel 4.21 menunjukkan bahwa hubungan antara obesitas pada pasien hipertensi pada pasien hipertensi di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung dengan resiko terjadinya stroke, dari 7 pasien yang obesitas, sebanyak 2 pasien yang memiliki resiko

73

stroke (28,6%), sedangkan dari 70 pasien yang tidak obesitas sebanyak 45 orang (42,7%) yang memiliki resiko stroke. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,103 (>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak, hal ini memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan antara obesitas dengan resiko terjadinya stroke pada pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Dimungkinkan penyebab hipertensi bukan dari obesitas namun dari konsumsi natrium dan merokok.

C. Pembahasan Peneliti akan menjelaskan pembahasan tentang hubungan gaya hidup pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. 1. Univariat a. Gaya Hidup Gaya hidup sering merupakan faktor resiko penting bagi timbulnya hipertensi pada seseorang. Gaya hidup modern dengan pola makan dan gaya hidup tertentu, cenderung mengakibatkan terjadinya hipertensi yaitu konsumsi lemak, konsumsi natrium, merokok, stres emosional, konsumsi alkohol dan obesitas (Anies, 2006).

74

Dari penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa sebagian besar pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung gaya hidup buruk 44 pasien (57,1%). Dalam penelitian ini gaya hidup buruk yaitu seringnya pasien mengkonsumsi lemak, mengkonsumsi natrium, merokok, stres emosional, mengkonsumsi alkohol dan obesitas. Menurut hasil jurnal (Sigarlaki, Herke 2006) yang berjudul Karakteristik dan Faktor yang berhubungan dengan hipertensi Di Desa Bocor Kecamatan Bulus Pesantren Jawa Tengah mengatakan bahwa faktor-faktor yang menjadi penyebab hipertensi antara lain usia,jenis kelamin dan diet. Menurut jurnal (Lewa,I,dkk,2010) yang berjudul Faktor-

Faktor Resiko Hipertensi Sistolik Terisolasi pada Lanjut Usia, prevalensi dan kejadian hipertensi akan meningkat seiring

bertambahnya usia dan diperkirakan 55% dari populasi akan mengalami hipertensi pada usia 60 tahun dan 65% pada usia >70 tahun. Berdasarkan hasil penelitian dalam jurnal (VR,Pratiwi,2013) bahwa lansia yang mengalami hipertensi sebanyak 62,1% berjenis kelamin perempuan dan mengalami obesitas.

75

Dilihat dari hasil penelitian dan jurnal di atas, gaya hidup yang buruk dapat menyebabkan hipertensi. Gaya hidup buruk dalam penelitian ini yaitu seringnya pasien mengkonsumsi lemak,

mengkonsumsi natrium, merokok, stres emosional, mengkonsumsi alkohol dan obesitas. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 60 pasien (77,9%) yang mengkonsumsi lemak, 44 pasien (57,1%) mengkonsumsi natrium, 51 pasien (66,2%) merokok dan 53 pasien (68,8%) mengalami stres emosional. Didukung dengan lebih dari setengah pasien yang berjenis kelamin perempuan dan berusia 60 tahun ke atas (lansia), dimana jenis kelamin dan usia juga berpengaruh pada kejadian hipertensi. b. Konsumsi lemak Secara teori konsumsi lemak yang berlebihan dapat

menyebabkan meningkatnya berat badan. Semakin besar massa tubuh maka semakin banyak darah yang dibutuhkan untuk menyampaikan oksigen dan zat gizi ke dalam jaringan tubuh. Artinya volume darah di dalam pembuluh darah bertambah sehingga memberikan tekanan yang lebih besar pada dinding pembuluh darah arteri. Asupan lemak jenuh berlebih juga mengakibatkan kadar lemak dalam tubuh meningkat, terutama kolesterol. Kolesterol yang berlebih akan menumpuk pada dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan penyumbatan aliran

