Anda di halaman 1dari 6

b. Verbatim II Jeffry dan Fernando adalah mahasiswa di Kupang NTT.

Jeffry adalah seorang pemuda yang berasal dari Kupang dan Fernando adalah mahasiswa dari Buacau, Timtim. Mereka sudah berteman beberapa tahun dan sering dikira anak kembar. Sekali-sekali Fernando bercerita tentang pengalamannya sebagai anak Timtim, namun ia lebih banyak diam. Orangnya memang pendiam. Namun demikian, pada waktu peristiwa referendum rakyat Timtim, Fernando tambah gencar mengungkapkan pendapatnya. Dia bercerita kepada Jeffry bahwa ayah dan kedua kakaknya dibunuh oleh tentara beberapa tahun yang lalu dan dia mulai menunjukkan bendera Timor Leste. Jeffri tidak mengerti. Dia coba memperhatikan Fernando sebagai pendamping, karena Fernando kelihatan sangat emosional. Jeffry : Nando, kok kamu seperti gerilyawan sekarang. Saya selalu berpikir bahwa kamu orang Indonesia seperti kami (Jeffry tampak tersinggung). Kamu kok jadi nasionalis. Jangan lupa, banyak prajurit kita termasuk saudara ibu saya tewas di Timtim. Fernando : Itu bukan salah saya, Jeff. Saya tidak mengundang mereka. Jeffry : Kok, katanya diundang. Sudahlah, jangan kita bicara politik. Nanti tidak selesai, lalu kita marah-marahan terus satu sama lain. Fernando : Saya tidak menolak kamu sebagai kawan dan saudara, Jeff, saya Cuma menolak pemerintahan Indonesia di Timor Leste. Sudah terlalu banyak rakyat mati di sana. Sudah kami sebut sebagai tempat orang mati. Jeffry : Kamu marah dengan pemerintahan kami, rupanya? Fernando : Ya, saya amat marah. Jeffry : Kamu lebih suka orang Portu, saya rasa. Fernando : Ya, begitu. Jeffry : Kalau orang Portu dan orang Belanda tidak membagi pulau, kita sudah lama sungguhsungguh menjadi saudara. Kenapa kau bicara begitu? Orang Portu sudah dianggap sejarah sebagai penjajah yang paling acuh tak acuh,

Fernando : Tapi bagi orang tua kami, zaman Portu dilihat sebagai zaman emas. Saya sendiri tidak pernah mengetahuinya, tetapi saya menerimanya. Jeffry : Ada semacam kerinduan dalam hatimu untuk sesuatu yang belum pernah kamu alami. Fernando : Begitulah, biarlah. Jeffry : Hampir seperti kepercayaan agama. Fernando : Ya, sedikit seperti itu. Jeffry : Saya punya kakek dan nenek juga bicara begitu tentang zaman Belanda di Timor. Tampaknya mereka suka diperintah orang Belanda. Sampai sekarang kalau ada orang Belanda tinggal disana, banyak orang Timor lebih mendengarkan daripada pemimpinnya sendiri. Itulah yang membuat saya marah. Jangan kamu bicara demikian tentang orang Portu. Mereka penjajah kami, kan, kenapa mereka dianggap penyelamat. Fernando : Bukan penyelamat bung, bukan penyelamat. Kami cuma cari sesuatu untuk dipegang. Sudah lima ratus tahun sejarah orang-orang Timor dicuri dari mereka dan dua puluh terakhir merupakan zaman yang paling kejam. Sekarang saya mulai menceritakan perasaan saya. Saya seperti orang yang putus asa. Jeffry : Kenapa kamu bilang demikian? Fernando : Saya tidak tahu. Perasaan saya terlalu banyak. Jeffry : Jelaskanlah, jelaskan! Fernando : Saya tidak mampu. Jeffry : Apakah kamu membenci orang kita? Fernando : Tidak, tapi saya merasa orang disini tidak menerima saya. Mereka tidak paham kenapa kami mau merdeka. Kami punya rakyat yang seluruhnya dirundung duka. Tanah kami sudah hancur. Dan saya tetap harus dituduh dan dipersalahkan melalui mata orang disini seolaholah saya pengacau. Kenapa?! (suaranya mulai naik).