76

darah yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Asupan lemak yang dianjurkan adalah 27% dari total energi dan <6% adalah jenis lemak jenuh (Ramayulis, Rita, 2010). Menurut jurnal Universitas Siliwangi tahun 2012 tentang Hubungan Kebiasaan Konsumsi Lemak Jenuh Dan Obesitas Sentral Dengan Kolesterol Total Pada Dosen dan Karyawan Universitas Siliwangi Tasikmalaya 2012 hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara konsumsi lemak dengan terjadinya obesitas. Menurut jurnal (Darmastomo,Punto,2009) tentang Hubungan antara Persentase Lemak Tubuh, Lingkar Pinggang, Kolesterol Total Darah, dan Trigliserida Darah dengan Tekanan Darah (Studi pada Pegawai Negeri Sipil SMA 8 Semarang), obesitas dan dislipidemia merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan hipertensi. Dari penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa sebagian besar pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung mengkonsumsi lemak 60 pasien (77,9%). Dilihat dari hasil penelitian dan jurnal di atas maka konsumsi lemak akan mempengaruhi obesitas dan kadar kolestrol darah yang akan berpengaruh pada peningkatan tekanan darah. Kolestrol yang berlebih akan menumpuk pada dinding pembuluh darah sehingga

77

menyebabkan penyumbatan aliran darah

dan berakibat pada

peningkatan tekanan darah. Selain itu, konsumsi lemak yang berlebihan akan meningkatkan berat badan, volume darah di dalam pembuluh darah bertambah sehingga memberikan tekanan yang lebih besar pada dinding pembuluh darah arteri dan meningkatkan tekanan darah. Didukung oleh lebih dari setengah pasien yang berjenis

kelamin perempuan dan berusia 60 tahun ke atas (lansia), dimana jenis kelamin dan usia juga berpengaruh pada kejadian hipertensi. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan konsumsi lemak yaitu suka makan jeroan, makan makanan yang mengandung santan dan minyak, makan es krim dan makan dalam porsi banyak.

c. Konsumsi natrium Secara teori ion natrium mengakibatkan retensi air sehingga volume darah bertambah dan menyebabkan daya-tahan pembuluh darah meningkat. Juga memperkuat efek vasokontriksi nordrenalin. Secara statistik ternyata bahwa pada kelompok penduduk yang menggonsumsi terlalu banyak garam lebih banyak hipertensi daripada orang-orang yang memakan sedikit garam (Tjay,Tan dan Kirana Raharja, 2007). Menurut (Adrogu, HJ, dkk,2007) dalam The New England Of Journal yang berjudul Mechanisms Of Disease : Sodium And

78

Potassium In The Pathogenesis Of Hypertension menyatakan bahwa konsumsi natrium sebanyak 50-100 mmol per hari tidak berdampak pada kenaikan tekanan darah. Namun apabila konsumsi per hari meningkat hingga 50 mmol maka ditemukan peningkatan tekanan darah dengan sistolik meningkat sebesar 5 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 3 mmHg. Menurut (Hermasen,K,2000) dalam British Journal of Nutrition tentang Diet, Blood Pressure And Hypertension menyatakan bahwa modifikasi gaya hidup penting untuk mencegah hipertensi yaitu membatasi asupan natrium klorida setiap hari untuk kurang dari 6 gram. Asupan natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium didalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya, cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan

ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga

berdampak kepada timbulnya hipertensi (Sutomo, Budi,2009). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang dari setengah pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung

mengkonsumsi natrium 44 pasien (57,1%).

79

Dilihat dari hasil penelitian dan jurnal di atas maka konsumsi natrium akan mempengaruhi tekanan darah. Konsumsi natrium dalam penelitian ini antara lain mengkonsumsi makanan yang diawetkan, makanan yang diasinkan, suka makanan dengan cita rasa asin dan suka minum soft drink. Ini mengakibatkan retensi air sehingga volume darah bertambah dan menyebabkan daya tahan pembuluh darah meningkat dan tekanan darah pun meningkat. Didukung oleh lebih dari setengah pasien yang berjenis kelamin perempuan dan berusia 60 tahun ke atas (lansia), dimana jenis kelamin dan usia juga berpengaruh pada kejadian hipertensi.

d. Merokok Secara teori menghisap rokok berarti menghisap nikotin dan karbon monoksida. Nikotin akan masuk ke dalam aliran darah dan segera mencapai otak. Otak akan memberikan sinyal kepada kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon adrenalin. Hormon adrenalin akan menyempitkan pembuluh darah sehingga terjadi tekanan yang lebih tinggi. Gas karbon monoksida dapat menyebabkan pembuluh darah tegang dan kondisi kejang otot sehingga tekanan darah pun naik. Dengan merokok 2 batang saja, tekanan darah sistolik dan diastolik akan meningkat sebesar 10 mmHg. Peningkatan tekanan darah akan

80

menetap hingga 30 menit setelah berhenti mengisap rokok. Saat efek nikotin perlahan menghilang, tekanan darah pun akan menurun perlahan. Namun, pada perokok berat, tekanan darah akan selalu berada pada level tinggi (Ramayulis, Rita, 2010). Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat diubah, adapun hubungan merokok dengan hipertensi adalah nikotin akan

menyebabkan peningkatan tekanan darah karena nikotin akan diserap pembuluh darah kecil dalam paru-paru dan diedarkan oleh pembuluh darah hingga ke otak, otak akan bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas efinefrin
(adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh

darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Karbon monoksida dalam asap rokok juga menggantikan oksigen dalam darah. Hal ini akan mengakibatkan tekanan darah karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ dan jaringan tubuh ( Astawan, 2002 ). Jurnal Penelitian (S,Martini,dkk,2004) yang berjudul Perbedaan Resiko Kejadian Hipertensi Menurut Pola Merokok mengatakan bahwa merokok adalah faktor resiko utama untuk morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, salah satunya adalah hipertensi. Analisis

81

bivariat dan multivariat menunjukkan bahwa perbedaan resiko hipertensi dengan kejadian merokok adalah lamanya merokok. Kasus hipertensi bisa menurun sampai lebih dari 65% jika faktor resiko dapat dihilangkan. Dari hasil penelitian menunjukkan menunjukkan bahwa lebih dari setengah pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung merokok sebanyak 51 pasien (66,2%). Melihat hasil penelitian dan jurnal di atas maka merokok

mempengaruhi hipertensi. Yang dimaksud merokok dalam penelitian ini adalah pasien merupakan perokok aktif, di rumah pasien terdapat perokok aktif dan reponden menyatakan tidak bisa berhenti merokok. Hal ini dapat menyebabkan terjadi peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh nikotin dan karbon monoksida yang masuk ke dalam tubuh. Didukung oleh lebih dari setengah pasien yang berjenis kelamin perempuan dan berusia 60 tahun ke atas (lansia), dimana jenis kelamin dan usia juga berpengaruh pada kejadian hipertensi . e. Stres emosional Secara teori stres adalah respon alami dari tubuh dan jiwa saat seseorang mengalami tekanan dari lingkungan. Stres berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekhawatiran yang terus-menerus.

82

Akibatnya, tubuh akan melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan lebih kuat sehingga tekanan darah akan meningkat (Ramayulis, Rita, 2010). Dari hasil penelitian menunjukkan menunjukkan bahwa lebih dari setengah pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung stres emosional sebanyak 53 pasien (68,8%). Menurut teori Jurnal (Korneliani,K, 2012) tentang Hubungan Obesitas Dan Stres Dengan Kejadian Hipertensi Guru SD Wanita menunjukkan bahwa ada hubungan antara stres dengan kejadian hipertensi. Dari hasil penelitian dan jurnal di atas maka stres emosional mempengaruhi hipertensi. Stres emosional antara lain saat banyak pikiran pasien mengalami gangguan tidur, sulit berkonsentrasi, kehilangan minat dan kemauan, dll. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan darah akibat dari tubuh melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan lebih kuat sehingga tekanan darah akan meningkat. Didukung pula oleh lebih dari setengah pasien yang berjenis kelamin perempuan dan berusia 60 tahun ke atas (lansia), dimana jenis kelamin dan usia juga berpengaruh pada kejadian hipertensi.