Jeffry : Saya mulai merasakan frustasimu. Seakan-akan kamu merasa kekejaman datang dari Indonesia dan kamu korban saja, namun orang melihatmu sebagai gerilyawan. Seperti saya tadi juga. Fernando : Betul, bung, betul. Jefrry : Itu sudah semua yang mengganggu kamu. Fernando : Oh, tidak, masih banyak. Jeffry : Silahkan kamu ceritakan. Saya mau dengar. Fernando : Terima kasih. Yang paling sulit, saya pikir saya merasa bersalah. Bersalah seratus kali. Jeffry : Kenapa, sayalah yang merasa bersalah. Seperti orang Amerika setelah perang Vietnam, saya merasa bersalah sebagai warga dari negara besar yang harus menerima keterbatasan kuasa dan hikmatnya. Kenapa kamu yang merasa bersalah? Fernando : Saya bersalah karena saya menerima beasiswa orang Indonesia untuk belajar di sini. Jeffry : Kamu merasa karena menerima beasiswa kamu harus menerima Indonesia sebagai penguasa di Timtim? Fernando : Seperti itu, tapi ada yang jauh lebih mendalam. Jeffry : Apa itu? Fernando : Ada pemuda di Timtim, pejuang di pegunungan yang menganggap saya pengkhianat karena belajar di sini. Nanti saya bisa menjadi pegawai tinggi di Timtim, sedangkan mereka hampir tidak bisa menulis. Jeffry : Seolah-olah kamu kurang menderita. Padahal kamu banyak menderita. Fernando : Iya, bung, iya (mulai mengeluarkan air mata), tapi ada lagi. Jeffry : Teruskanlah.

Fernando : Saya menderita semacam survivors guilt. Saya membaca tentang itu dalam buku psikologi. Saya pikir saya merasa bersalah karena saya masih hidup, dan begitu banyak yang sudah mati. Kakak-kakak saya sudah mati. Ayah saya sudah mati. Mati untuk kemerdekaan tanah air kami. Dan saya di sini diam saja, diam sampai sekarang. Saya merasa bersalah, malu, sampai kadang-kadang, saya tidak mau hidup. Jeffry : Barangkali sebagian dari keputusasaan kamu terletak di situ. Fernando : Mungkin, bung, mungkin.

Analisa : Fungsi membimbing : terlihat pada saat Jeffry membantu Fernando menemukan masalahnya. Contoh percakapan : Jeffry : Apakah kamu membenci orang kita? Fernando : Tidak, tapi saya merasa orang disini tidak menerima saya. Mereka tidak paham kenapa kami mau merdeka. Kami punya rakyat yang seluruhnya dirundung duka. Tanah kami sudah hancur. Dan saya tetap harus dituduh dan dipersalahkan melalui mata orang disini seolah-olah saya pengacau. Kenapa?! (suaranya mulai naik). Jeffry : Saya mulai merasakan frustasimu. Seakan-akan kamu merasa kekejaman datang dari Indonesia dan kamu korban saja, namun orang melihatmu sebagai gerilyawan. Seperti saya tadi juga. Fungsi menopang/menyokong : terlihat pada saat Jeffry ada untuk menopang dan mendengarkan yang menjadi permasalahan dari Fernando. Contoh percakapan : Jeffry : Saya mulai merasakan frustasimu. Seakan-akan kamu merasa kekejaman datang dari Indonesia dan kamu korban saja, namun orang melihatmu sebagai gerilyawan. Seperti saya tadi juga. Fernando : Betul, bung, betul. Jefrry : Itu sudah semua yang mengganggu kamu. Fungsi menyembuhkan : terlihat pada saat Jeffry peduli dan dengan sungguh-sungguh mendengarkan cerita dari Fernando. Contoh percakapan : Jeffry : Silahkan kamu ceritakan. Saya mau dengar. Fernando : Terima kasih. Yang paling sulit, saya pikir saya merasa bersalah. Bersalah seratus kali.

Jeffry (pendamping) berhasil menemukan penderitaan yang sebenarnya dari Fernando. Contoh percakapan : Jeffry : Saya mulai merasakan frustasimu. Seakan-akan kamu merasa kekejaman datang dari Indonesia dan kamu korban saja, namun orang melihatmu sebagai gerilyawan. Seperti saya tadi juga.

Di awal Jeffry belum berhasil untuk menunjukkan keterampilan emotif karena di awal Jeffry sempat ikut dalam emosi (tersinggung) namun selanjutnya Jeffry akhirnya mengerti dan bisa memahami apa yang dirasakan oleh Fernando. Contoh percakapan : (Awal) Jeffry : Nando, kok kamu seperti gerilyawan sekarang. Saya selalu berpikir bahwa kamu orang Indonesia seperti kami (Jeffry tampak tersinggung). Kamu kok jadi nasionalis. Jangan lupa, banyak prajurit kita termasuk saudara ibu saya tewas di Timtim. (Selanjutnya) Jeffry : Saya mulai merasakan frustasimu. Seakan-akan kamu merasa kekejaman datang dari Indonesia dan kamu korban saja, namun orang melihatmu sebagai gerilyawan. Seperti saya tadi juga.

Jeffry dapat menggali informasi dalam suatu analisis yang sederhana dan tetap dari permasalahan Fernando. Contoh percakapan : Jeffry : Kamu marah dengan pemerintahan kami, rupanya? Fernando : Ya, saya amat marah.

Jeffry dapat menghargai dan memperhatikan semua factor pengalaman penderita dalam suatu keterpaduan. Contoh percakapan :

Jeffry : Saya mulai merasakan frustasimu. Seakan-akan kamu merasa kekejaman datang dari Indonesia dan kamu korban saja, namun orang melihatmu sebagai gerilyawan. Seperti saya tadi juga.

Anda mungkin juga menyukai