83

f. Konsumsi alkohol Pengaruh alkohol secara kronis meningkatkan tekanan darah. Pengaruh tadi lebih banyak pada sitole (Joewana,Satya, 2003). Efek mengkonsumsi alkohol yaitu menganggu keseimbangan cairan dan memberi efek inotropik negatif sehingga dapat meningkatkan tekanan darah (Gray, Huon, dkk, 2002). Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa konsumsi alkohol berat dengan kriteria lebih dari satu kali minum dalam sehari bagi wanita dan dua kali bagi pria akan meningkatkan tekanan darah sepanjang siang dan malam hari dan resiko penyakit jantung, yaitu satu kali minum setara dengan 360 ml bir, 150 ml anggur dengan rata-rata mengandung 12% alkohol, atau 45 ml minuman distalasi seperti wiski scotch, gin, vodka, atau bourbon (Robert E. Kowalski, 2010). Menurut (Hermasen,K,2000) dalam British Journal of

Nutrition tentang Diet, Blood Pressure And Hypertension menyatakan bahwa modifikasi gaya hidup penting untuk mencegah hipertensi yaitu dengan membatasi konsumsi alkohol tidak ada lebih dari 30 ml/hari untuk pria dan 15 ml/hari untuk wanita. Dalam artikel publikasi yang berjudul Alcohol And

Hypertension: Gender Differences In DoseResponse Relationships Determined Through Systematic Review And Meta-Analysis,

84

menyatakan bahwa ada hubungan antara konsumsi alkohol lebih dari 5 gram/hari dengan kejadian hipertensi. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung tidak mengkonsumsi alkohol 60 pasien (77,9%). Dari jurnal di atas memperlihatkan bahwa konsumsi alkohol mempengaruhi hipertensi. Yang dimaksud konsumsi alkohol yaitu pasien sering mengkonsumsi alkohol dan merasa tidak terganggu saat mengkonsumsi alkohol dan minum alkohol lebih dari 1 gelas/hari. Hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung tidak mengkonsumsi alkohol 60 pasien (77,9%). Hal ini menyebabkan efek inotropik negatif menurun sehingga tekanan darah pun menurun. Pasien jarang yang mengkonsumsi alkohol dimungkinkan akibat budaya Indonesia yang tidak biasa untuk mengkonsumsi alkohol dan bagi beberapa agama konsumsi alkohol dianggap haram seperti dalam Jurnal Fiqh tahun 2010 yang berjudul Penentuan Piawaian Alkohol Dalam Makanan Yang Dibenarkan Dari yang Perspektif Islam menyatakan bahwa 5%

makanan/minuman diharamkan.

mengandung

alkohol

sebanyak

85

g. Obesitas Menurut teori berat badan berlebihan menyebabkan

bertambahnya volume darah dan perluasan sistem sirkulasi. Bila bobot ekstra dihilangkan tekanan darah dapat turun kurang lebih 0,7/0,5 mmHg setiap kg penurunan. Dianjurkan BMI antara 18,5-24,9 kg/m2 (Tjay,Tan dan Kirana Raharja, 2007). Menurut Jurnal Kesehatan Masyarakat tahun 2012 Hubungan Obesitas Dan Stres Dengan Kejadian Hipertensi Guru SD Wanita Hasil penelitian menunjukkan bahwa obesitas berhubungan dengan kejadian. Menurut Jurnal (CD,Brown,dkk,2000) Obesity Research berjudul Body Mass Index and the Prevalence of Hypertension and Dyslipidemia lebih dari satu-setengah dari populasi orang dewasa memiliki kelebihan berat badan dengan BMI (Body Mass Index) sebesar 25-29,9 atau obesitas dengan BMI (Body Mass Index) sebesar 30. Prevalensi tekanan darah tinggi dan rata-rata tingkat sistolik dan tekanan darah diastolik meningkat saat BMI (Body Mass Index) meningkat di usia lebih muda dari 60 tahun. Prevalensi

kolesterol darah tinggi dan kadar rata-rata kolesterol adalah lebih tinggi pada tingkat BMI (Body Mass Index) lebih dari 25 daripada di bawah 25 tetapi tidak tidak meningkatkan konsisten dengan meningkatnya BMI (Body Mass Index) di atas 25.

86

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa menunjukkan bahwa sebagian besar pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung tidak obesitas sebanyak 70 pasien (90,9%). Dari jurnal di atas memperlihatkan bahwa obesitas

mempengaruhi hipertensi. Obesitas dalam penelitian ini yaitu pasien memiliki IMT >30 kg/m2. Hasil yang didapatkan pasien yang tidak obesitas sebanyak 70 orang (90,9%). Hal ini menyebabkan volume darah tetap dan tidak ada perluasan sistem sirkulasi yang menyebabkan penurunan tekanan darah.

h. Resiko stroke Menurut teori serangan stroke sering kali datang secara mendadak, tidak terduga sebelumnya. Namun pada beberapa kasus, terutama stroke tipe iskemik, biasanya didahului oleh semacam peringatan yang dikenal sebagai transient ischemic attack (TIA). Gejala TIA mirip dengan stroke kecuali durasi waktu. TIA hanya berlangsung selama beberapa menit atau kurang dari 24 jam, dan penderita akan kembali normal seperti sediakala. Sedangkan stroke berlangsung selama 24 jam atau lebih, meninggalkan kecacatan menetap, atau berakhir dengan kematian. Faktor resiko stroke yang dapat diubah salah satunya hipertensi. Hipertensi yang berlangsung

87

lama dan tidak diobati beresiko menimbulkan berbagai penyakit seperti kegagalan jantung kongestif, kelainan saraf mata, gagal ginjal, maupun stroke (Wahyu, Genis, 2010). Dalam jurnal Sorot tahun 2012 tentang prevalensi hipertensi dan determinannya di Indonesia menyebutkan bahwa penyakit hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peluang 7 kali lebih besar terkena stroke, 6 kali lebih besar terkena congestive heart failure, dan 3 kali lebih besar terkena serangan jantung. Dilihat dari angka kejadian komplikasi pada penyakit hipertensi, peluang untuk terjadinya stroke paling besar diantara penyakit congestive heart failure dan serangan jantung. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari setengah pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung memiliki resiko stroke 47 pasien (61,0%). Dari jurnal di atas memperlihatkan bahwa hipertensi Resiko

mempengaruhi pada kejadian resiko terjadinya stroke.

terjadinya stroke antara lain merasa baal pada tungkai dan lengan satu sisi tubuh, sulit untuk berjalan, kesulitan berbicara seperti biasa dan kebingungan tanpa sebab yang jelas.

88

2. Bivariat a. Hubungan gaya hidup pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. Dari hasil penelitian didapatkan pasien dengan gaya hidup buruk dan beresiko terjadinya stroke sebanyak 37 orang (84,1%). Didapatkan p value 0,000 (<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, hal ini memperlihatkan bahwa ada hubungan antara gaya hidup dengan resiko terjadinya stroke pada pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Dalam jurnal Sorot tahun 2012 tentang prevalensi hipertensi dan determinannya di Indonesia menyebutkan bahwa penyakit hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peluang 7 kali lebih besar terkena stroke, 6 kali lebih besar terkena congestive heart failure, dan 3 kali lebih besar terkena serangan jantung. Dilihat dari angka kejadian komplikasi pada penyakit hipertensi, peluang untuk terjadinya stroke paling besar diantara penyakit congestive heart failure dan serangan jantung. Dalam jurnal (Chiuve, SE,dkk,2008) dalam American Health Association yang berjudul Primary Prevention of Stroke by Healthy Lifestyle mengatakan bahwa gaya hidup yang beresiko rendah yang

89

dikaitkan dengan penurunan resiko beberapa penyakit kronis juga mungkin bermanfaat dalam pencegahan stroke, stroke iskemik khususnya. Dilihat dari jurnal di atas dan hasil penelitian yang dilakukan mempertegas hubungan antara gaya hidup buruk pada pasien hipertensi lebih tinggi untuk memiliki resiko terjadinya stroke.

b. Hubungan gaya hidup: konsumsi lemak pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. Dari hasil penelitian didapatkan pasien yang mengkonsumsi lemak dan beresiko stroke sebanyak 40 orang (51,9%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,105 (>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak, hal ini memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi lemak dengan resiko terjadinya stroke pada pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Menurut penelitian Reddy, Srinath and Martijn,Katan, 2003 tentang Diet, Nutrition And The Prevention Of Hypertension And Cardiovascular Diseases menyatakan bahwa konsumsi lemak berlebih dapat meningkatkan stroke. Ada perbedaan antara jurnal dan hasil penelitian. dari hasil penelitian yang didapatkan bahwa tidak ada

90

hubungan antara gaya hidup: konsumsi lemak dengan resiko terjadinya stroke. Dilihat dari karakteristik responden yang terdapat di jurnal dengan dalam penelitian ini berbeda salah satunya ras. Untuk mengkonsumsi pencegahan obat-obatan hipertensi hipertensi salah satunya adalah dan H.

(Marliani,Lili

Tantan,2007). Dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa pasien di Klinik Jantung dan Penyakit Dalam teratur kontrol di rumah sakit sehingga pasien mendapatkan obat-obatan anti hipertensi dan lebih paham tentang bahaya konsumsi lemak pada pasien hipertensi. Didukung juga dengan tingkat pendidikan yang paling banyak yaitu SMA sebanyak 37 pasien (48,1%) dan perguruan tinggi 25 pasien (32,5%) yang mendukung informasi yang telah diberikan di rumah sakit mampu dimengerti dengan lebih baik oleh pasien sehingga menghasilkan perubahan sikap yang baik dan tempat tinggal pasien yang terletak di perkotaan menyebabkan mudahnya mengakses informasi dari media cetak maupun media elektronik.

c. Hubungan gaya hidup: konsumsi natrium pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. Dari hasil penelitian didapatkan pasien yang mengkonsumsi natrium dan beresiko stroke sebanyak 37 orang (84,1%). Hasil uji

91

statistik diperoleh nilai p value 0,000 (<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, hal ini memperlihatkan bahwa ada hubungan antara konsumsi natrium dengan resiko terjadinya stroke pada pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Penelitian ini diperkuat dengan jurnal (Adrogu,HJ,dkk,2007) The New England Journal Of Medicine Tentang Sodium And Potassium In The Pathogenesis Of Hypertension mengatakan bahwa konsumsi natrium dan kalium lebih dari 150 mmol per hari akan meningkatkan tekanan darah pada penderita hipertensi akan meningkatkan tekanan darah, apabila hal ini berlanjut maka akan berakibat pada terjadinya penyakit kardiovaskular. Dalam (Wahyuningsih,A,dkk,2012) menunjukkan ada hubungan kepatuhan diet dengan kejadian komplikasi pada penderita hipertensi. Hal ini disebabkan karena kepatuhan diet pada penderita hipertensi adalah patuh dan kejadian komplikasi pada penderita hipertensi adalah tidak terjadi komplikasi. Penderita hipertensi patuh dalam melaksanakan perintah, mentaati aturan dan disiplin dalam menjalankan program diet yang telah ditentukan. Selain itu penderita hipertensi juga patuh terhadap diet rendah garam, tidak merokok, menghindari obesitas dan tidak minum alkohol sehingga komplikasi hipertensi dapat dikendalikan.

92

Selain itu, dilihat dari karakteristik pasien yang berobat di Klinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung, sebagian besar berasal dari Jawa Barat yang menyukai makanan yang asin seperti ikan asin. Tempat tinggal para pasien pun di perkotaan sehingga memiliki gaya hidup yang praktis. Ditegaskan oleh (Dalimartha, Setiawan, 2008) yaitu modernisasi biasanya mengubah gaya hidup menjadi lebih praktis.

d. Hubungan gaya hidup: merokok pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,008 (<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, hal ini

memperlihatkan bahwa ada hubungan antara merokok pada pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Hal ini diperkuat oleh beberapa jurnal, yaitu Jurnal Kedokteran Yarsi tahun 2003 berjudul merokok sebagai resiko stroke oleh Soeparto Isyadi menjelaskan bahwa rokok meningkatkan resiko stroke sekitar 40% pada pria dan 60% pada wanita. Peningkatan resiko stroke dua kali lipat pada perokok berat.

93

Menurut Jurnal (Iswasi,S, 2001) berjudul Merokok Sebagai Resiko Stroke mengatakan bahwa meta-analisis studi ini menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor resiko stroke.Merokok merupakan kebiasaan sekaligus gaya hidup yang berdampak buruk bagi kesehatan. Asap rokok mengandung beberapa zat berbahaya yang sering disebut oksidator. Zat oksidator ini menimbulkan kerusakan pada dinding arteri. Dinding arteri yang rusak akibat asap rokok akan menjadi lokasi penimbunan lemak, sel trombosit, kolestrol, dan terjadi penebalan lapisan otot polos dinding arteri. Kondisi ini disebut sebagai aterotrombotik. Aterotrombotik menyebabkan diameter rongga arteri menyempit. Selain itu, aterotrombotik meyebabkan diameter rongga arteri menyempit. kerapuhan Selain dinding itu, aterotrombotik darah biasanya arteri. menyebakan

pembuluh

Aterotrombotik

menyebabkan aliran darah ke beberapa organ tubuh termasuk otak tersumbat dan beresiko menimbulkan stroke (Wahyu, Genis, 2010). Merokok dalam penelitian ini yaitu pasien merupakan perokok aktif, pasien mengatakan tidak dapat berhenti merokok, dan di rumah pasien ada salah satu anggota keluarga yang merokok sehingga pasien merasa seperti perokok pasif.

94

e. Hubungan gaya hidup: stres emosional pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. Pada hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,562 (>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak, hal ini memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan antara stres emosional pada pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Menurut penelitian (Prawesti,Dian dan Hesty Titis, 2012) tentang Stress With The Incidence Of Hipertension Complications To Patients With Hypertension mengatakan bahwa ada hubungan antara stres pada pasien hipertensi dengan terjadinya komplikasi hipertensi salah satunya stroke. Ada perbedaan antara jurnal dan hasil penelitian. Dari hasil penelitian yang didapatkan tidak terdapat hubungan antara gaya hidup: stres emosional pada pasien hipertensi dengan resiko stroke karena pasien teratur kontrol hipertensi sehingga mendapatkan obat antihipertensi yaitu sebanyak 58 pasien (75,3%) sehingga sudah diberikan pendidikan kesehatan tentang bahaya stres emosional terhadap peningkatan tekanan darah. Peneliti berpendapat bahwa pasien sering terpapar informasi dari media cetak dan media elektronik tentang bahaya stres pada hipertensi. Selain itu, pekerjaan lebih dari setengah pasien adalah pensiunan dan ibu rumah tangga dimungkinkan ketika

95

mengalami stres yang menggangu konsentrasi, pasien dapat istirahat sejenak dan behenti dari aktivitas yang sedang dilakukan karena pasien tidak bekerja lagi.

f. Hubungan gaya hidup: konsumsi alkohol pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. Dari hasil penelitian didapatkan pasien yang tidak konsumsi alkohol namun beresiko stroke sebanyak 37 orang (61,7%). Pada hasil uji statistik diperoleh nilai p value 1,000 (>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak, hal ini

memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi alkohol dengan resiko terjadinya stroke pada pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Penelitian oleh (Prawesti, Dian dan Hesty Titis Prasetyorini, 2012) mengatakan bahwa ada hubungan antara konsumsi alkohol pada pasien hipertensi dengan kejadian komplikasi hipertensi, salah satunya ialah stroke. Dari hasil penelitian yang didapatkan tidak terdapat hubungan antara gaya hidup: konsumsi alkohol pada pasien hipertensi dengan resiko stroke. Disebabkan pasien yang mengkonsumsi alkohol sedikit (61,0%) sehingga efek alkohol pada penderita hipertensi dengan

96

kejadian stroke pun menurun. Ini dapat disebabkan oleh perbedaan budaya dan ajaran agama di Indonesia yang jarang atau melarang untuk mengkonsumsi alkohol.

g. Hubungan gaya hidup: obesitas pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke. Dari hasil penelitian didapatkan pasien yang tidak obesitas namun beresiko stroke sebanyak 45 pasien (42,7%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,103 (>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak, hal ini memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan antara obesitas pada pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Penelitian oleh (Prawesti, Dian dan Hesty Titis Prasetyorini, 2012) mengatakan bahwa ada hubungan antara obesitas pada pasien hipertensi dengan kejadian komplikasi hipertensi, salah satunya ialah stroke. Dari hasil penelitian yang didapatkan tidak terdapat hubungan antara gaya hidup obesitas pada pasien hipertensi dengan resiko stroke. Dimungkinkan karena pasien teratur kontrol hipertensi sehingga mendapatkan obat anti-hipertensi yaitu sebanyak 58 pasien (75,3%). Juga bisa disebabkan oleh tingkat pendidikan pasien yaitu

97

SMA sebanyak 37 pasien (48,1%) dan perguruan tinggi 25 pasien (32,5%) sehingga pasien lebih mudah untuk menerima informasi yang diberikan tentang bahaya obesitas terhadap komplikasi hipertensi.

98

BAB V PENUTUP
A. Simpulan Setelah dilakukan penelitian terhadap 77 pasien hipertensi yang rawat jalan di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini didapatkan gaya hidup pada pasien hipertensi sebanyak 44 pasien (57,1%) memiliki gaya hidup buruk. 2. Hasil penelitian ini didapatkan gaya hidup: konsumsi lemak pada pasien hipertensi didapatkan sebanyak 60 pasien (77,9%) tidak mengkonsumsi lemak. 3. Hasil penelitian ini didapatkan gaya hidup: konsumsi natrium pada pasien hipertensi didapatkan sebanyak 44 pasien (57,1%) mengkonsumsi natrium. 4. Hasil penelitian ini didapatkan gaya hidup: merokok pada pasien hipertensi didapatkan sebanyak 51 pasien (66,2%) yang merokok. 5. Hasil penelitian ini didapatkan gaya hidup: stres emosional pada pasien hipertensi didapatkan sebanyak 53 pasien (68,8%) yang stres emosional. 6. Hasil penelitian ini didapatkan gaya hidup: konsumsi alkohol pada pasien hipertensi didapatkan sebanyak 60 pasien (77,9%)

99

7.

Hasil penelitian ini didapatkan gaya hidup: obesitas pada pasien hipertensi didapatkan sebanyak 70 pasien (87,5%) yang tidak obesitas.

8. Hasil penelitian ini didapatkan resiko terjadinya stroke pada pasien hipertensi didapatkan sebanyak 47 (61,0%) pasien yang beresiko stroke. 9. Hasil penelitian ini didapatkan ada hubungan antara gaya hidup dengan resiko terjadinya stroke dengan p-value 0,000 (<0,05). 10. Hasil penelitian ini didapatkan tidak ada hubungan antara gaya hidup: konsumsi lemak pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke dengan p-value 0,105 (>0,05). 11. Hasil penelitian ini didapatkan ada hubungan gaya hidup: konsumsi natrium pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke dengan pvalue 0,000 (<0,05). 12. Hasil penelitian ini didapatkan ada hubungan gaya hidup: merokok pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke dengan p-value 0,008 (<0,05). 13. Hasil penelitian ini didapatkan tidak ada hubungan gaya hidup: stres emosional pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke dengan p-value 0,562 (>0,05). 14. Hasil penelitian ini didapatkan tidak ada hubungan gaya hidup: alkohol pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke dengan p-value 0,888 (>0,05).

100

15. Hasil penelitian ini didapatkan tidak ada hubungan gaya hidup: obesitas pada pasien hipertensi dengan resiko terjadinya stroke dengan p-value 0,103 (>0,05).

B. Saran 1. Bagi pasien dengan hipertensi Gaya hidup buruk dapat berakibat terjadinya resiko stroke, oleh karena itu, perlu melakukan kontrol teratur dan mempertahankan gaya hidup sehat.

2. Bagi STIKes St. Borromeus a. Penelitian ini diharapkan menambah bahan literatur bagi bagian perpustakaan di Stikes St. Borromeus.

3. Bagi Rumah Sakit Santo Borromeus a. Melakukan penyuluhan secara kontinue pada pasien hipertensi tentang gaya hidup yang baik. b. Menambah leaflet atau brosur yang berhubungan dengan gaya hidup yang baik pada pasien hipertensi.

4. Bagi peneliti selanjutnya Menjadi bahan rujukan untuk penelitian tentang gaya hidup yang paling beresiko terhadap terjadinya resiko stroke.

Anda mungkin juga menyukai